Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Pemulihan di Wilayah Pascakonflik
Meski kejadiannya terkadang tidak begitu lama, konflik meninggalkan beban, bekas, dan luka yang perlu dipulihkan. Korban-korban konflik bukan hanya korban langsung, melainkan juga termasuk anak dan keluarga korban, anak dan keluarga pelaku, masyarakat sekitar, maupun masyarakat yang letaknya jauh.
Saya tertarik membahas tentang kepemimpinan perempuan ini setelah mengunjungi Pameran Biennale Jogja 2023. Lian Gogali dan Institut Mosintuwu di Poso menjadi salah satu yang karya-karyanya dipajang. Mengangkat topik pemulihan dan penguatan pascakonflik dalam ruang seni sangat penting agar masyarakat lebih bisa belajar, supaya konflik serupa tidak terjadi kembali. Pameran tersebut berisi arsip-arsip Institut Mosintuwu berupa cerita perempuan yang berdaya, advokasi korban kekerasan dan tantangannya, puisi, koleksi foto, hingga arsip-arsip berupa catatan pelatihan kepenulisan, gender, agama, potensi budaya, dan kemanusiaan.
Berawal dari rasa keprihatinan atas tragedi yang mengatasnamakan agama, yang sejatinya adalah konflik kepentingan, Lian Gogali mendirikan Institut Mosintuwu pada tahun 2009 di Poso, Sulawesi Tengah. Lian Gogali memiliki cita-cita untuk membuat perempuan-perempuan akar rumput di sekitar Poso bisa berdaya untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Institut Mosintuwu merupakan organisasi masyarakat akar rumput yang anggotanya terdiri dari para penyintas konflik Poso beberapa tahun silam yang berasal dari beragam latar belakang suku dan agama di Poso dan sekitarnya. ‘Mosintuwu’ diambil dari bahasa Pamona yang berarti ‘Bekerja bersama-sama’. Kemudian ditambah dengan kata ‘Institut’ yang menggambarkan semangat Mosintuwu sebagai ruang kritis dalam menanggapi berbagai fenomena sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan di Poso.
Perempuan lintas agama dan kepercayaan diajarkan mengenai toleransi, menulis, membaca, berbicara di depan umum, membuat kerajinan, berorganisasi, dan menjadi pemimpin. Institut Mosintuwu memiliki website (mosintuwu.com), radio, dan podcast (siniar). Metode pembelajarannya yaitu dengan diskusi kelompok, ceramah, membuat atau diskusi mengenai film, menyanyi, menari, bahkan debat.
Hal-hal yang dipelajari oleh perempuan-perempuan tersebut meliputi agama, toleransi, perdamaian, gender, perempuan dan budaya Poso, kesehatan dan hak reproduksi, keterampilan berbicara dan bernalar, hak layanan masyarakat, hak ekonomi, sosial, budaya, dan sipil, politik, ekonomi, dan komunitas.
Para perempuan yang belajar di Institut Mosintuwu menjadi lebih berdaya, bisa menjadi pemimpin, memiliki toleransi yang tinggi, serta dapat menyuarakan apa yang dirasakan. Kearifan lokal, perspektif gender, dan agama adalah kunci pengajaran toleransi di Institut Mosintuwu.
Lian Gogali percaya bahwa penguatan kualitas diri bagi perempuan akar rumput merupakan hal yang mendesak. Para perempuan dari Institut Mosintuwu menjadi berdaya, berani, dan terlibat aktif dalam mengelola desa. Perempuan menjadi lebih peka terhadap sekitar dan membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan perempuan. Inisiatif Konferensi Perempuan Poso dan Sekolah Pembaharu Desa yang berangkat dari realitas di sekitar ini mampu berperan mengadvokasi masalah-masalah kekerasan, diskriminasi gender, dan lingkungan. Gerakan Institut Mosintuwu tumbuh secara organik berkat dorongan semangat dan antusiasme masyarakat sekitar.
Kepemimpinan perempuan dan regenerasinya merupakan hal yang sangat penting. Kebutuhan perempuan harus bisa disuarakan, didengar, dan dicukupi, misalnya tentang fasilitas kesehatan reproduksi, konseling, dan pemulihan. Suara perempuan yang berpihak kepada kelompok rentan dan berisi kejujuran merupakan hal yang perlu terus direproduksi dan dikuatkan. Perempuan pun perlu mencengkeram dan terlibat politik di tingkat desa agar kebijakan yang dikeluarkan bisa sesuai dengan kebutuhan perempuan dan anak. Suara perempuan jangan sampai malah berpihak kepada pemilik kapital, dan hanya dijadikan simbol, tidak mewakili kelompok rentan (tokenisme).
Sekarang, kita mengerti bahwa peran kepemimpinan perempuan dalam pemulihan di wilayah pascakonflik adalah memberikan rasa aman, percaya, kasih sayang, dan pendidikan supaya masyarakat bisa berdaya bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain, bisa melanjutkan kehidupan, dan menginspirasi masyarakat sekitar maupun masyarakat di luar.
Saya dan kawan-kawan mahasiswa berkesempatan untuk mengunjungi Dodoha Mosintuwu di Tentena, Poso pada penghujung September 2019. Malam itu, kala hujan lebat mengguyur, kami bertemu dengan Lian Gogali. Kami disuguhi beragam makanan, seperti ikan dan sambal dabu-dabu, menonton video dokumenter, dan berbincang-bincang. Ada pula peneliti dari luar negeri yang sedang melakukan penelitian di Poso.
Pertemuan secara langsung dengan pemimpin perempuan yang berperspektif feminis merupakan hal yang sangat saya syukuri dan sampai sekarang menginspirasi saya untuk memaksimalkan potensi dalam bidang perdamaian.