Oleh Lies Marcoes & Nur Hayati Aida
RUMAH KITAB- USAID, The University of Sydney, Kresna Strategic
Jakarta, Rabu 21 Oktober 2020
Pengantar
Mulai hari ini secara berturut-turut Rumah KitaB akan menurunkan ringkasan beberapa sesi dari Seminar Internasional guna menyebarluaskan hasil seminar.
Sesi pertama ini menyajikan presentasi dari Lies Marcoes dan Nur Hayati Aida, dlanjutkan dengan para penanggap dan ditutup dengan catatan kesimpulan dan rekomendasi.
Selamat Membaca.
Sesi 1
Membaca dan Mengatasi Ancaman Fundamentalisme terhadap Perempuan
Lies Marcoes & Nur Hayati Aida
Dalam sesi Satu (1) Seminar Internasional Hasil Penelitian Rumah KitaB tentang Fundamentalisme dan Kekerasan Berbasis Gender, disampaikan laporan penelitian dari lima Wilayah. Presentasi disampaikan oleh Lies Marcoes dan wakil peneliti senior Nur Hayati Aida. Berikut adalah rungkasan presentasinya
Islam di Indonesia adalah Islam jalan tengah (wasathiyah). Islam corak itu disangga oleh tiga pilar, yaitu organisasi masyarakat (NU dan Muhammadiyah), pesantren sebagai sub-kultur Islam Indonesia, dan perguruan tinggi Islam.
Muslim Indonesia bersepakat dan menerima Pancasila sebagai ideologi negara yang mengakomodir kemajemukan Indonesia, karena sejalan belaka dengan nilai-nilai Islam.
Penanda lain bahwa Indonesia merupakan Islam moderat adalah Islam Indonesia memberi tempat yang layak dan baik kepada perempuan di ruang publik di semua sektor—bahkan menjadi hakim agama pada 1957—di mana negara Islam lainnya kala itu tidak menerimanya. Islam Indonesia juga memungkinkan terjadinya konvergensi antara feminis sekuler dan feminis Muslim secara alamiah untuk mengatasi problem kemanusiaan perempuan.
Keuntungan konvergensi yang berbasis filsafat kritis dan pembacan teks keagamaan itu dapat melawan ideologi state-ibuism — yang berangkat dari budaya Jawa feodal, dan fasis militer– di masa Orde Baru. Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Inpres ini memastikan tersedianya pembiayaan dan kebijakan tentang pengarusutamaan gender untuk semua kementerian dan lembaga serta pembangunan di tingkat daerah.
Namun, dalam waktu yang bersamaan, Indonesia berada dalam arus perubahan, baik lokal maupun internasional. Beberapa indikasi perubahan di tingkat lokal yang paling menonjol adalah masyarakat mengalami proses perubahan ekonomi dari agraris ke industri. Perubahan ini berpengaruh terhadap perubahan relasi gender di tingkat keluarga, komunitas, dan negara. Dalam masyarakat industri, akses perempuan ke ruang publik semakin terbuka, baik secara struktural maupun formal. Namun, sebagaimana ditemukan dalam penelitian Rumah KitaB tentang perkawinan anak, perubahan ini mengancam ‘maskulinitas’ karena lelaki kehilangan pijakannya, baik secara moril maupun ekonomi. Perubahan ini melahirkan sikap menguatnya maskulinitas dengan bertahan pada sikap-sikap konservatif yang disediakan agama dan budaya.
Sementara di tingkat internasional, terjadi perubahan-perubahan geopolitik di negara-negara berpenduduk Muslim seluruh dunia pascakolonial. Dimulai dengan munculnya Wahabi/Salafi di Saudi Arabia di awal abad ke 20 yang secara perlahan sampai di Indonesia melalui jaringan jamaah haji dan pendidikan.
Revolusi Iran yang berhasil menumbangkan pemerintahan tiran Syah Iran yang korup menginspirasi anak-anak muda Indonesia. Penerjemahan buku-buku yang ditulis oleh intelektual Iran yang berpengaruh kepada Revolusi Iran menyebar di Indonesia dan menjadi bacaan alternatif. Bersamaan dengan itu, Ikhwanul Muslimin di Mesir yang dimotori oleh Hasan Al-Banna juga memikat generasi Muslim muda Indonesia. Buku-buku Ikhwan Muslimin banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi inspirasi kaum muda Indonesia untuk melakukan aktivitasnya yang berbeda dari aktivitas Ormas keagamaan lokal, seperti NU dan Muhammadiyah.
Selanjutnya, dunia dikejutkan dengan lahirnya kelompok Taliban dalam perang Afghanistan yang memunculkan konsep jihad yang berbeda yaitu jihad amaliah berupa terror, lalu perang Irak, lahir dan bubarnya ISIS dan penyebaran ideologinya melalui sosial media.
Semua peristiwa di atas, baik di tingkat lokal maupun internasional, sedikit banyak menantang corak Islam moderat Indonesia. Setelah Reformasi, atas nama demokrasi, paham trans-nasional fundamentalisme lahir dalam berbagai bentuk kelompok dan organisasi—antara lain Salafi—di Indonesia . Pada dasarnya Salafi adalah sebuah organisasi yang sangat maskulin. Namun, ketika masuk ke Indonesia, Salafi mengalami pribumisasi—dari yang semula domain laki-laki menjadi arena aktivitas yang dimotori oleh perempuan. Salafi berkembang di Indonesia karena peran perempuan.
Pribumisasi Salafi dapat dilihat dalam berbagai penanda-penanda perubahan yang menantang Islam wasathiyah. Antara lain adanya kecenderungan mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan di ruang publik; perempuan menjadi tidak berwajah di ruang publik. Kecurigaan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan di ruang publik, mendorong perempuan untuk masuk kembali ke rumah. Di ruang publik, perempuan dianggap sebagai penyebab instabilitas moral dan sosial atau fitnah.
Selain itu, muncul secara dominan upaya pembacaan teks-teks agama secara tekstualis tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan perempuan. Misalnya, olahraga untuk perempuan adalah panahan dan naik kuda. Atau jika perempuan ingin bekerja di ruang publik, maka dia harus menutupi tubuhnya sedemikian rupa.
Ajaran yang kaku dan tekstualis tersebut memicu kerenggangan hubungan sosial di dalam keluarga setelah proses ber”hijrah”. Hubungan-hubungan sosial menjadi lebih eksklusif dan tidak menghargai keragaman. Semua penanda itu beroperasi melalui tubuh, pemikiran, pengetahuan, dan kebudayaan yang dilekatkan kepada perempuan.
Atas dasar itu, Rumah KitaB berusaha mengkaji kembali tentang apa yang dimaksud dengan kekerasan ekstrem dan keluar dari pandangan arus utama melalui sebuah penelitian. Saat ini kajian kekerasan ekstrem hanya terkait dan didominasi oleh tema-tema state security (keamanan negara). Rumah KitaB mengkaji kekerasan ekstrem pada human security (keamanan insani) khususnya perempuan. Kajian ini hanya bisa terlihat jika menggunakan alat baca yang tepat yaitu analisis gender. Fokus penelitian ini adalah melihat konsep agensi dan kesalehan perempuan Muslim.
Tesis penelitian Rumah KitaB ini adalah kekerasan berbasis gender—fisik, non-fisik, simbolik, atau ekonomi—yang dialami perempuan akibat fundamentalisme –yang diajarkan setiap hari sehingga kemudian membentuk ‘everyday oppression’.
Dalam penelitian ini, Rumah KitaB menggunakan istilah fundamentalisme, bukan konservatisme karena beberapa hal: 1) dalam isu perempuan, konservatisme memasukkannya dalam fikih –yang memungkinan untuk berdialog dengan realitas, sementara fundamentalisme memasukkan isu perempuan pada domain akidah/keyakinan –yang tertutup, tunggal, dan mengikat; 2) Watak konservatif adalah menjaga dan memelihara tradisi dengan argumentasi keagamaannya, sementara fundamentalis mencurigai dan menumpas tradisi karena tradisi dianggap menyimpang dari ajaran agama; 3) Pada konservatif, kebenaran ada pada metodologi, sementara fundamentalis, kebenaran ada pada hasil akhir; 4) Konservatif mengutamakan hasil akhirnya yang maslahah, sementara fundamentalis memiliki konsep al-wala wal bara—loyalitas tentang kebenaran, di mana kebenaran ada pada dirinya dan di luar adalah salah.
Sebagai referensi, Rumah KitaB menggunakan kajian serupa yang pernah dilakukan oleh dua orang akademisi. Pertama, oleh Saba Mahmood yang berbicara tentang konsep politik kesalehan (politics of piety) perempuan di Mesir, Rachel Rinaldo yang mengkaji tentang mobilisasi kesalehan (mobilizing piety) organisasi perempuan di Indonesia, yaitu Fatayat, Rahima, perempuan PKS, dan Solidaritas Perempuan. Kedua penelitian itu, melihat bahwa sebetulnya kesalehan bisa memberdayakan dan menggerakkan kebaikan. Di Indonesia, Rachel bahkan melihat kesalehan bisa menumbuhkan kesadaran kritis dan kemudian melahirkan aktivis feminis muslim.
Penelitian ini menggunakan metode etnografi-feminis, kualitatif, dan dilakukan oleh 14 peneliti terlatih, dan 4 supervisor. Di lapangan, para peneliti berhasil mengumpulkan informasi dari 165 informan yang diwawancarai di lima kota (Depok, Jakarta, Bandung, Solo, Bekasi), dan 16 kelompok/komunitas. Masing-masing peneliti kemudian mendalami dua hingga tiga studi kasus. Mereka juga melakukan observasi terhadap kelompok-kelompok diskusi dan hobi.
Rumah KitaB memilih lima wilayah penelitian berdasarkan referensi terdahulu terkait aktivitas intoleransi di wilayah ini. Namun, penelitian ini bukan studi wilayah. Pilihan pada lima wilayah untuk menangkap keragaman dan dinamika fundamentalisme bekerja di wilayah masing-masing.
Ada empat pertanyaan yang diuji dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana pandangan fundamentalisme tentang perempuan. Kedua, bagaimana pandangan-pandangan itu disosialisasikan dan dinormalisasikan. Ketiga, apa dampak pandangan tersebut terhadap perempuan—kekerasan fisik, non-fisik, simbolik, dan ekonomi. Keempat, bagaimana perempuan melakukan perlawanan dan bagaimana perlawanannya itu terjadi.
Sebagai temuan utama, penelitian ini berhasil mendefinisikan ulang dan mengoreksi definisi kekerasan ekstrem. Selama ini, kekerasan ekstrem didefinisikan dengan kekerasan yang berdampak hanya pada kematian secara fisik, seperti dengan adanya bom, senjata tajam, dan sesuatu yang bersifat fisik lainnya. Penelitian ini melihat terjadinya kematian non-fisik yang dialami oleh perempuan akibat terus menerus digempur oleh ajaran agama yang tidak memberdayakan mereka (disempowered piety). Sebagai manusia, tubuhnya masih hidup, namun jiwanya mati, pikirannya terbelenggu, kebebasan, kemerdekaan, dan kemandirian hilang. Ini disebabkan oleh hegemoni pandangan tentang perempuan (‘everyday oppression’) yang didengar melalui ajaran: perempuan adalah fitnah, perempuan adalah penyebab kegoncangan dalam masyarakat, karenanya secara fitrah mereka tergantung pada laki-laki karena tidak mampu mengontrol dirinya sendiri.
Hegemoni ajaran ini juga diperkuat oleh adanya kuasa tersamar yang bekerja sangat efektif, yaitu ajaran yang menindas dan mendikte perempuan tentang ajaran-ajaran yang menimbulkan rasa takut, rasa bersalah, tidak berdaya, dan ketergantungan pada lelaki dan budaya patriaki. Mereka melakukannya dengan sangat efektif melalui upaya delegitimasi ajaran-ajaran Islam wasathiyah—yang semula memberikan ruang pada perempuan. Melalui konsep hijrah, antitradisi, anti-keindonesiaan, dan lainnya perempuan dikuasai cara berpikir mereka tentang tubuh dan eksistensinya.
Fundamentalisme yang semula dianggap sebagai gejala perkotaan, dalam temuan penelitian ini, ternyata telah merembes ke perdesaan. Mereka membangun kantong-kantong kelompok baru yang menjadi pusat dakwah. Kelompok ini bertahan karena mereka berkawan dan berkawin dengan kapitalisme. Kapitalisme memanfaatkan sentimen kesalehan sebagai pembeda dengan kelompok lain dengan menggunakan produk layanan dan produksi yang diberi label syari.
Setidaknya ada lima ajaran kunci fundamentalisme mengenai perempuan. Pertama, perempuan merupakan sumber fitnah. Maksud fitnah di sini adalah kegoncangan sosial sehingga tubuh perempuan harus ditutup. Persoalannya, batasan aurat tidak hanya diterjemahkan oleh para juru dakwah, tetapi juga oleh pasar atau kapitalisme. Ajaran ini berdampak lebih luas karena juga memiliki dimensi kekerasan simbolis bagaimana perempuan diletakkan sebagai sumber fitnah. Perempuan tidak hanya ditempatkan di dalam rumah karena itulah satu-satunya tempat yang layak, tetapi juga diberikan tempat di area publik.
Kedua, fitrah perempuan adalah di dalam rumah. Karena perempuan adalah sumber fitnah, maka mereka harus berada di dalam rumah. Dalam ajaran Salafi, laki-laki memiliki peran yang cukup penting untuk melindungi dan mengontrol perempuan. Perempuan boleh bekerja di luar rumah, namun hanya pada dua sektor, yaitu pendidikan dan kesehatan, serta dengan beberapa syarat: izin dari suami dan tidak boleh ikhtilat.
Ketiga, seksualitas dan kontrol tubuh perempuan. Dalam ajaran ini, tubuh perempuan dikontrol; apa yang boleh dan yang tidak boleh. Seksualitasnya dikontrol melalui sunat perempuan. Keempat, anti-feminisme dan anti-LGBT. Dalam pandangan kelompok fundamentalis, feminisme dianggap senjata Barat untuk menghancurkan Islam karena perempuan adalah rahim peradaban.
Kelima, delegitimasi tradisi dan keberagaman. Tradisi keagamaan dan tradisi kultural dianggap tidak memiliki dalil yang kuat dalam agama. Itu dianggap bidah dan dosa besar. Pada akhirnya, ajaran ini masuk pada tindakan takfiri. Orang-orang yang masih melakukan tradisi itu dianggap tidak mendapatkan hidayah dan akan masuk neraka.
Ajaran-ajaran fundamentalis tersebut disosialisasikan dan dinormalisasikan melalui beragam media. Pertama, melalui lembaga formal atau pendidikan. Lembaga pendidikan digunakan untuk mendisiplinkan tubuh perempuan. Sebagai contohnya sebuah SMA negeri di Bekasi mewajibkan siswa perempuan memakai jilbab dan aturan tersebut didasarkan atas aduan seorang guru bahasa Inggris. Ketika melihat siswi perempuan memakai rok pendek dan duduk mengangkang, dia mengatakan bahwa imannya kuat namun ‘amin’-nya tidak kuat. Atas dasar itu, kemudian dibuatlah peraturan wajib memakai jilbab di sekolah itu. Ini juga berlaku di sekolah-sekolah swasta yang sangat eksklusif, seperti yang terjadi di Depok.
Kedua, melalui lembaga non-formal, dimulai dari lingkaran yang paling kecil yaitu keluarga, teman sebaya, rekan kerja, pengajian, dan kegiatan-kegiatan yang bernuansa agama. Ketiga, melalui media luring seperti radio, televisi, dan sinetron. Keempat, media daring—terutama media sosial. Mereka sangat masif menyosialisasikan ajaran-ajarannya di Instagram, YouTube, Facebook, website, grup WhatsApp, dan Telegram.
Ajaran yang dibawa oleh fundamentalisme tentang perempuan itu berdampak pada lahirnya kekerasan berbasis gender yang bermula dari stereotip — perempuan distigma sebagai sumber fitnah (kekacauan/goncangan). Dari stereotip ini kemudian melahirkan bentuk berbagai jenis kekerasan lainnya, seperti domestikasi yang tidak bolehkan perempuan untuk beraktivitas di luar rumah, perempuan menjadi subordinasi laki-laki sehingga tidak diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin, meskipun ia memiliki kompetensi, lalu tercerabut dari komunitasnya.
Dampak fundamentalisme lainnya adalah maraknya diskriminasi dan intoleransi pada kelompok rentan, seperti pelarangan praktik ibadah jemaah minoritas, perempuan dilarang memimpin, eksklusif, tidak akomodatif terhadap keragaman, serta menolak tradisi dan budaya.
Penelitian ini menemukan bahwa dampak atau bentuk kekerasan itu dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan harus diterima perempuan karena dianggap bagian dari kodratnya. Perempuan diminta untuk ikhlas menerima segala kekerasan berbasis gender atas dasar keimanan, sehingga balasan yang akan didapatkannya adalah surga.
Rumah KitaB menyebutnya keyakinan seperti itu sebagai gender transendental, yaitu keadilan bagi perempuan tidak bisa dicapai di dunia, tetapi keadilan diyakini akan dicapai ketika di akhirat kelak, dan perempuan bisa masuk surga dari pintu mana saja, asalkan ia taat pada suami. Minimal, keadilan bisa tercapai jika khilafah Islam tegak. Gender transendental bisa berlangsung terus-menerus karena ada kekuasaan tersamar yang bekerja.
Sebagai penelitian feminis, penelitian ini mencoba menangkap resiliensi yang dilakukan perempuan, baik bersifat individual maupun kolektif. Sayangnya, resiliensi yang dapat ditemukan tidak berbasis kesadaran kritis dan bersifat semu dan masih reaktif.
Berdasarkan temuan-temuan itu, Rumah KitaB mengajukan tiga rekomendasi. Pertama, mempopulerkan narasi atau pandangan Islam yang moderat, dengan mendukung kampanye naratif terkait kesetaraan dan Islam moderat di media sosial. Kedua, merebut kembali ruang-ruang moderat, dengan membuka ruang aman bagi korban fundamentalisme dan lainnya. Ketiga, memproduksi pengetahuan baru[]