Pos

Ringkasan Hasil Seminar Internasional: Tanggapan Nurhady Sirimorok, M.A atas usulan Prof. Michele Ford dan Prof. Musdah Mulia Terkait Hasil Penelitian Rumah KitaB Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Nurhady Sirimorok, M.A, Peneliti Senior Rumah Kitab memberikan tanggapan kepada dua nara sumber  dalam Acara Seminar Internasional: Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan. Ia merespon usulan yang disampaikan Prof. Michele Ford, Prof. Musdah Mulia, dan tiga rekomendasi penelitian. 

Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk merebut kembali ruang wacana, seperti memperbanyak penceramah perempuan. Ia juga mendorong perlu adanya dukungan pada kelompok dan media (Mojok.com, Islami.co, dan lainnya) yang dapat melawan narasi kelompok fundamentalis. Ia bersetuju usulan Prof. Musdah, konten pengajian tidak boleh elitis, dan harus dikemas sedemikian rupa sehingga bisa diterima oleh masyarakat menengah ke bawah. 

Nurhady menjelaskan, berdasarkan penelitian, kelas menengah ke bawah dan pekerja memiliki kunci untuk melakukan resistensi terhadap fundamentalisme. Secara riil, mereka tidak bisa mengikuti ajaran tersebut, namun selama ini mereka dihinggapi perasaan bersalah karena tidak bisa menjadi Muslim yang kaffah.

Menurut Nurhady lebih lanjut, meluaskan narasi agama juga dapat dilakukan melalui para ulama, baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki cara pandang progresif. Terkait produksi pengetahuan baru, berdasarkan pertanyaan-pertanyaan Prof. Musdah, ia melihat bahwa penelitian yang ada saat ini dapat dipertajam dengan penelitian baru. Misalnya, penelitian dengan purposive sampling dan menanyakan faktor apa yang bisa membuat mereka bergabung, tidak bergabung, atau bahkan keluar dari kelompok fundamentalis. Bagi Nurhady, sudah terjawab dalam penelitian ini, namun perlu diperdalam di penelitian selanjutnya. Penelitian tentang ruang-ruang yang bisa dijangkau oleh perempuan yang terpapar pandangan fundamentalis juga penting untuk dihadirkan menurutnya. 

Nurhady menyertakan rekomendasi dalam tanggapannya, agar tidak elitis, pengetahuan dapat diproduksi langsung di komunitas. Bisa dilakukan participatory action research (PAR) dengan melibatkan perempuan di sejumlah kelompok. Ini merupakan kerja pengorganisasian dan produksi pengetahuan langsung di masyarakat. Biasanya ada banyak data pembuka mata yang bisa ditindaklanjuti oleh mereka secara kolektif. Kelompok fundamentalis juga melakukan pengorganisasian. Mereka memberikan pinjaman kepada orang-orang desa tanpa agunan dan tanpa bunga, dengan syarat mereka ikut kajian. Jadi, mereka datang ke masyarakat untuk memberikan solusi dan mengajak bergabung untuk ikut kajian.[]  

TANGGAPAN ATAS PRESENTASI HASIL PENELITIAN “FUNDAMENTALISME DAN KEKERASAN BERBASIS GENDER” RUMAH KITAB

Oleh: Prof. Michele Ford (Direktur SSEAC, Universitas Sydney, Australia)

 

Professor Michele Ford adalah pengamat dan peneliti gerakan buruh dan perempuan di Indonesia dan negara lainnya di Asia Tenggara. Michele mengikuti perubahan di keluarga Muslim Indonesia selama kurang lebih 20 tahun karena hampir semua keluarga dari pihak suaminya di Indonesia beragama Islam. Ia juga melihat dalam organisasi serikat buruh yang pada dasarnya bukan organisasi dengan haluan keagamaan, namun pandangan yang mendiskriminasikan perempuan, misalnya dalam kepemimpinan, belakangan kerap menggunakan argumen keagamaan.

Menurut Michele, terjadinya peningkatan paham fundamentalisme di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari perubahan geopolitik global dan perubahan lokal di Indonesia. Perubahan global tidak hanya terjadi di dunia Islam, tetapi juga di Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya—di mana konservatisme atau fundamentalisme juga meningkat.

Ibu Michele memberikan konteks bagaimana fundamentalisme memiliki momentum pertumbuhannya di Indonesia. Menurutnya, setelah Reformasi, terjadi banyak perubahan sosial dan politik di Indonesia, dan kelompok konservatif atau fundamentalis banyak mendapatkan ruang. Ada perubahan bagaimana mereka berpakaian dan berinteraksi dengan non-Muslim.

Michele mengapresiasi hasil penelitian Rumah KitaB. Menurutnya  terdapat beberapa hal penting yang perlu digarisbawahi dalam penelitian ini; Pertama, hegemoni wacana. Kekerasan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga non-fisik. Penelitian ini melihat adanya kematian non-fisik yang dialami perempuan, di mana mereka kehilangan jiwa, pikiran, kebebasan, kemerdekaan, dan kemandiriannya. Ibu Michele bersepakat tentang hal ini dan ini bisa dilihat dengan jelas di Indonesia. Ada upaya penyempitan ruang bagi perempuan di ruang publik. Kedua, penelitian ini juga menyebutkan hilangnya otoritas perempuan sebagai akibat dari fundamentalisme—tidak hanya pakaian, tetapi juga ruang ekspresi bagi perempuan karena perempuan ditempatkan di dalam rumah. Ini juga berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap sebagai sumber fitnah, dan fitrah perempuan harus patuh pada laki-laki sebagai imam.

Menurut Michele, meski ideologi fundamentalis di Indonesia banyak berasal dari luar, namun mereka juga didukung oleh konsep yang lebih umum di Indonesia, seperti politik tubuh, mobilitas, risiko memiliki pemimpin perempuan, dan lainnya. Ibu Michele mendorong bagaimana kelompok fundamentalis dapat dilihat dalam gambar yang lebih besar.

Dampak terhadap perempuan yang ikut kelompok fundamentalis jauh lebih berat dari pada perempuan yang ikut kelompok lainnya di Indonesia, terutama di bidang ekonomi. Di laporan disebutkan, perempuan mengalami ketergantungan ekonomi kepada laki-laki karena dia tidak diperbolehkan bekerja dan bepergian keluar rumah. Menurut Ibu Michele, hal itu tidak hanya terjadi di kelompok fundamentalis, tetapi ini juga banyak terjadi di kelompok lainnya dan di luar Indonesia. Jika terkungkung dalam satu tempat yang terbatas, maka perempuan akan sulit untuk mendapatkan perspektif lain di luar komunitasnya. Dalam konteks itu, jika perempuan tidak memiliki pengalaman yang membuka wawasan, maka akan sulit untuk menantang status quo.

Michele Ford menekankan isu fundamentalisme ini harus diletakkan dalam kontinum yang lebih luas di Indonesia. Ketika mengkritik keberadaan perempuan di kelompok fundamentalis, kita juga harus mengkritik keberadaan perempuan di kelompok lainnya yang dianggap sebagai organisasi mainstrem. Apakah terjadi hegemoni wacana juga di kelompok non-fundamentalis?

Menurutnya, salah satu tema yang sangat penting dalam laporan ini adalah tema “kelas”; dampak kelas pada perempuan dalam kelompok fundamentalis. Dalam laporan disebutkan, perempuan kelas menengah lebih menemui kemudahan ketika mengikuti kelompok fundamentalis karena mereka bisa hidup berkecukupan tanpa bekerja di luar rumah. Bebannya lebih berat kepada perempuan kelas pekerja atau perempuan yang tidak mapan ekonominya. Ideologi mereka mengatakan perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah, namun mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi, ada tekanan antara ideologi yang dianut dengan kenyataan yang dialami sehingga menimbulkan tekanan jiwa yang berat. Meski mengalami situasi yang berat, di pihak lain, perempuan tersebut terekspos dengan ide-ide yang berbeda, misalnya, bertemu dengan perempuan yang tidak mengikuti pola kehidupan yang sama dengannya. Ini kesempatan yang bisa digunakan untuk memengaruhi atau membuka wawasan perempuan kelas pekerja yang berada di kelompok fundamentalis.

Dr. Michele Ford mempertajam rekomendasi yang disampaikan oleh Rumah KitaB. Pertama, perang wacana; bagaimana orang yang memiliki wawasan yang lebih terbuka tentang peranan perempuan dalam Islam bisa berpengaruh. Dalam pengamatannya, suara progresif dalam dunia Islam sekarang kalah dengan suara konservatif di ruang publik. Jadi, ruang-ruang publik itu harus diraih kembali dengan suara-suara Islam yang lebih progresif dan mengakui bahwa perempuan bisa hidup berdaulat dan bisa hidup baik. Kedua, membesarkan suara-suara tokoh agama yang menganut Islam progresif atau moderat. Ini sangat pas sebagai sebagai sebuah strategi dan tidak bisa dilepaskan dengan rekomendasi pertama dan keempat. Ketiga, mengamati praktik-praktik fundamentalis di sekolah negeri. Berdasarkan penelitian ini, ada praktik-praktik fundamentalis di sekolah-sekolah negeri. Ini juga terjadi di lembaga negara.  Dalam pengalaman penelitiannya Dr. Ford juga melihat ada seorang pekerja dari serikat buruh yang dipaksa memakai jilbab sebelum masuk ke kantor pemerintah; padahal itu bukanlah peraturan negara. Pengadaan ruang aman bagi korban kekerasan non-fisik, di sisi lain, agak kontroversial diterapkan namun ini sangat penting. Keempat, bagaimana dasar-dasar yang bisa diterima pemikir dan masyarakat Muslim dibangun atas interpretasi pandangan keagamaan ala Rumah KitaB dan lembaga lainnya. Pandangan agama yang mendukung perempuan bisa hidup sejajar dan penuh dalam kehidupan publik dan ekonomi perlu dibangun. Dengan melakukan ini, kelompok moderat bisa menang dalam perang wacana tersebut. Rekomendasi keempat ini merupakan pekerjaan mendasar untuk mengatasi masalah-masalah perempuan di kelompok fundamentalis.[]

 

RINGKASAN HASIL SEMINAR INTERNASIONAL: Tanggapan Prof. Musdah Mulia atas Hasil Penelitian Rumah KitaB Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Prof. Musdah Mulia, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace, dalam tanggapan atas presentasi ringkasan Penelitian sebagaimana disampaikan Ibu Lies Marcoes dan Nurhayati Aida menyatakan bahwa penelitian ini sangat penting dan ia sangat mengapresiasinya.

Namun begitu, ada beberapa pertanyaan untuk para peneliti yang masih harus dijelaskan secara lebih ringkas dan tegas. Pertama, apa faktor utama yang mendorong perempuan bergabung dengan fundamentalisme? Dalam beberapa penelitian, ada banyak faktor yang mendorong perempuan bergabung dengan fundamentalisme misalnya ideologi, ekonomi, sosial, politik, dan lainnya. Kedua, apakah informan merupakan kelompok inti yang militan, pendukung, atau hanya sekadar simpatisan. Ketiga, secara sosiologis, identitas perempuan yang tergabung dalam fundamentalisme ini gambarannya seperti apa, misalnya, latar belakang politiknya, atau latar belakang ormas keagamaannya. Keempat, pola masuk ke dalam jaringan (rekrutmen) ini seperti apa. Apakah melalui perkawinan, pertemanan, atau lainnya. Kelima, rata-rata sudah berapa lama mereka bergabung dalam kelompok tersebut. Keenam, bagaimana mereka mengimplementasikan ajaran fundamentalisme dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupannya, mereka mungkin mengalami benturan-benturan. Misalnya, jika mereka pegawai negeri, maka mereka tidak bisa memakai pakaian syar’i ke kantor atau yang lain sebagainya.

BNPT sudah pasti telah melihat gejala-gejala ini. Pemerintah semestinya sudah melakukan sesuatu atas gejala yang ditemukan dalam penelitian ini. BNPT tidak harus melakukannya sendiri, tetapi BNPT bisa bersinergi dengan lembaga/kementerian lain dan civil society. Penelitian Rumah KitaB ini bisa dilihat dengan teori yang dikemukakan Charles Kimball dalam bukunya When Religion Becomes Evil (2013). Kata Kimbal, agama menjadi berbahaya atau thaghut jika: Pertama, pemeluk agama mengklaim agamanya sebagai satu-satunya kebenaran yang mutlak. Jika sudah demikian, maka pemeluk agama tersebut akan melakukan apa saja untuk mendukung klaim kebenarannya. Kedua, pemeluk agama mengkultuskan pemimpin agama dan bertaklid buta kepadanya. Ketiga, pemeluk agama gandrung memimpikan romantisme zaman ideal. Dalam Islam misalnya, bermimpi menegakkan khilafah. Keempat, membenarkan penggunaan segala cara. Kelima, mulai meneriakkan perang suci atau meneriakkan agama untuk kepentingan-kepentingan jangka pendek.

Sikap yang bisa kita lakukan dalam mengatasi gejala-gejala yang lahir dari fundamentalisme di antaranya merebut ruang publik untuk menarasikan indahnya cinta, kasih sayang, komitmen persaudaraan dan emansipasi dalam beragama. Dengan begitu agama mampu membebaskan manusia dari ketidakadilan, kebodohan, dan mengentaskan dari kemiskinan dan keterbelakangan. Serta agama mampu untuk membimbing dan mentransformasikan manusia menjadi lebih manusiawi. Narasi-narasi ini harus menjadi mainstream di publik, namun tidak dengan cara memaksa.

Penelitian Rumah KitaB ini mengafirmasi penelitian-penelitian sebelumnya tentang fundamentalisme di berbagai tempat; bahwa kelompok fundamentalisme cenderung melakukan tuntutan kolektif agar nilai-nilai etika dan keyakinan mereka diterima oleh masyarakat dan secara legal wajib dilaksanakan. Sebetulnya, apa yang disampaikan para penceramah fundamentalis adalah hal yang biasa karena itu juga didengar di pesantren (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan).

Namun, kita menemukan beberapa hal yang berbeda. Pertama, dalam kelompok konservatis seperti NU, Muhammadiyah, dan pesantren, hal itu masuk domain fikih yang bersifat cair, dan terbuka. Namun kelompok fundamentalis menganggap itu sebagai doktrin akidah. Misalnya mereka meyakini apabila ada perempuan yang terlihat rambutnya maka dia tidak akan bisa mencium bau surga. Pandangan itu tidak diletakkan sebagai suatu pendapat atau tafsir keagamaan yang bisa saja ada pendapat lain yang berbeda, namun sedemikian rupa ditutup sebagai satu-satunya pandangan. Tak heran pendapat seperti  membuat perempuan d lingkungan mereka merasa bersalah jika tidak menutup tubuhnya. Kedua, kelompok fundamentalis itu anti-Barat. Ini terlihat dari sikap mereka yang mengutuk modernisme. Ketiga, kelompok fundamentalis memandang persoalan-persoalan masyarakat secara simplistik mengabaikan logika sebat akibat yang kompleks. Apapun persoalannya, akan bisa diselesaikan jika khilafah tegak. Keempat, kelompok fundamentalis memiliki konsep al-wala wal bara, sebuah konsep tentang keharusan bersikap loyal hanya kepada pendapatnya, atau kelompoknya dan berkewajiban memutus hubungan dengan kelompok yang berada di luar kelompoknya sendiri. Konsep ini menafikan pluralisme karena menganggap masyarakat hanya dua kelompok saja, yaitu Muslim dan jahiliyah. Kelima, mereka membakar emosi dengan slogan-slogan pendek yang mengancam, menakut-nakuti, menutup kesempatan untuk berpikir. Keenam, mengedepankan sikap doktriner dalam menyikapi persoalan. Ketujuh, mengendalikan dan memobilisasi penganut mereka dengan cara cuci otak anti rasionalitas berpikir.

Fundamentalisme penting untuk diketahui dan diidentifikasi, karena bahayanya luar biasa; mereka anti-feminisme, anti-humanisme, anti-demokrasi, anti-tasawuf, anti-Barat, anti-modernisme, anti-nalar, dan lainnya. Bahaya-bahaya fundamentalisme penting dikenali karena akan mengganggu upaya-upaya Indonesia untuk membangun sumber daya manusia, khususnya perempuan yang jumlahnya setengah dari populasi Indonesia (135 juta jiwa). Kalau fundamentalisme berhasil meyakinkan perempuan sebagai sumber fitnah, sumber dosa, maka mereka akan mematikan pikiran umat Islam, pikiran kaum perempuan untuk beragama dengan menggunakan nalar. Padahal Islam itu agama nalar, agama pengetahuan. Al Qur’an terus menerus mengingatkan, apakah kamu tidak berpikir dalam melihat tanda-tanda keagungan Allah. Modal untuk beriman adalah akal, berpikir, bukan taqlid buta. Kalau fundamentalsime berhasil mengharamkan KB, mendorong perempuan menjadi mesin reproduksi, melarang perempuan bekerja, maka semua upaya dan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah akan berantakan.

Dampak fundamentalisme terhadap perempuan melahirkan kondisi ketidakadilan. Fundamentalisme mengekalkan pandangan-pandangan yang tidak adil bagi perempuan. Ini akan melahirkan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan lain sebagainya.

Pemetaan Resiliensi Perempuan

Penelitian Rumah Kitab telah memetakan sejumlah resiliensi yang dilakukan perempuan. Namun, sebagaimana disebutkan, resiliensi itu masih sangat lemah, sporadis, tidak berbasis pengorganisasian dan pengetahuan untuk pemberdayaan. Ini karena organisasi-organisasi keagamaan yang telah mapan kurang memberi perhatian kepada kaum perempuan yang terdampak oleh fundamentalisme. Prof. Musdah Mulia mencontohkan  bentuk-bentuk resiliensi perempuan di beberapa negara berpenduduk Islam. Rafatu Abdul Hamid di Nigeria mengkonter fundamentalisme dengan melakukan penguatan dan pemberdayaan di tingkat keluarga. Di Kenya, konter fundamentalisme juga dilakukan dengan memperkuat struktur keluarga dan pendidikan. Konsep moderasi beragama sangat penting untuk disosialisasikan hingga ke level yang paling bawah. Di Pakistan, perempuan-perempuan ulama diberdayakan. Mereka berkumpul dan menjadi agen-agen pembaharuan. Di Maroko, perempuan mendesak pemerintah untuk menciptakan kelompok religius moderat dan membahas hukum-hukum keluarga yang berangkat dari pandangan Islam moderat masuk ke dalam hukum keluarga yang progresif. Soal batas usia kawin misalnya, Mereka berhasil mengubah UU Perkawinan yang dapat melindungi perempuan dari praktik tradisional perkawinan anak.  Praktik-praktik serupa ini dapat menjadi pembelajaran, dan semuanya dilakukan oleh para perempuan di beberapa negara yang mengalami hal yang sama dengan Indonesia. Pemerintah perlu melakukan itu dengan mengajak semua stakeholders. Dan hal itu hanya dapat dilakukan jika pemerintah dapat melihat dampak fundamentalisme kepada perempuan sebagaimana ditunjukkan dari hasil penelitian Rumah Kitab. Dengan metode penelitian kritis feminis atau metode yang melihat secara seksama  perbedaan lelaki dan perempuan ini menghasilkan temuan penelitian yang menyumbang kepada pengetahuan juga advokasi. Selamat Rumah KitaB![]   

RINGKASAN HASIL SEMINAR INTERNASIONAL SESI 1: Membaca dan Mengatasi Ancaman Fundamentalisme terhadap Perempuan

Oleh Lies Marcoes & Nur Hayati Aida

 

RUMAH KITAB- USAID, The University of Sydney, Kresna Strategic

Jakarta, Rabu 21 Oktober 2020

 

Pengantar

Mulai hari ini secara berturut-turut Rumah KitaB akan menurunkan ringkasan beberapa sesi dari Seminar Internasional guna menyebarluaskan hasil seminar.

Sesi pertama ini menyajikan presentasi dari Lies Marcoes dan Nur Hayati Aida, dlanjutkan dengan para penanggap dan ditutup dengan catatan kesimpulan dan rekomendasi.

Selamat Membaca.

 

Sesi 1

Membaca dan Mengatasi Ancaman Fundamentalisme terhadap Perempuan

Lies Marcoes & Nur Hayati Aida

Dalam sesi Satu (1) Seminar Internasional Hasil Penelitian Rumah KitaB tentang Fundamentalisme dan Kekerasan Berbasis Gender, disampaikan laporan penelitian dari lima Wilayah. Presentasi disampaikan oleh Lies Marcoes dan wakil peneliti senior Nur Hayati Aida. Berikut adalah rungkasan presentasinya

Islam di Indonesia adalah Islam jalan tengah (wasathiyah). Islam corak itu  disangga  oleh tiga pilar, yaitu organisasi masyarakat (NU dan Muhammadiyah), pesantren sebagai sub-kultur Islam Indonesia, dan perguruan tinggi Islam.

Muslim Indonesia bersepakat dan menerima Pancasila sebagai ideologi negara yang mengakomodir kemajemukan Indonesia, karena sejalan belaka dengan nilai-nilai Islam.

Penanda lain bahwa Indonesia merupakan Islam moderat adalah Islam Indonesia memberi tempat yang layak dan baik kepada perempuan di ruang publik di semua sektor—bahkan menjadi hakim agama pada 1957—di mana negara Islam lainnya kala itu tidak menerimanya. Islam Indonesia juga memungkinkan terjadinya konvergensi antara feminis sekuler dan feminis Muslim secara alamiah untuk mengatasi problem kemanusiaan perempuan.

Keuntungan konvergensi yang berbasis filsafat kritis dan pembacan teks keagamaan itu dapat melawan ideologi state-ibuism — yang berangkat dari budaya Jawa feodal, dan fasis militer– di masa Orde Baru. Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Inpres ini memastikan tersedianya pembiayaan dan kebijakan tentang pengarusutamaan gender untuk semua kementerian dan lembaga serta pembangunan di tingkat daerah.

Namun, dalam waktu yang bersamaan, Indonesia berada dalam arus perubahan, baik lokal maupun internasional. Beberapa indikasi perubahan di tingkat lokal yang paling menonjol adalah masyarakat mengalami proses perubahan ekonomi dari agraris ke industri. Perubahan ini berpengaruh terhadap perubahan relasi gender di tingkat keluarga, komunitas, dan negara. Dalam masyarakat industri, akses perempuan ke ruang publik semakin terbuka, baik secara struktural maupun formal. Namun, sebagaimana ditemukan dalam penelitian Rumah KitaB tentang perkawinan anak, perubahan ini mengancam ‘maskulinitas’ karena lelaki kehilangan pijakannya, baik secara moril maupun ekonomi. Perubahan ini melahirkan sikap menguatnya maskulinitas dengan bertahan pada sikap-sikap konservatif yang disediakan agama dan budaya.

Sementara di tingkat internasional, terjadi perubahan-perubahan geopolitik di negara-negara berpenduduk Muslim seluruh dunia pascakolonial. Dimulai dengan munculnya Wahabi/Salafi di Saudi Arabia di awal abad ke 20 yang secara perlahan sampai di Indonesia melalui jaringan jamaah haji dan pendidikan.

Revolusi Iran yang berhasil menumbangkan pemerintahan tiran Syah Iran yang korup menginspirasi anak-anak muda Indonesia. Penerjemahan buku-buku yang ditulis oleh intelektual Iran yang berpengaruh kepada Revolusi Iran menyebar di Indonesia dan menjadi bacaan alternatif. Bersamaan dengan itu, Ikhwanul Muslimin di Mesir yang dimotori oleh Hasan Al-Banna juga memikat generasi Muslim muda Indonesia. Buku-buku Ikhwan Muslimin banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi inspirasi kaum muda Indonesia untuk melakukan aktivitasnya yang berbeda dari aktivitas Ormas keagamaan lokal, seperti NU dan Muhammadiyah.

Selanjutnya,  dunia dikejutkan dengan lahirnya kelompok  Taliban dalam perang Afghanistan yang memunculkan konsep jihad yang berbeda yaitu jihad amaliah berupa terror, lalu  perang Irak, lahir dan bubarnya ISIS dan penyebaran ideologinya melalui sosial media.

Semua peristiwa di atas, baik di tingkat lokal maupun internasional, sedikit banyak menantang corak Islam moderat Indonesia. Setelah Reformasi, atas nama demokrasi, paham trans-nasional fundamentalisme lahir dalam berbagai bentuk kelompok dan organisasi—antara lain Salafi—di Indonesia . Pada dasarnya Salafi adalah sebuah organisasi yang sangat maskulin. Namun, ketika masuk ke Indonesia, Salafi mengalami pribumisasi—dari yang semula domain laki-laki menjadi arena aktivitas yang dimotori oleh perempuan. Salafi berkembang di Indonesia karena peran perempuan.

Pribumisasi Salafi dapat dilihat dalam berbagai penanda-penanda perubahan yang menantang Islam wasathiyah. Antara lain adanya kecenderungan   mengontrol  tubuh dan seksualitas perempuan di ruang publik; perempuan menjadi tidak berwajah di ruang publik. Kecurigaan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan di ruang publik, mendorong perempuan untuk masuk kembali ke rumah. Di ruang publik, perempuan dianggap sebagai penyebab instabilitas moral dan sosial atau fitnah.

Selain itu, muncul secara dominan upaya pembacaan teks-teks agama secara tekstualis tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan perempuan. Misalnya, olahraga untuk perempuan adalah panahan dan naik kuda. Atau jika perempuan ingin bekerja di ruang publik, maka dia harus menutupi tubuhnya sedemikian rupa.

Ajaran yang kaku dan tekstualis tersebut memicu kerenggangan hubungan sosial di dalam keluarga setelah proses ber”hijrah”. Hubungan-hubungan sosial menjadi lebih eksklusif dan tidak menghargai keragaman. Semua penanda itu beroperasi melalui tubuh, pemikiran, pengetahuan, dan kebudayaan yang dilekatkan kepada perempuan.

Atas dasar itu, Rumah KitaB berusaha mengkaji kembali tentang apa yang dimaksud dengan kekerasan ekstrem dan keluar dari pandangan arus utama melalui sebuah penelitian. Saat ini kajian kekerasan ekstrem hanya terkait dan didominasi oleh tema-tema state security (keamanan negara). Rumah KitaB mengkaji kekerasan ekstrem pada human security (keamanan insani) khususnya perempuan. Kajian ini hanya bisa terlihat jika menggunakan alat baca yang tepat yaitu analisis gender. Fokus penelitian ini adalah melihat konsep agensi dan kesalehan perempuan Muslim.

Tesis penelitian Rumah KitaB ini adalah kekerasan berbasis gender—fisik, non-fisik, simbolik, atau ekonomi—yang dialami perempuan akibat fundamentalisme –yang diajarkan setiap hari sehingga kemudian membentuk ‘everyday oppression’.

Dalam penelitian ini, Rumah KitaB menggunakan istilah fundamentalisme, bukan konservatisme karena beberapa hal: 1) dalam isu perempuan,  konservatisme memasukkannya dalam fikih –yang memungkinan untuk berdialog dengan realitas, sementara fundamentalisme memasukkan isu perempuan pada domain akidah/keyakinan –yang tertutup, tunggal, dan mengikat; 2) Watak konservatif adalah menjaga dan memelihara tradisi dengan argumentasi keagamaannya, sementara fundamentalis mencurigai dan menumpas tradisi karena tradisi  dianggap menyimpang dari ajaran agama; 3) Pada konservatif, kebenaran ada pada metodologi, sementara fundamentalis, kebenaran ada pada hasil akhir; 4) Konservatif mengutamakan hasil akhirnya yang maslahah, sementara fundamentalis memiliki konsep al-wala wal bara—loyalitas tentang kebenaran, di mana kebenaran ada pada dirinya dan di luar adalah salah.

Sebagai referensi, Rumah KitaB menggunakan kajian serupa yang pernah dilakukan oleh dua orang akademisi. Pertama, oleh Saba Mahmood yang berbicara tentang konsep politik kesalehan (politics of piety) perempuan di Mesir, Rachel Rinaldo yang mengkaji tentang mobilisasi kesalehan (mobilizing piety) organisasi  perempuan di Indonesia, yaitu Fatayat, Rahima, perempuan PKS, dan Solidaritas Perempuan. Kedua penelitian itu, melihat bahwa sebetulnya kesalehan bisa memberdayakan dan menggerakkan kebaikan. Di Indonesia, Rachel bahkan melihat kesalehan bisa menumbuhkan kesadaran kritis dan kemudian melahirkan aktivis feminis muslim.

Penelitian ini menggunakan metode etnografi-feminis, kualitatif, dan dilakukan oleh 14 peneliti terlatih, dan 4 supervisor. Di lapangan, para peneliti berhasil mengumpulkan informasi dari 165 informan yang diwawancarai di lima kota (Depok, Jakarta, Bandung, Solo, Bekasi), dan 16 kelompok/komunitas. Masing-masing peneliti kemudian mendalami dua hingga tiga studi kasus. Mereka juga melakukan observasi terhadap kelompok-kelompok diskusi dan hobi.

Rumah KitaB memilih lima wilayah penelitian berdasarkan referensi terdahulu terkait aktivitas intoleransi di wilayah ini. Namun, penelitian ini bukan studi wilayah. Pilihan pada lima wilayah untuk menangkap keragaman dan dinamika fundamentalisme bekerja di wilayah masing-masing.

Ada empat pertanyaan yang diuji dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana pandangan fundamentalisme tentang perempuan. Kedua, bagaimana pandangan-pandangan itu disosialisasikan dan dinormalisasikan. Ketiga, apa dampak pandangan tersebut terhadap perempuan—kekerasan fisik, non-fisik, simbolik, dan ekonomi. Keempat, bagaimana perempuan melakukan perlawanan dan bagaimana perlawanannya itu terjadi.

Sebagai temuan utama, penelitian ini berhasil mendefinisikan ulang dan mengoreksi definisi kekerasan ekstrem. Selama ini, kekerasan ekstrem didefinisikan dengan kekerasan yang berdampak hanya pada kematian secara fisik, seperti dengan adanya bom, senjata tajam, dan sesuatu yang bersifat fisik lainnya. Penelitian ini melihat terjadinya kematian non-fisik yang dialami oleh perempuan akibat terus menerus digempur oleh ajaran agama yang tidak memberdayakan mereka (disempowered piety). Sebagai manusia, tubuhnya masih hidup, namun jiwanya mati, pikirannya terbelenggu, kebebasan, kemerdekaan, dan kemandirian hilang. Ini disebabkan oleh hegemoni pandangan tentang perempuan (‘everyday oppression’)  yang didengar melalui ajaran: perempuan adalah fitnah, perempuan adalah penyebab kegoncangan dalam masyarakat, karenanya secara fitrah mereka tergantung pada laki-laki karena tidak mampu mengontrol dirinya sendiri.

Hegemoni ajaran ini juga diperkuat oleh adanya kuasa tersamar yang bekerja sangat efektif, yaitu ajaran yang menindas dan mendikte perempuan tentang ajaran-ajaran yang menimbulkan rasa takut, rasa bersalah, tidak berdaya, dan ketergantungan pada lelaki dan budaya patriaki. Mereka melakukannya dengan sangat efektif melalui upaya delegitimasi ajaran-ajaran Islam wasathiyah—yang semula memberikan ruang pada perempuan. Melalui konsep hijrah, antitradisi, anti-keindonesiaan, dan lainnya perempuan dikuasai cara berpikir mereka tentang tubuh dan eksistensinya.

Fundamentalisme yang semula dianggap sebagai gejala perkotaan, dalam temuan penelitian ini, ternyata telah merembes ke perdesaan. Mereka membangun kantong-kantong kelompok baru yang menjadi pusat dakwah. Kelompok ini bertahan karena mereka berkawan dan berkawin dengan kapitalisme. Kapitalisme memanfaatkan sentimen kesalehan sebagai pembeda dengan kelompok lain dengan menggunakan produk layanan dan produksi yang diberi label syari.

Setidaknya ada lima ajaran kunci fundamentalisme mengenai perempuan. Pertama, perempuan merupakan sumber fitnah. Maksud fitnah di sini adalah kegoncangan sosial sehingga tubuh perempuan harus ditutup. Persoalannya, batasan aurat tidak hanya diterjemahkan oleh para juru dakwah, tetapi juga oleh pasar atau kapitalisme. Ajaran ini berdampak lebih luas karena juga memiliki dimensi kekerasan simbolis bagaimana perempuan diletakkan sebagai sumber fitnah. Perempuan tidak hanya ditempatkan di dalam rumah karena itulah satu-satunya tempat yang layak, tetapi juga diberikan tempat di area publik.

Kedua, fitrah perempuan adalah di dalam rumah. Karena perempuan adalah sumber fitnah, maka mereka harus berada di dalam rumah. Dalam ajaran Salafi, laki-laki memiliki peran yang cukup penting untuk melindungi dan mengontrol perempuan. Perempuan boleh bekerja di luar rumah, namun hanya pada dua sektor, yaitu pendidikan dan kesehatan, serta dengan beberapa syarat: izin dari suami dan tidak boleh ikhtilat.

Ketiga, seksualitas dan kontrol tubuh perempuan. Dalam ajaran ini, tubuh perempuan dikontrol; apa yang boleh dan yang tidak boleh. Seksualitasnya dikontrol melalui sunat perempuan. Keempat, anti-feminisme dan anti-LGBT. Dalam pandangan kelompok fundamentalis, feminisme dianggap senjata Barat untuk menghancurkan Islam karena perempuan adalah rahim peradaban.

Kelima, delegitimasi tradisi dan keberagaman. Tradisi keagamaan dan tradisi kultural dianggap tidak memiliki dalil yang kuat dalam agama. Itu dianggap bidah dan dosa besar. Pada akhirnya, ajaran ini masuk pada tindakan takfiri. Orang-orang yang masih melakukan tradisi itu dianggap tidak mendapatkan hidayah dan akan masuk neraka.

Ajaran-ajaran fundamentalis tersebut disosialisasikan dan dinormalisasikan melalui beragam media. Pertama, melalui lembaga formal atau pendidikan. Lembaga pendidikan digunakan untuk mendisiplinkan tubuh perempuan. Sebagai contohnya sebuah SMA negeri di Bekasi mewajibkan siswa perempuan memakai jilbab dan aturan tersebut didasarkan atas aduan seorang guru bahasa Inggris. Ketika melihat siswi perempuan memakai rok pendek dan duduk mengangkang, dia mengatakan bahwa imannya kuat namun ‘amin’-nya tidak kuat. Atas dasar itu, kemudian dibuatlah peraturan wajib memakai jilbab di sekolah itu. Ini juga berlaku di sekolah-sekolah swasta yang sangat eksklusif, seperti yang terjadi di Depok.

Kedua, melalui lembaga non-formal, dimulai dari lingkaran yang paling kecil yaitu keluarga, teman sebaya, rekan kerja, pengajian, dan kegiatan-kegiatan yang bernuansa agama. Ketiga, melalui media luring seperti radio, televisi, dan sinetron. Keempat, media daring—terutama media sosial. Mereka sangat masif menyosialisasikan ajaran-ajarannya di Instagram, YouTube, Facebook, website, grup WhatsApp, dan Telegram.

Ajaran yang dibawa oleh fundamentalisme tentang perempuan itu berdampak pada lahirnya kekerasan berbasis gender yang bermula dari stereotip  — perempuan distigma sebagai sumber fitnah (kekacauan/goncangan). Dari stereotip ini kemudian melahirkan bentuk berbagai jenis kekerasan lainnya, seperti  domestikasi yang tidak bolehkan perempuan untuk beraktivitas di luar rumah, perempuan menjadi subordinasi laki-laki sehingga tidak diberi kesempatan untuk  menjadi pemimpin, meskipun ia memiliki kompetensi, lalu tercerabut dari komunitasnya.

Dampak fundamentalisme lainnya adalah maraknya diskriminasi dan intoleransi pada kelompok rentan, seperti pelarangan praktik ibadah jemaah minoritas, perempuan dilarang memimpin, eksklusif, tidak akomodatif terhadap keragaman, serta menolak tradisi dan budaya.

Penelitian ini menemukan bahwa dampak atau bentuk kekerasan itu dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan harus diterima perempuan karena dianggap  bagian dari kodratnya. Perempuan diminta untuk ikhlas menerima segala kekerasan berbasis gender atas dasar keimanan, sehingga balasan yang akan didapatkannya adalah surga.

Rumah KitaB menyebutnya keyakinan seperti itu sebagai gender transendental, yaitu keadilan bagi perempuan tidak bisa dicapai di dunia, tetapi keadilan diyakini akan dicapai ketika di akhirat kelak, dan perempuan bisa masuk surga dari pintu mana saja, asalkan ia taat pada suami. Minimal, keadilan bisa tercapai jika khilafah Islam tegak. Gender transendental bisa berlangsung terus-menerus karena ada kekuasaan tersamar yang bekerja.

Sebagai penelitian feminis, penelitian ini mencoba menangkap resiliensi yang dilakukan perempuan, baik bersifat individual maupun kolektif. Sayangnya, resiliensi yang dapat ditemukan tidak berbasis kesadaran kritis dan bersifat semu dan masih reaktif.

Berdasarkan temuan-temuan itu, Rumah KitaB mengajukan tiga rekomendasi. Pertama, mempopulerkan narasi atau pandangan Islam yang moderat, dengan mendukung kampanye naratif terkait kesetaraan dan Islam moderat di media sosial. Kedua, merebut kembali ruang-ruang moderat, dengan membuka ruang aman bagi korban fundamentalisme dan lainnya. Ketiga, memproduksi pengetahuan baru[]

 

Aneka Ragam Kelompok Puber Berislam, Puber Bersurga?

Penulis: Sumanto al Qurtuby

Sejak rezim Orde Baru tumbang, umat Islam yang dulu gerak-geriknya dibatasi dan diawasi kini bebas-merdeka merayakan ekspresi berislam. Namun ada beberapa jenis atau kelompok “puber berislam” di Indonesia.

Karena khawatir terhadap penyebaran “Islam politik” dan kekerasan berbasis SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) di masyarakat yang bisa berpotensi menganggu stabilitas nasional dan pemerintahannya, mantan presiden Soeharto dulu memang membatasi ruang gerak umat Islam sehingga membuat mereka sangat terbatas dalam melakukan ekspresi keberagamaan. Tapi kini lain. Seiring dengan mundurnya Pak Harto, umat Islam kemudian berhamburan keluar merayakan kebebasan berislam laksana burung yang baru keluar dari sangkarnya.

Saya perhatikan ada beberapa jenis atau kelompok “puber berislam” di Indonesia. Pertama, kelompok puber berkhilafah. Mereka adalah pengurus, aktivis atau simpatisan Hizbut Tahrir (HT), sebuah orpol (organisasi politik) transnasional yang bermarkas di Inggris yang cabangnya di Indonesia bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).  Mereka ini sejatinya adalah kelompok ideologis. Para tengkulak HT ini rajin sekali menjajakan barang dagangan “sistem khilafah” ke publik muslim sebagai “jalan dan solusi” bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Sistem khilafah ini adalah “barang dagangan rongsokan” yang tidak laku di negara-negara lain, termasuk negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim di Timur Tengah, Afrika Utara, Afrika Barat, Asia Tengah, Asia Selatan, dlsb., tapi diminati oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Yang menjadi impian dan tujuan utama dari HTI adalah bagaimana mengubah dan mengtransformasi Indonesia menjadi sebuah negara yang berbasis sistem politik-pemerintahan khilafah.

Kedua, golongan puber berbusana syar’i

Mereka adalah kaum muslim/muslimah yang mengimajinasikan sebuah busana yang dipersepsikan sesuai dengan syariat, ajaran normatif Islam, perintah Al-Qur’an, serta praktik berbusana Nabi Muhammad dan generasi awal umat Islam. Tetapi lantaran semangat berislam mereka itu tidak diimbangi dengan pengetahuan dan wawasan yang memadai, akibatnya jadi rancau dan lucu. Alih-alih ingin “nyunah” atau “nyar’i”, malah jauh dari sunnah dan syariat.

Misalnya saja begini: sebagian kaum muslim laki-laki mengenakan “celana cingkrang” dengan alasan “nyunah”. Padahal, “celana setengah tiang” itu adalah produk kebudayaan masyarakat India-Pakistan. Para “cheerleader” Jamaah Tabligh-lah yang membawa dan memperkenalkan busana itu ke Indonesia. Kelompok lain mengenakan gamis/jubah. Padahal itu produk kebudayaan masyarakat Arab kontemporer, bukan masyarakat Arab di zaman Nabi Muhammad.

Sementara itu kaum muslimah ramai-ramai memakai abaya hitam plus hijab dan cadar hitam. Padahal itu produk kebudayaan kelompok Islamis revivalis kontemporer, baik Salafi Sunni (misalnya Ikhwanul Muslimin Mesir dan Afganistan era Taliban), Wahabi-Qutubi atau Syahwah (misalnya Arab Saudi atau kawasan Arab Teluk dan Yaman), maupun Syiah (misalnya Iran sejak Khomeini). Pakaian jenis abaya (jilbab gelombor) sendiri asal-usulnya berasal dari Persia, Yunani, dan Mesopotamia. Merekalah yang memperkenalkan busana itu ke masyarakat Arab.

Ketiga, golongan puber berakidah (Islam)

Mereka sejatinya golongan lama (yang sudah ada sejak abad-abad silam di Indonesia) yang muncul kembali karena ada angin segar yang memunculkan mereka. Kelompok ini adalah golongan umat Islam yang hobi mengafirkan, mensyirikkan, dan mengharamkan sesuatu karena dianggap tidak sesuai dengan akidah Islam.

Di mata mereka, apa saja atau praktik apa saja bisa distempel kafir, syirik dan haram kalau dianggap atau diklaim oleh mereka tidak sesuai dengan akidah Islam. Dalam praktiknya, sering kali kelompok ini sering overdosis atau kebablasan sehingga banyak sekali yang sudah mendapat cap kafir, syirik, atau haram seperti Nyi Roro Kidul, Dewi Lanjar, patung Cheng Ho, pohon cemara, seni menyusun batu, wayang, Valentine, musik, arca, makam, dlsb.

Keempat, kelompok puber berhijrah. Mereka adalah kelompok Muslim anyaran (mualaf) dan komunitas Muslim urgan penggemar pengajian yang sedang senang-senangnya mengumpulkan pahala dan berbulan madu dengan Islam. Lagi-lagi, karena semangat berislam tidak diiringi dengan wawasan dan pengetahuan yang mumpuni, akhirnya konsep hijrahnya pun jadi lucu dan wagu.

Misalnya kalau ada Muslimah berhijab dianggap berhijrah, kalau ada Muslimah berjilbab gelombor dianggap berhijrah, kalau ada Muslim berjenggot atau bergamis dianggap berhijrah, kalau ada yang ngomong akhi-ukhti atau tetek-bengek bahasa Arab dianggap berhijrah, begitu seterusnya. Padahal, di Timur Tengah, semua itu dipraktikkan oleh berbagai kelompok agama: Yahudi, Kristen, Yazidi, dlsb. Bukan hanya muslim/muslimah saja.

Kelima, kelompok puber bersurga. Mereka adalah golongan “surga hunter” atau pemburu surga. Mereka berimajinasi bahwa surga adalah tempat khusus yang dibuat Tuhan untuk umat Islam yang berpandangan dan berperilaku seperti mereka. Umat Islam (apalagi umat agama lain) yang tidak berpandangan dan berperilaku seperti mereka dianggap atau diklaim tidak akan masuk surga. Mereka pun rajin sekali melakukan atau mempraktikkan sesuatu yang dianggap bisa menjadi jalan menuju surga (misalnya dengan menutup rapat-rapat tubuh mereka).

Bukan hanya itu. Mereka bahkan juga rajin “memasarkan” surga itu dan mengingatkan orang lain akan masuk neraka kalau tidak berpandangan dan berperilaku seperti mereka. Mereka lupa bahwa Islam bukanlah satu-satunya agama yang memiliki konsep surga.

Faktor-Faktor Munculnya Kelompok Puber Berislam 

Kenapa kaum puber dan overdosis berislam muncul di Indonesia? Sudah saya singgung di awal paragraf ini, tumbangnya Pak Harto dan Orde Baru yang kemudian diikuti dengan munculnya (kembali) iklim demokrasi telah menjadi faktor utama (primer) atas muncul dan berkembangnya berbagai kelompok puber/overdosis berislam ini.

Selain itu, ada sejumlah faktor sekunder yang menjadi pendukung atau komplemen. Misalnya, munculnya para penceramah Salafi dan Wahabi yang mengisi berbagai acara pengajian keislaman, baik di TV, radio maupun tempat-tempat publik. Kaum Salafi dan Wahabi adalah agen utama atau produser utama keislaman yang bercorak konservatif, intoleran, radikal, dan militan.

Kemudian berkembangnya media sosial (atau “sosmed”) seperti Google, Facebook, atau YouTube juga berperan besar dalam menyebarluaskan paham Salafisme dan Wahabisme. Kini YouTube menjadi medium distribusi berbagai kelompok dan aliran keislaman yang masing-masing memiliki pengikut setia. Banyak pengajian-pengajian on-line atau “vlog” yang diposting di YouTube oleh berbagai mazhab dan kelompok keislaman. Faktor lain adalah semakin meluasnya distribusi buku-buku bercorak Salafi-Wahabi.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya yang menjadi penyebab menjamurnya kaum puber berislam adalah kelembekan pemerintah dan aparat hukum dalam menangani berbagai macam aksi antitoleransi dan antikemajemukan di masyarakat yang dilakukan oleh berbagai kelompok Salafi ekstrem, Islamis militan, muslim intoleran, atau ormas Islam arogan.

Kelembekan dan kelambanan ini menyebabkan mereka semakin leluasa. Ironisnya lagi, aksi-aksi konyol mereka sering kali didukung oleh oknum-oknum pemerintah dan aparat keamanan, selain mendapat legitimasi dari lembaga keulamaan seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia).

Alih-alih menindak tegas, pemerintah justru ikut “menternak” mereka. Pemerintah Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) sering kali dituding sebagai rezim yang turut menyuburkan pertumbuhan kaum Salafi dan kelompok muslim ekstrem ini. Di masa pemerintahannyalah, aneka kelompok Islam puritan-intoleran-konservatif, khususnya jaringan Partai Keadilan Sejahtera, mendapat perhatian besar. Partai inilah, antara lain, yang menjadi “markas” dan “induk semang” dari aneka ragam “kelompok Sawah” (Salafi-Wahabi) di Indonesia.

Sepanjang kelompok berislam ini tumbuh dengan tetap menghargai kemajemukan, memelihara perdamaian dan toleransi, serta menjaga ideologi dan konstitusi negara, saya kira tidak masalah. Tetapi kalau sudah antipluralitas, suka berbuat kekerasan dan keonaran, serta tidak mengindahkan idologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945, maka pemerintah dan masyarakat wajib untuk mengingatkan, menindak tegas, dan menghalau mereka.

Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London: Routledge, 2016) dan Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam (London & New York: I.B. Tauris & Bloomsbury).

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Tulis komentar Anda di  kolom di bawah ini.

Sumber: https://www.dw.com/id/aneka-ragam-kelompok-puber-berislam/a-53499023

Public Virtue Institute: Pemerintah Harus Tegakkan Demokrasi Yang Persuasif Atasi Gejala Islamisme

Lembaga kajian demokrasi Public Virtue Institute sangat khawatir tren menguatnya konservatisme dan intoleransi dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama, khususnya Islam. Tren ini juga meliputi munculnya gejala Islamisme politik yaitu gerakan menuju pembentukan negara Islam dan menolak sistem demokrasi.

Namun Public Virtue juga mendesak pemerintah untuk mengutamakan kebijakan dan pendekatan yang persuasif, bukan represif. Pendekatan pemerintah dalam hal menegakkan demokrasi dan pluralisme yang represif justru semakin menurunkan kualitas demokrasi dan pluralisme itu sendiri. Kebebasan individu dari setiap warga, termasuk jika seseorang memiliki pandangan berbeda tentang demokrasi, tetaplah harus dilindungi.

Pendekatan persuasi dalam menjaga demokrasi dari fenomena Islamisme penting karena ada banyak ajaran Islam yang selaras dengan demokrasi. Menurut Public Virtue, Pemerintah dapat bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat Islam untuk mempromosikan ajaran-ajaran Islam untuk memajukan dan menjaga sistem demokrasi dan nilai-nilai pluralisme. Yaitu dengan melindungi kebebasan individual dan keadilan sosial. Perlindungan kebebasan individual akan membuat mereka yang konservatif dilindungi hak-haknya. Pemenuhan keadilan sosial akan membuat masyarakat yang marjinal tidak mudah diprovokasi oleh paham-paham yang dikhawatirkan oleh pemerintah.

Kesimpulan tersebut disampaikan oleh Public Virtue saat menggelar acara seminar bertema “Islam dan Demokrasi: Menyoal Kebebasan Individual dan Keadilan Sosial” pada Jumat, 16 Oktober 2020. Seminar ini merupakan edisi keempat dari Forum Demokrasi A.E Priyono yang diselenggarakan atas kerja sama Public Virtue dan Erasmus Huis, Kedutaan Kerajaan Besar Belanda.

Acara yang dimoderatori oleh pegiat Public Virtue Anita Wahid menghadirkan para pembicara seperti Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Direktur Rumah KitaB Lies Marcoes, pengasuh Esoterika-Forum Spiritualitas Budhy Munawar Rachman, dan peneliti Indonesia yang berbasis di Australian National University, Nava Nuraniyah.

“Kami menghormati langkah pemerintah untuk menjaga kemajemukan masyarakat (pluralisme) di Indonesia. Namun langkah itu harus mengutamakan pendekatan persuasi, bukan represi. Cara ini diperlukan agar kualitas demokrasi Indonesia tidak semakin dinilai merosot. Negara harus melindungi kebebasan individual sekaligus keadilan sosial,” kata Direktur Eksekutif Public Virtue Ahmad Taufiq.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu`ti yang menjadi pembicara kunci menyatakan, “Demokrasi bukanlah sekedar sistem politik, tetapi sistem nilai yang menjadi dasar pembentukan kesejahteraan dan keadilan sosial serta keadaban suatu bangsa. Emansipasi, meritokrasi, dan pluralisme adalah tiga nilai dasar demokrasi yang juga merupakan nilai-nilai utama dan keutamaan dalam Islam”.

Senada dengan Mu’ti, salah satu pendiri Nurcholish Madjid Society (NCMS) serta pengasuh Esoterika-Forum Spiritualitas Budhy Munawar Rachman, “Islam dan Demokrasi adalah dua norma yang tidak perlu dipertentangkan. Keduanya menggambarkan ideal yang sama tentang masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis. Islam mendukung norma-norma internasional baru seperti demokrasi. Visi keislaman harusnya mendorong kita mengembangkan kualitas demokrasi kita di Indonesia.”

Sementara itu, pemerintah dan para pemimpin organisasi keagamaan juga harus bekerja sama menghadapi tantangan polarisasi sosial di kalangan masyarakat Islam. Tantangan ini terlihat dalam ajang pilikada di DKI pada 2017 dan Pilpres 2019, yang bahkan telah dimulai pada Pilpres 2014.

Bagi Nava Nuraniyah yang juga menjadi pembicara, Perbedaan dalam masyarakat adalah hal wajar, apalagi dalam demokrasi. Tapi bukan itu yang dimaksud polarisasi. Polarisasi adalah ketika berbagai macam masalah di masyarakat berupa perbedaan ras, agama, ketimpangan ekonomi dikerucutkan oleh aktor-aktor populis menjadi satu jenis pembelahan identitas: pribumi vs imigran; pro-NKRI vs anti-NKRI; kadrun vs cebong”.

Nava melanjutkan bahwa polarisasi sosial tersebut berimbas negatif pada Pemilu. “Pemilu yang sejatinya adalah ajang adu program kebijakan malah menjadi semacam “Armageddon” atau perang suci antara dua ideologi,” kata NavaDia juga mengkhawatirkan bahwa pada akhirnya semua berdampak negative pada kualitas demokrasi di tingkat atas maupun bawah. Di tingkat bawah, pihak oposisi tidak mau mengakui kekalahan atau bahkan mengancam akan revolusi. Sedangkan di tingkat atas, si pemenang jadi sangat alergi dan represif terhadap oposisi.

Para pembicara sepakat untuk menolak penggunaan agama sebagai strategi untuk memecah belah masyarakat dengan hasutan kebencian untuk mencapai tujuan kepentingan kekuasaan jangka pendek. Mereka juga sepakat bahwa Islam adalah ajaran agama yang nilai-nilainya selaras dengan demokrasi.

Nilai-nilai yang sama tersebut mencakup ajaran tentang keadilan, persamaan hak dan derajat, persaudaraan dan kebebasan. Sepanjang negara berpegang pada nilai-nilai itu, maka mekanisme yang diterapkan sudah sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian berdirinya sebuah negara Islam yang bersifat formalistis dan ideologis sudah tidak terlalu penting adanya. (*)

Sumber: https://event.tempo.co/read/1396808/public-virtue-institute-pemerintah-harus-tegakkan-demokrasi-yang-persuasif-atasi-gejala-islamisme/full&view=ok

Perempuan Alami Kematian Fisik dan Non Fisik

Selama beberapa tahun terakhir perempuan menjadi target dari kelompok fundamentalis. Sejumlah perempuan bahkan tidak berdaya dan hidupnya dibatasi dalam berbagai hal, terutama jauh dari ruang-ruang publik.

Oleh SONYA HELLEN SINOMBOR

22 Oktober 2020

Jakarta, Kompas – Kendati fenomena keterlibatan perempuan dalam kelompok fundamentalis terus menguat, hingga kini tidak banyak yang menyadari bahaya dan dampak luas yang dialami perempuan. Perempuan tidak hanya mengalami kematian secara fisik karena menjadi korban bom dan sebagainya, tetapi kehidupannya juga mengalami kematian non fisik pada jiwa, pikiran, kebebasan, dan kemandiriannya.

.

Ancaman fundamentalisme terhadap perempuan, terungkap dalam penelitian kualitatif yang dilakukan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) di lima daerah urban yakni di Jakarta, Depok, Bekasi, Bandung, dan Solo Raya pada tahun 2019-2020. Di kalangan fundamentalis, perempuan dianggap sebagai sumber fitnah, karenanya fitrah perempuan adalah tunduk secara permanen kepada lelaki sebagai upaya mengatasi masalah sosial yang ditimbulkan oleh fitnah perempuan.

Penelitian ini berhasil meredefinisi apa itu kekerasan ekstrem. Kami melihat ada kematian non fisik yang dialami oleh perempuan yakni kematian jiwa, pikiran, kebebasan, dan kemandirian yang disebabkan oleh hegemoni pandangan tentang perempuan, bahwa perempuan itu sebagai fitnah dan fitrah.(Lies Marcoes)

“Penelitian ini berhasil meredefinisi apa itu kekerasan ekstrem. Kami melihat ada kematian non fisik yang dialami oleh perempuan yakni kematian jiwa, pikiran, kebebasan, dan kemandirian yang disebabkan oleh hegemoni pandangan tentang perempuan, bahwa perempuan itu sebagai fitnah dan fitrah,” ujar Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB, pada Seminar Internasional “Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan”, Rabu (21/10/2020) secara daring.

.

Seminar yang diselenggarakan Rumah KitaB bekerja sama dengan the Sydney Southeast Asia Centre (SSEAC) The University of Sydney dan Kresna Strategic, membahas temuan penelitian dan rekomendasi akademis untuk advokasi kebijakan, terkait upaya mengatasi kekerasan ekstrem di Indonesia dengan memperhatian aspek-aspek relasi jender dalam membaca perkembangan fundamentalisme di Indonesia.

.

Menurut Lies dampak yang dialami para perempuan di kelompok fundamentalisme, melalui sejumlah pandangan “tersamar” yang menimbulkan rasa khawatir, takut, rasa bersalah dan tak berdaya, serta rasa tergantung yang sangat besar kepada laki-laki yang diyakini akan menyelamatkan perempuan.

.

“Kami menyaksikan bahwa ajaran ini berkawan dan berkawin dengan kapitalisme dan pasar yang memanfaatkan sentimen kesalehan sebagai pembeda dengan produksi-produksi yang mencirikan sebagai sesuatu yang lebih baik dari yang lain,” tegas Lies yang menyampaikan hasil penelitian bersama Nur Hayati Aida, peneliti Rumah KitaB.

.

Narasi sama

.
Dari penelitian yang mengusung tema “Identifikasi Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan akibat Intoleransi dan Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan melalui Penelitian Feminis” tersebut, Aida mengungkapkan ada sejumlah temuan kunci pandangan kelompok fundamentalis tentang perempuan, yang meskipun disuarakan atau dinarasikan oleh beragam orang di beberapa wilayah tetapi narasi yang diajarkan mengenai perempuan itu hampir persis  sama dan serupa.

.

Misalnya, soal perempuan sebagai sumber fitnah (sumber kegonjangan dan kekacauan sosial). Karena itu, keberadaan perempuan harus tertutup bukan hanya secara fisik tetapi juga relasi sosial atau ruang publik.
Karena sumber fitnah, maka fitrah perempuan, adalah tempat perempuan hanya di rumah, baik sebagai anak ketika ia belum menikah atau berperan sebagai istri dan ibu ketika ia sudah menikah. Posisi laki-laki baik sebagai ayah, terutama sebagai suami sangat penting.
“Betapa besarnya posisi laki-laki di kehidupan perempuan. Kalaupun perempuan boleh memiliki pekerjaan di luar rumah, itu hanya ada dua hal yaitu di bidang pendidikan dan di bidang kesehatan,” ujar Aida.
.

Dari  sisi seksualitas, ajaran kelompok fundamentalis juga mengontrol tubuh perempuan, melalui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan, sehingga perempuan kehilangan otoritas tubuh dan seksnya.  Baik janda ataupun gadis akan dipaksa harus menikah.
“Karena apa? Menikah adalah salah satu cara supaya perempuan tidak lagi menjadi fitnah,” kata Aida.

.

Ahmad Nurwakhid, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) penanggulangan radikal terorisme merupakan harus menjadi tanggung jawab kita bersama, tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah, tetapi semua pihak harus terlibat.
“Yang paling utama adalah membangkitkan civil society terutama silent majority, yang mayoritas moderat. Tapi masyarakat Indonesia yang mayoritas mereka  silent, sementara kelompok radikal teroris ini sedikit tapi berisik, terutama di media sosial. Ini yang harus kita bangkitkan,” katanya.

.

Prof Michele Ford (Sydney Southeast Asia Center The University of Sydney, Australia) menilai dampak fundamentalis semakin membahayakan perempuan, kemungkinan karena selama ini suara-suara progresif dalam dunia Islam di ruang publik agak kalah dibandingkan suara-suara yang lebih konservatif.

.

“Jadi mungkin ada kebutuhan untuk meraih kembali ruang-ruang publik dan menempatkan wacana yang lebih progresif, yang lebih lebih mengakui kemungkinan perempuan bisa hidup secara berdaulat, tapi juga bisa jadi orang Islam yang baik,” ujar Michele.

 

Sumber: https://kompas.id/baca/humaniora/dikbud/2020/10/22/perempuan-alami-kematian-fisik-dan-non-fisik/

Laporan Seminar Internasional Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Rumah KitaB, 21 Oktober 2020

 

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, masyarakat Muslim Indonesia dikenal memiliki cara pandang keagamaan moderat (wasathiyyah). Dua aspek yang menonjol dan hampir tak dimiliki oleh negara berpenduduk Muslim lain adalah terbukanya akses bagi perempuan ke ruang publik untuk sektor apapun, dan terjadinya konvergensi alamiah antara feminis sekuler dengan feminis Islam –yang bersama-sama mengatasi persoalan kemanusiaan perempuan. Selain, tentu saja, dipengaruhi dua Ormas keagamaan raksasa di negeri ini, yaitu NU dan Muhammadiyah.

 

Namun, seiring perubahan, baik di tingkat lokal, regional maupun internasional, moderatisme Islam yang menjadi ciri umum masyarakat Indonesia mendapat tantangan serta banyak mengalami pergeseran. Hal ini ditandai semakin menyempitnya ruang gerak perempuan  akibat fundamentalisme agama, yaitu sebuah paham yang memperlakukan teks keagamaan secara tekstual sebagai kebenaran mutlak.

 

Inilah salah satu yang melatarbelakangi penelitian Rumah KitaB tentang dampak fundamentalisme agama terhadap perempuan. Desember 2019 sampai Juni 2020 Rumah KitaB melakukan penelitian di lima wilayah di Indonesia, yaitu Depok, Jakarta, Bogor, Bandung dan Solo Raya. Menurut Lies Marcoes, selaku direktur eksekutif sekaligus koordinator penelitian ini, Rumah KitaB merekrut dan melatih 14 peneliti muda yang  didampingi 4 supervisor untuk melakukan penelitian sekaligus kaderisasi peneliti feminis.

 

Hasil penelitian itu kemarin (21/10) diluncurkan melalui Webinar dengan tajuk “Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan”. Webinar hasil kerjasama Rumah KitaB dengan Sydney Southeast Asian Centre The University of Sydney (SSEAC) ini mengundang sejumlah pembicara dan panelis: Lies Marcoes, M.A. (Direktur Rumah KitaB), Nur Hayati Aida (Peneliti Rumah KitaB), Prof. Dr. Musdah Mulia (Indonesian Conference on Religion and Peace [ICRP]), Prof. Dr. Michele Ford (sydney Southeast Asian Centre, The University of Sydney, Australia), Nurhady Sirimorok, M.A. (peneliti senior Rumah KitaB), Dr. Noor Huda Ismail (Nanyang Technological University, Singapura), Ihsan Ali Fauzi, M.A. (PUSAD Paramadina), R. Ahmad Nurwakhid, S.E, M.M. (Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme [BNPT]). Acara dibuka oleh Ulil Abshar Abdalla (board Rumah KitaB) dan Walter Doetsch (Director Office of Democratic Resilience dan Governance, USAID Indonesia. Acara ini dihadiri sekitar 234 peserta, termasuk di antaranya datang dari Malaysia, New Zealand, Australia, dan Belanda. Peserta yang hadir beragam mulai dari akademisi, peneliti, aktivis CSO, pengurus organisasi kemasyarakatan, wartawan, hingga dari unsur pemerintahan

 

Dalam sambutannya, Doetsch mengucapkan terima kasih kepada Rumah KitaB yang telah melakukan penelitian penting ini. Menurutnya, hal ini sejalan dengan perhatian dan kerja organisasinya dalam mendorong kepemimpinan perempuan dan anak perempuan. Penelitian ini juga sangat berguna dan ikut memberikan kontribusi signifikan dalam CVE dan demokratisasi.

 

Dalam presentasinya, Lies Marcoes menyebut bahwa penelitian ini berhasil menemukan dan meredefinisi konsep kekerasan ekstrem. Selama ini kekerasan lebih banyak dipahami secara maskulin sebagai kekerasan fisik yang menyebabkan kematian fisik. Dengan menelaah everyday oppression melalui hegemoni ajaran tentang fitrah dan fitnah perempuan mengalami kematian jiwa, pikiran, kemandirian dan kebebasan. Kekerasan ini bersifat non-fisik akibat cara pandang tentang perempuan sebagai fitnah dan fitrah. Inilah kekerasan ekstrem yang dialami banyak perempuan yang hanya dapat dilihat jika digunakan alat analisis yang tepat yaitu analisis gender.

 

Cara efektif yang mereka lakukan untuk menyebarkan gagasannya adalah  mendelegitimasi ajaran-ajaran Islam wasathiyyah –yang tadinya bersifat cair dan memberi ruang kepada perempuan. Melalui konsep hijrah, ruang gerak perempuan dipersempit dan selalu dalam pengawasan laki-laki (hegemoni patriarki). “Fenomena ini tak hanya terjadi di perkotaan, tapi sudah merambah ke pedesaan.  Ajaran ini semakin menemukan momentumnya setelah berkawan dan berkawin dengan kapitalisme,” ujar Lies. Dalam maksud itu ajaran fundamentalisme diterjemahkan oleh pasar dan melahirkan “ merek” barang dan jasa yang dicap syar’i dan tidak syar’i.

 

Mempertajam pemaparan Lies Marcoes, Aida menjelaskan bahwa melalui riset feminis-etnografi ini struktur-struktur relasi sosial dan gender yang timpang, yang menjadi ancaman bagi keamanan insani perempuan bisa terlihat dengan jelas. Ancaman itu terjadi sepanjang hari terhadap perempuan, dan hampir-hampir sulit untuk dikenali sebagai sebuah kekerasan. Sebab, peran dan relasi gender dikonstruksikan oleh pandangan keagamaan yang punya daya paksa dalam membentuk kepatuhan. Hasil temuan penelitian ini mengerucut pada ajaran tentang perempuan sebagai fitnah. Karena itu, untuk menjaga stabilitas moral, maka fitrah perempuan harus tunduk secara permanen kepada lelaki sebagai upaya mengatasi masalah sosial yang ditimbulkan oleh fitnah perempuan.

 

Melalui dua ajaran tersebut menghasilkan rumusan tentang konsep gender transendental, yaitu sebuah ide tentang keadilan yang akan diraih perempuan ketika negara Islam atau minimal syarat Islam telah diterapkan, atau kelak di akhirat.

 

Tiga temuan ini menjadi antitesis atas konsep keadilan gender yang selama ini dikembangkan sebagai metode dan strategi untuk meraih kesetaraan gender. Tiga temuan itu menjelaskan tentang narasi dan logika kekerasan berbasis gender terhadap perempuan akibat hegemoni paham fundamentalisme melalui proses penundukkan yang berlangsung terus menerus dan setiap hari. Ajaran fundamentalisme juga mendelegitimasi tradisi dan ajaran Islam wasathiyyah yang selama ini menghargai keberagaman.

 

Selain itu, kata Prof. Michele Ford, ketidakbolehan perempuan bekerja akibat konsep fitnah dan fitrah, menyebabkan ketergantungan perempuan. Bagi mereka yang mapan secara ekonomi, mungkin hal ini tak begitu bermasalah. Namun, bagi mereka yang secara ekonomi kurang mapan, tentu akan menambah beban ganda bagi perempuan. Namun, Michele juga merekomendasikan semestinya penelitian ini lebih jeli dalam melihat bahwa di lapangan pandangan serupa itu tak melulu ditemukan dalam kelompok Salafi Fundamentalis, tetapi di dalam pandangan tradisional pun juga muncul.  Sebagaimana yang ia amati dalam kelompok atau lingkungan buruh yang menjadi pusat amatannya. Karenanya, ia mengusulkan harus melihatnya sebagai sebuah kontinum dari yang moderat sampai yang fundamentalis.

 

Karena itu, menurut Musdah Mulia, penting sekali merebut kembali ruang publik untuk menarasikan bahwa agama sudah seharusnya tegas menyuarakan indahnya cinta, kasih sayang, komitmen persaudaraan, solidaritas, emansipasi, kesetaraan, dan keadilan. Agama harus mampu mengentaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan,dan keterbelakangan. Singkatnya, agama harus mampu mentransformasikan manusia menjadi lebih manusiawi.

 

Di samping mengapresiasi hasil penelitian ini, para panelis juga memberikan masukan dan beberapa catatan. Salah satunya dari Ihsan Fauzi. Menurutnya, penting juga dijelaskan karakteristik masing-masing wilayah penelitian: Mengapa wilayah itu dipilih dan unsur-unsur apa saja yang dilihat. Juga dipertajam bentuk-bentuk resiliensinya.

 

Nurhady Sirimorok mencatat sejumlah rekomendasi sebagai penajaman yang diusulkan Ibu Musdah tentang pentingnya melanjutkan penelitian dan produksi pengetahuan. Sebagai pegiat dalam gerakan sipil, Nurhady menyarankan untuk melakukan penelitian terlibat agar perempuan sendiri dapat mencatat dan menganalisis problem yang mereka alami ketika berhadapan dengan hegemoni fundamentalisme dalam kehidupan sehari-hari mereka.

 

Sementara Noor Huda Ismail menekankan perlunya penggunaan media populer yang kreatif untuk mensosialisasikan ancaman keamanan insani agar tak elitis dan hanya menjadi isu kalangan elit saja.

 

Sejumlah penanggap mengapresiasi tinggi atas penelitian dan merekomendasikan agar kajian ini disosialisasikan dengan cara populer dan dilakukan studi lanjutan untuk mendokumentasikan perempuan yang berhasil melakukan resiliensi. [] JM

ic

 

 

 

 

 

rumah kitab

Merebut Tafsir: Fitnah, Fitrah, dan Kekerasan Berbasis Gender

Oleh Lies Marcoes
.
Hari ini, 21 Oktober 2020, Rumah KitaB mempresentasikan penelitiannya tentang fundamentalisme (dalam) Islam dan dampaknya kepada kekerasan berbasis gender. Penelitian satu tahun di lima kota ini menyajikan temuan yang layak timbang untuk merumuskan penanganan kekerasan ekstrem di Indonesia. Empat pertanyaan diajukan dalam penelitian etnografi feminis ini: pandangan tentang perempuan, sosialisasi ajaran, dampak, dan resiliensinya.
Fundamentalisme dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai paham atau ideologi yang apapun jenis kelompoknya telah memperlakukan teks secara literal dan karenanya pandangannya merasa paling otentik, otoritatif, dan paling benar. Atas dasar itu, watak ideologinya menjadi anti keragaman. Klaim atas otentisitas kebenarannya mengancam secara fisik, non-fisik atau simbolik kepada pihak lain yang berbeda. Ini disebabkan oleh ajaran tentang al walâ’ wal barâ’, sebuah sikap loyal kepada kelompoknya dan melepaskan diri dari keterikatan kepada pihak lain di luar kelompoknya. Konsep itu melahirkan sikap eksklusif, intoleran, dan dapat membenarkan kekerasan untuk memaksakan pandangannya.
.
Hasil paling menonjol dari penelitian ini adalah tuntutan untuk mengkaji ulang tentang kekerasan ekstrem. Selama ini konsep itu didominasi oleh cara pandang maskulin patriarki yang menguncinya ke dalam kekerasan fisik: bom bunuh diri, penyerangan aparat, money laundering, yang keseluruhannya berpusat pada gangguan keamanan negara terkait radikalisme dan terorisme. Cara kaji serupa itu, mengabaikan kekerasan ekstrem lain yang terjadi setiap hari yang dialami perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan itu mengancam keamanan insani berupa kematian jiwa, kematian akal sehat yang merampas kebebasan berpikir dan berupaya.
.
Penelitian ini mencatat kekerasan atas keamanan insani perempuan ini juga mengancam pilar-pilar yang selama ini menjadi penyangga kekuatan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran yang peduli pada keragaman sebagai warisan tak ternilai dari Islam Indonesia yang moderat/ wasathiyah.
.
Berdasarkan empat pertanyaan penelitian, secara berturut-turut penelitian ini mencatat sejumlah temuan. Pertama soal apa dan siapa perempuan. Melalui hegemoni ajaran, perempuan terus menerus ditekankan sebagai sumber fitnah (keguncangan) di dunia. Kehadirannya, terutama di ruang publik menjadi lantaran instabilitas moral yang (dapat) merusak tatanan sosial bahkan ekonomi. Untuk mengatasi hal itu, perempuan karenanya musti tunduk pada fitrahnya sebagai pihak yang harus dikontrol, diawasi, dicurigai dan batasi hadirnya di ruang publik baik secara langsung maupun simbolik.
.
“Iman mah kuat, ini si“amin” yang tak kuat. Keluhan personal seorang guru- pemilik si “amin” itu segera menjadi landasan keluarnya regulasi yang kewajiban murid dan guru perempuan (muslimah) memakai jilbab. Ini terjadi di sebuah SMA Negeri di salah satu lokasi penelitian ini. Namun hal sejenis dalam upaya menormalisasikan konsep perempuan sebagai fitnah dapat ditemukan di kelembagaan mana saja hingga perempuan sendiri merasa “salah tempat”.
.
“Setiap kali mau berangkat kerja, rasanya seperti mau ke tempat maksiat, sejak di jalan, di pabrik sampai pulang saya terus ikhtilat [bercampur dengan bukan muhrim]”. Keluhan seorang buruh perempuan yang telah berpakaian rapat ini akhirnya berujung pada “pilihan” mundur dari dunia kerja.
.
Kedua, ajaran serupa itu disosialisasikan dan dinormalisasikan lewat ragam cara. Cara konvensional seperti ceramah:
“Biar nangis darah, Bu, fitrah wanita mah tidak mungkin bisa sama dengan laki-laki, pertama wanita tak bisa sempurna ibadahnya karena ditakdirkan haid, nifas, perempuan suka ghibah (gosip), suka riya (pamer) suka tabarruj (dandan); kedua Allah sudah mengunci, sudah menetapkan laki-laki adalah pemimpin atas perempuan.
.
Ceramah lain di tempat lain begini ujarnya:
“Allah telah menetapkan kepala keluarga itu laki-laki, pencari nafkah itu laki-laki. Bagi yang tidak ada suami, yang jomblo, sama saja. Mereka tanggungan Bapaknya, atau walinya […] Namun Barat telah mengubahnya [..] Wanita sekarang ikut mengejar karier, anak dan rumah ditinggal. Laki-laki kehilangan martabatnya. Aturan Allah laki-laki memimpin, jelas itu, tapi ikut-ikutan [Barat], perempuan jadi manajer, jadi direktur, laki-laki jadi bawahan, hasilnya apa? Ketika ada pelecehan, minta Undang-Undang KDRT, UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kan lucu…, kalian yang tak nutup aurat, kalian yang nggak mau di rumah, pas kena resikonya kalian nyalahin laki-laki”.
.
Sepintas ungkapan itu masuk akal. Terutama bagi mereka yang meyakini bahwa ruang publik sepenuhnya milik lelaki didasarkan kepada teks yang menyatakan lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Namun ceramah serupa yang disuguhkan sebagai keyakinan kebenaran dan bukan sekedar pendapat, dapat merontokkan harapan perempuan untuk layak di ruang publik sekaligus membenarkan ruang publik memang tak aman bagi mereka.
Sosialisasi dan normalisasi ajaran perempuan sebagai fitnah ini gencar bukan main. Ini dilakukan melalui ragam platform sosial media serta kampanye kreatif lainnya. Dalam 13 minggu, peneliti di suatu wilayah, misalnya peneliti mencatat ada 23 flyer yang menyebarkan ajakan perempuan berhijrah.
.
Ketiga, ajaran dan ujaran yang disampaikan terus menerus setiap hari itu mampu membobol mental mereka. Mereka cemas, takut, merasa tidak aman oleh sebuah hidden power yang terus menggedor kesadaran mereka bahwa mereka memang ditakdirkan sebagai suluh neraka. Pengecualiannya adalah jika mereka pasrah ikhlas pada apapun yang didapat dari suami sebagai imamnya.
.
Benar, suami adalah pencari nafkah, itu wajib. Tapi kalau ibu-ibu ikhlas atas apapun pemberian suami, tidak ngomel, tidak melawan, tidak maido (mencela), jannah menanti ibu dari mananpun pintu masuknya”.
.
Namun pelanggengan ajaran dan ujaran ini tak terjadi tanpa kuasa atas modal dan pasar.
“Mau jilbab Dewi Sandra, atau hijab Umi Pipik, atau Peggy Melati Sukma Umi jual, dulu juga jual kerudung bordir model Ibu Gus Dur, tapi sekarang nggak laku lagi, lagian kan nggak syar’i, pakai kerudung tapi leher kelihatan, mana bisa, makanya nggak laku saya juga nggak jual lagi.”
“Aurat perempuan ya aurat, mau bayi mau dewasa, barangnya itu-itu juga. Laki-laki banyak juga yang kegoda lihat aurat bayi perempuan. Jadi bukan asal jualan, kita jualan untuk dakwah, menghindari setan masuk ke pikiran, biar nggak terjadi zina, minimal ndak zina mata.”
.
Adopsi terhadap pandangan serupa ini juga nggak recehan. Mengikuti keyakinan bahwa tempat terbaik perempuan adalah di rumah, para subyek penelitian ”menerima” pembatasan ruang gerak ekonomi dan sosialnya. Sebagian besar, terutama kaum pendatang, seperti para pekerja urban, mengalami keterputusan dengan akar tradisinya karena ajaran [baru] yang mereka ikuti telah memutus mewajibkan untuk seluruh keterhubungan mereka dengan kampung (tradisi beragama, tradisi budaya, cara berpakaian, cara berkeluarga dan cara bersilaturahmi) dengan alasan untuk menghindari perbuatan dosa besar dari bid’ah. Hal ini memunculkan ketergantungan mereka kepada kelompok-kelompok barunya di kota yang diikat oleh keyakinan-keyakinan baru mereka dalam ragam kelompok seperti salafi. Seorang mantan buruh di Bekasi mengurai kegelisahannya.
“Kadang saya kangen pulang ke Jawa (xx), tapi di kampung tidak ada yang pakai hijab begini, Ibu saya karena belum paham juga tidak setuju saya pakai baju ini. Maklum ibu saya petani. Lebaran tahun lalu tersiksa rasanya karena banyak yang nggak ngaji sunah. Wara wiri tetangga saudara-saudara naik motor kreditan, isi rumah mebel baru kreditan. Padahal itu semuanya hasil riba, haram. Badan saya rasanya panas.”
.
Namun penelitian ini juga mencatat ragam perlawanan perempuan meskipun tidak/ belum membentuk agensi. Paling jauh berupa adaptasi terhadap perubahan- perubahan itu, atau perlawanan tanpa kekuatan pengorganisasian dan apalagi sikap kritis. Sebagian bahkan ”melawan” karena tak punya kesanggupan untuk ikut hijrah akibat kemiskinananya.
.
Demikianlah kekerasan ekstrem yang terpetakan dalam penelitian itu. Ini hanya dapat bisa dibaca dengan kaca mata yang peka dan sanggup membaca bagaimana perempuan dibentuk dan didefinisikan. Sistem patriarki telah melanggengkan kuasa laki-laki terhadap perempuan melalui kontrol, dan kepemilikan yang distrukturkan oleh ideologi dan sistem keyakinan. Padahal kontrol, kuasa, dan kepemilikan itu sangat rentan memunculkan kekerasan; fisik non-fisik serta hal-hal yang diakibatkan oleh sistem dominasi dan struktur yang menghasilkan ketidaksetaraan.
Situasi ini semakin gayeng karena pasar dan modal ikut melanggengkannya melalui konsep barang dan jasa serba syar’i. Namun, sikap negara yang seolah menarik jarak dari campur tangan terhadap masuk dan berkembangnya pandangan ekstrem serupa ini, telah melanggengkan kekerasan terhadap perempuan melalui hegemoni nilai-nilai patriarki yang terkandung dalam tafsir dan praktik keagamaan fundamentalis.
.
Hal ini jelas tak bisa terus berlangsung. Karenanya, penelitian ini merekomendasikan hal-hal yang seyogyanya dilakukan negara, masyarakat sipil, pelaku usaha utamanya para pendukung Islam moderat Indonesia secara lebih luas. Mewujudkan human security yang komprehensif dengan menggunakan perspektif gender yang mengharuskan tersedianya sistem perlindungan (protection) sekaligus pemberdayaan (empowerment) akibat cuci otak fitnah dan fitrah.
.
[] #Lies Marcoes 21102020

Suara yang Tak Terdengar di Keriuhan

Perempuan yang merupakan separuh populasi memiliki peran besar dalam kemajuan masyarakat apabila memiliki kuasa atas dirinya.

 

Dalam lima kali webinar terbatas secara berkala, lembaga riset Yayasan  Rumah Kita Bersama memaparkan hasil penelitian lapangan mengenai kekerasan berbasis jender akibat fundamentalisme agama.

Perempuan mengalami kekerasan simbolik, psikologis, ekonomi, bahkan fisik karena paham fundamentalisme berbasis agama menempatkan perempuan sebagai penggoda, penyebab kekacauan, dan sumber fitnah. Karena fitrah tersebut, hidup perempuan harus diatur dan dikendalikan laki-laki.

Terjadi pembagian kerja secara ketat, perempuan berada di ranah domestik, menutup rapat tubuh, patuh penuh kepada suami atau laki-laki di dalam keluarga. Untuk menertibkan perempuan, ada yang membolehkan kekerasan fisik kecuali wajah. Pengorbanan perempuan itu akan terbayar kelak di alam keabadian atau ketika negara sudah menerapkan paham fundamentalisme.

Penelitian kualitatif Yayasan Rumah Kita Bersama (Kitab) di Jakarta, Depok, Bekasi, Bandung, dan Solo terhadap 165 informan pada September 2019 hingga Juli 2020 memperlihatkan praktik dan ideologi fundamentalisme berbasis agama terus berjalan. Penelitian lapangan dilakukan hingga Maret 2020 karena dibatasi pendemi Covid-19.

Fundamentalisme dipersoalkan karena sifatnya yang antikeragaman dan mengklaim sebagai paling benar dalam keyakinan, kesukuan/ras, ideologi, bahkan kebudayaan.

Peneliti Rumah Kitab, Lies Marcoes Natsir, menyebut, fundamentalisme dalam penelitian ini dimaknai sebagai  paham yang, apa pun jenis kelompoknya, memperlakukan teks keagamaan secara tekstual sebagai kebenaran mutlak. Karena itu, penganut paham ini menganggap pandangan keagamaan mereka paling benar, otentik, dan otoritatif. Fundamentalisme dipersoalkan karena sifatnya yang antikeragaman dan mengklaim sebagai paling benar dalam keyakinan, kesukuan/ras, ideologi, bahkan kebudayaan.

Jumlah persis penganut paham fundamentalis tidak terdata, tetapi temuan riset di lima kota ini memberi cukup alasan untuk mengetahui lebih dalam apa dampaknya terhadap perempuan dan masyarakat.

Ajakan mengikuti paham ini melalui berbagai cara, menyesuaikan kondisi sosial dan ekonomi wilayah. Mulai dari ajakan melalui media sosial, pertemuan dakwah secara fisik, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan populer, hingga yang tegas menutup diri dari yang dianggap tidak sesuai ajaran.

Buruh pabrik tertarik mengikuti kelompok fundamentalis karena merasa rentan dan teralienasi

Di Bekasi, informan yang bekerja sebagai buruh pabrik tertarik mengikuti kelompok fundamentalis karena merasa rentan dan teralienasi ketika keluar dari komunitas kampung halamannya untuk bekerja di kawasan industri. Di Solo, perempuan yang berdaya secara ekonomi sebagai pengusaha dan pedagang batik di Laweyan yang biasa disebut Mbok Mase, ditarik ke ranah domestik melalui suami dan orangtuanya. Di Bandung, perempuan yang baik diukur dari pakaiannya dan diajak meninggalkan tradisi, seperti mendoakan dalam acara peringatan khusus orang yang sudah meninggal.

Perempuan yang bergabung di dalam kelompok-kelompok tersebut umumnya merasa membutuhkan pegangan di tengah perubahan cepat masyarakat sekitarnya. Agama menjadi pilihan karena dianggap dapat memberi tuntunan hidup yang membawa keselamatan dunia dan akhirat.

Menolak yang berbeda

Di dalam wacana politik mengenai Indonesia, banyak ahli dan aktivis demokrasi sepakat Indonesia tengah mengalami tanda-tanda kemunduran demokrasi. Kemunduran itu belum menuju hancurnya demokrasi, tetapi memengaruhi kehidupan masyarakat.

Indonesia dianggap berhasil melakukan transisi menjadi negara demokrasi setelah melalui peralihan rezim pada tahun 1998. Demokrasi penting untuk membawa masyarakat menjadi lebih sejahtera, bahagia, dan berkelanjutan. Masyarakat dapat ikut berpartisipasi dan mengawasi pembangunan tanpa rasa takut. Berbagai komunitas dan kelompok masyarakat yang beragam, terutama kelompok minoritas, dapat hidup damai meski berbeda-beda.

Buku Democracy in Indonesia, from Stagnation to Regression? yang diluncurkan dan didiskusikan pada Rabu (23/9/2020) dan Jumat (25/9) mengajukan sejumlah hasil penelitian serta pengamatan terhadap perkembangan demokrasi Indonesia dalam 10 tahun terakhir.

Demokrasi Indonesia belum terancam runtuh, tetapi terdapat beberapa tanda menunjukkan mulai ada kemunduran.

Buku ini masih menggunakan tanda tanya pada subjudul, From Stagnation to Regression?  Isi buku ini berargumentasi, demokrasi Indonesia belum terancam runtuh, tetapi terdapat beberapa tanda menunjukkan mulai ada kemunduran.

Untuk mendukung argumen yang tertera pada judul, buku yang ditulis sejumlah peneliti dari Indonesia dan pengamat Indonesia ini  mengajukan contoh-contoh langkah yang diambil pemerintah, tindakan elite politik, dan masyarakat. Editor buku adalah Thomas Power, pengajar Department of Indonesian Studies, School of Languages and Cultures, University of Sydney, dan Eve Warburton, postdoctoral fellow, Asia Research Institute, National University of Singapore, dan diterbitkan ISEAS.

Salah satu topik bahasan buku adalah munculnya politik populis secara nyata yang digunakan individu, pimpinan partai politik, dan kelompok-kelompok di masyarakat, termasuk kelompok keagamaan, untuk memobilisasi massa secara langsung.

Membangun hubungan langsung dengan massa, warga, atau umat adalah salah satu ciri politik populis. Menurut Liam Gammon, salah seorang penulis dalam buku ini, cara hubungan langsung tersebut, antara lain, dengan memunculkan politik identitas atau kebijakan redistribusi, misalnya melalui berbagai bentuk program bantuan bagi masyarakat.

Politik identitas banyak menjadi sorotan karena ikut menyebabkan masyarakat terbelah.

Politik identitas banyak menjadi sorotan karena ikut menyebabkan masyarakat terbelah. Dalam Pemilu 2019, politik identitas sangat kuat dimainkan para peserta pemilu. Menjelang peringatan peristiwa 30 September 2020, politik identitas kembali dimainkan.

Di tengah keriuhan politik praktis pada aras makro, ada yang luput dari pengamatan: subordinasi perempuan melalui politik identitas di tingkat komunitas seperti ditunjukkan hasil penelitian Rumah Kitab. Pendekatan populis dilakukan tanpa riuh-rendah, melalui  pendekatan ajaran agama dan daya tarik personal, langsung pada sasaran untuk menarik pengikut.

Wacana inklusif

Seberapa luas paham ini memengaruhi masyarakat, belum terdata.  Akan tetapi, temuan Rumah Kitab memperlihatkan kelompok fundamentalis menyebar di kawasan cukup luas, sebagian memiliki latar belakang yang menunjang munculnya paham fundamentalisme.

Penundukan perempuan melalui domestikasi bernilai strategis. Melalui penugasan perempuan sebagai pengasuh anak-anak, transmisi pemahaman fundamentalisme dapat terjadi langsung.

Dengan bekerja di luar rumah, perempuan memiliki kesempatan bertemu dan membahas berbagai hal yang meningkatkan pengetahuan dan kapasitasnya.

Amartya Sen, penerima Nobel Ekonomi, dalam bukunya Development as Freedom menegaskan pentingnya agensi perempuan dalam pembangunan. Perempuan yang bekerja dan mendapat penghasilan bernilai ekonomi  akan meningkat agensinya. Memiliki penghasilan menaikkan daya tawar perempuan di dalam keluarga untuk terhindar dari kekerasan. Dengan bekerja di luar rumah, perempuan memiliki kesempatan bertemu dan membahas berbagai hal yang meningkatkan pengetahuan dan kapasitasnya. Jika hal buruk terjadi di dalam rumah, perempuan memiliki peluang lebih besar untuk sintas.

Catatan Rumah Kitab dari hasil penelitian ini adalah belum tersentuhnya potensi kekerasan berbasis agama oleh berbagai program kesetaraan jender pemerintah ataupun lembaga nonpemerintah. Wacana keagamaan yang inklusif, toleran, dan interpretasi teks keagamaan yang lebih terbuka perlu dipopulerkan yang mengisi kebutuhan individu dan komunitas terhadap persoalan sehari-hari.

 

Sumber: https://bebas.kompas.id/baca/bebas-akses/2020/10/10/suara-yang-tak-terdengar-di-keriuhan/?fbclid=IwAR0tmLuiDI-_H1s1x4MPCGP8V09Wiee-tBIhRNLh25tPOuus7reiudJp_Oo