Pos

Al-Haqâ`iq fî Al-Tawhîd

TUJUAN terbesar, paling abadi dan paling mulia hidup manusia adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah Swt., Tuhan Penguasa bumi dan langit, mengesakan-Nya dengan penuh ketundukan dan ketaatan, serta membersihkan diri dari perbuatan menyekutukan-Nya. Karenanya, di dalam Islam, tauhid menempati kedudukan tertinggi, dan merupakan fondasi keimanan seorang muslim dalam hubungannya dengan Allah, Tuhan alam semesta.

Mengingat kedudukan penting tauhid ini, sebagian besar ulama Muslim dari berbagai sekte, baik di masa klasik maupun di masa-masa setelahnya, menulis buku khusus tentang akidah yang menjelaskan mengenai tauhid. Kita tentu mengenal kitab “Ushûl al-Sunnah” karya Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), “Sharîh al-Sunnah” karya al-Thabari (w. 310 H), “al-Aqîdah al-Thahâwîyyah” karya Abu Ja’far al-Thahawi (w. 321 H), “Kitâb I’tiqâdi Ahli al-Sunnah” karya Abu Bakr Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili (w. 371 H), “Lum’ah al-I’tiqâd” karya Ibn Qudamah (w. 620 H), “al-Aqîdah al-Wâsithîyyah”, karya Ibn Taimiyah (w. 728 H), “Kitâb al-Tawhîd alladzîy huwa Haqq li al-‘Abîd” karya Muhammad ibn Abdil Wahab (w. 1206 H), “Risâlah al-Tawhîd” karya Muhammad Abduh (w. 1905 M), dan masih banyak lagi yang lain.

Buku “al-Haqâ`iq fî al-Tawhîd” adalah buku lain mengenai tauhid yang ditulis oleh Ali ibn Khudhair al-Khudhair. Kalau ditelisik lebih dalam, buku ini sebenarnya adalah kumpulan hadits Nabi Saw., atsar sahabat Nabi Saw., dan pendapat para ulama khususnya Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taimiyah, dan Muhammad ibn Abdil Wahab. Secara umum buku ini berbicara tentang hakikat-hakikat tauhid (monoteisme) sebagai hakikat Islam, juga tentang hakikat kesyirikan (politeisme), nama-nama agama dan hukum-hukumnya, serta mengenai takfir (pengkafiran) terhadap segala hal yang disebutnya sebagai thawâghît (kata plural dari thâghût).

Ali ibn al-Khudhair merupakan salah seorang ulama Wahabi yang lahir pada tahun 1374 di Riyadh. Ia adalah lulusan dari Fakultas Ushuluddin di Universitas Al-Imam, Qassim, tahun 1403 H. Ia menimba ilmu dari sejumlah ulama, di antaranya yang paling menonjol adalah Syaikh Hamud ibn Aqla al-Syuaibi, darinya ia mempelajari akidah, tauhid, dan bidang-bidang ilmu keislaman yang lain.

Ia mulai mengajar pada tahun 1405 H di masjid-masjid dalam bidang fikih dan musthalah hadits. Banyak pelajar dari berbagai negara belajar kepadanya. Di kalangan murid-muridnya ia dikenal dengan keteguhannya dalam membela kebenaran, menyeru kepada tauhid, dan meningkari (mengkafirkan) thaghut, yang membuatnya tidak disukai oleh pemerintah Arab Saudi, bahkan ia beberapa kali ditangkap untuk dipenjara dan dilarang mengajar.

Banyak karya yang terlahir darinya, di antaranya: “al-Zanad fi Syarh Lum’ah al-I’tiqad”, “al-Masâ`il al-Mardhîyyah ‘alâ al-‘Aqîdah al-Wâsithîyyah”, “al-Jam’ wa al-Tajrîd fî Syarh Kitâb al-Tawhîd”, “al-Wijâzah fî Syarh Ushûl al-Tsalâtsah”, “al-Tawdhîh w al-Tatimmât ‘alâ Kasyf al-Syubuhât”,  “Qawâ`id wa Ushûl fî al-Muqallidîn wa al-Juhhâl”, “Kitâb al-Thabaqât”, “al-Wasîth fî Syarh Awwal Risâlah fî Majmû’ah al-Tawhîd”, “al-Mutammimah li Kalâm A`immah al-Da’wah fî Mas`alah al-Jahl fî al-Syirk al-Akbar”, dan yang paling terkenal adalah al-Jam’ wa al-Tajrîd fî Syarh Kitâb al-Tawhîd” yang merupakan penjelasan terjadap buku “Kitâb al-Tawhîd alladzîy huwa Haqq li al-‘Abîd” karya Muhammad ibn Abdil Wahab, dan buku “al-Haqâ`iq fî al-Tawhîd” yang merupakan penegasan terhadap kandungan buku tersebut. Oleh para pengikutnya ia dijuluki “Singa Tauhid” karena hampir seluruh karyanya mengulas tentang tauhid dan akidah Islam.

Dengan buku “al-Haqâ`iq fî al-Tawhîd” ini, Ali ibn al-Khudhair hendak menjelaskan tiga hal. Pertama, hakikat Islam, yaitu bahwa Islam memiliki syarat-syarat, di antaranya adalah: (1). Ilmu, dalam arti syahadat (kesaksian), sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah,” [QS. Muhammad: 19]; (2). Keyakinan, Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu,” [QS. al-Hujurat: 15]; (3). Keikhlasan, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka atas orang-orang yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ yang dia mengharapkan wajah Allah,” [HR. al-Bukhari dan Muslim], dan; (4). Mengingkari dan mengkafirkan thaghut, Allah berfirman, “Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus,” [QS. al-Baqarah: 256].

Menurut Ali ibn al-Khudhair, itulah hakikat Islam, bahwa seseorang tidak bisa menjadi muslim kecuali dengan memenuhi syarat-syarat syahadat. Ia mengutip perkataan Sulaiman ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abdil Wahab yang menyebutkan, “Mengucapkannya tanpa mengetahui maknanya, tidak mengamalkannya sebagai bentuk komitmen tauhid, tidak meninggalkan kesyirikan serta tidak mengkafirkan thaghut, menurut ijma’ itu tidak bermanfaat.”

Kedua, hakikat kesyirikan, yaitu “kau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Dia-lah yang menciptakanmu,” sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Saw., di antaranya meminta pertolongan dan meminta perlindungan kepada selain Allah, juga menyembelih, bersumpah, dan berhukum demi selain Allah. Ishaq ibn Abdirrahman berkata, “Berdoa kepada para penghuni kuburan, memohon kepada mereka, dan meminta pertolongan kepada mereka, tidak ada perbedaan di kalangan umat Muslim melainkan semuanya sepakat bahwa itu adalah kesyirikan.” Ia juga berkata, “Bagaimana umat Muslim dilarang mengkafirkan orang yang berdoa kepada orang-orang saleh dan meminta pertolongan mereka di sisi Allah serta melakukan perbuatan-perbuatan peribadatan yang tidak selayaknya dilakukan melainkan kepada Allah, ini adalah batil berdasarkan teks al-Qur`an, Sunnah, dan kesepakatan umat.” Sulaiman ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abdil Wahab berkata, “Para mufassir bersepakat bahwa ketaatan dalam menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah termasuk ibadah kepada semua itu dan merupakan kesyirikan dalam ketaatan.” Dijelaskan juga bahwa para ulama sepakat bahwa mengingkari dan mengkafirkan thaghut adalah tauhid yang benar.

Ketiga, tauhid dan kesyirikan adalah dua hal yang saling bertentangan dan tidak pernah menyatu. Artinya, orang yang melakukan suatu kesyirikan tidak bisa disebutnya orang yang  bertauhid, meskipun ia bodoh, atau bahkan meskipun ia dari kalangan ahlul fatrah (orang-orang yang tak pernah mendapatkan dakwah Islam namun tak memiliki sifat buruk: orang yang menghiraukan ajaran Islam pada masa hidupnya, baik karena isolasi geografi, atau hidup sebelum masa Nabi). Allah Swt. berfirman, “Dialah yang menciptakan kamu, lalu di antara kamu ada yang kafir dan di antara kamu [juga] ada yang mukmin,” [QS. al-Taghabun: 2]. Ibn Taimiyah berkata, “Dan untuk alasan ini, orang yang tidak menyembah Allah pasti ia menyembah kepada selain-Nya, dan orang yang menyembah kepada selain-Nya adalah musyrik. Di antara anak-anak Adam (manusia) tidak ada golongan ketiga, yang ada hanya golongan tauhid dan golongan musyrik.” Abdurrahman berkata, “Orang yang melakukan kesyirikan, maka ia telah meninggalkan tauhid. Keduanya (tauhid dan kesyirikan) adalah dua hal yang saling berlawanan dan tidak akan pernah berkumpul, saling bertentangan dan tidak akan pernah menyatu.”

Ali ibn al-Khudhair secara terang-terangan mengkafirkan golongan Asy’ariyah yang dianggapnya sebagai ahli bid’ah karena menyembah kuburan. Selain itu, yang tidak kalah menarik, di dalam buku ini Ali ibn al-Khudhair menyinggung soal demokrasi. Menurutnya, demokrasi adalah salah satu contoh thaghut yang harus diingkari oleh setiap orang yang mendaku dirinya muslim bertauhid. Bagaimana mengingkari demokrasi? Pertama, meyakini kebatilannya; kedua, meninggalkannya, yaitu dengan tidak menjadi anggota parlemen dan dewan legislatif di negara-negara demokratis kafir; ketiga, membencinya; keempat, membenci orang-orang yang meyakini kebenaran demokrasi, dan; kelima, mengkafirkan orang-orang yang meyakini kebenaran demokrasi.

Dari sini bisa dipahami mengapa ISIS dalam banyak aksi-aksi terornya di antaranya mengambil pembenaran dari berbagai pendapat Ali ibn al-Khudhair di dalam karya-karyanya, di samping sejumlah ulama Arab Saudi lainnya seperti Khalid al-Rasyid, Nasir al-Fahd, Sulaiman ibn Nashir al-Alwan, Umar ibn Ahmad al-Hazmi, Hamud ibn Aqla al-Syuaibi, dan seterusnya.

ISIS mengandalkan tulisan para ulama yang mendukung posisinya dalam berperang melawan orang-orang yang dianggap muslim tetapi hanya sebatas nama saja alias “muslim KTP”. Para ulama ini menganut seperangkat gagasan yang sangat berbeda dari pandangan umum umat Muslim. Biasanya, ISIS menggunakan pandangan-pandangan mereka untuk membenarkan pengkafiran terhadap negara Arab Saudi dan para penguasa Muslim di seluruh Timur Tengah, serta mendukung penolakan terhadap semua kekuatan dan institusi resmi di negara-negara tersebut. Karena permusuhan antara ISIS dan banyak tokoh agama, para pengamat sering mengabaikan pengaruh para ulama itu terhadap ISIS.

Kita lihat, empat ulama dari Arab Saudi, yaitu Nasir al-Fahd, Sulaiman ibn Nashir al-Alwan, Umar ibn Ahmad al-Hazmi, Hamud ibn Aqla al-Syuaibi, dan Ali ibn al-Khudhair adalah bagian dari jaringan ulama yang memberikan pengaruh besar terhadap Al-Qaeda di Arab Saudi pada awal tahun 2000-an, juga gerakan-gerakan jihadis transnasional. Mereka banyak menulis tentang “kemurtadan” Arab Saudi karena membantu Amerika Serikat dalam intervensi-intervensi regionalnya, terutama selama Perang Teluk I. Bagi ISIS, tulisan-tulisan mereka memberikan dasar fikih untuk kampanye melawan orang-orang murtad. Dan merupakan hal yang berguna bagi ISIS bahwa para ulama ini sangat terlatih di dalam fikih dan pendidikan agama (hal yang sangat jarang dimiliki oleh para ideolog jihadis) dan bahwa mereka berseberangan dengan lembaga-lembaga keagamaan di Arab Saudi. Nasir al-Fahd dikabarkan telah bersumpah setia kepada ISIS, dan organisasi tersebut mengadopsi pandangan Hamud ibn Aqla al-Syuaibi yang menyatakan bahwa tidak boleh meminta bantuan dari orang-orang kafir.

Pandangan Ali ibn al-Khudhair diadopsi secara luas di wilayah-wilayah yang dikuasai ISIS. Secara khusus Ali ibn al-Khudhair memberikan pandangan yang komprehensif tentang salah satu aspek paling khas dari ideologi ISIS. Ia, misalnya, menyatakan bahwa sistem-sistem non-Islam dan para penganutnya tidak sesuai syariat, sehingga kepatuhan terhadap ajaran mereka benar-benar tidak bisa dimaafkan. Hal ini terlihat sangat jelas dalam pendiriannya mengenai sistem legislatif modern dan umat Muslim yang terlibat di dalamnya. Menurutnya, seorang muslim yang secara sukarela bergabung di dalam parlemen adalah kafir, seorang muslim yang bersumpah setia kepada konstitusi negara demokrasi—bahkan meskipun ia dipaksa untuk melakukannya—adalah murtad, dan seorang muslim yang menentang konstitusi negara demokrasi melalui sarana-sarana demokrasi adalah pendosa.[]

Bagaimana para perempuan menjadi pelaku teror dan membawa anak?

Oleh L

Serangan bom bunuh diri di Surabaya oleh keluarga: ayah, ibu, dan melibatkan anak-anak di bawah umur, menunjukkan perubahan besar dalam peta aksi teror. Kini perempuan menjadi pelaku aktif dan sangat mungkin memanipulasi anak untuk menjadi pelaku, tulis Lies Marcoes.

“Saya yang menguatkan suami untuk berjihad dengan ikut ISIS di Suriah. Saya bilang ‘jangan takut soal Umi dan anak-anak, rezeki Allah yang atur’. Saya bilang ke suami ‘Izinkan Umi dan anak-anak mencium bau surga melalui Abi, semoga Abi selamat. Tapi kalau tidak, saya ikhlas, saya bersyukur karena dengan suami menjadi syahid, saya dan anak-anak akan terbawa ke surga”.

Ditemui peneliti Center for the Middle East and Global Peace Studies UIN Jakarta, dalam suatu rapat akbar organisasi di Jakarta Barat dua tahun lalu, perempuan separuh baya ini dengan sangat tenang menjelaskan cara berpikirnya tentang jihad dan pengorbanan perempuan.

Menurutnya lelaki kadang-kadang “kurang kuat iman” untuk ikut berjuang karena memikirkan urusan dunia. Urusan dunia dimaksud adalah perasaan berat meninggalkan istri dan anak-anak sementara ia mati sendirian di medan perang.

Dalam testimoni di atas, perempuan meletakkan dirinya sebagai pihak pendukung. Tentu saja peran itu penting tetapi mereka sendiri belum atau tidak terlibat langsung dalam aksi kekerasan. Belakangan, seperti dalam kasus calon bom panci yang melibatkan perempuan Dian Yulia Novi, orang mulai menimbang peran perempuan dalam gerakan radikal teroris. Namun berbeda dengan yang baru saja terjadi di Surabaya (13/5 dan 14/5).

Jika kita hubungan testimoni di atas dengan peristiwa bom bunuh diri di Surabaya yang dilakukan satu keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu, melibatkan empat anak mereka, dua remaja lelaki, dan dua anak perempuan di bawah umur, kelihatannya telah terjadi perubahan besar dalam pelibatan keluarga dalam aksi teror.

Jika sebelumnya, sebagaimana tergambar dalam percakapan awal di atas, perempuan hanya menjadi pihak pendorong, sementara dalam kasus Dian Yilia ia menjadi pelaku aktif namun sendirian dan keburu ditangkap sebelum melancarkan serangan bom, dalam kasus terakhir perempuan menjadi pelaku aktif dan sangat mungkin memanipulasi anak-anak mereka untuk menjadi bagian dari serangan maut itu.

Kita bisa saja membuat hipotesa, prakarsa melancarkan aksi bom bunuh diri ini kemungkinan datang dari sang suami, Dita Oepriarto mengingat ia adalah salah satu tokoh organisasi Jemaah Anshorut Daulah (JAD). Namun jika sang istri keberatan atau menolak pandangan dan prakarsa suaminya, ceritanya niscaya akan berbeda.

Atas peristiwa itu, menghitung peran dan pengaruh ibu (perempuan) dalam gerakan radikal tak bisa lagi diabaikan. Dalam pendekatan keamanan, peran itu telah dikenali namun sering dianggap kecil, dibandingkan dengan perhatian kepada peran lelaki sebagai pelaku teror. Kajian yang telah melihat keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal nampaknya harus menjadi referensi utama.

Dalam tulisan saya di Indonesia at Melborne (26 November 2015) “Why do women join radical groups” saya menjelaskan tesis keterlibatan perempuan dalam kelompok teroris.

Pertama, perempuan adalah kelompok yang pada dasarnya memiliki keinginan, untuk tidak dikatakan punya agenda, untuk ikut terlibat dalam apa yang diyakini sebagai perjuangan melawan kezaliman dan kemunkaran kepada Allah. Ini berkat kegiatan mereka sebagai peserta aktif pengajian-pengajian di kelompok-kelompok radikal itu. Mereka menjadi ‘penerjemah’ langsung dari konsep jihad dalam teori dan diubah menjadi praktik.

Namun dalam dunia radikalisme terdapat pemilahan peran secara gender di mana ‘jihad qital’/jihad kabir (maju ke medan tempur- jihad besar) hanya pantas dilakukan oleh lelaki karena watak peperangan yang dianggap hanya cocok untuk dunia lelaki. Dengan dasar peran itu, mereka menempatkan diri sebagai pendorong dan penguat iman suami.

Kedua, dalam konsep kaum radikal terdapat dua tingkatan jihad yaitu jihad kecil dan jihad besar.

Jihad besar merupakan puncak dari pengorbanan seorang manusia dengan pergi ke medan tempur dan mati sebagai syuhada, martir. Namun, karena terdapat pemilahan peran secara gender, otomatis hanya lelaki yang punya tiket maju ke medan tempur, sementara istri hanya kebagian jihad kecil, seperti menyiapkan suami atau anak lelaki maju ke medan tempur.

Jihad kecil lainnya adalah mempunyai anak sebanyak-banyaknya, terutama anak lelaki- jundi- yang kelak siap menjadi jundullah -tentara Tuhan. Dalam percakapan antar mereka, memiliki jundi merupakan sebuah kebanggaan, “sudah berapa jundi ukhti”- sudah berapa calon tentara Tuhan yang kamu miliki”?

Ketiga, sebagaimana umumnya dalam organisasi keagamaan, secara umum peran perempuan dalam kelompok radikal sesungguhnya tidak utama dan bukan sentral. Namun peran mereka akan cepat diakui dan dihormati jika mereka dapat menunjukkan keberanian dalam berkorban, termasuk korban jiwa dan raga.

Pengakuan peran ini merupakan salah satu kunci penting dalam mengenali keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal. Dorongan untuk menjadi terkenal kesalehannya, atau keikhlasannya atau keberaniannya melepas suaminya berjihad menjadi idaman setiap perempuan dalam kelompok radikal, apatah lagi untuk ikut berjihad.

Dalam perkembangannya, menjalani jihad kecil sebagai penopang dalam berjihad tak terlalu diminati, utamanya oleh kalangan perempuan muda yang merasa punya agenda untuk ikut berjuang dengan caranya.

Dan seperti kita saksikan, di sejumlah negara, perempuan muda menghilang dari keluarga dengan alasan yang mengejutkan. Mereka meninggalkan rumah untuk bergabung dengan kelompok teroris dengan ideologi agama, seperti ISIS atau menikah dengan lelaki yang menjadi bagian dari kelompok itu.

Jika tidak ikut berjihad mereka punya cara sendiri untuk melakukannya di negara mereka sendiri. Hal ini bisa dilihat dalam kasus Hasna Aitboulahcen, perempuan pertama pelaku bom bunuh diri di Saint- Denis Perancis beberapa tahun lalu. Sebelumnya Hasna tidak dikenal sebagai sebagai perempuan alim, malah sebaliknya ia dianggap perempuan “bebas”. Namun entah bagaimana setelah berkenalan dengan seseorang yag mengajaknya bertaubat dan ‘berhijrah,’ ia kemudian dikenali jadi sangat salih, mengenakan hijab, rajin beribadah, dan hanya butuh satu bulan baginya untuk kemudian tewas bersama bom yang ia ledakkan sediri.

Hasna diajak seseorang namun ia tak mengajak siapa-siapa. Namun, lihatlah apa yang terjadi kepada sebuah keluarga Indonesia, seorang suami, istri, termasuk balita, bayi dan seorang perempuan hamil, menyelinap keluar dari kelompok tur mereka di Turki dan menyeberang ke Suriah di bulan Maret 2015.

Pakar terorisme Indonesia Sidney Jones mengatakan bahwa penelitiannya telah mengidentifikasi sekitar 40 perempuan Indonesia dan 100 anak-anak di bawah 15 tahun berada di Suriah, sebagian merasa terjebak oleh ajakan untuk berjihad sebagian lain memang berkesadaran penuh menjadi bagian dari ISIS.

Dari fenomena bom Surabaya, agaknya, analisis soal keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal tak bisa lagi dilihat sekedar catatan kaki. Terlebih karena keterlibatan itu tak lagi bersifat individual sebagai hasrat untuk diakui dalam kelompok radikal sebagai perempuan pemberani, melainkan karena peran tradisonalanya sebagai istri dan ibu yang memiliki kekuatan nyata untuk melibatkan suami dan anggota keluarga sebagai pelaku teror dan kekerasan.

Perhatian kepada perempuan tak bisa lagi hanya dilihat dalam fungsi pendamping dan pendukung radikalisme melainkan harus sudah dilihat sebagai pelaku utama. Mereka tak sekadar memiliki impian untuk mencium bau surga melalui suaminya belaka, melainkan melalui peran sendiri dengan membawa anak-anak yang telah ia manipulasi dalam suatu keyakinan.

 

Pernah dimuat di bbc.com, 14 Mei 2018

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44106870

Fatwa Kelompok Ekstremis dalam Pelibatan Perempuan dalam Jihad

Pendapat tokoh atau fatwa yang dikeluarkan oleh kelompok ekstremis memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam memberikan motivasi ataupun justifikasi terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh pengikutnya.

Unaesah Rahmah

Pendapat tokoh atau fatwa yang dikeluarkan oleh kelompok ekstremis memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam memberikan motivasi ataupun justifikasi terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh pengikutnya. Sebagai contoh, terjadinya peningkatan serangan terror dengan menggunakan senjata tajam seperti pisau dapur, pedang dan golok di Indonesia diakibatkan karena adanya fatwa yang disebarkan oleh para pendukung ISIS di media sosial dan grup Telegram. V. Arianti (2018) mencatat 14 serangan dengan senjata tajam oleh kelompok terror dalam kurun waktu 2014 hingga 2018. Beberapa fatwa yang dikutip dan disebarkan oleh para pendukung ISIS adalah tulisan  Abu Abdillah Al-Muhajir’s yang berjudul “Disyari’atkannya Ightiyalat Terhadap Kafir Harbi,” pesan Abu Muhammad Al-Adnani yang menyuruh para pendukung ISIS untuk menggunakan pisau dapur dalam menyerang, dan juga Bahrun Naim yang mempromosikan taktik penusukan dan pemenggalan (V.Arianti, 2018).

Apakah hal serupa juga terjadi dalam pelibatan perempuan dalam jihad? Apakah fatwa berpengaruh terhadap keputusan para perempuan untuk melakukan aksi terror seperti melakukan bom bunuh diri dan berperang menjadi kombatan? Jika melihat fatwa yang telah dikeluarkan oleh al-Qaeda atau ISIS, hampir tidak ada yang memberikan fatwa secara jelas dan tegas menyeru perempuan untuk terlibat di dalam jihad qital – yakni jihad dalam artian berperang dan mengangkat senjataNelly Lahoud berpendapat bahwa hanya al-Zarqawi yang pernah secara jelas menyerukan perempuan untuk berjihad mengangkat senjata bersama para laki-laki. Selainnya, walalupun menyerukan jihad qital bagi perempuan, mereka tetap menegaskan bahwa peran utama perempuan adalah untuk diam di rumah, menjaga dan mengurus suami dan anak.

Beberapa Fatwa terkait Pelibatan Perempuan dalam Jihad

Seruan agar perempuan terlibat di dalam jihad qital biasanya dimasukkan di dalam kerangka jihad defensive atau self-defense. Perempuan hanya diperbolehkan untuk berperang jika 1) musuh sudah masuk dan mengepung wilayah mereka, 2) kekuatan laki-laki sudah tidak memadai untuk mengalahkan musuh, dan 3) turunnya fatwa yang memperbolehkan perempuan untuk melakukan jihad qital.

Beberapa tokoh dari kelompok militan yang pernah menyebutkan kebolehan perempuan untuk terlibat di dalam jihad qital adalah ‘Abdullah ‘Azzam yang mengutip pendapat Abd al-Salam al-Faraj. Ia menyatakan bahwa jihad defensive adalah kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Pendapat lain adalah ‘Abd al-Qadir bin ‘Abd al’Aziz (Sayyid Imam al-Sharif) yang berpendapat bahwa perempuan harus diberikan pelatihan militer, tetapi hanya dalam lingkup untuk menjaga diri (self-defense) melawan musuh Islam.

Abu Mus’ab al-Zarqawi, tokoh yang paling sering dirujuk sebagai pemberi fatwa kebolehan perempuan berperang, menyatakan, “Ketika perang pecah, jika kalian (para lelaki Muslim) tidak akan menjadi pentempur dalam perang ini, maka berikanlah jalan bagi perempuan untuk berperang. Demi Allah, laki-laki telah kehilangan kejantanan mereka.” Namun jika disimak lebih teliti, sebenarnya pernyataan Zarqawi bukanlah ditujukan untuk mengajak perempuan berperang, melainkan untuk laki-laki. Ucapannya bertujuan untuk mempermalukan laki-laki yang tidak berperang sebagai pengecut dan tidak punya kejantanan. Hal serupa juga sering dilakukan oleh kelompok teroris di Indonesia. Sebagai contoh, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menyebarkan foto tiga istri anggota mereka yang menenteng senjata di sosial media. Tujuannya adalah mempermalukan laki-laki dengan mengatakan bahwa karena tidak ada laki-laki, maka perempuan sampai menenteng senjata dan berperang di Poso.

Jika dipahami lebih lanjut, syarat pertama dan kedua dalam jihad defensive tidak sesuai dengan tindakan yang dipilih oleh ISIS. Pasalnya ISIS lebih memilih untuk mengajak laki-laki dari negara lain masuk ke Suriah dan Irak pada awal 2014 daripada menyerukan perempuan di wilayah mereka untuk berperang. Jika memang keadaan sudah sangat mendesak, sehingga umat Muslim dari negara lain harus membantu “daulah Islamiyah” ala ISIS, mengapa perempuan tidak pernah dilibatkan? Hal ini menunjukan kecacatan dalam definisi jihad defensive ISIS. Selain itu, anjuran jihad defensive ini tidak khusus ditujukkan bagi perempuan saja, karena anak-anak juga termasuk di dalamnya.

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah bahwa kelompok ekstremis biasanya berbeda pendapat soal keterlibatan perempuan sebagai kombatan dalam perang. Namun, perempuan diperbolehkan menjadi pelaku bom bunuh diri. Perbedaan ini terjadi karena jika perempuan menjadi kombatan, maka akan dimungkinkan terjadinya percampuran dengan laki-laki, sementara dalam hal bom bunuh diri tidak.

Dalam hal bom bunuh diri, perempuan bisa diajari dan diantar ke lokasi oleh ayah, saudara laki-laki atau suami mereka. Seperti kasus Dian Yuli Novi yang menikahi Nur Solikhin dengan tujuan agar pertemuan dan perbincangan mereka soal bom bunuh diri menjadi “halal.” Namun, jika dilihat lebih lanjut, target serangan bom bunuh diri Dian adalah Pasukan Pengaman Presiden, yang pada umumnya adalah laki-laki. Dian juga diinstruksikan untuk mendekati target jika hendak melakukan bom bunuh diri. Bukankah hal tersebut sama saja terjadinya percampuran antara perempuan dan laki-laki yang bukan mahram?

Pelibatan perempuan dalam kelompok ekstremis lebih didorong oleh alasan strategis mereka, terutama ketika mereka terdesak. Banyak tulisan mengungkapkan bahwa semenjak ISIS mulai kehilangan wilayahnya, maka mereka mengeluarkan fatwa-fatwa lewat majalah An-Naba (2016), Rumiyah (2017) dan video yang diliris oleh al-Hayat Media Centre (2018) yang menyerukan perempuan untuk melakukan jihad qital. Walaupun lagi-lagi penekanan terhadap peran utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu tetap ada.

Fatwa dan Pelibatan Perempuan di Indonesia

Melihat kasus keterlibatan tiga istri kelompok MIT sebagai kombatan, mereka memilih peran tersebut karena suruhan dari suami mereka. Tidak terdengar jika mereka mengutip fatwa dari ideolog-ideolog kelompok ekstremis. Begitu juga dalam kasus Ika Puspita Sari, dia berkeinginan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri karena terinspirasi oleh kejadian-kejadian bom dibandingkan oleh fatwa khusus tentang pelibatan perempuan.

Meski begitu, di Indonesia, kasus Dian Yuli menunjukkan bahwa dia melakukan penafsiran sendiri terhadap lingkungannya dan fatwa kelompok esktremis. Dia berpendapat bahwa para laki-laki di Indonesia sudah tidak lagi mengangkat senjata melawan musuh, sehingga dia ingin menjadi pelaku bom bunuh diri. Dian membuat keputusan itu sebelum ISIS mengeluarkan seruan terkait pelibatan perempuan dalam jihad qital. Dengan demikian, fatwa bukanlah satu-satunya faktor yang melatarbelakangi keinginan perempuan untuk terlibat dalam aksi terror. Seperti yang dituliskan dalam laporan IPAC (Januari 2017), bahwa banyak para pendukung perempuan ISIS di Indonesia yang menunjukan keinginan mereka untuk melakukan aksi terror setelah melihat aksi terror Paris pada 2015, yang diduga melibatkan perempuan.

Sumber:

Aqwam Fiazmi Hanifan, “Dogma ISIS kepada Pengikut Perempuan: Lisensi untuk Membunuh,” Tirto.id, April 10, 2019

 Charlie Winter dan Devorah Margolin, “The Mujahidat Dilemma: Female Combatnats and the Islamic State,” Combating Terrorism Centre, August 2017, Vo. 10, Issue 7

Nelly Lahoud, “Can Women Be Soldiers of the Islamic State?,” Survival, 2017, Vol. 59, Issue.1, hal. 61-78

 Nelly Lahoud, “The Neglected Sex: The Jihadis’ Exclusion of Women From Jihad,” Terrorism and Political Violence, 2014, Vol. 26, Issue 5, hal.780-802

Sumber: https://islami.co/fatwa-kelompok-ekstremis-dalam-pelibatan-perempuan-dalam-jihad/

RESPONS ISIS TERHADAP COVID-19

Oleh Jamaluddin Mohammad

Sejak pertama kali muncul di Wuhan, China, perhatian dunia tertuju pada pandemi Covid-19. Pemberitaan media hampir seluruhnya menyoroti pandemi Covid-19 yang tengah menjangkiti masyarakat di seluruh belahan dunia. Hampir seluruh negara-negara di dunia tengah berjuang keras mengalahkan virus yang memakan korban ratusan ribu orang ini.

 

Bagaimana dengan aktivitas ataupun respons ISIS terhadap Covid-19 ini? Organisasi teroris internasional ini ternyata tidak tinggal diam. Momentum ini dimanfaatkan untuk melancarkan serangan, menyusun kekuatan, sekaligus mengubah taktik dan strategi gerakan. Meskipun responsnya tidak tunggal tetapi isu Covid-19 ini betul-betul “menguntungkan” dan mengubah orientasi gerakan mereka.

 

Ketika baru pertama kali muncul, ISIS menganggap bahwa pandemi Covid-19 sebagai balasan dan hukuman Tuhan kepada musuh Islam, terutama kepada Barat, China yang telah membantai muslim Uighur, juga balasan Tuhan kepada “tentara salib” yang telah menghancurkan benteng terakhir mereka di Baghous pada Maret 2019.

 

Namun, sebagaimana diberitahukan buletin online mereka, Annaba, ISIS juga tetap menghimbau kepada pengikutnya untuk tidak melakukan perjalanan ke negara-negara yang terjangkiti Covid-19 serta tetap mematuhi protokol kesehatan seperti menggunakan masker, melakukan social/physical distancing hingga mencuci tangan.

 

Di samping itu, ISIS pusat tetap menghimbau untuk melakukan tindakan-tindakan terorisme (amaliah) di saat perhatian negara-negara tengah tertuju dan terkonsentrasi pada penanganan Covid-19. “Selagi cengkeraman mereka terhadap kami (ISIS) melemah, sumber keuangan (ekonomi) mereka ambruk, maka lakukanlah amaliah sesuai kemampuan kalian!” Begitu salah satu seruan ISIS yang beredar di telegram. Bahkan mereka menyerukan bagi mereka yang sudah terinveksi Covid-19 untuk dijadikan senjata dengan menularkannya kepada orang lain sebagai bentuk serangan (amaliah).

 

Namun, tidak semua seruan ISIS pusat dipatuhi oleh angota-anggotanya di negara-negara lain. Khususnya di Indonesia, Covid-19 ini dimanfaatkan untuk meningkatkan sentimen anti China. Orang-orang China dianggap sebagai pembawa virus ini untuk disebarkan ke seluruh dunia. Di Indonesia virus ini dibawa oleh pekerja migran asal China. Isu ini disebarkan melalui media sosial dan diamini bukan hanya oleh anggota ISIS.

 

Di Indonesia, setidaknya ada tiga pandangan ISIS terhadap Covid-19. Pertama, Covid-19 ini sama seperti wabah ta’un. Sebagaimana disebut hadis Nabi SAW bahwa ketika menghadapi wabah ini dianjurkan tetap di dalam rumah. Mereka tetap mematuhi protokol kesehatan dan tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Bagi anggota ISIS yang berpandangan seperti ini, mereka cenderung diam di rumah dan tidak melakukan tindakan-tindakan amaliah.

 

Kedua, sebagian anggota ISIS menganggap Covid-19 ini sebagai tanda-tanda kiamat sebelum muncul Dukhon (awan gelap). Bagi mereka lockdown atau PSBB merupakan simulasi menghadapi Dukhon. Dukhon adalah Awan panas yang akan menutupi bagian bumi selama 40 hari 40 malam. Pemahaman ini muncul dari —-salah satunya—- ustaz Ihsan Tanjung, bukan pengikut ISIS tetapi pendapatnya diikuti banyak pengikut ISIS. Dalam ceramahnya, Ihsan Tanjung mengaitkan dentuman besar yang terjadi di langit Jakarta sebagai tanda-tanda kiamat.

 

Ketiga, mengikuti seruan ISIS pusat untuk tetap melakukan serangan terorisme (amaliah). Ini adalah langkah dan momentum tepat untuk menyerang negara yang tengah dihancurkan dan digerogoti oleh pandemi Covid-19 ini. Di saat negara sedang lemah dan lengah, disitulah waktu dan meomentum tepat untuk melakukan serangan dan penyerangan. Tindakan-tindakan terorisme yang terjadi di masa pandemi ini dilakukan oleh mereka yang patuh terhadap seruan ISIS pusat.

 

Kesimpulan

 

Selain mengubah orientasi dan strategi gerakan, Pandemi Covid-19 ini betul-betul dimanfaatkan ISIS untuk melancarkan serangan terorisme terhadap musuh-musuhnya (bukan anggota ISIS). Baik serangan terbuka (amaliah) dengan target-target tertentu ataupun serangan dalam bentuk psikologis, seperti propaganda tanda-tanda kiamat. Mereka sengaja menyebarkan isu kiamat sebagai teror kepada masyarakat. Harapannya semua orang panik dan menciptakan chaos sehingga bisa mengancam stabilitas negara. Isu ini sengaja diangkat untuk menciptakan kepanikan dan ketakutan. Teror dalam bentuk lain adalah menciptkan isu sentimen anti China. Tujuannya bukan hanya sebagai aksi balasan terhadap muslim Uighur, tapi juga menciptakan mosi tidak percaya terhadap negara. Seolah-olah negara melakukan perlindungan dan pengistimewaan terhadap etnis China.

 

ISIS menunggangi Covid-19 untuk melancarkan serangan terorisme di seluruh belahan dunia. Mereka menyebutnya sebagai “tentara Tuhan” untuk menghancurkan musuh-musuh Islam. Covid-19 tak membuat mereka lemah, bahkan menambah senjata dan amunisi baru bagi aktivitas dan gerakan mereka. Ketika negara dan masyarakat lengah, di situlah mereka hadir dan melakukan pengrusakan.

 

Salam

Jamaluddin Mohammad

 

 

 

 

PEMULANGAN WARGA ISIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Oleh Zainul Maarif

Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina

Menteri Agama Republik Indonesia, Fachrul Rozi, menyampaikan rencananya memulangkan warga ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) yang berasal dari Indonesia. Pro-kontra mencuat merespons wacana itu. Mengingat pernyataan itu muncul dari Menteri Agama, tulisan ini meninjau wacana itu dengan perspektif  agama Islam, lebih khusus lagi teori hukum Islam alias Ushul Fikih.

 

Dalam teori Ushul Fikih, seseorang yang telah menyatakan atau melakukan tindakan “keluar” dari satu agama secara otomatis dianggap murtad. Pertanyaannya, apakah dengan analogi yang sama dapatkah diberlakukan untuk seseorang yang meninggalkan negaranya dapat dikatakan “murtad” terhadap negaranya? Untuk itu, pertama, perlu diidentifikasi terlebih dahulu objek pembahasan dalam wacana itu. Bukankah yang hendak dipulangkan itu bukan (lagi) WNI melainkan mereka yang telah menyatakan bergabung dengan ISIS. Dengan demikian, mereka adalah mantan WNI yang telah berpindah menjadi warga ISIS melalui pembaiatan.

 

Karena janji setia pada ISIS seiring dengan sikap bermusuhan pada Indonesia, maka mereka bisa dikategorikan sebagai orang-orang “murtad”. Dalam konsep teologis, sebetulnya murtad tak sekadar istilah untuk orang yang berpindah agama melainkan juga menyatakan keluar dari negaranya. Di era Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar Al-Shiddiq (pemimpin umat Islam setelah Rasulullah wafat), agama dan negara saling berkelindan. Orang murtad di zaman itu bukan saja orang yang keluar dari Islam, tetapi juga mereka menentang negara di mana negara itu bukanlah negara yang secara terbuka menyatakan sebagai negara kafir.  Negara Indonesia yang berasaskan Pancasila jelas negara yang diikrarkan bukan negara kafir. Dengan pertimbangan itu, warga ISIS eks WNI dapat dikategorikan sebagai orang-orang yang “murtad dari Indonesia”.

 

Dalam aksinya ketika meningalkan Indonesia, dalam pandangan fiqh siyasah mereka tidak hanya dianggap telah “murtad”, tapi juga  dianggap sebagai pelaku “bughât” atau memberontak terhadap pemerintahan yang berdaulat Repubik Indonesia. Di Syiria dan Iraq, mereka memberontak pemerintahan yang syah. Hukum Islam menyebut para pemberontak seperti sebagai “bughât“.

 

Selain itu, tindakan mereka dalam pemahaman fikih juga dianggap sebagai merampas hak milik orang lain secara paksa. Dalam domain fikih atau hukum Islam, tindakan mereka disebut  “qâthi’ al-tharîq“- merampas hak orang lain.

 

Jadi, warga ISIS eks WNI itu adalah orang-orang yang murtad dari Indonesia, dan menjadi bughât dan qâthi’ tharîq di Syria dan Iraq. Berbagai teks hukum Islam (kitab-kitab fikih) berpendapat sama bahwa orang yang murtad dan/atau bughat dan/atau qâthi’ al-tharîq itu diputuskan dengan dua pilihan: ustutîba aw qutila: diminta bertobat atau diperangi/dihukum mati.

 

Di konteks keindonesian, “permintaan tobat” (ustutîba) berarti permintaan kepada mereka untuk setia kepada pilar-pilar bangsa yang selama ini telah menjadi prinsip dasar konstitusi negara, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar 1945. Selebihnya, mereka hendaknya menjalani program- program yang dapat diuji secara obyektif tentang kesetiaannya kepada Indonesia.  Program-program itu bisa berupa deradikalisasi sebagaimana yang selama ini dijalankan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) atau program yang bersifat pendampingan.

 

Namun, sebelum “permintaan tobat” usai pemulangan warga ISIS asal Indonesia itu, beberapa kaidah ushul fikih dan pengalaman sejarah perlu dipertimbangkan. Kaidah ushul fikih mengatakan “dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbi al-mashâlih“: mencegah kerusakan didahulukan daripada meraih kemaslahatan.

 

Apa kemaslahatan yang bisa diraih Indonesia dengan pemulangan warga ISIS eks WNI itu? Indonesia akan tetap dicatat sebagai negara yang mengupayakan pengampunan kepada warganya. Indonesia juga akan dihitung sebagai negara yang mengupayakan pemenuhan HAM yaitu mengakui hak semua orang untuk mendapatkan perlindungan hukum. Namun kita juga harus menghitung  ulang kemaslahatan kepulangan mereka bagi Indonesia. Jika hasilnya lebih banyak memunculkan mafsadat atau kerusakan yang lebih besar bagi Indonesia, adalah kewajiban negara untuk mencegah kepulangan mereka. Sebagaimana terkonfirmasi dari para napiter (narapidana teroris), sangat sulit bagi mereka untuk melepaskan ideologi ISISnya mengingat indoktrinasi yang mereka terima.

 

Hal lain yang dapat dilakukan adalah meninjau lebih lanjut berapa jumlah napiter yang “tobat” dari terorisme. Yang jelas pemenjaraan napiter adalah buah simalakama. Memenjarakan mereka memerlukan biaya yang tidak kecil.  Nyatanya, tak mudah bagi mereka  untuk menghapus ideologi kekerasan yang terpatri di jiwa mereka. Sejumlah studi tentang napiter di penjara memunculkan simalakama. Jika mereka dipisahkan, mereka bisa merekrut teroris baru. Jika mereka disatukan dalam satu penjara, mereka bisa semakin solid untuk menebar teror di kemudian hari.

 

Ringkas kata, haruslah tetap ditimbang sejauh mana mereka berbahaya. Dalam hukum Islam, bahaya disebut dengan “dlarar“. Secara eksplisit, kaidah hukum Islam menyatakan “al-dlararu yuzâlu” (bahaya harus dihapus) dan “lâ dlarara wa lâ dlirâra” (Jangan ada bahaya yang membahayakan).

 

Jadi, sebelum memulangkan warga ISIS yang berasal dari Indonesia ke Indonesia, Menteri Agama atau pemerintah Indonesia patut mempertimbangkan tiga kaidah hukum Islam tersebut: (1) dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbi al-mashâlih (mencegah kerusakan didahulukan daripada meraih kemaslahatan),(2) al-dlararu yuzâlu (bahaya harus dihapus), dan (3) lâ dlarara wa lâ dlirâra (jangan ada bahaya yang membahayakan). []

Sejarah dan Perkembangan Ide Khilafah

Dalam sejarah Islam, Hizbut Tahrir bukanlah satu-satunya partai, ormas, atau kelompok Muslim yang menggagas dan mengembangkan ide dan konsep khilafah (caliphate). Ada banyak individu dan kelompok keislaman, sejak masa klasik hingga dewasa ini, yang membincangkan tentang khilafah ini. Hanya saja masing-masing pihak memiliki pandangan yang berlainan tentang khilafah ini.

Hugh Kennedy, seorang profesor Bahasa Arab dan ahli kajian sejarah Islam klasik di School of Oriental and African Studies, University of London, pernah menulis dalam bukunya Caliphate: The History of an Idea, sebagai berikut: “The concept of caliphate has had many different interpretations and realizations through the centuries, but fundamental to them all is that it offers an idea of leadership which is about the just ordering of Muslim society according to the will of God.”

Seperti Kennedy jelaskan, karena diinisiasi oleh banyak ulama dan kelompok keislaman dari berbagai aliran, khususnya Sunni dan Syiah, gagasan dan konsep khilafah dalam implementasinya memiliki banyak tafsir dan pendapat yang berbeda-beda bukan hanya tentang ide khilafah itu sendiri tetapi juga tentang bagaimana mekanisme sistem politik kekhilafahan serta proses pemilihan seorang khalifah (caliph) sebagai pemimpin atau pemegang otoritas tertinggi dalam sistem pemerintahan khilafah.

Bagi Sunni pada umumnya, seorang khalifah yang secara kebahasaan berarti “pengganti, pelayan, atau wakil” harus dipilih oleh komunitas Muslim melalui sebuah proses politik-budaya tertentu (baik dipilih secara kolektif melalui forum musyawarah yang melibatkan banyak pihak maupun melalui diskusi terbatas orang-orang tertentu yang dipandang memiliki otoritas politik-keagamaan), meskipun dalam praktiknya juga sering tidak konsisten karena banyak “rezim khilafah” Sunni yang kemudian mengadopsi sistem monarkhi terutama sejak Kekhilafahan Umayyah dimana seorang khalifah berikutnya bukan dipilih oleh publik Muslim maupun representasi mereka melainkan ditunjuk oleh khalifah sebelumnya.

Sejak Muawiyah bin Abu Sofyan (Muawiyah I, 602-680 M.), pendiri Dinasti Umayah sekaligus memproklamirkan diri sebagai khalifah, berturut-turut seorang khalifah ditunjuk dari keluarga dekat khalifah pendahulu. Sementara itu, bagi kelompok Syiah, seorang khalifah harus seorang “imam yang ma’sum” (bebas dari maksiat) yang dipilih langsung oleh Tuhan dari keturunan keluarga Nabi Muhammad (Ahlul Bait).

Dalam konteks sejarah Islam, khilafah adalah sebuah polity atau semacam “entitas politik” yang kemudian berkembang menjadi berbagai imperium yang bersifat multietnis dan transnasional. Pada Abad Pertengahan Islam, ada tiga pemerintahan khilafah: Rasyidun (632-661), Umayyah (661-750) dan Abbasiyah (750-1258).

Kemudian Turki Usmani (Ottoman) juga mengklaim sebagai Khilafah Islam setelah menaklukkan Dinasti Mamluk (berpusat di Mesir) pada tahun 1517. Bukan hanya itu saja, dalam sejarah politik Islam, ada sejumlah rezim politik-pemerintahan lain yang mengklaim sebagai khilafah. Sebut saja Fatimiyah di Afrika timur/utara (rezim Syiah Ismaili, 909-1171), Umayyah II di Semenanjung Iberia di Eropa (929-1031), Al-Muwahhidun (rezim Muslim Berber di Maroko, 1121-1269; didirikan oleh Abd al-Mu’min), dan Sokoto di Afrika Barat (1804-1903).

Sokoto adalah Kekhilafahan Islam yang didirikan oleh Syaikh Usman bin Fodio, seorang sarjana Islam dan dai ternama, setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Hausa di Nigeria (dan juga Kamerun) dalam sebuah pertempuran yang dikenal dengan nama Perang Fulani. Kekhilafahan Sokoto ini kelak dihapus oleh Inggris pada tahun 1903.

Sementara itu, sistem Kekhilafahan Turki Usmani dihapus oleh Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Negara Turki modern, pada 1924 menyusul kehancuran Turki Usmani pada Perang Dunia I. Oleh sejumlah kelompok Islamis radikal, tahun 1924 itulah yang dijadikan sebagai “tahun wafatnya” sistem khilafah.

Sebetulnya, ketika Perang Dunia I meletus, ada sejumlah kelompok yang berusaha menyelamatkan sistem khilafah sekaligus untuk mempertahankan Kekhilafahan Turki Usmani. Misalnya, Gerakan Khilafah oleh sejumlah pemimpin Muslim di India pada 1920an untuk melawan Inggris.

Penggerak khilafah ini antara lain adalah Mohammad Ali Jouhar dan Maulana Abul Kalam Azad. Konon, Mohandas Gandhi, juga mendukung gerakan ini dengan duduk sebagai anggota di Central Khilafat Committee. Hanya saja, gerakan khilafah ini gagal total dan hancur berantakan setelah penangkapan sejumlah pemimpin dan pentolannya oleh pemerintah kolonial Inggris.

Meskipun pada tahun 1924 Mustafa Kemal Ataturk menghapus secara resmi sistem khilafah, ide-ide pendirian (kembali) sistem khilafah masih bermunculan di sejumlah tempat. Di Hijaz (kini wilayah Saudi), Syarif Hussein pernah mendeklarasikan “Khilafah Syarifiyah” pada tahun 1924. Tetapi sayang umur “Khilafah Syarifiyah” ini tidak panjang karena beberapa tahun kemudian Hijaz ditaklukkan oleh Raja Abdul Aziz Al Saud, pendiri Kerajaan Arab Saudi modern.

Bukan hanya di kalangan Sunni dan Syiah saja diskursus tentang khilafah ini berkembang. Ahmadiyah, sebuah gerakan revivalis Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, India, pada 1889, juga mengklaim tentang sistem kekhilafahan ini. Setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad yang mengklaim sebagai Mesias atau Imam Mahdi, pada 1908, penggantinya, Hakim Nuruddin, memproklamirkan diri sebagai “Khalifah Ahmadiyah” dengan julukan “Khalifah al-Masih” (yakni pengganti, pelayan, atau wakil dari Sang Mesias, yaitu Mirza Ghulam Ahmad). Bagi kalangan Ahmadiyah, Khilafah Ahmadiyah adalah sebuah bentuk pendirian kembali atau kelanjutan dari sistem “Khilafah Rasyidun” (al-Khulafa al-Rasyidun) yang didirikan oleh para sahabat Nabi Muhammad.

Ide pengguliran pendirian khilafah ini terus bergulir dan digulirkan oleh sejumlah tokoh dan faksi Islam. Pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna (1906-1949), seperti ditulis oleh Oliver Roy dalam Failure of Islamism, juga pernah menginisiasi untuk merestorasi sistem khilafah. Ikhwanul Muslim (berdiri di Mesir pada 1928) adalah sebuah kelompok Islamis yang mengadvokasi gagasan Pan-Islamisme dan implemntasi Syariat Islam.

Di kemudian hari, kelompok Ikhwanul Muslimin mengalami proses radikalisasi ekstrim setelah sejumlah ideolog dan pentolan organisasi ini seperti Sayyid Qutub dan adiknya Muhammad Qutub, mendapatkan perlakuan buruk dari rezim sekuler Mesir.

Penting untuk dicatat bahwa pendirian Ikhwanul Muslimin dilatari oleh kebangkrutan sistem Khilafah Turki Usmani di satu sisi serta kolonialisme Eropa di kawasan Muslim Arab di pihak lain. Karena itu wajar jika Hasan al-Banna ingin menghidupkan kembali sistem khilafah setelah Mustafa Kemal memberangusnya.

Kelak, pada 1953, Taqiyuddin al-Nabhani, yang juga merupakan kader Ikhwanul Muslimin, mendirikan Hizbut Tahrir di Yarusalem setelah menyaksikan pendirian Negara Israel modern serta kekalahan Bangsa Arab dalam Perang Arab-Israel 1948 yang berdampak pada pendudukan Palestina oleh Bangsa Israel. Salah satu tujuan utama Hizbut Tahrir tentu saja pendirian sistem khilafah ini yang dipandang mampu menjadi penyelamat kebangkrutan politik umat Islam.

Selain Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir, sejumlah kelompok radikal-Islamis-revivalis seperti Al-Qaidah, Jamaah Islamiyah, Abu Sayyaf Group, Boko Haram, Ansar al-Sharia, Jabhat al-Nusra, Islamic State of Iraq and Syria, dan lain sebagainya., juga menggemakan gagasan restorasi sistem khilafah ini. Ada banyak sarjana yang mengulas tentang sejarah dan perkembangan konsep khilafah dan siapa saja para pendukungnya seperti Hugh Kennedy, Tom Kratman, Mona Hassan, William Muir, dan lain sebagainya.

Meskipun berbagai kelompok di atas menggaungkan ide khilafah tetapi masing-masing memiliki pandangan, metode, pendekatan, taktik, motivasi, dan tujuan yang berbeda. Ada yang memandang khilafah sebagai gerakan politik global transnasional yang melintasi batas-batas negara, ada pula yang berskala lokal atau regional.

Ada yang memandang khilafah sebagai gerakan politik tanpa kekerasan. Tetapi ada juga kelompok Islamis yang bersikeras mewujudkan khilafah dengan cara-cara apapun, termasuk kekerasan, ekstremisme, dan terorisme.

Menariknya, meskipun mereka sama-sama menyerukan restorasi dan pendirian (kembali) sistem khilafah, tetapi antar-mereka juga terlibat konflik akut dan saling serang dan memerangi satu sama lain seperti perseteruan antara ISIS dan Jabhat al-Nusrah atau ISIS versus al-Qaidah.

Ada banyak faktor, baik ideologis maupun politis, yang menyebabkan mereka saling seteru. Kelompok Hizbut Tahrir juga digempur dimana-mana oleh berbagai kelompok Islamis-radikal. Ini menunjukkan bahwa kelompok Islam pengusung khilafah ini jauh dari kata tunggal dan monolitik seperti yang dibayangkan oleh banyak orang.

Apapun perbedaanya, yang jelas ide khilafah memiliki sejarah yang sangat panjang dan kompleks. Berbeda dengan masa klasik dan abad pertengahan, kemunculan kembali gagasan khilafah di era kontemporer karena tidak lepas dari berbagai situasi sosial-politik-ekonomi-budaya yang menimpa kaum Muslim dan dipandang tidak menguntungkan mereka. Keterpurukan, kemunduran, keterbelakangan, kekalahan, dan situasi-kondisi carut-marut lainnya yang menimpa kaum Muslim itulah yang membuat sejumlah kelompok Islam berandai-andai untuk membangkitkan kembali sistem khilafah, yang oleh mereka, dianggap sebagai “sistem politik alternatif” atau “obat mujarab” yang mampu menyembuhkan luka menganga dan duka-lara umat Islam.

Tetapi mereka lupa bahwa sistem khilafah pun, jika mengacu pada sejarah Islam, jauh dari sempurna. Kejahatan, keburukan, kekejaman, kekerasan, dan penindasan juga terjadi di era kekhilafahan Islam. Memang, sistem politik apapun—baik relijius maupun sekuler—bukanlah sebuah jaminan bagi terwujudnya sebuah masyarakat yang aman, damai, adil, makmur dan sentosa. Semua memang tergantung pada kualitas individu pelaku yang menggerakkan sistem politik-pemerintahan itu. Bahkan ada ungkapan, sistem yang bobrok akan jauh lebih baik hasilnya jika dipegang oleh orang yang baik. Sebaliknya, sistem yang baik akan berujung pada kebobrokan jika dikendalikan oleh orang-orang jahat. Masihkan bermimpi dengan sistem khilafah? Wallahu ‘alam bi shawwab.

 

Sumber: https://sumantoalqurtuby.com/sejarah-dan-perkembangan-ide-khilafah-2/?fbclid=IwAR3vRjpNU1T3bT2E-eAiqEfHO2jG5AIUzlnPDH-68taE4m55wg3DjScKVCQ

Kenapa Strategi Pemerintah dalam Menghadapi Radikalisme Membingungkan?

Oleh Ulil Abshar Abdalla

Posisi pemerintah dalam soal FPI akhir-akhir ini tampak sekali “clueless”, membingungkan, sekurang-kurangnya jika kita lihat dari perkembangan terakhir seperti terlihat dalam pernyataan Menag dan Menkopolhukam. Ini menandakan bahwa pemerintah sendiri sebetulnya tidak memiliki strategi yang “clear”, sehingga tampak masih “grayang-grayang”: mau memperpanjang SKT FPI atau tidak?

Para “penggaung” (buzzer) pemerintah semula membangun narasi yang menarik sebagai dukungan untuk kebijakan Pak Jokowi yang memilih Fachrul Rozi yang berlatar militer itu untuk menjadi Menag. Narasinya adalah: karena pemerintah ingin serius melawan radikalisme. Itulah sebabnya dipilih jenderal untuk mengomandoi Kemenag, bukan menteri sipil yang diandaikan “lunak” dan “tak bergigi” dalam menghadapi kelompok-kelompok radikal.

Catatan selingan: Harap diketahui, radikalisme Islam lebih banyak berkembang di sekolah-sekolah umum dan universitas negeri di bawah Kemendikbud, bukan di kalangan mahasiswa UIN/IAIN/STAIN dan pesantren yang berada di bawah yurisdiksi Kemenag. Itulah sebabnya, saya sejak awal menganggap kebijakan Pak Jokowi memilih jenderal sebagai Menag ini salah sasaran, “a misplaced policy”. Jika niatnya serius mau melawan radikalisme Islam, Fachrul Rozi lah yang seharusnya diangkat menjadi Mendikbud, bukan Nadiem Makarim. Sekali lagi: ini kalau tujuannya untuk melawan radikalisme. Kecuali jika ada “tujuan” dan “motif” lain yang tersembunyi.

Baik, saya teruskan. Beberapa saat setelah diangkat menjadi Menag, muncul “a promising shock therapy”, gebrakan yang seolah-olah menjanjikan dari Pak Fachrul Rozi: melarang ASN di lingkungan Kemenag untuk memakai cadar. Anda tahu, cadar adalah pakaian penutup muka yang dipakai perempuan, bukan laki-laki.

Akan tetapi, belum lewat satu bulan, muncul perkembangan lain yang agak aneh, dan menampakkan kebingungan di pihak Menag. Menghadapi isu FPI, Menag justru mengambil posisi yang teramat lunak. Dalam beberapa statemen publiknya, Menag cenderung mendorong untuk memperpanjang SKT FPI, karena ormas yang terakhir ini sudah “bai’at” dan berjanji loyal kepada Pancasila dan NKRI.

Sikap Menag ini membingungkan sekali. Isu FPI jelas jauh lebih krusial, serius dan penting dalam perang melawan radikalisme ketimbang masalah cadar. Kenapa dalam soal cadar Menag keras, sementara dalam isu FPI kok lunak? Ada apa di balik ini? Ini pertanyaan yang membutuhkan investigasi lebih jauh. Adakah “kaitan tersembunyi” antara Menag dengan FPI, sehingga dia menampakkan kelunakan pada ormas ini?

Yang menarik, Menag juga bersikap lunak terhadap celana cingkrang. Kita baca statemen dia dalam soal celana cingkrang ini di media massa: dia tak mempunyai keberatan apapun.

Pertanyaannya: Kenapa Pak Fachrul Rozi besikap keras terhadap cadar, tetapi toleran pada celana cingkrang, padahal keduanya satu paket? Baik cadar dan celana cingkrang secara umum (meski tidak dalam semua kasus) berasal dari satu sumber yang sama: pemahaman ala salafi-wahabi.

Posisi Menag ini, dipandang dari sudut analisa gender, jelas sangat bermasalah karena menampakkan gejala seksisme. Dia hanya mempersoalkan cadar saja, sementara celana cingkrang yang dipakai kaum laki-laki ditoleransi. Teman-teman feminis mestinya berbicara soal “ambiguitas” dan seksisme di balik pernyataan Menag Fachrul Rozi ini.

Di sisi lain, baru-baru ini 11 kementerian “meneken” SKB yang bertujuan untuk menangkal penyebaran radikalisme di kalangan ASN. Kebijakan ini sendiei mengandung banyak masalah sebetulnya, tetapi ini isu lain yg bisa didiskusikan secara terpisah. Dengan kebijakan ini, pemerintah ingin mengirim pesan bahwa dia serius menghadapi isu radikalisme Islam. Tetapi pesan ini tampak tidak singkron dengan pernyataan-pernyataan Meng soal FPI.

Poin saya: pemerintah mengirim pesan yg simpang-siur mengenai soal radikalisme ini. Di satu pihak ingin memerangi radikalisme, di pihak lain menampakkan gejala ingin memberi ruang kembali kepada FPI. Apakah di mata pemerintah FPI bukan merupakan salah satu manifestasi dari radikalisme Islam? Apakah seorang ASN yang me-like konten yang berisi hoax atau mendukung ide-ide radikal jauh lebih berbahaya (sehingga harus dilaporkan, menurut isi SKB yang baru saja diteken itu) ketimbang FPI?

Inkonsistensi seperti ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah tak punya visi yang jelas tentang strategi menghadapi radikalisme.

Belum lagi jika kita persoalkan argumen pemerintah mengenai posisi FPI terhadap ide khilafah. Salah satu alasan keberatan pemerintah untuk memperpanjang SKT FPI (sebelum akhirnya melunak karena FPI sudah melunak dan loyal pada Pancasila — menurut versi Pak Fachrul Rozi) adalah karena ormas ini mendukung ide khilafah.

Pertanyaanya: Apakah ide khilafah yang dianut FPI sama dengan HTI atau ISIS? Menurut saya, jelas berbeda. Bahkan HTI pun memiliki pemahaman yang berbeda soal khilafah ini dari kelompok-kelompok lain. Tidak semua yang menganut ide khilafah bisa “digebyah-uyah”, disamakan. Kalau semua yang mendukung ide khilafah harus dilarang, jelas berbahaya. Ahmadiyah bisa dilarang juga karena menganut dan mempraktekkan ide khilafah. Kelompok tarekat tertentu juga menganut ide khilafah.

Dengan kata lain, banyak bolong-bolong dalam kebijakan pemerintah untuk mengatasi radikalisme, tetapi, sayang sekali, publik pada umumnya seperti sengaja mengabaikan atau tutup mata, kerana ketakutan dan “paranoia” terhadap Islam radikal.

Saya mendukung upaya pemerintah melawan radikalisme, tetapi ini bukan berarti memberikan “cek kosong” kepada pemerintah sehingga kita tidak mau menguliti detil kebijakan yang diambil pemerintah.

Kita harus kritis juga terhadap gejala yang tampaknya mulai merebak akhir-akhir ini: menjadikan isu radikalisme sebagai alat untuk membungkam suara-suara kritis pada pemerintah. Jangan sampai isu radikalisme ini dijadikan alasan untuk membungkam setiap bentuk oposisi. Ini berbahaya bagi masa depan demokrasi kita.

Saya ingin pemerintah melawan radikalisme Islam tanpa mengorbankan demokrasi. Jika ini kita lakukan, kita tak akan beda dengan negeri-negeri otoriter di Timur Tengah.

Sekian.

 

Artikel ini ditulis atas dukungan Global Affairs Canada dalam program We Lead

Merebut Tafsir: Mariam Ingin Pulang ke Tanah Air, Bagaimana Sikap Kita?

Oleh Lies Marcoes

Setelah ISIS bubar, tertinggal puluhan ribu umat Islam hidup menderita di pengungsian di bawah naungan lembaga PBB untuk pengungsi. Beberapa di antara mereka berasal dari Indonesia.

Seperti yang dilaporkan media Tirto.Id. salah satu di antara ribuan pengungsi itu adalah Mariam Abdullah yang mengaku berasal dari Bandung, Jawa Barat bersama empat anaknya. Si sulung, perempuan, mengatakan ayahnya, minggat tanpa kabar. Dalam percakapan itu Mariam menyatakan ingin pulang ke Bandung.

Reaksi orang, seperti biasa, beragam. Di antaranya minta agar pemerintah membiarkan saja sebagai bentuk hukuman atas keputusannya. Pendapat lain mengatakan diizinkan pulang sepanjang masih warga negara yang dibuktikan oleh identitas resmi kependudukan.

Sebagai peneliti, saya pernah beberapa kali mendalami para pengungsi Rohingya di Aceh dan Makassar. Mereka terusir atau memilih pergi dari kampung halamannya di Burma. Mereka adalah keturunan Bangladesh yang telah turun temurun tinggal di Burma. Namun situasi hidupnya yang sulit dan terancam, mereka lari, berharap bisa menjadi warga negara yang sah di rantau yang tak mendiskriminasikan mereka. Cita-citanya agar anak-anak bisa sekolah dan mereka bisa bekerja dengan tenang. Pada kenyataannya tak semua pelarian Rohingya itu sampai ke negeri harapan, seperti Australia. Tak sedikit yang terdampar di berbagai pulau dan ditempatkan baik sebagai pengungsi atau di tahanan khusus pengungsi. Status mereka umumnya adalah pengungsi yang mendapatkan “jadup” dari PBB atau negara yang tak ingin dibanjiri pengungsi serupa itu.

Menilik pada latar belakang kepergiannya dari negeri asal, jelas kedua kasus itu sangat berbeda. Para pengungsi paska hancurnya “negara” ISIS berangkat ke Suriah sebagai “pilihan ” meski penyebab untuk memilih karena tertipu ideologi dan keyakinan. Sementara orang Rohingya mereka pergi karena “tak punya pilihan”. Karenanya mungkin tidak tepat untuk memperlakukan para korban ISIS itu diterima (kembali) dalam kedudukan yang sama sebagai pengungsi sebagaimana berlaku bagi orang-orang Afganistan yang lari dari negaranya atau orang Rohingya.

Lalu bagaimana sebaiknya sikap kita? Saya ingin mendudukkan dulu posisi negara atas para eks- “jihadis” itu. Apakah mereka diperlakukan sebagai musuh yang mengancam atau sebagai warga negara yang tersesat secara ideologis? Pada situasi itu, saya melihat jika pilihannya yang pertama, maka izinkan mereka pulang, setelah ditetapkan dasar hukum untuk mengadili dan menghukum mereka. Sampai batas tertentu, setelah masa hukuman habis mereka dapat kembali menjadi warga negara biasa. Jika posisinya menganggap mereka adalah warga negara yang “tersesat” secara idelogi , maka tugas negara adalah melakukan upaya kontra ideologi. Dan pengalamannya yang pahit di Suriah demi membela keyakinan dan ideologinya, terbukti pilihannya salah. Pengalaman mereka mungkin bisa digunakan sebagai “testimony” untuk menyadarkan mereka yang masih punya impian soal penegakan negara Islam ala ISIS itu. Di atas itu semua negara dapat menunjukkan bahwa ideologi Pancasila merupakan pandangan dan cita-cita hidup paling tepat bagi umat Islam dalam kehendak untuk menjalankan agamanya dengan aman dan damai. Saya berharap mereka diizinkan untuk pulang ke kampung halaman. Saya tak bisa membayangkan ibu dengan empat anak, tanpa sanak saudara. Terlebih membayangkan anak-anak perempuan yang niscaya sangat rentan mengalami kejahatan seksual dipengungsian. Biarlah mereka pulang dan bertemu sanak saudara, dan berkabar betapa jahatnya manipulasi ideologi atas nama agama itu. Biarkan mereka menikmati hembusan angin, nyiur melambai, makan combro atau bakso panganan masa kecil yang tak mungin mereka dapati selama mengejar ideologi surga di bumi itu. Ayolah Indonesia pasti bisa!

Seorang wanita yang dievakuasi keluar dari wilayah terakhir yang dipegang oleh militan Negara Islam menggendong bayinya setelah disaring oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS di gurun di luar Baghouz, Suriah, Senin, 25 Februari 2019. AP Photo / Felipe Dana.

Sumber gambar: https://tirto.id/saat-anak-isis-pulang-ke-indonesia-bagaimana-memperlakukan-mereka-dktl

Hizbut Tahrir: Mission Impossible!

DI antara masalah paling menonjol yang dihadapi gerakan-gerakan atau partai-partai politik Islam secara umum adalah kejumudan pemikiran atau ketidakmampuan mengikuti perkembangan-perkembangan pemikiran dan politik.

Gerakan-gerakan dan partai-partai Islam mungkin juga ditimpa masalah kejumudan pemikiran dan politik ketika tidak mampu mengikuti perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan regional dan internasional sehingga terus terisolasi di dalam pemikiran-pemikiran dan analisis-analisis kuno yang menjadi dasar bagi setiap keputusan dan tindakan mereka.

Karena tidak mungkin mengulas secara panjang lebar di dalam satu tulisan pendek mengenai pengalaman seluruh gerakan dan partai Islam terkait masalah kejumudan dalam pemikiran politik mereka, di dalam tulisan ini hanya akan dibahas soal mengenai masalah tersebut terkait Hizbut Tahrir (HT).

Seperti diketahui Hizbut Tahrir didirikan di kota Quds pada tahun 1953 oleh Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani dengan membawa isu “I’âdah al-Khilâfah al-Islâmîyyah wa Iqâmah al-Dawlah al-Islâmîyyah wa Haml al-Da’wah al-Islâmîyyah” (mengembalikan khilafah Islamiyah, menegakkah negara Islam, dan mengemban tanggung jawab dakwah Islamiyah).

Beredar informasi yang menyebutkan bahwa salah satu sebab yang mendorong Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani mendirikan Hizbut Tahrir adalah kegagalan gerakan Ikhwanul Muslimin dalam mewujudkan misinya mengembalikan kejayaan khilafah Islamiyah setelah 25 tahun pendiriannya (Ikhwanul Muslimin didirikan tahun 1928). Padahal, kalau berkaca pada pengalaman Rasulullah Saw., negara Islam harus sudah berhasil ditegakkan setelah 23 tahun masa perintisan (13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah). Gerakan Islam apapun yang gagal selama masa itu, maka literatur dan cara kerjanya harus ditinjau ulang.

Syaikh Taqiyyudin al-Nabhani menolak demokrasi dan menganggapnya sebagai sistem kafir! Ia mengajak umat Muslim untuk melakukan perubahan radikal (revolusi), menolak perubahan bertahap (evolusi), dan mengajak untuk menegakkan negara khilafah di seluruh dunia Islam. Ia bahkan menyiapkan konstitusi khusus berdasarkan pada pembagian dan mekanisme yang ia adopsi secara historis, seperti pembagian wilayah kekuasaan dari pimpinan tertinggi hingga gubernur, dan berdasarkan pada teori khusus perubahan yang memerlukan penyebaran kesadaran politik hingga dukungan dari tentara atau para pemilik kekuasaan. Khusus untuk konflik di dunia ia punya sebuah teori tersendiri, yaitu bahwa semua peristiwa yang terjadi di dunia ini sesungguhnya adalah refleksi dari konflik bersejarah antara Amerika dan Inggris seperti yang terjadi pada tahun lima puluhan dan enam puluhan pada abad lalu.

Hizbut Tahrir sukses menjaring puluhan ribu pendukung dari seluruh dunia Islam. Berdasar sejumlah informasi, para pengikutnya di beberapa negara mencapai jutaan orang. Tetapi, dengan jumlah pengikut yang berjumlah jutaan itu Hizbut Tahrir gagal menegakkan khilafah Islamiyah dalam rentang waktu 63 tahun sejak pendiriannya. Dan hingga saat ini Hizbut Tahrir masih percaya bahwa seluruh konflik di dunia ini adalah antara Inggris dan Amerika. Makanya di dalam berbagai analisis politik yang disebarkannya selalu mengaitkan seluruh kejadian dengan konflik tersebut. Belakangan, dalam sejumlah pernyataannya tentang perkembangan terakhir di Turki, ada dugaan bahwa agen-agen Inggris terlibat dalam kudeta terhadap Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan karena dianggap sebagai sekutu Amerika.

Masalahnya, meskipun sudah berlalu 63 tahun sejak pendiriannya dan gagal dalam mewujudkan misi utama yaitu penegakan khilafah Islamiyah, meskipun ISIS dan gerakan Taliban telah mendahuluinya mendirikan apa yang disebutnya dengan khilafah Islamiyah, di samping pengalaman Republik Islam Iran dan pengalaman Islam di Sudan, Hizbut Tahrir tetap pada misi intelektual dan politiknya dengan mengandalkan alat yang sama dalam analisis politik dan bagaimana menangani situasi-situasi yang terjadi di dunia Islam tanpa memberikan ide pembaruan dalam pemikiran politik Islam yang bisa mengikuti perubahan dan perkembangan di dunia internasional.

Kita tidak tahu sampai kapan Hizbut Tahrir melanjutkan pekerjaannya. Apakah Hizbut Tahrir akan menganggap dirinya telah berhasil mewujudkan tujuan-tujuannya? Apakah rencana Hzibut Tahrir berikutnya untuk meraih kekuasaan di dunia Islam dan bagaimana menghadapi tantangan-tantangan di dunia selain mempublikasikan siaran pers dan menerbitkan ulang surat kabar mingguan Al-Rayah atau menyelenggarakan konferensi-konferensi politik, sementara Hizbut Tahrir belum berhasil atau gagal merealisasikan apapun untuk kejayaan umat Muslim atau melindungi mereka atau mewujudkan mimpi-mimpi sosial-politik mereka.

Apakah Hizbut Tahrir akan melanjutkan kejumudan pemikiran dan politiknya? Kenapa Hizbut Tahrir tidak meninjau ulang seluruh literatur dan posisi politiknya di dunia Islam? Kapan Hizbut Tahrir akan mengumumkan kegagalannya dalam mewujudkan misinya mendirikan dan menegakkan khilafah Islamiyah, serta menyerahkan bendera kepada partai dan gerakan Islam lainnya?[]

 

MENCOBA MEMAHAMI KONFLIK BENDERA

“Kesucian” atau “sacredness” di kalangan masyarakat dapat melekat pada banyak hal termasuk pada text, kata, kalimat, hewan, tumbuh-tumbuhan, tempat, benda dan banyak lagi. Ada kata “Allahu Akbar” “Haleluya”, ada tempat suci “Vatikan”, “Mekkah”, dan juga ada bangunan sakral seperti “Masjid” “Kuil” dll.

Di India, hewan sapi dianggap hewan “suci” oleh umat Hindu. Karena itu, bila ada yang mengganggu atau apalagi menyembelihnya untuk dikonsumsi dan dilakukan di tengah perkampungan Hindu di India, akan dilihat sebagai tindakan “offensive”. Konflik Islam dan Hindu di India, konon seringkali dibumbui oleh ceritera bahwa orang Islam adalah “musuh” pemeluk Hindu karena orang Islam dipersepsikan sebagai orang yang sering “tak menghormati” dan “menyakiti” hewan suci mereka. Coba baca ini:

https://www.theguardian.com/…/muslim-man-dies-in-india-afte…

https://www.google.com/…/rumors-of-cow-killings-in-india-de…

https://www.npr.org/…/indias-ban-on-beef-leads-to-murder-an…

Dalam pandangan “secular religion” (istilah Robert N Bellah), sebuah bangsa, dalam kadar tertentu juga ada hal hal yang “disucikan”. Bendera kebangsaan dalam derajat tertentu dianggap sebagai simbol “suci”. Ada simbol suci lain seperti lagu kebangsaan, makam pahlawan dll.

Saat bendera kebangsaan mereka dibakar, warga bangsa terkait tentu akan cenderung tersinggung dan marah. Semakin dalam ikatan emosi seseorang pada simbol “suci” itu (bendera), akan semakin meradang saat melihat bendera “kesuciannya” dibakar.

Bila perspektif ini diterapkan dalam memahami apa yang baru terjadi di negeri kita, yaitu pembakaran bendera yang di dalamnya ada kata tauhid, jelas sekali konflik terkait dengan perbedaan dalam pemberian makna terhadap bendera dan text yg menyatu dalam bendera itu.

Konflik terjadi karena ada dua kelompok yang menafsirkan berbeda terhadap makna simbol bendera itu, yaitu: kelompok yang memberi makna bahwa pembakaran bendera itu semata-mata bagian ekspresi kemarahan terhadap kelompok yang dianggap mengancam NKRI (simbol bendera gerakan makar), dan kelompok lainnya, memberi makna bahwa bendera itu sebagai bendera suci, di dalamnya terkandung text suci tauhid, lambang perjuangan Rasul.

Apakah kedua tafsir itu memiliki landasan kuat? Itu soal lain. Yang jelas, masing-masing kelompok saling berupaya melakukan pembenaran. Intensitas konflik terlihat menguat justru karena panjangnya perdebatan emosional yang seringkali dibungkus argumen kesakralan. Ditambah lagi, argumen-argumen yang disajikan itu banyak yang dibawakan melalui orasi-orasi yang “membakar massa.” Ada semacam kontes pidato heroik berebut simpati massa pengikut, seperti akan menyiapkan perang saja (walau menghadapi saudaranya sendiri…hehe). Saya menduga, tanggapan terhadap tulisan ini juga akan ada yang meluap-luap, emosional (semoga tak banyak).

Fokus konflik terletak pada pemaknaan arti aksi pembakaran pada “bendera secara keseluruhan,” dan pada “kalimah tauhid” yang tertulis dalam bendera itu.

Pembakaran terhadap bendera dimaknai sebagai ekspresi “penghinaan” terhadap text tauhid, yang dilihat sebagai simbol suci Islam, atau simbol perjuangan Rasul. Di sisi lain, para pembakar bendera dan pendukungnya melihat aksi itu sama sekali tak ada hubungannya dengan penodaan simbol tauhid (simbol Islam). Apalagi mereka sendiri juga umat Islam.

Di sini letak masalahnya:

Tafsir “simbol kelompok makar”

vs

Tafsir “simbol suci tauhid, perjuangan Rasul”.

Yang memprihatinkan, kedua kelompok yang berkonflik tafsir ini adalah sama sama bagian umat Islam, yang tentu keduanya memiliki keterkaitan emosional terhadap simbol tauhid itu (sebagai text suci). Bayangkan apa yang terjadi bila pembakar bendera itu dilakukan kelompok non-muslim. Apa jadinya?

Namun, pemahaman terhadap konflik ini tentu dapat meluas, tak semata karena soal tafsir. Bisa jadi konflik tafsir ini sekedar alat saja. Konflik sebenarnya terkait dg perebutan kekuasaan, baik dalam lingkup global maupun nasional.

Perlu diingat, walaupun bisa jadi konflik ini sekedar alat dalam perebutan kekuasaan, namun bermain dengan “alat” ini dalam perebutan kekuasaan, apinya bisa melebar tak terkendali. Nyawa saudara sesama bangsa dapat melayang. Bahkan kehidupan bangsa juga bisa berantakan. Lihat Syiria, Iraq, Libya, dan kini juga Yaman?

Mari kita berdoa semoga bangsa ini selamat dalam menjalani ujian ini.

#Imam B. Prasodjo (bukan Profesor).

#iPras2018