Dalam Jerat Perkawinan Anak
Perdebatan soal perkawinan anak sering mengaitkannya dengan tradisi atau kemiskinan. Keduanya memang faktor penting, tetapi jika melihat praktik di lapangan, alasan terbesar justru kehamilan di luar nikah.
Data Mahkamah Agung menunjukkan sekitar 95 persen permohonan dispensasi kawin dikabulkan dalam periode 2019-2023, dan sepertiga di antaranya diajukan karena anak perempuan sudah hamil. Artinya, aturan batas usia 19 tahun yang digadang sebagai terobosan hukum justru kehilangan daya paksa karena dispensasi dipakai untuk melegalkan perkawinan sebagai jalan pintas mengatasi kehamilan.
Angka perkawinan anak memang menurun. Kementerian Agama mencatat 8.804 pasangan di bawah usia 19 tahun menikah pada 2022, turun menjadi 5.489 pasangan pada 2023, dan 4.150 pasangan pada 2024. BPS juga mencatat penurunan persentase perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum 18 tahun, dari 12 persen satu dekade lalu menjadi 5,9 persen.
Namun angka ini tidak menjelaskan jenis kasus yang mendominasi. Ketika dispensasi kawin hampir selalu dikabulkan dan banyak di antaranya karena kehamilan, jelas bahwa faktor hamil di luar nikah masih menjadi pendorong utama.
Kisah di Lombok Barat tahun lalu bisa menggambarkan bagaimana mekanisme ini bekerja. Seorang anak perempuan berusia 15 tahun hamil setelah dipaksa berhubungan oleh pacarnya. Orang tua keduanya segera mengajukan dispensasi ke pengadilan agama. Hakim mengabulkan dalam satu sidang singkat, dengan alasan menjaga kehormatan keluarga.
Dalam logika hukum dan sosial, masalah dianggap selesai, anak sudah sah menikah, keluarga terhindar dari gosip, pengadilan menjalankan prosedur.
Tetapi realitasnya, anak itu berhenti sekolah, melahirkan dalam kondisi kesehatan rapuh, dan kehilangan kesempatan membangun masa depan. Ia tidak hanya dipaksa menanggung kehamilan, tetapi juga perkawinan yang tidak pernah ia pilih.
Kasus lain di Jawa Timur memperlihatkan pola yang sama. Seorang siswi 16 tahun hamil, lalu dipaksa menikah dengan laki-laki yang menghamilinya. Orang tuanya menganggap tidak ada pilihan lain, karena takut anaknya dicap rusak jika tidak segera dinikahkan. Setelah menikah, siswi itu keluar dari sekolah, sementara suaminya tetap melanjutkan pekerjaannya di bengkel. Perbedaan nasib ini menunjukkan siapa yang paling menanggung beban sosial kehamilan di luar nikah, tetap anak perempuan.
Kita bisa menambahkan contoh dari Sulawesi Selatan, di mana seorang anak berusia 14 tahun dinikahkan meski tidak hamil. Tekanan datang dari tetangga yang melihat anak itu sering pergi bersama pacarnya. Orang tua, khawatir gosip akan meluas, memutuskan menikahkan anaknya.
Kasus ini memperlihatkan bahwa meskipun kehamilan adalah alasan paling dominan, stigma sosial yang menghubungkan kedekatan dengan seksualitas perempuan juga berperan besar. Kehamilan di luar nikah bukan hanya soal medis atau biologis, tetapi sekaligus menjadi simbol yang menekan keluarga untuk segera membersihkan nama baik mereka.
Akar masalahnya jelas. Pertama, pendidikan seksualitas hampir tidak ada di sekolah. Remaja tumbuh dengan pengetahuan terbatas tentang tubuh mereka sendiri, sementara akses informasi justru lebih sering datang dari sumber yang salah. Kedua, akses kontrasepsi bagi remaja praktis tertutup. Kontrasepsi masih dianggap urusan pasangan menikah, padahal justru kelompok usia remaja paling rentan terhadap kehamilan tidak direncanakan.
Ketiga, stigma sosial terhadap kehamilan di luar nikah begitu kuat, terutama bagi anak perempuan. Laki-laki yang terlibat biasanya tetap bisa melanjutkan sekolah atau pekerjaan, sementara perempuan dipaksa menikah agar tidak menanggung malu keluarga. Keempat, hukum memberi legitimasi dengan menyediakan jalur dispensasi kawin. Selama jalur ini ada dan hampir selalu dikabulkan, pesan yang sampai ke masyarakat adalah kehamilan di luar nikah harus segera diselesaikan dengan perkawinan, tanpa memperhatikan usia dan kesiapan.
Dampaknya berlapis. Dari sisi pendidikan, anak perempuan yang menikah karena hamil hampir pasti keluar sekolah. Data BPS memperlihatkan angka partisipasi sekolah menurun tajam pada usia 15-17 tahun di wilayah dengan perkawinan anak tinggi. Dari sisi kesehatan, risiko kematian ibu meningkat pada kehamilan usia muda. Penelitian menunjukkan ibu yang hamil di bawah usia 18 tahun lebih rentan komplikasi persalinan, anemia, dan bayi lahir dengan berat rendah.
Dari sisi sosial, anak perempuan menanggung stigma ganda: dianggap melanggar norma karena hamil di luar nikah, lalu kehilangan kesempatan karena dipaksa menikah dini. Lebih jauh, anak yang lahir dari ibu muda berisiko mengalami stunting karena kondisi ibu yang belum matang secara fisik.
Lingkaran ini memperlihatkan mengapa perkawinan anak sulit dihapuskan. Masyarakat menekan keluarga yang malu, keluarga menyerahkan anaknya pada perkawinan, dan negara memberikan stempel sah lewat dispensasi.
Akibatnya, ribuan anak perempuan setiap tahun kehilangan masa depan karena dipaksa menikah hanya karena hamil di luar nikah. Statistik boleh menunjukkan penurunan, tetapi pola kasus tetap berulang. Kehamilan yang seharusnya bisa diantisipasi dengan pendidikan dan layanan kesehatan justru berakhir pada perkawinan anak.
Persoalan utamanya bukan sekadar angka perkawinan anak, melainkan cara kita menyikapi kehamilan di luar nikah. Selama solusi utamanya adalah memaksa anak menikah, maka setiap kasus kehamilan akan berujung pada hilangnya masa depan. Pilihan lain sebenarnya ada dengan menjaga anak tetap di sekolah, memberi dukungan psikologis, membuka akses kesehatan reproduksi, dan menghentikan stigma sosial.
Tetapi pilihan ini jarang diambil, karena yang lebih dipentingkan adalah menutup malu keluarga. Tubuh anak perempuan dijadikan alat untuk menegakkan kehormatan, sementara haknya untuk menentukan jalan hidup hilang begitu saja.




Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!