Merebut Tafsir: Mariam Ingin Pulang ke Tanah Air, Bagaimana Sikap Kita?

Oleh Lies Marcoes

Setelah ISIS bubar, tertinggal puluhan ribu umat Islam hidup menderita di pengungsian di bawah naungan lembaga PBB untuk pengungsi. Beberapa di antara mereka berasal dari Indonesia.

Seperti yang dilaporkan media Tirto.Id. salah satu di antara ribuan pengungsi itu adalah Mariam Abdullah yang mengaku berasal dari Bandung, Jawa Barat bersama empat anaknya. Si sulung, perempuan, mengatakan ayahnya, minggat tanpa kabar. Dalam percakapan itu Mariam menyatakan ingin pulang ke Bandung.

Reaksi orang, seperti biasa, beragam. Di antaranya minta agar pemerintah membiarkan saja sebagai bentuk hukuman atas keputusannya. Pendapat lain mengatakan diizinkan pulang sepanjang masih warga negara yang dibuktikan oleh identitas resmi kependudukan.

Sebagai peneliti, saya pernah beberapa kali mendalami para pengungsi Rohingya di Aceh dan Makassar. Mereka terusir atau memilih pergi dari kampung halamannya di Burma. Mereka adalah keturunan Bangladesh yang telah turun temurun tinggal di Burma. Namun situasi hidupnya yang sulit dan terancam, mereka lari, berharap bisa menjadi warga negara yang sah di rantau yang tak mendiskriminasikan mereka. Cita-citanya agar anak-anak bisa sekolah dan mereka bisa bekerja dengan tenang. Pada kenyataannya tak semua pelarian Rohingya itu sampai ke negeri harapan, seperti Australia. Tak sedikit yang terdampar di berbagai pulau dan ditempatkan baik sebagai pengungsi atau di tahanan khusus pengungsi. Status mereka umumnya adalah pengungsi yang mendapatkan “jadup” dari PBB atau negara yang tak ingin dibanjiri pengungsi serupa itu.

Menilik pada latar belakang kepergiannya dari negeri asal, jelas kedua kasus itu sangat berbeda. Para pengungsi paska hancurnya “negara” ISIS berangkat ke Suriah sebagai “pilihan ” meski penyebab untuk memilih karena tertipu ideologi dan keyakinan. Sementara orang Rohingya mereka pergi karena “tak punya pilihan”. Karenanya mungkin tidak tepat untuk memperlakukan para korban ISIS itu diterima (kembali) dalam kedudukan yang sama sebagai pengungsi sebagaimana berlaku bagi orang-orang Afganistan yang lari dari negaranya atau orang Rohingya.

Lalu bagaimana sebaiknya sikap kita? Saya ingin mendudukkan dulu posisi negara atas para eks- “jihadis” itu. Apakah mereka diperlakukan sebagai musuh yang mengancam atau sebagai warga negara yang tersesat secara ideologis? Pada situasi itu, saya melihat jika pilihannya yang pertama, maka izinkan mereka pulang, setelah ditetapkan dasar hukum untuk mengadili dan menghukum mereka. Sampai batas tertentu, setelah masa hukuman habis mereka dapat kembali menjadi warga negara biasa. Jika posisinya menganggap mereka adalah warga negara yang “tersesat” secara idelogi , maka tugas negara adalah melakukan upaya kontra ideologi. Dan pengalamannya yang pahit di Suriah demi membela keyakinan dan ideologinya, terbukti pilihannya salah. Pengalaman mereka mungkin bisa digunakan sebagai “testimony” untuk menyadarkan mereka yang masih punya impian soal penegakan negara Islam ala ISIS itu. Di atas itu semua negara dapat menunjukkan bahwa ideologi Pancasila merupakan pandangan dan cita-cita hidup paling tepat bagi umat Islam dalam kehendak untuk menjalankan agamanya dengan aman dan damai. Saya berharap mereka diizinkan untuk pulang ke kampung halaman. Saya tak bisa membayangkan ibu dengan empat anak, tanpa sanak saudara. Terlebih membayangkan anak-anak perempuan yang niscaya sangat rentan mengalami kejahatan seksual dipengungsian. Biarlah mereka pulang dan bertemu sanak saudara, dan berkabar betapa jahatnya manipulasi ideologi atas nama agama itu. Biarkan mereka menikmati hembusan angin, nyiur melambai, makan combro atau bakso panganan masa kecil yang tak mungin mereka dapati selama mengejar ideologi surga di bumi itu. Ayolah Indonesia pasti bisa!

Seorang wanita yang dievakuasi keluar dari wilayah terakhir yang dipegang oleh militan Negara Islam menggendong bayinya setelah disaring oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS di gurun di luar Baghouz, Suriah, Senin, 25 Februari 2019. AP Photo / Felipe Dana.

Sumber gambar: https://tirto.id/saat-anak-isis-pulang-ke-indonesia-bagaimana-memperlakukan-mereka-dktl

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses