Pos

Sejarah Salafi dan Wahabi

Oleh Nur Hayati Aida

Perkawinan antara Wahabisme dan Salafisme melahirkan kelompok puritan. Ciri kelompok puritan adalah pada satu sisi merasa jumawa dan bangga dengan kelompoknya, dan pada satu sisi yang lain merasa sedang ditindas, diintimasi, dizhalimi oleh liyan. Liyan di sini bisa jadi pemerintah, Barat, atau kelompok-kelompok di luar mereka. Dan bahkan, bisa jadi liyan adalah sesuatu yang mereka khayalkan sendiri dan wujudnya tak pernah ada. Semacam ketakutan dan musuh bersama yang terus dibangun dan dipupuk untuk terus dimusuhi.

Begitu kira-kira pembacaan Khaled Abou al-Fadl pada kelompok puritan yang lahir atas persilangan Wahabisme dan Salafisme. Meski buku ini kecil dan tipis, tapi saya rasa Khaled Abou Fadl berhasil dengan baik memaparkan dan menjelaskan siapa, apa, kapan, dan bagaimana Wahabi serta Salafi muncul dan kemudian berkembang sampai saat ini.

Wahabi, dalam pandangan Khaled Abou Fadl, kelahirannya didorong oleh rasa kekhawatiran yang besar Muhammad bin Abdul Wahab atas situasi yang menimpa umat Muslim. Umat Muslim pada saat Muhammad bin Abdul Wahab hidup di abad delapan belas sedang berhadapan dengan modernisme yang dibawa oleh Barat. Modernitas itu kemudian membawa dampak yang, menurut Muhammad bin Abdul Wahab, tak sepenuhnya baik. Ada residu yang membuat keimanan kaum Muslim makin lama makin terkikis. Selain juga semakin jauhnya masyarakat Muslim dari ajaran Islam yang murni dan asli disebabkan telah terjadi percampuran dengan tradisi dan hal-hal baru yang dibuat oleh masyakat belakangan. Dari sinilah, Muhammad bin Abdul Wahab terobsesi untuk mengembalikan ajaran Islam pada sesungguhnya ajaran tanpa sedikitpun ‘ternodai’ dengan kebaharuan yang tak perlu. Para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab yang belakangan disebut dengan Wahabi –karena menisbahkan nama pada pencetus gerakannya– menyebutnya sebagai bid’ah. Bagi kelompok Wahabi tak ada bidah yang baik. Bidah seluruhanya adalah keburukan.

Para pelaku bidah, oleh Wahabi, dihukumi sebagai orang yang kafir. Dan sebagaimana kafir, maka darahnya halal untuk ditumpahkan. Pemahaman keras Wahabi semacam ini, menurut Khaled Abou Al-Fadl, dirujuk Muhammad bin Abdul Wahab pada kisah Abu Bakar (Khalifah pertama paska Nabi Wafat) yang membakar (membunuh) orang yang munafik, meski seseorang itu menjalankan keseluruhan rukun Islam. Preseden yang digunakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab untuk menjustifikasi ajarannya ini telah dikritik oleh para sarjana Muslim lainnya, karena, menurut mereka, Islam tak pernah mengajarkan untuk membantai dan membunuh dengan cara yang kejam, meski dalam peperangan. Tapi, tentu saja kritik itu tak pernah dihiraukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab.

Sulayman, sudara Muhammad bin Abdul Wahab, dalam risalahnya yang dikutip oleh Khaled Abou Al-Fald, mengkritik keras tindakan saudaranya itu dengan mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab bukanlah orang yang berpendidikan dan merupakan seoarang yang fanatik. Menurut Sulayman, bagaimana mana mungkin selama berabad lamanya umat Muslim berada dalam kelapan dan baru tersadar ketika Muhammad bin Abdul Wahab mengajarkan gagasannya. Sesuatu, yang menurut Sulayman, agak musykil untuk diterima.

Muhammad bin Abdul Wahab bisa dengan mudah menuduh kafir bagi siapa saja yang tak sejalan dengan pemikirannya. Islam, bagi Muhammad bin Abdul Wahab, adalah Islam ala Badui yang kaku dan murni. Sembari terus mengkampanyekan untuk tidak melakukan taklid (pada hal yang mereka tidak suka), pada satu sisi lain Muhammad bin Abdul Wahab menganjurkan orang untuk mematuhi cara pandang yang ia bangun dan menurutnya paling benar.

Pandangan Muhammad bin Abdul Wahab ini, menurut Khaled Abou Al Fadl, menjadi berbahaya di masa sekarang jika agama digunakan untuk menjustifikasi kekerasan pada kelompok lain yang tak sepemahaman. Bukan saja pada kelompok Non Muslim, pun pada sesama Muslim yang tak sepandangan.

Sebetulnya, kecil kemungkin ajaran Wahabi ini bisa berkembang sebagaimana sekarang jika ia tak berkoalisi dengan klan Sa’ud dan Inggris untuk bersama-sama menaklukkan dominasi Turki Usmani pada masa itu. Koalisi di antara ketiganya ini tidak semata-semata terkait agama. Klan Saud ingin bertahta di Saudi, Inggris berambisi mengeksploitasi kekayaan alam, dan Wahabi berkepentingan untuk mendudukkan pandangannya sebagai pamahaman resmi yang tersebar seantero wilayah Arab. Namun, di sisi yang lain, ada semacam kecemburuan etnis, yaitu antara Arab dan Non Arab (Turki), di mana Turki Usmani dianggap bukan bagian dari Arab –dan tak layak untuk memimpin bangsa Arab.

Sedangkan Salafisme, oleh Khaled Abou Fadl, adalah sebuah keyakinan yang dilahirkan pada abad 19 di masa Muhammad Abduh. Tetapi, istilah Salafi juga ada yang merukuk pada Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al Jauziyah. Istilah Salafi sendiri merujuk pada salafus salih, yaitu generasi pertama dalam Islam. Salafi pada beberapa hal serupa dengan Wahabi, tetapi, menurut Khaled Abou Fadl, Salafi versi lebih ‘lunak’ dari Wahabi. Salafi tidak memusuhi tasawuf sebagaimana Wahabi –di mana diyakini oleh Wahabi tasawuf yang berasal dari Persia, praktik tawasul yang berasal dari Turki, dan filsafat Yunani sebagai biang keladi atas kemunduran Islam.

Cara pandang Salafi, menurut amatan Khaled Abou Fadl, dalam membaca teks mula-mula lentur. Hal ini dilakukan untuk memberikan respons pada permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Teks (agama) harus bisa berdialog dan setidaknya memberikan solusi jawaban pada permasalahan atau konteks yang terjadi. Dalam taraf ini, kita bisa melihat Muhammad Abduh dengan tafsir al-Manar-nya yang merupakan sebuah ikhtiar menawarkan pembacaan baru pada teks agama yang moderat. Tetapi, cara baca salafi ini pada kemudian hari jatuh pada tekstualias dan kehilangan elan-nya. Di mana penafsiran yang ada hanyalah pemaknaan literal pada teks belaka. Sebelum era itu tiba, Salafi pernah merespons setiap masalah dengan mendedahkan bahwa agama menyediakan setiap jawaban dalam permaslahan manusia dan tanpa terkecuali. Seolah-olah teks agama adalah stempel yang bisa dipakai di mana sana.

Nama yang cukup mendapatkan perhatian serius oleh Khaled Abou Fadl adalah Sayyid Qutb. Qutb sendiri mula-mula seorang terpelajar yang moderat. Ia bergabungan Ikhwanul Muslimin (IM), suatu organisasi bentukan Hasan al-Banna. Pada masa Gamal Abdul Nasser, Ikhwanul Muslimin hendak dibubarkan, pada saat itu banyak aktvis yang dipenjara. Di antara adalah Qutb. Dalam penjara itu, Qutb mendapatkan siksaan dari pihak berwenang. Menurut Khaled Abou Al-Fadl, siksaan di penjara itulah yang membuat Qutb menjadi militan dan menginspirasinya untuk membuat buku yang masyhur, Ma’alim fi al Thariq. Dalam buku itu Qutb menyerukan masyarakat Muslim untuk berhijrah ke tanah Islam yang sejati, dan apabila tidak melakukannya maka dipandang murtad atau kafir. Qutb boleh jadi adalah inspirasi jihad dengan jalan kekerasan.

Catatan ini sepertinya tidak mampu menggambarkan keseluruhan isi buku yang kecil namun sarat informasi ini. Bila Anda punya waktu dan kesempatan, saya sarankan untuk membacanya.

Lies Marcoes: Aktivis Perempuan Islam yang Peduli Kesetaraan Gender

Cita-cita Islam adalah kesetaraan, termasuk bagi perempuan. Makanya, Lies menilai kaum hawa dan Islam adalah dua elemen yang tak terpisahkan untuk diperjuangkan.

tirto.id – Nama Lies Marcoes Natsir tak pernah absen dari perbincangan soal wacana dan gerakan perempuan Islam. Ia disebut sebagai salah satu ahli Indonesia di bidang gender dan Islam. Lies berperan merintis gerakan kesetaraan gender dengan menjembatani perbedaan antara feminis muslim dan sekuler. Selain itu, ia juga mendorong kaum feminis untuk bekerja mewujudkan kesetaraan gender di bawah Islam.

Lies aktif berkegiatan di Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), lembaga penelitian yang digagas para santri dan tokoh pesantren Cirebon. Organisasi tersebut memiliki sejumlah agenda kegiatan yang berbasiskan pada visinya memproduksi pemikiran kritis tentang keislaman Indonesia dan perubahan sosial yang berpihak pada kaum marjinal. Saat ini, Lies didapuk menjadi direktur eksekutif Rumah KitaB.

Menurut Neng Dara Affiah dalam Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia (2017), Lies Marcoes Natsir termasuk aktor penggerak organisasi Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Hal ini dikarenakan Lies menjadi pencetus lahirnya program fiqh-an-Nisa di LSM yang aktif mempromosikan kesehatan reproduksi perempuan dan wacana Hak Asasi Manusia pada komunitas muslim tersebut.

Fiqh-an-Nisa fokus membahas teologi perempuan dengan mengembangkan isu kesehatan dan hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam. Neng Dara Affiah menjelaskan advokasi hak-hak perempuan dikembangkan melalui fiqh-an-Nisa dengan target kelompok yang disasar meliputi juru dakwah (muballigoh), guru agama (ustadzah), pengasuh pondok pesantren, dan organisasi perempuan Islam. Tapi kalangan pesantren menjadi sasaran utama kegiatan program itu.

Perhatian Lies pada Islam dan gender tak lepas dari latar belakang keluarga dan minatnya pada ilmu sosial. Lies tumbuh di kota Banjar, Jawa Barat bersama orang tua dan sembilan saudaranya. Ibu Lies adalah anggota Aisyiyah, kelompok sayap perempuan Muhammadiyah. Sementara itu, sang ayah datang dari keluarga Islam tradisional tapi kemudian turut berkecimpung di kegiatan Muhammadiyah.

Pada tahun 1978, Lies memutuskan merantau ke Jakarta untuk kuliah di Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Teologi Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah. Ia kemudian melanjutkan studi magisternya di bidang Antropologi Kesehatan di University of Amsterdam. Selama itu, Lies berkenalan dengan peneliti dan aktivis yang turut mendorongnya belajar lebih jauh tentang gender dan feminisme. Sosok-sosok tersebut adalah Martin van Bruinessen (peneliti Indonesia dari Belanda) dan aktivis perempuan seperti Saskia Wieringa, Mies Grijns, dan Julia Suryakusuma.

Islam, Perempuan, dan Kesetaraan Gender

Menurut Lies, perempuan dan Islam adalah dua hal yang tidak dipisahkan. Ia mengatakan bahwa Islam yang tumbuh di dalam tradisi budaya Indonesia berbeda dengan Islam di wilayah lain seperti Afrika atau Afghanistan. “Islam di Indonesia tumbuh dalam dua keping lahan saya kira. Satu, perlawanan terhadap kolonialisme yang Islamnya menjadi Islam kiri karena perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Nah yang kedua, culture Indonesia walaupun dari masyarakat agraris, masyarakat pedagang, masyarakat kelas yang dipengaruhi oleh kolonialisme jadi elite sekuler, itu memberi ruang, tempat, posisi yang bagus pada perempuan dibandingkan di wilayah-wilayah Islam lain,” kata Lies kepada Tirto.

Islam di Indonesia, lanjut Lies, adalah Islam jalan tengah atau moderat yang cukup memberi ruang pada pemahaman yang inklusif. Makanya, kesempatan perempuan untuk eksplorasi dan berkiprah di ruang publik cukup besar. Hal ini didukung pula oleh kultur masyarakat Indonesia yang memberi tempat terutama di sektor informal bagi perempuan.

Di era demokrasi, gabungan antara pengalaman masa lalu, Islam moderat, dan kultur orang Indonesia mampu menjadikan perempuan sebagai penentu arah Islam di masa depan. “Kalau perempuannya terdidik, kalau perempuannya memperoleh ruang-ruang yang baik untuk menginterpretasikan bagaimana mereka memaknai teks suci misalnya itu sebetulnya luar biasa,” ujar Lies.

Tapi, Lies tak memungkiri bahwa agama kerap menjadi pembenaran tindakan kekerasan pada perempuan. Selain itu, posisi mereka terkadang terpinggirkan ketika berhadapan dengan agama. “Kenapa bisa begitu, [karena] perempuan kemudian menjadi elemen yang dikontestasikan sebagai bagian dari demokrasi dan dukungan politik,” katanya.

Lies mencontohkan soal gagasan perempuan tidak boleh memimpin di mana ide itu muncul ketika Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri menjadi presiden Indonesia. Pada waktu itu, semua orang kembali ingat pada pandangan konvensional yang bersumber dari hadis yang mengatakan sebuah negara akan hancur jika dipimpin perempuan. “Faktanya perempuan bisa di ruang publik, memimpin, jadi hakim bisa. Tapi begitu perempuan ada peluang untuk bisa menjadi pemimpin tiba-tiba orang ingat teks dan itu dikuatkan terus,” jelasnya.

Kejadian tersebut tidak hanya terjadi pada saat itu tapi juga masa kini. Lies berkata Indonesia sekarang tengah berhadapan dengan masyarakat teks yang berpedoman pada fikih. “Padahal sebelumnya kan enggak begitu, masyarakat konteks. Nah, masyarakat teks dengan kepentingan politik yang kawin dengan masyarakat teks internasional, transnasional, dan fundamentalisme kemudian melahirkan ide merumahkan perempuan, menganggap perempuan harus dikerudungi, dan ruang publik bukan ruang perempuan,” terangnya.

Menurut Lies, isu paling besar saat ini yang membutuhkan kerja sama di antara para aktivis perempuan Islam adalah penerimaan perempuan secara riil di ruang publik. Selain itu, problem yang dihadapi perempuan akibat kondisi sosiokultural dan perubahan ekonomi juga patut menjadi perhatian. Salah satu persoalan yang harus menjadi agenda bersama adalah naiknya angka perkawinan anak.

Lies berkata masalah perkawinan anak selama ini kerap dibaca menurut kacamata hukum. Padahal, ia menilai aspek hukum hanya puncak persoalan sedangkan problem lain yang justru menjadi penyebab utama tak ditangani.

“Jadi itu kan ada persoalan kultural, perpecahan keluarga ekonomi sejak tanah itu hilang di desa orang migrasi itu perempuan yang paling kena, ada persoalan adat, ada persoalan korupsi, ada persoalan interpretasi agama, ada persoalan hubungan kota dan kampung, itu gede banget isunya. Tapi kemudian direduksi, itu problem. Artinya problemnya adalah problem intelektual dalam membaca realitas,” kata Lies. Permasalahan intelektual tersebut, menurut Lies, dipengaruhi oleh munculnya masyarakat teks tadi.

Upaya memperbaiki kualitas kehidupan perempuan pun wajib diusahakan sebab cita-cita Islam adalah kesetaraan. “Kelas, warna kulit, gender, situasi status sosial, itu kan yang terus diperjuangkan oleh nabi jadi harapannya ke arah sana, menuju ke arah nilai-nilai universal,” ujar Lies.

Lies berkata masyarakat pra-Islam hanya mengenal laki-laki dan tidak merekognisi perempuan. Ketika Islam berkembang, baik Al-Quran maupun hadis meletakkan perempuan secara setara tapi tetap berkiblat pada laki-laki.

“Kita masih berada di sini, kiblatnya masih laki-laki, kadang-kadang laki-laki membesar perempuan mengecil, kadang-kadang bisa setara, tapi tidak bisa sebaliknya. Jadi selalu ruang itu, terutama ruang publik, perempuan kalau dari ruang domestik ke ruang publik itu kayak penumpang gelap, kadang-kadang diterima, kadang-kadang enggak. Tapi apa sebenarnya cita-cita Islam itu menuju ke kesetaraan,” jelas Lies.

Sumber: https://tirto.id/lies-marcoes-aktivis-perempuan-islam-yang-peduli-kesetaraan-gender-cL45

Negara ISIS: Delusi Hidup Berkah di Tanah Khilafah

Sebelum menyesal, alangkah baiknya pikir-pikir lagi bila Anda mendukung ISIS.

 

tirto.id – Dalam konflik Suriah, perlu memahami dua istilah antara deportan dan returnis. Pandangan umum: dua istilah ini kerap diartikan sama, padahal keduanya berbeda.

Deportan adalah mereka yang hendak menyeberang ke Suriah dari Turki secara ilegal dan bergabung ISIS. Namun, di tengah jalan, saat memasuki wilayah perbatasan, pemerintah Turki memergoki mereka. Setelah ditahan beberapa bulan, para deportan ini dipulangkan ke Indonesia. Data Kementerian Luar Negeri menyebut total WNI yang dideportasi dari Turki berjumlah 430 orang. Rinciannya: 193 orang pada 2015, 60 orang (2016), dan 177 orang (2017).

Sementara returnis secara umum adalah WNI yang berhasil masuk ke dalam wilayah Suriah dan kembali pulang ke Indonesia. Data dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) memperkirakan sedikitnya ada 87 returnis ke Indonesia.

Sidney Jones, Direktur IPAC, berkata kepada Tirto bahwa kehadiran returnis WNI di Suriah tak sekadar jadi kombatan, “Tetapi banyak juga yang datang dengan status relawan kemanusiaan.”

Di sisi lain, kehadiran relawan ini pun tak semata bergabung ISIS. Banyak juga yang berafiliasi dengan kelompok milisi Islam seperti Ahrar Al Syam dan Hay’at Tahrir al-Sham (semula bernama Jabhat Al Nusra, cabang Al-Qaeda di Suriah), atau bahkan kelompok pemberontak moderat macam Pasukan Pembebasan Suriah (FSA).

Dalam konteks ISIS, Jones menyebut ada beberapa returnis dalam pemantauan atau ditahan aparat kepolisian Indonesia. Namun, banyak juga yang kooperatif dan sudah dianggap tidak berbahaya, contohnya seperti 18 orang returnis yang dipulangkan ke Indonesia pada medio 2017. Status keluarga-keluarga itu cukup unik karena selama hampir dua tahun mereka pernah tinggal di kota Raqqa, ibukota kekhilafahan Daulah.

 

Sejak Oktober 2017, kami sering berjumpa dan berdiskusi dengan para WNI yang sempat merasakan secara langsung hidup di bawah naungan pemerintahan ISIS. Bagi mereka, masa lalu itu dianggap sebagai kejadian kelam yang mesti dilupakan.

Demi alasan keamanan karena ancaman nyata dari sel tidur simpatisan ISIS, ditambah minimnya perlindungan dari aparat kepolisian, beberapa returnis minta kepada kami agar identitasnya tak disebutkan dalam artikel ini.

Pada beberapa kasus, banyak returnis ISIS yang dimusuhi oleh simpatisan ISIS. Beberapa di antaranya bahkan menerima intimidasi kekerasan, tak peduli di dalam penjara sekalipun. Setidaknya pengalaman ini diterima oleh dua narasumber kami, yang kini ditahan di penjara Polda Metro Jaya. Keduanya kapok membela organisasi yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi. Mereka dikenal kooperatif dan sering membantu polisi membantu menyadarkan simpatisan ISIS lainnya.

 

Memaksa Para Simpatisan ISIS untuk Jadi Kombatan

Satu keluarga besar ini berangkat pada Agustus 2015 atau setahun setelah Abu Bakar al-Baghdadi mendeklarasikan kekhalifahan ISIS di Mosul pada Juni 2014. Seperti para simpatisan ISIS lain, mereka mengamuflase kepergian ke Suriah dengan berdarmawisata via Turki. Setelah dua minggu di negeri Erdogan itu, mereka berpisah dalam kelompok-kelompok kecil di daerah perbatasan provinsi Gaziantep.

Di tengah gelap gulita malam, selama tiga jam, mereka berjalan kaki menyusuri ladang perkebunan semangka milik warga lokal. Setelah berpisah, mereka bertemu pada titik yang sama sesudah melintasi perbatasan.

Di lokasi inilah perwakilan Daulah sudah menunggu. “Paspor, dokumen identitas, dan handphone semua diambil,” kata Salma, bukan nama sebenarnya, yang pergi dengan suami dan dua anaknya.

Lantas mereka dibawa ke kamp yang khusus menampung para pendatang atau lazim disapa kaum muhajirin. Para laki-laki dewasa dipisah dengan perempuan dan anak-anak.

Bagi kaum pria, mereka langsung ditempatkan dalam asrama selama tiga bulan. Program berbeda dijalani tiap bulan. Bulan pertama, proses adaptasi. Bulan kedua, proses indoktrinasi dengan mencekcoki pemahaman agama yang kurikulumnya diatur oleh ISIS. Bulan ketiga, mereka diajak untuk i’dad alias berlatih perang memegang senjata.

Bagi pendatang, i’dad adalah fase terpenting. Usai i’dad, mereka diberi identitas khusus oleh Daulah dan diberi cap sebagai tentara khilafah. Pada fase ini mereka menerima penentuan di katibah (unit) militer mana akan bertugas.

Namun, tak semua kaum pria yang kepincut berhijrah ke wilayah ISIS berambisi jadi kombatan. Ada juga yang hanya ingin tinggal di wilayah ISIS dengan hidup normal, tanpa harus angkat senjata.

Di antaranya adalah keluarga Salma. Kaum pria dewasa pada keluarga ini menolak berlatih militer. Konsekuensinya, beberapa di antara mereka dipenjara.

“Selama di penjara, mereka tetap paksa kami untuk ikut. Tapi tetap kami tolak. Untungnya, kemudian kami dibebaskan. Tapi, konsekuensinya, kami tak punya identitas, jadi tak leluasa untuk pergi keluar,” kata Farhan, bukan nama sebenarnya.

Dari sinilah anggapan positif terhadap Negara Islam ala ISIS mulai perlahan luntur. Status pembangkang yang disematkan terhadap kaum pria dari keluarga ini membuat mereka tak bisa tinggal satu atap dengan istri dan anak-anak mereka; dan di sisi lain, soal urusan papan memang sudah ditanggung oleh ISIS.

Infografik HL Indepth Fans ISIS

 

Dibenci oleh Penduduk Setempat

Lazimnya birokrasi ISIS memang memberi jatah tempat tinggal secara cuma-cuma kepada para tiap muhajir. Rumah atau apartemen ini mereka sita secara paksa dari penduduk sipil lokal. Alih-alih bersikap adil, ISIS seringkali dibenci kaum madani atau penduduk lokal Raqqa. Kata Salma, ISIS lebih eksklusif dan mementingkan kelompoknya sendiri.

“Kalau ada pemboman di sana-sini oleh pesawat jet Sekutu, setelah bom jatuh, aktivitas penduduk lokal itu normal lagi kayak biasa,” kata Salma.

“Harusnya lihat pasar dibom ada ghirah [semangat] untuk bantu mereka. Tapi ini biasa aja. Jadi pertanda bahwa orang lokal juga enggak suka mereka (militan ISIS),” tambahnya.

Ia mengatakan kombatan ISIS sering berlaku kasar dan keras terhadap penduduk lokal, wajar jika mereka tak disukai. “Kalau kata mereka, sebetulnya saat kami bergaul dengan madani itu enggak boleh. Tentu ini kan ngaco. Ini bukti dia enggak jalankan agamanya dengan benar,” kisah Salma.

Ia mencontohkan dalam soal berpakaian. Dewan syariat ISIS membuat aturan penyeragaman berpakaian hitam-hitam bagi kaum perempuan. “Kalau kami sebagai muhajir ya dikasih. Kalau orang madani dipaksa untuk beli. Mau enggak mau harus beli. Kalau tidak, seragam nanti kena razia lalu ditangkap,” kata Salma.

Begitu juga dalam soal fasilitas pelayanan publik. Bagi mereka yang mengabdi dan terdata sebagai pegawai atau kombatan ISIS, ada fasilitas kesehatan secara cuma-cuma. “Saya dulu dapat, tapi cuma pas awal-awal. Setelah itu ya bayar. Kalau penduduk madani, ya bayar. Enggak ada yang gratis.”

Adab Seorang Muslim yang Sering Diabaikan

Dalam hadis memang sering menyebut Syam sebagai tanah yang diberkahi. Syam juga dipercaya sebagai benteng yang aman dari huru-hara dan fitnah akhir zaman. Manaratul baidha’ atau menara putih yang jadi tempat turunnya Imam Mahdi dan Nabi Isa Alahissalam dipercaya berada di Syam.

Narasi inilah yang terkadang mengiming-imingi para simpatisan ISIS agar mau hijrah ke Suriah. Pendakuan ISIS sebagai kekhalifahan yang sesuai manhaj kenabian memperparah itu. Mereka mengklaim sebagai negara yang menerapkan hukum Syariat Islam secara kaffah.

Salma, Farhan, dan returnis ISIS lain semula percaya dan yakin dengan propaganda ini. Faktanya, setelah mengalami dan melihat langsung pesan-pesan ISIS, hal itu kebohongan belaka.

“Ada banyak adab-adab yang mereka abaikan. Dan terkadang terlalu keras dan menambah dalil-dalil sendiri,” ucapnya.

“Aku kadang suka gemes, kalau membicarakan mereka,” kata Salma.

Kombatan ISIS amat jauh dari nilai-nilai keislaman, ujar Farhan. Ia mencontohkan hal sepele. Adab seorang muslim saat bertamu adalah jika tiga kali mengetuk pintu sang pemilik tak membukanya, maka dia harus pergi. “Kalau sama ISIS, tiga kali ketuk enggak dibuka, ya didobrak pintunya,” kata Farhan, sambil terkekeh.

Hidup secara Islami yang mereka rasakan di Raqqa dan masih berkesan mungkin hanya dalam soal salat tepat waktu. Farhan bercerita, saat azan berkumandang, kaum pria langsung menggelar tikar dan salat berjamaah. Namun, katanya, tindakan spontan itu pun sebetulnya didasari karena rasa takut. Karena jika tak menghentikan aktivitas, warga siap-siap saja ditangkap polisi syariat.

Dalam Islam memang membolehkan seorang pria beristri lebih dari seorang. Namun dalil ini acap kali dijadikan kombatan ISIS di Raqqa untuk memuaskan syahwat mereka.

Farhan bercerita, suatu ketika ada seorang kombatan yang menaksir salah seorang saudaranya. Namun, saat dijelaskan bahwa si perempuan sudah bersuami, si kombatan itu malah berharap agar sang suami segera mendapat syahid alias lekas mati.

Nur adalah salah seorang returnis yang ikut dalam rombongan pemulangan pada Agustus 2017. Usai kabur dari Raqqa bersama keluarganya, ia sempat ditahan oleh pasukan Kurdi (SDF) di Kamp Ayn Nissa, Suriah. Kepada BBC, Nur mengakui bahwa topik yang selalu dibicarakan para kombatan dan simpatisan ISIS hanya soal perempuan.

Ia mengaku pernah dikejar-kejar milisi ISIS yang ingin menjadikannya sebagai istri. “Banyak milisi ISIS yang duda, mereka menikah hanya dua bulan atau dua pekan saja. Banyak laki-laki datang ke rumah dan mengatakan ke ayah saya, ‘Saya ingin anakmu,'” kata Nur.

Hal ini dibenarkan oleh Dwi Djoko Wiwoho, ayah Nur. Djoko ikut bersama Nur ke Suriah. Dalam video yang dirilis BNPT, Djoko mengatakan pernah suatu ketika ada kombatan yang bertanya tidak sopan.

“Sampai di sana malah disuruh kawin. Anak saya yang kecil sampai ditanya, ‘Haidnya kapan, cari tahu, ya,’” ujar Djoko.

Melihat delusi yang terjadi di Suriah, Farhan hanya berpesan satu hal bagi simpatisan ISIS di Indonesia yang masih loyal dan percaya pada Daulah: “Untuk apa masih tetap menggebu-gebu dukung Daulah? kalau tahu betul [merasakan] di sana, yang ada hanya rasa kecewa.”

 

Sumber: https://tirto.id/negara-isis-delusi-hidup-berkah-di-tanah-khilafah-cLn5

Membaca Perempuan Pelaku Bom

Oleh Lies Marcoes

aktivis perempuan, peneliti perempuan dalam kelompok radikal

Di antara komentar atas tragedi bom di Surabaya 13-14 Mei 2018 lalu, ungkapan keterkejutan atas fakta bahwa salah satu pelakunya perempuan dengan membawa serta anak-anaknya begitu menonjol. Meski tak selalu eksplisit, tekanan nadanya penuh  penghakiman. Implikasi lain dari absurdnya fakta itu memunculkan spekulasi bahkan tuduhan bahwa ini merupakan rekayasa yang sempurna.

Tak kalah tingkah, awak media pun kerap bertanya soal kenormalan atau keabnormalan pelaku. Media pun cenderung menggiring pada jawaban yang seolah  memberi rasionalitas atas tindakan yang tak masuk akal itu. Misalnya soal isyarat gangguan psikologis, atau penanda adanya gangguan kejiwaan atau hal-hal lain yang intinya menjelaskan tentang prilaku abnormal itu. Namun sebegitu jauh, perangkat studi tentang  konstruksi sosial atas peran gender yang menjelaskan perempuan  bisa menjadi pelaku bom bunuh diri jarang diperhitungkan.

Perempuan, sebagaimana lelaki, dibentuk, dicita-citakan, diharapakan untuk bertingkah laku sesuai harapan masyarakatnya. Meskipun rentang harapan itu tidak ajek, secara umum perempuan diharapkan berwatak halus, lembut, baik, pengasih, penyayang dan seterusnya. Harapan ini dibentuk karena perempuan dianugerahi kemampuan fungsional reproduksi, sehingga melalui rahimnya ia sanggup melahirkan anak. Atas kesanggupan itu, perempuan dikonstruksi secara sosial politik (harus) melanjutan fungsi reproduksi biologisnya ke fungsi reproduksi sosial. Kemampuan kedua itu antara lain menjalani peran perawatan, pemeliharaan, pemberian kasih sayang, melindungi, mengurus dan seterusnya. Karenanya mereka dicitrakan dan dipantas-pantaskan memiliki sifat kelembutan, keibuan, penuh kasih, cinta dan  kasih sayang. Mereka juga diharapkan sedia berkorban sebagai perwujudan lain dari watak feminin itu. Rentang pengorbanan yang dituntut bisa memuai tak terbatas dari keluarga  hingga dunia global. Pengorbanan perempuan demi keluarga, demi kehidupan, demi perjuangan seringkali diglorifikasikan dalam beragam bentuk ekspresi dari puisi hingga petisi, dari ayat suci sampai ayat konstitusi. Narasinya adalah perempuan pemilik mutlak kelembutan, welas asih, rasa kasih sayang dan sederet ekspresi lain yang meneguhkan kepemilikan sifat feminin dan karenanya mustahil melakukan hal yang sebaliknya.

Harapan yang bersifat gender (konstruksi sosal atas jenis kelamin) itu sedemikian rupa dikukuhkan hingga muncul  keyakinan tanpa kesangsian bahwa sifat kelembutan, kesediaan untuk berkorban, kasih sayang yang dimiliki perempuan adalah alamiah dan otomatis adanya. Karenanya tatkala terjadi hal yang tak sesuai dengan harapan, ia dianggap menyimpang atau anomali. Kepadanya kemudian menempel label- label yang menggugurkan femininitasnya bahkan dianggap sebagai orang yang meny impang dari karakter yang seharusnya.

Padahal dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada karakteristik feminin yang permanen dan statis merasuk kepada perempuan, demikian sebaliknya  pada lelaki. Karakter itu lentur dan pragmatis menyesuaikan pada keadaan dan kebutuhannya. Banyak lelaki yang mengambil peran dan fungsi feminin meskipun diharapkan berlaku hanya kepada perempuan, demikian juga sebaliknya pada perempuan. Namun dalam struktur masyarakat biner ini, pemujaan kepada karakter maskulin teramat tinggi dibandingkan feminin akibatnya penghormatan atas peran, posisi, status yang dipadankan kepada maskulinitas juga begitu tinggi.

Pada kenyataannya karakteristik feminin-maskulin itu cair dan timbal balik.  Namun manusia membutuhkan stabilitas keajegan.  Karenanya  elemen-elemen pembentuk karakter seperti budaya, politik, agama dan bahkan ekonomi sedemikian rupa berupaya mematri karakter itu menjadi permanen pada entitas biner lelaki maskulin- perempuan feminin. Rekayasa sosial yang dilakukan itu sesungguhnya beradaptasi  juga kepada kebutuhan. Sebab kebudayaan, tafsir keagamaan, politik dan ekonomi juga lentur terhadap perubahan peran di antara  perempuan dan lelaki itu. Namun pelabelan, pencitraannya atau “ stereotyping” -nya, tetap kokoh membentuk oposisi biner feminin-maskulin sebagai milik mutral perempuan- lelaki seolah-olah merupakan kodrat Ilahiah.

Karenanya ketika perempuan keluar dari pakem pencitraannya, orang terkejut. Terlebih untuk tindakan yang begitu ektrim melibatkan anak dalam pilihan kematiannya. Sebaliknya hampir tak ada pernyataan yang mengutuki bapaknya meskipun ia melakukan hal yang juga keji.  Ini artinya ada permakluman kepada lelaki sebagai menyandang watak maskulin dalam melakukan tindakan bom bunuh diri itu. Tidak adanya pertanyaan yang menghubungkan tindakan bunuh diri dengan bapaknya dalam kasus di Surabaya itu selaras belaka dengan konstruksi dan pencitraan atas lelaki dengan karakter maskulinitasnya. Orang tetap bisa “menerima”  untuk perbuatan yang paling ektrim sekalipun. Melalui citra itu, orang telah memberi ruang “permakluman” bahwa lelaki bisa dan sanggup melakukan tindakan kejam membawa anak istrinya meledakkan diri dengan bom, tapi tidak bagi perempuan.

Pada kenyataannya, kekejaman tak berjenis kelamin, tak berkelas dan tak berwarna kulit. Artinya tindakan itu bisa dilakukan oleh siapapun. Demikian halnya karakter mengasihi, merawat bukan pula secara mutlak domain perempuan. Dalam kehidupan, tindakan kekerasan bisa (sangat mungkin) dilakukan oleh keduanya secara timbal balik.

Dengan memahami bahwa karakter feminin atau maskulin tak terhubung langsung dan permanen dengan jenis kelamin biologis, maka mencari jawaban mengapa perempuan tega berbuat aniaya kepada anaknya sendiri bisa terjawabkan.

Pertanyaannya mengapa mereka sanggup? Ada yang berteori, letaknya  ada pada kerentanan relasi antara perempuan dan lelaki. Lelaki dengan karakter maskulin dianggap  sebagai pemimpin, perempuan dipimpin; lelaki imam perempuan makmum: lelaki penentu perempuan ditentukan; lelaki berkehendak perempuan mengikuti kehendak dan seterusnya. Relasi timpang ini memudahkan penundukkan kepada perempuan karena lelaki memiliki kuasa yang dengan kuasanya dapat menuntut kepatuhan perempuan atau anak yang ada dalam kuasanya.

Teori lain menegaskan bahwa karena karakteristik maskulin secara kultural politik senantiasa menjadi patokan dan karenanya mendapatkan  keuntungan dan keutamaan secara sosial politik, padahal karakter itu bersifat bentukan, pada kasus ekstrim perempuan telah meniru dan mengadopsinya untuk menunjukkan bahwa perempuan pun sanggup. Dalam isu kekerasan ekstrim perempuan kemudian  menjadi pelaku utama seperti bom bunuh diri.

Tuntutan sosial untuk senantiasa berkorban telah cukup  untuk melakukan hal-hal yang diterima sebagai kepantasan seorang perempuan sesuai dengan harapan masyarakatnya. Apalagi jika dorongan itu bersumber dari ideologi yang diindoktrinasikan sedemikian rupa sampai tersedia lagi ruang tanya atau kritis. Ideologi itu bukan hanya memberi penghormatan atas keberaniannya tetapi juga janji kemuliaan yang teramat tinggi yang hanya bisa diraih oleh sang pemberani untuk berkorban. Ketika telah teryakinkan dapat meraih surga dan kemuliaan sebagai istri dan ibu, maka betapapun kejamnya di mata awam, perempuan niscaya sanggup melakukannya. Sedang sehari-hari saja telah begitu banyak pengorbanan  apa lagi yang hendak dinanti untuk  meraih kemuliaan yang dijanjikan dan diidamkannya. []

Sumber: https://indonesiana.tempo.co/read/127051/2018/05/28/lies.marcoes/membaca-perempuan-pelaku-bom

[WAWANCARA] Lies: Seperti Pakai Kacamata yang Salah, Realitas Terorisme pun Tak Terbaca

“Bagaimana menyapa, mengenali bukan dalam arti mencurigai, tetapi menyapa mereka yang siapa tahu membutuhkan dampingan, konseling, dengan kebingungan-kebingungan yang mereka hadapi.”

KBR, Jakarta – Direktur Rumah KitaB–lembaga riset yang fokus pada isu HAM, gender dan Islam, Lies Marcoes menangkap kegagapan penggunaan ilmu pengetahuan dalam menganalisis perkembangan terorisme. Akibatnya, perubahan radikalisasi pun menurutnya telat disadari. Seperti soal, perluasan pelaku teror dari yang semula hanya laki-laki, kemudian ke perempuan lantas melibatkan anak-anak.

Fenomena itu tampak ketika kejadian bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo yang melibatkan tiga keluarga.

“Pengetahuan atau alat analisis kita dalam membaca mereka lumpuh dalam melihat peran si perempuan (dalam terorisme). Atau setidaknya bias, seakan-akan itu tidak penting. Itu persoalannya,” ungkap Lies yang juga ahli kajian Islam dan isu gender ini dalam wawancara dengan KBR.

Kondisi tersebut ia gambarkan dengan metafor, “seperti menggunakan kacamata yang salah sehingga realitas terkait terorisme itu tak terbaca.” Berkali Lies menekankan soal absennya analisis gender dalam kasus terorisme sehingga perubahan pola radikalisasi lamban ditangkap. Pada 2015, Lies telah melakukan riset mengenai perempuan di pusaran kelompok fundamentalis.

Kepada jurnalis KBR Vitri Angreni Gulo, Lies membeberkan apa yang ia temukan dalam kajian tiga tahun lalu. Ia juga bicara soal merembesnya radikalisasi hingga ke ranah keluarga. Berikut wawancara lengkap:

Saat ini perempuan menjadi pelaku aktif bom bunuh diri dan sangat mungkin memanipulasi anak untuk menjadi pelaku. Sebelumnya seperti apa fungsi perempuan dalam gerakan atau jaringan jihad ini?

Ini memperjelas bahwa dari dulu sebetulnya mereka terlibat dalam radikalisasi tapi seringkali ilmu pengetahuan itu tersesat, tidak bisa melihat realitas itu. Saya menggunakan metafora: seperti menggunakan kacamata yang salah sehingga realitas itu tidak terbaca. Jadi kalau ditanya, apakah ini sesuatu yang baru, itu sama sekali tidak. Itu sudah terjadi sejak gerakan itu ditengarai berada di masyarakat.

Mereka memang melakukan seperti umumnya sebuah masyarakat yang melakukan pembagian kerja gender, mereka melakukan pembagian kerja gender dalam pembagian tugas untuk melakukan upaya-upaya atau usaha-usaha mereka dalam “berjihad”, jihad dalam pengertian mereka. Jadi laki-laki yang pergi berperang, perempuan yang memelihara keluarga, anak-anak, yang menguatkan suaminya untuk bekerja itu terjadi.

Jadi seperti konsep dalam keluarga Jawa, itu berlaku pada mereka.

Perbedaannya adalah, si perempuan itu tidak pasif. Mereka melakukan upaya-upaya aktif untuk mengetahui perkembangan dunia internasional terkait gerakan-gerakan yang kita namai sebagai gerakan radikal. Mereka aktif mencari tahu tetapi dengan dulunya mengambil peran yang tradisional tadi, yang berjuang suaminya, yang di dalam keluarga atau di rumah adalah si istrinya.

Masalahnya sekali lagi saya katakan, pengetahuan atau alat analisis kita dalam membaca mereka lumpuh dalam melihat peran si perempuan. Atau setidaknya bias seakan-akan itu tidak penting. Itu persoalannya.
Jadi jihadis perempuan terorganisir atau sekadar mendorong para jihadis laki-laki?

Begini, kenapa saya pada 2015 itu melakukan riset mengenai perempuan-perempuan di kelompok fundamentalisme, sebetulnya secara common sense kita bisa mengetahui hampir atau bahkan tidak ada satu kelompok organisasi apapun yang tidak memanfaatkan perempuan. Atau yang tidak beranggotakan perempuan. Itu artinya dalam kelompok mereka pun mereka mengorganisir diri sebagai wings atau sayap dari organisasi lelaki.

Nah, bahkan menurut saya, dibandingkan misalnya Fatayat di NU atau Aisyah di Muhamadiyah, mereka itu unequal posisinya. Dan itu menjadi hal yang penting karena bagi yang muda, perempuan muda, mereka tidak puas dengan posisi yang unequal itu. Itu sebabnya mendorong perempuan yang muda untuk ikut berjihad, dalam hal ini adalah jihad dalam bahasa mereka qital, jihad melalui peperangan.

Dan sekali lagi, ilmu pengetahuan atau narasi-narasi kita tentang mereka karena tidak menggunakan alat analisis yang kita sebut analisis gender, tidak mampu melihat perubahan-perubahan itu. Itu yang saya sesalkan. Tahu-tahu sudah kejadian, bukan hanya merembes dari laki-laki kepada perempuan, sekarang merembes atau proses radikalisasi di keluarga.

Untuk anak-anak yang dilibatkan, sebenarnya dalam aksi tersebut peran anak seperti apa?

Sebagai researcher saya tidak bisa menduga-duga, karena saya belum pernah melakukan riset itu. Tapi kalau menggunakan hipotesis, yang common sense, yang sederhana, sebetulnya kalau kita bandingkan antara keluarga dengan empat anak yang melakukan bom bunuh diri di gereja itu, dengan bom kecelakaan yang terjadi di Rusunawa itu, terlihat perbedaannya.

Kalau yang keluarga D itu semuanya ikut, berarti ada proses radikalisasi di rumah. Minimal bapaknya, ibunya dan dua anak dewasa. Kalau anak yang kecil menurut saya itu dipilihkan orangtuanya. Sangat boleh jadi dipilihkan oleh ibunya, karena dia yang menentukan apakah anaknya mau dibawa atau tidak. Kesan saya begitu ya kalau melihat bagaimana keluarga Jawa melakukan pembagian kerja, siapa yang mengurus anak, siapa yang mengurus nafkah.

Tapi kalau situasi ini dibandingkan dengan keluarga yang ada di Rusunawa, itu kelihatan ada proses radikalisasi baik yang dilakukan bapaknya atau ibunya dan tidak mempan pada anaknya yang satu, yang kemudian sering keluar dari situ, menyatakan mungkin secara verbal atau tidak, tidak bersetuju dengan apa yang dipilih oleh bapaknya dan ibunya, dan dia memilih tinggal di nenek.

Yang jadi masalah adalah buat kita, si anak ini tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Nah ini pembelajaran penting buat organisasi Islam mainstream untuk mendampingi. Bagaimana caranya mendampingi anak-anak atau remaja yang dalam keadaan bimbang memilih antara orangtua yang radikal dengan dia ingin keluar. Saya menduga mereka sangat kesepian, maksudnya, merasa sendiri mengatasi problem itu. Tidak ada reach out dari organisasi mainstream dan ini pembelajaran penting baik buat NU atau Muhamadiyah yang mengaku diri sebagai organisasi mainstream tolerance.
Pelibatan perempuan dan anak ini pertama kali di Indonesia?

Dalam aksi kekerasan di mana menggunakan bom, ini yang kedua, walaupun yang pertama gagal tahun 2016 yang Dian (Dian Yulia Novi) itu. Seandainya itu pihak Densus gagal mendeteksi dia pasti dia yang pertama. Si Dian itu yang pertama. Tapi dalam melibatkan keluarga saya kira di dunia pun baru pertama kali ini. Biasanya kan si perempuan saja misalnya yang terjadi di Prancis Hasna Aitboulahcen dia melakukannya sendiri.

Dan sangat menarik mempelajari situasi dia dan, itu secara psikologis bisa kita deteksi kenapa hal itu terjadi. Jadi perempuan ini si Hasna itu adalah imigran. Saya tidak mau menyebut asalnya karena takut sangat diskriminatif sangat prejudice. Pokoknya dia imigran ke Prancis lalu gagal meraih kehidupan, gagal berkeluarga dalam arti gagal menurut konsep mainstream. Lalu dia menjadi perempuan “sangat bebas” dalam arti negatif.

Tapi entah kenapa dia bertemu dengan seorang laki-laki, kemudian kelihatannya dia berbaiat. Lalu dia berubah jadi sangat alim, pious gitu. Dia menggunakan atribut-atribut yang sangat pious, menjalankan ibadah dengan sangat tekun, dan hanya perlu satu bulan tanda-tanda perubahan itu sampai kemudian dia membawa bom dan melakukan bom bunuh diri. Itu perempuan pertama.

Tapi itu bersifat individual, dia merahasiakan kegiatannya dari keluarganya. Nah beda dengan yang di Surabaya karena ini satu keluarga.
Kalau begitu, pelibatan keluarga termasuk anak, harus terus diwaspadai?

Benar sekali. Sejak ada ISIS walaupun ISIS melemah, terlihat tanda-tanda bagaimana perempuan, bagaimana keluarga terlibat proses radikalisasi. Pemerintah kan mendeteksi dan melakukan upaya-upaya kerjasama dengan Turki dan Yordania menangkap keluarga, bukan laki-laki saja atau perempuan saja, atau remaja, tapi satu keluarga yang diketahui melakukan perjalanan dengan tujuan ke Suriah untuk berjihad dan ditangkap di Turki, itu satu keluarga. Ada ayah, ibu, anak-anak, baby, dan ada perempuan yang sedang hamil. Jadi itu bukan sesuatu yang baru.

Ini jadi pembelajaran sebetulnya ke pemerintah, dalam hal ini kepolisian untuk melakukan pendekatan yang lebih komprehensif, melibatkan masyarakat dan saya yakin polisi juga ingin melakukan hal semacam itu, tapi dibutuhkan mekanisme. Bagaimana menyapa, bagaimana mengenali bukan dalam arti mencurigai, tetapi menyapa mereka yang siapa tahu mereka membutuhkan dampingan, konseling, dengan kebingungan-kebingungan yang mereka hadapi, terutama yang dihadapi oleh remaja.

Kelompok terkecil masyarakat adalah keluarga. Kalau keluarganya seperti ini, bagaimana kita bisa jangkau mereka supaya tidak menjadi radikal?

Memang keluarga adalah unit terkecil tetapi di dalam unit terkecil itu ada relasi. Ada relasi gender antara bapak dan ibu, ada relasi kuasa antara orangtua dan anak-anak. Anak-anak sebetulnya, terutama anak sekolah, itu kan tidak mendapatkan proses radikalisasi di rumah saja. Kita tahu ada kegiatan-kegiatan sekolah yang ternyata karena tidak ada kontrol itu terjadi proses radikalisasi.

Beberapa kasus terjadi, anak-anak yang kemudian terlibat dengan katakanlah proses-proses jihadis itu. Nah, itu berarti bahwa meskipun keluarga adalah unit terkecil tetapi ada kelembagaan-kelembagaan lain yang harus ikut bertanggung jawab. Menurut saya pendidikan, sekolah, itu menjadi sangat penting.

Sebetulnya dalam setiap agama, itu ajaran radikal ada. Dan yang jadi persoalan apakah radikalisme itu tumbuh atau tidak. Media semainya itu apa? Nah dalam kasus di Indonesia, media semainya adalah sikap intoleran. Sikap intoleran terhadap berbagai perbedaan bukan hanya perbedaan agama, etnisitas, kadang-kadang suku, kadang-kadang aliran politik, jangan salah. Itu menjadi penyemai yang sangat kuat juga terjadinya proses radikalisasi di luar keluarga.

Kalau di keluarga, saya tidak bisa mengatakan bahwa itu memulainya dari ayah lalu ke istrinya, lalu ke anaknya, atau ayah ibu dan anak-anaknya. Bisa saja yang teradikalisasi justru si perempuan. Jangan lupa mereka juga punya pendidikan, bisa browsing, bisa mengakses media, tetapi mereka enggak gaul. Nah sebenarnya proses pergaulan yang lebih terbuka itu, yang inklusif itu yang penting yang harus dikembangkan di dalam dengan menggunakan metode-metode yang sistematis, yang memang bisa dilakukan oleh banyak pihak.
Berarti pola apakah dari ayah, ibu, atau dari anak itu masih dicari tahu oleh para peneliti?

Harus dicari tahu karena ini fenomena baru. Rumah KitaB sendiri kan penelitiannya masih relatif baru ya, 2015, itu masih baru melihat bagaimana perempuan terindikasi, bagaimana perempuan tertarik pada gerakan radikal. Baik karena subordinasi, sehingga ingin menunjukkan saya juga bisa kayak lelaki, atau karena proses-proses radikalisasi yang mereka dapat di luar sekolah karena dia ingin mencapai direkognisi, pengakuan, ada pengakuan atas perannya.

Ada peneliti yang melakukan penelitian tentang ini dari Australia, saya merasa tidak perlu untuk menyebut namanya, itu melihat ada proses maskulinitas dalam gerakan radikal, di mana yang perempuan ingin seperti laki-laki, bukan seperti laku-laki ya, ingin berjuang dan diakui sebagaimana, atau ingin dianggap berani sebagaimana diakui kepada laki-laki.

Sumber: http://kbr.id/nasional/05-2018/_wawancara__lies___seperti_pakai_kacamata_yang_salah__realitas_terorisme_pun_tak_terbaca/96162.html

Jihad, khilafah, dan konsep lain yang banyak digunakan menanamkan bibit intoleransi

Makna ‘jihad’ sudah lama digunakan untuk menjadi pembenaran aksi terorisme, karenanya umat Islam diserukan untuk merebut kembali dan melaksanakan jihad yang sesungguhnya, kata Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, dalam ceramah salat tarawih pertama di Masjid Istiqlal.

Jihad menjadi topik ceramah pengantar salat tarawih pertama di bulan suci Ramadhan di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (16/5) itu.

“Jihad itu sesungguhnya bukan untuk mematikan orang, tapi jihad untuk menghidupkan orang,” ujar Nasarudin usai salat tarawih di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu malam.

“Menghidupkan jiwa-jiwa yang kering, menghidupkan perekonomian umat yang lemah, menghidupkan fakir miskin menjadi bersemangat hidup. Jihad itu menghidupkan rasa optimisme di masyarakat. Jihad bukan menciptakan kengerian, ketakutan, atau kecemasan,” lanjut dia.

Keterlibatan perempuan yang membawa anak-anak dalam rangkaian bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya menandai adanya perubahan sudut pandang pada perempuan pendukung radikalisme untuk terlibat langsung dalam aksi dan mereka melihatnya sebagai bagian dari jihad.

 

Tindakan Puji Kuswanti, istri Dita yang melakukan bom bunuh diri dan membawa anak-anak dalam aksinya, menurut Lies Marcoes, “tak lepas dari kerangka soal jihad dan pengorbanan perempuan”.

Namun, di halaman Facebook BBC Indonesia, beberapa pembaca berkomentar akan definisi jihad versi mereka, dan itu tidak terkait dengan kekerasan.

Salah satunya, pembaca Ari Cipta Gunawan, yang memilih untuk mengartikan jihad sebagai, “Belajar, mencari ilmu, berjuang melawan kebodohan.”

Pembaca lain, Veronica Erni, mengatakan bahwa, “Jihad itu menurut saya adalah perang melawan hal-hal yang jahat, termasuk kejahatan yang ada dalam diri kita, seperti sifat-sifat jelek kita yang suka marah, sombong, iri hati.”

Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar (kiri) meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenen seusai mengikuti pertemuan tokoh lintas agama serta jajaran pengurus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta, Rabu (16/5).

Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar (kiri) meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenen seusai mengikuti pertemuan tokoh lintas agama serta jajaran pengurus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta, Rabu (16/5).

Bagi Aries Ardian, jihad punya banyak arti, “Tapi yang penting bukan aksi bom bunuh diri. Bom bunuh diri apapun alasannya, lokasinya, waktunya…adalah aksi bejad, terkutuk dan laknat.”

Sementara itu, Masnunah mengatakan bahwa, “Membahagiakan keluarga juga jihad dalam islam. Apa lagi selalu membimbing keluarga ke arah yang baik”

Indah Farida Bachtiar menulis, “Jihad suami adalah bekerja mencari uang untuk keluarga. Jihad istri itu patuh pada suami dan mengurus anak. Jihad anak adalah belajar. Perkataan itu adalah apa yang diajarkan orang tua, kyai, ustaz dan ustazahku. Itulah pentingnya memilih guru yang benar. Jangan sampai terhasut kebencian. Kita diberi otak untuk berpikir mana yang baik dan buruk. Melukai orang lain itu salah dan berdosa.”

Pembaca lain, Lucy Carlyle menulis, “terlepas dari apa yang dimaksud sebagai jihad. yang menjadikannya berbahaya adalah berbagai aliran memiliki konteksnya masing-masing terkait pemahaman mereka terkait jihad. Para teroris, somehow, telah menemukan justifikasi terkait konteks mereka mengenai jihad, dus menjustifikasi mereka bahwa bom bunuh diri yang dilakukan, somehow adalah jihad fisabilillah.”

“Di situlah bahayanya sebuah kitab suci yg menimbulkan perbedaan “konteks” atau dengan kata lain, menimbulkan multitafsir. terutama dlm hal ini adalah pemaknaan jihad.”

 

Pembaca Rohmat Fauzi menolak penggunaan istilah jihad dalam konteks soal terorisme. “Framing yang jahat untuk jihad, teroris jangan kaitkan dengan agama.”

Pembaca Erwin Saputra juga menganggap istilah jihad tidak tepat, “Memang Indonesia ini tempat peperangan ya? Pakai jihad-jihad segala.”

Namun, pembaca Shelly Yusvita Siregar berharap, “Semoga semakin banyak ulama serta media menyebarkan berita jihad yang sesuai pedoman islam. Sering-sering disiarkan reguler.”

Pemaknaan ‘jihad’

Bagi direktur eksekutif Maarif Institute, Abdullah Darraz, jihad “idealnya adalah konsep yang mulia”.

“Bisa dimaknai beragam. Memahamkan orang tentang nilai-nilai Alquran yang baik itu bagian dari jihad, belajar itu bagian dari jihad, menyingkirkan duri dari jalan itu bagian dari jihad. Sementara sekarang ini jihad dimaknai dengan sempit oleh sebagian orang dalam bentuk peperangan, memerangi orang-orang kafir,” kata Darraz.

Dia merujuk pada riset yang dilakukan oleh LSI dan Wahid Foundation pada 2016 yang salah satunya menanyakan, seberapa setujukah Anda pada konsep jihad yang dimaknai sebagai perang mengangkat senjata terhadap orang kafir?

Survei tersebut melibatkan 1.530 responden yang tersebar di 34 provinsi dan menemukan bahwa 33% dari sekitar 1.600 responden menyetujui konsep jihad tersebut.

Sementara itu, survei serupa pada 2017 yang kemudian diluncurkan pada 2018 yang dilakukan oleh lembaga yang sama juga menemukan bahwa dari sekitar 1.500 responden, ada sekitar 13% responden yang pro-jihad kekerasan, sementara 49,3% netral, dan anti-jihad kekerasan 37,5%.

“Dalam konteks jihad, ada ayatnya, tapi harus spesifik, bahwa itu dalam masa-masa perang. Jihad bisa diartikan ketika ada peperangan dari luar, jadi membela diri, bukan ofensif. Sekarang nggak ada perang, nggak ada apa-apa, kok bikin bom bunuh diri dan dibilang jihad? Ini kan suatu kekeliruan. Kekeliruan ini sudah betul-betul terinternalisasi,” kata Darraz.

Sejumlah tokoh agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) membubuhkan tanda tangan saat Deklarasi lawan terorisme di Kota Kediri, Jawa Timur, Rabu (16/5).

Sejumlah tokoh agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) membubuhkan tanda tangan saat Deklarasi lawan terorisme di Kota Kediri, Jawa Timur, Rabu (16/5).

Jihad, menurut Darraz, bukan satu-satunya istilah yang digunakan untuk menyebarkan perilaku intoleran atau radikal.

Pada 2016, mereka mengumpulkan ulama-ulama “progresif” dan mengumpulkan istilah atau doktrin yang kemudian “sering disalahtafsirkan dan disalahpahami oleh kelompok teror” untuk kemudian didefinisikan ulang.

Istilah lain yang termasuk sering digunakan adalah khilafah, al wala wal bara, yang menurut Darraz sering disalahartikan sebagai fanatisme buta.

“Di kalangan kelompok ekstremis, ungkapan ini terkenal, artinya kecintaan pada kelompoknya secara membabi-buta dan penolakan terhadap orang di luar kelompoknya secara membabi-buta juga, jadi antipati terhadap orang yang agamanya lain” kata Darraz.

Definisi ‘hijrah’ juga menurutnya adalah “dari keadaan tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik”, selain juga istilah amar maruf nahi munkar.

“Banyak doktrin-doktrin yang kami coba reclaim sesuai makna aslinya. Makna aslinya itu tidak sesempit itu,” kata Darraz.

Persaingan ide

Menurut Darraz, upaya pendefinisian ulang ini seharusnya juga terjadi di kampus-kampus sebagai pasar ideologi.

“Di dunia pendidikan, di sekolah, harus ada kontestasi ide. Oke, misalnya kita tidak bisa melarang ada kelompok-kelompok (radikal) ini bermain di sekolah, tapi sekolah harus memberikan ruang untuk narasi lain. Ada kiri, kanan, moderat. Di kampus-kampus umum, karena diskursus keagamaan kurang, jadi apa yang diajarkan langsung diterima, ditelan bulat-bulat. itu problem kita hari ini,” kata Darraz.

Warga melintas di dekat spanduk penolakan terhadap teroris di kawasan Jl Malioboro, Yogyakarta, Selasa (15/5).

Sebelumnya, peneliti radikalisme dari Universitas Gadjah Mada, Nazib Azca mengatakan bahwa meski pelaku terorisme tidak eksklusif dan tidak melekat pada agama tertentu, namun agama memiliki dimensi yang ambigu.

“Di satu sisi dia mengajarkan damai, rahman rahim, pengampunan, cinta kasih, tapi agama punya sisi dimensi yang memuat unsur-unsur yang bisa ditafsirkan sebagai katakanlah perintah untuk menegakkan kebenaran, perintah untuk menegakkan keadilan, perintah untuk menegakkan sesuatu yang dianggap baik secara moral dengan cara-cara yang keras. Ini adalah tafsir,” kata Najib.

Menurut Najib, karena karakter ambivalensi dari kitab suci itu, maka ada umat-umat yang menafsirkan ayat-ayat suci dengan perintah menegakkan kebenaran sebagai justifikasi atas perilaku teror.

 

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-44136149

Bangkitnya Jihadis Perempuan

Atas nama jihad dan khilafah, perempuan memutuskan jadi martir. Faktor pendorongnya mulai dari ideologi sampai urusan dapur.

tirto.id – Ledakan bom menimpa tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5/2018) pagi. Sejauh ini, menurut data Polda Jawa Timur, insiden tersebut menewaskan 14 orang dan 43 orang luka-luka.

Jumlah korban tersebut merupakan angka total dari tiga lokasi terjadinya ledakan bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro, dan GPPS Jemaat Sawahan di Jalan Arjuno.

Kapolri Tito Karnavian menyatakan pelaku aksi terorisme di Surabaya merupakan satu keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, dan empat orang anak (dua laki-laki, dua perempuan).

“Tim sudah bisa mengidentifikasi pelaku. Pelaku diduga satu keluarga yang melakukan serangan. Seperti di Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno yang menggunakan mobil Avanza diduga adalah bapaknya bernama Dita Prianto,” sebut Kapolri di Rumah Sakit Bhayangkara Mapolda Jawa Timur.

Ditambahkan oleh Kapolri, Dita Prianto terlebih dahulu menurunkan istri yang bernama beserta dua anak perempuan bernama Fadila Sari (12) dan Pamela Riskita (9), di dekat GKI yang terletak di Jalan Diponegoro.

Sedangkan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela adalah dua orang laki-laki yang diduga juga anak Dita Prianto bernama Yusuf Fadil (18 tahun) dan Firman Halim (16 tahun).

Dita Prianto, meletakkan bom di dalam mobilnya, kemudian menabrakkan mobilnya ke Gereja Pantekosta. Lalu, ledakan di GKI Jalan Diponegoro dilakukan oleh istri Dita bersama dua orang anak perempuannya yang membawa bom di pinggang ketiganya.

Aksi keluarga ini disinyalir kuat tak lepas dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang merupakan pendukung utama ISIS di Indonesia pimpinan Aman Abdurahman.

Perempuan dalam Pusaran Teror

Keterlibatan perempuan dalam ledakan di tiga gereja Surabaya menambah daftar kasus serupa yang pernah terjadi di Indonesia. Pada 2016, misalnya, Densus 88 menangkap perempuan bernama Dian Yulia Novi yang berencana melancarkan aksi teror.

Dian hendak meledakkan diri di Istana Kepresidenan Indonesia sebagai bentuk “jalan jihadnya akan agama.” Ia terpapar doktrin ekstremisme secara daring dan kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Negara Islam (ISIS) di bawah komando Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok yang kerap mengklaim mewakili ISIS di Indonesia.

Sebagaimana dikisahkan dalam laporan TIME berjudul “ISIS Unveiled: The Story Behind Indonesia’s First Female Suicide Bomber,” Dian mulanya adalah pekerja migran di Singapura. Ia pindah ke Taiwan dan bekerja di panti jompo. Di tempat barunya, Dian memperoleh gaji tinggi kendati jam kerjanya kadang tak manusiawi. Bosnya juga toleran dengan penampilan Dian yang sehari-harinya memakai niqab.

Di tengah-tengah pekerjaannya, Dian ternyata juga aktif memantau akun-akun penyebar semangat jihad, dan menjalin komunikasi bersama orang-orang berideologi ekstremis. “Aku ingin tahu tentang beberapa akun yang kerap posting soal jihad. Jadi, aku stalking mereka dan seringkali mengirim pesan. Beberapa dari mereka ada yang menjawab pesanku, ada juga yang tidak,” akunya.

 

Aktivitas daring Dian untuk menemukan makna “jihad” kian intensif sampai akhirnya ia berkenalan dengan simpatisan ISIS dari Indonesia bernama Nur Solihin—yang direkrut dan jadi anak didik Bahrun Naim.

Keduanya lantas berkomunikasi lewat Telegram yang sudah dienskripsi. Tak lama kemudian, Dian dan Solihin memutuskan menikah dan menjadi pasangan pelaku bom bunuh diri. Pernikahan mereka, aku Dian, “bukan karena kekhalifahan tetapi didorong semangat berjihad.”

Mereka pun langsung merencanakan aksi teror. Sasaran yang dituju: Istana Kepresidenan. Jika aksi mereka berhasil, Dian akan berstatus “pelaku bom bunuh diri perempuan pertama di Indonesia.” Beruntung aksi tersebut dapat digagalkan. Polisi sukses meringkus mereka di Bekasi, Jawa Barat.

“Dalam Islam, pria dan perempuan [memang] berbeda,” katanya kepada TIME dalam wawancara di penjara Kelapa Dua, Depok. “Tapi, sekarang, jihad adalah wajib bagi semua Muslim, seperti halnya ketika kita berdoa. Setiap orang harus melakukan jihad.”

Ia menekankan bahwa jika laki-laki saja bisa mengobarkan jihad, perempuan juga bisa melakukan hal yang sama.

 

Selang beberapa waktu usai Dian ditangkap, polisi kembali meringkus perempuan lain bernama Ika Puspitasari yang berencana meledakkan diri di Bali pada malam tahun baru 2016. Ika, yang juga mantan pekerja migran di Hong Kong, ditangkap Densus 88 di Dusun Tegalsari, Desa Brenggong, Kecamatan Purworejo saat sedang mempersiapkan kegiatan Maulid Nabi.

Ihwal fenomena ini, Direktur Pelaksana Yayasan Prasasti Perdamaian, Siti Darojatul, mengungkapkan bahwa keterlibatan perempuan dalam aksi teror digunakan untuk “membangkitkan semangat jihadis laki-laki.”

“ISIS memanfaatkan perempuan sebab mereka ingin menunjukkan kepada para laki-laki, jika perempuan saja bisa dan berani melakukan jihad, bagaimana dengan kalian?” jelasnya.

“Mungkin ada banyak ‘Dian Yulia Novi’ yang tersebar di seluruh Indonesia. Kami tidak tahu cara mendekati mereka karena kebanyakan dari mereka tidak termasuk kelompok mana pun.”

Sementara itu, Solahudin peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, menjelaskan keterlibatan perempuan dalam terorisme merupakan hal baru di Indonesia. Pihak yang mempeloporinya, menurut Solahudin, adalah Bahrun Naim, pemimpin militan ISIS di Indonesia.

Senada dengan Siti, Solahudin yang juga menyusun buku Kebebasan, Toleransi, dan Terorisme: Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia (2017), menyatakan bahwa Bahrun Naim mengajak perempuan untuk melakukan aksi “jihad” karena tidak banyak laki-laki yang mau.

 

Infografik Jihadis garis keras perempuan

Peran Penting Perempuan

Keterlibatan perempuan dalam ledakan bom bunuh diri di Surabaya seperti hendak menegaskan bahwa mereka (perempuan) semakin punya peran penting dalam gerakan ekstremisme dan aksi terorisme di Indonesia.

Laporan berjudul “Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists” (PDF, 2017) yang dipublikasikan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) memperlihatkan peran perempuan dalam gerakan ekstremisme-terorisme di Indonesia terus berkembang selama kurun waktu empat dekade terakhir.

Sidney Jones, Direktur IPAC, dalam wawancaranya bersama Tempo, pernah menyatakan perempuan tak lagi melihat dirinya “sebagai sekadar istri, ibu, atau ustazah, melainkan juga sebagai kombatan.”

Laporannya IPAC membagi empat jenis perempuan ekstremis di Indonesia. Masing-masing dari mereka punya tugas dan kerja seperti mengelola forum percakapan daring, mengumpulkan dana, merekrut anggota, sampai menjadi tandem pasangan pelaku bom bunuh diri.

Empat kategori tersebut antara lain pekerja migran yang mencari uang di Hong Kong, Taiwan, sampai Timur Tengah. Mereka yang masuk dalam kategori ini, seperti halnya Ika dan Dian, dianggap punya kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa asing yang baik untuk menjalin kontak dengan jaringan global.

Selanjutnya perempuan yang bergabung ISIS bersama keluarga mereka. Lalu, ada pula kategori perempuan yang tujuannya berangkat ke Suriah tapi malah diringkus di Turki dan dikembalikan ke Indonesia. Terakhir, perempuan yang berada di bawah komando kelompok radikal-militan lokal macam Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulawesi Tengah.

Lies Marcoes, Direktur Rumah Kita Bersama Foundation, dalam “Why do Indonesian Women Join Radical Groups?” menjelaskan ada dua konteks yang menyertai keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia.

 

Pertama, tulis Lies, para perempuan ini percaya pada gagasan kekhilafahan; baik sebagai kewajiban atau syariat dan sebagai solusi-jawaban atas kesenjangan sosial-ekonomi. Banyak dari mereka yang bergabung dengan kelompok teroris karena mereka peduli isu-isu tentang ketidaksetaraan, penderitaan, dan ketidakadilan, di samping juga merasa kecewa terhadap pemerintah yang dinilai tak mampu mengentaskan kemiskinan.

Namun, alih-alih mengambil jalur politik, para perempuan ini malah bergabung dengan kelompok teroris yang percaya semua masalah di atas dapat diselesaikan dengan kekerasan.

Kedua, ialah tentang pandangan masyarakat—terutama Muslim konservatif—yang menempatkan posisi perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Didorong perlakuan semacam itu, para perempuan ini lalu beralih ke kelompok radikal-fundamentalis yang mereka nilai “menjunjung kesetaraan” serta “mengakui kontribusi perempuan dalam upaya mewujudkan khilafah di dunia.”

Padahal kenyataannya, kelompok radikal-fundamentalis pun sangat patriarkis. Mereka mereduksi dan menyempitkan makna jihad berdasarkan gender. Laki-laki dengan tugasnya berperang di medan pertempuran. Sementara jihad perempuan dimaknai sebatas hanya melahirkan anak yang kelak dianggap jadi “prajurit Tuhan” serta melayani kebutuhan (fisik & non-fisik) para pria di kelompok tersebut.

Namun, karena gerakan radikal-fundamentalis memberi pemahaman idelogis kepada perempuan bahwa apa yang mereka lakukan adalah “jalan perjuangan untuk Tuhan,” maka perempuan ini tak sedikitpun berkeluh kesah. Melahirkan anak hingga melayani kebutuhan biologis para pria pun dianggap sebagai “jalan jihad” dan mereka bangga melakukannya.

Lewat “Probabilitas Teroris Perempuan di Indonesia” (2010) yang terbit di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Endy Saputro menyatakan pemerintah tak boleh menutup mata akan latarbelakang persoalan yang menyebabkan perempuan bergabung dengan kelompok teroris.

Kesenjangan ekonomi, kemiskinan, serta lapangan pekerjaan yang sedikit harus diperhatikan dengan betul. Cara yang ditempuh bisa macam-macam. Mulai dari pelatihan sampai penyediaan program untuk menopang perekonomian keluarga mereka. Meskipun dalam kasus bom gereja di Surabaya, yang melibatkan Puji Kuswati, persoalan latar ekonomi jadi tak relevan lagi.

Jika tidak, bukan tidak mungkin, para perempuan—terlebih yang suaminya meninggal karena bom bunuh diri—bakal memilih untuk menyusul sang suami dengan cara serupa.

Penanganan terorisme memang butuh waktu yang lama dan kesabaran. Terorisme adalah perkara yang kompleks dengan banyak faktor pemicu. Mulai dari negara, ideologi, sampai urusan dapur. Pemerintah dan pihak terkait terus diharapkan untuk menempuh langkah-langkah yang jeli dan terukur agar perilaku biadab yang menghabisi manusia-manusia tak berdosa ini tak terulang di kemudian hari.

Sumber: https://tirto.id/bangkitnya-jihadis-perempuan-cKnp
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf

Jangan Biarkan Perempuan Berjuang Sendirian

Jakarta – Berbicara tentang pengarusutamaan keadilan untuk perempuan tidak tampak semudah yang ada pada mimbar orasi. Jalan tengah perspektif keadilan hakiki dan timbal balik (mubaadalah) dalam relasi gender juga tidak sesederhana mengambil sikap pro atau anti pada diskursus feminisme. Atau, setidaknya, sebelum gencar berteriak pro atau anti, realitas seharusnya jadi dasar pijakan paling utama dari sebuah pemecahan masalah atau kesimpulan.

Spektrum masalah perempuan masih terlalu luas. Persoalan perempuan desa berbeda dengan perempuan kota. Apalagi masa kini, banyak teori semakin membuat kabur makna antara desa dan kota. Desa, katanya sudah tidak ada lagi. Dulu, perempuan adalah pewaris aset keluarga berupa sawah, sehingga ia adalah pemilik aset sekaligus pelaku produksi. Ketika modernitas melibas hikmah hidup agraris, keluarga desa menjual aset tanah dan sawah kepada pengembang.

Yang luput terpikir adalah bukan hanya tanah dan sawah yang hilang, tetapi sekaligus pola hidup yang kalang kabut. Struktur masyarakat industri membutuhkan peran manusia sebagai mekanik yang mengoperasikan mesin. Pada bagian ini, laki-laki kemudian lebih mendapat kesempatan di sektor produksi sebab sejak lama kebutuhan akan pendidikan lebih dipercayakan kepadanya. Perempuan desa dengan ekonomi lemah pada akhirnya mengisi peran sebagai buruh pabrik, buruh migran, pekerja wilayah domestik, atau pekerja seks komersial, dengan nominal gaji separuh dari standar penghasilan laki-laki karena peran perempuan yang dianggap komplementer.

Isu perempuan dalam ekstremisme agama juga mengalami pergeseran tradisi. Kelompok ekstremis beragama mengenal istilah jihad kabir (besar) dan jihad saghir (kecil). Jihad besar adalah jihad dengan mempertaruhkan nyawa di medan perang wilayah konflik yang biasanya diambil peran oleh laki-laki. Sedangkan jihad kecil adalah jihad khas terkait peran perempuan untuk melahirkan anak, terutama anak lelaki yang kelak menjadi pelaku jihad kabir, serta bersikap sabar ketika suami pergi berjihad.

Belakangan, publikasi Rumah KitaB berjudul Kesaksian Para Pengabdi: Kajian tentang Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia menjelaskan bahwa para perempuan dalam komunitas ekstremis semakin banyak yang mengambil peran jihad kabir karena merasa kehadiran dan eksistensinya dalam dunia jihad kurang diakui.

Akan tetapi, isu dan persolaan perempuan sering tidak dilihat berdasarkan realitas. Mengapa zaman menuntut perempuan bekerja, perempuan melawan pasangannya, perempuan meminta keadilan pada hak-haknya, selalu saja dihalau dengan teks terlebih dulu. Ujungnya, potret perempuan yang melawan jatuh kepada stigma tidak mulia, lalu dihukumi haram, neraka, dan tidak bermoral.

Faktanya, sakralitas teks dan sakralitas tokoh adalah problem utama peradaban Islam. Martin van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (2012) menyebut nama Syekh Nawawi Banten sebagai seorang ulama yang memiliki pengaruh kuat dalam tradisi pesantren karena kiprahnya menulis banyak kitab berbahasa Arab rujukan pesantren. Tema kitab mencakup berbagai disiplin pengetahuan dalam kajian keilmuan Islam, seperti akidah, tasawuf, fikih, tafsir, bahasa dan ilmu hadist. Sekitar 26 kitab karyanya beredar di pesantren-pesantren Indonesia, 11 di antaranya menjadi bagian dari 100 kitab terpenting. Satu di antara yang terkenal adalah kitab Uqud Al Lujjayn fi Bayan Huquq az-Zawjain (selanjutnya kita singkat KUL).

Zaman telah bergerak maju. Semangat kedirian dan kepemimpinan perempuan makin terbentuk, tetapi KUL masih diajarkan di hampir semua pesantren tradisional di Indonesia dengan tafsir lama yang tidak berkesesuaian dengan napas zaman. Dalam KUL, peran utama perempuan adalah ketaatan total pada suami, berperilaku baik dan menyenangkan, bersedia penuh melayani kebutuhan biologis suami, bersabar atas perangai buruk suami, tunduk dan rendah hati, tidak melakukan aktivitas tanpa seizin suami, tidak melakukan kontak dengan yang lain, tidak membangkitkan amarah, tidak menyusahkan dan tidak meminta materi di atas kemampuan sang suami.

Fikih Islam seharusnya mau mendengar perempuan terlebih dahulu sebagaimana sikap Rasulullah SAW mendengar alasan Sayyidah Fatimah bahwa bagaimana pun poligami akan menyakiti diri perempuan sehingga Rasul melarang Ali berpoligami. KUL, seiring zaman yang mengubah tata politik, sosial dan ekonomi, harusnya memberi ruang kepada konteks tafsir kesabaran yang dibebankan kepada perempuan, ruang penolakan, hingga fikih perlawanan yang boleh dilakukan perempuan dalam upaya perlindungan diri atau protes.

Mengapa hal ini penting? Pada 18 Juni 2015, misalnya, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan untuk menaikkan batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan di Indonesia. Dua penggugat, yakni Yayasan Kesehatan Perempuan dan Yayasan Pemantauan Hak Anak menghendaki batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan ditingkatkan dari 16 tahun menjadi 18 tahun.

Jika semata merujuk kepada teks, perempuan memang boleh dinikahkan setelah mendapatkan menstruasi. Tetapi, kita mengenal istilah akil baligh. Jika baligh merujuk kepada kedewasaan biologis yang ditandai dengan sejumlah perubahan pada tubuh laki-laki maupun perempuan, maka akil adalah kemampuan yang melingkupi aspek kedewasaan emosi, intelektual serta spiritual yang sulit diukur tetapi justru aspek inilah yang paling penting dalam pernikahan.

Sensus nasional hasil kerja sama dengan UNICEF pada 2012 menunjukkan, satu dari empat anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dan 50% dari angka pernikahan dini itu berujung pada perceraian. Selain perceraian, menurut Lies Marcoes, perkawinan dini juga berdampak kepada kekerasan dalam rumah tangga, penyakit organ reproduksi, dan angka kematian ibu melahirkan. Jika teks hanya menimbang tesis “menghindari zina”, maka realitas menimbang banyak hal soal masa depan, sebab penindasan sama sekali bukan kodrat yang harus kita aminkan.

Kongres Perempuan Pertama yang kita peringati sebagai Hari Ibu tiap 22 Desember sesungguhnya telah menyampaikan amanat penolakan pernikahan dini, penolakan poligami, penolakan diskriminasi atas perempuan, penolakan pembatasan akses pendidikan dan pekerjaan terhadap perempuan. Betapa majunya pemikiran kaum perempuan Indonesia sejak 1928 silam.

Sayangnya, dalam seminar, lokakarya maupun kongres, hingga hari ini, hampir 90 tahun sesudah Kongres Perempuan Pertama, bahasan soal perempuan sering hanya sebatas topik. Perlakuan itu membuat perempuan seolah eksklusif, padahal yang terjadi justru fakta bahwa perempuan memang masih marjinal.

Dr. Nur Rofiah Bil. Uzm, salah seorang penggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI 2017) menegaskan bahwa menjadikan perempuan sebagai topik diskusi berbeda dengan menjadikan perempuan sebagai metode berpikir atau perspektif. Dalam koridor kedua, sebuah kelompok atau institusi yang berisikan laki-laki maupun perempuan boleh berbicara apa saja soal pembangunan, politik, ekonomi sampai sosial budaya, namun melibatkan perspektif perempuan sebagai subjek ketika memutuskan sebuah kebijakan.

Selamat Hari Perempuan dan Hari Ibu. No one left behind, rangkul bersama, jangan ada satu perempuan pun yang kita biarkan berjuang sendirian. [Kalis Mardiasih]

Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-3781819/jangan-biarkan-perempuan-berjuang-sendirian

Isu Fundamentalis Agama dan Budaya dalam Program BERDAYA

Salah satu tantangan program BERDAYA adalah tujuan kegiatan ini bisa berbenturan dengan para fundamentalis agama dan budaya yang menganggap perkawinan anak adalah domain mereka.

Fundamentalisme agama merupakan paham keagamaan sekaligus ideologi yang meyakini bahwa cara terbaik untuk menyelamatkan manusia dari kerusakan di bumi adalah dengan “kembali kepada ajaran dasar”. Secara metodologi mereka mengajak untuk kembali pada pemahamanTeks Kitab Suci (Al-Qur’an dan hadits).Namun cara pemahamannya menggunakan landasan literalis.Argumentasi literalis ini menolak hasil ijtihad dan argumentasi hukum-fikih klasik dan tafsir-tafsir klasik yang telah dikodifikasi ulama yang selama berabad-abad mengembangkan
pemikiran Islam secara kontekstual melalui proses budaya-peradaban agar Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Upaya yang mengajak kembali kepada ajaran secara tekstualis ini menghilangkan esensi kemanusiaan didalamnya.Pandangan literalis ini membuat pandangan agama menjadi terhenti, statis dan akibatnya Islam sangat mundur. belakang sehingga pandangan keagamaan menjadi rigid dan tidak mampu menyesuaikan era manusia modern, kondisi ini melahirkan pandangan yang antipati terhadap peradaban modern itu sendiri.

 

Secara hierarkis ideologis, pandangan fundamentalisme ini setingkat dibawah radikalisme, sementara radikalisme satu lingkaran dengan pemaksaan pandangan dan sikap melalui caracara kekerasan dan terorisme. Fundamentalisme merupakan embrio lahirnya radikalisme bahkan sampai ke level terorisme bila tidak ada proses yang menghalanginya. Fundamentalisme budaya juga mirip dengan kondisi fundamentalisme agama, sama-sama
mengacu kepada pedoman dasar suatu ideologi, yang satu ideologi agama, sementara yang lain ideologi budaya. Fundamentalisme budaya akan melahirkan pandangan yang kaku dan absolut dalam memperlakukan tradisi-budaya. Fundamentalisme agama dan budaya sama-sama membahayakan perempuan karena mereka menganggap tubuh dan eksistensi perempuan menjadi ukuran perubahan, karenanya kontrol atas peremuan penting untuk menjaga ideologi mereka. Kawin anak merupakan salah satu hal yang mereka pertahankan karena sesuai dengan fundamen ajaran agama yang diyakini.

Kesaksian Para Pengabdi

Kajian Tentang Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia.

Melalui wawancara mendalam dengan sejumlah “pelaku”, kajian ini melangkah lebih jauh dari kajian standar tentang fundamentalisme di Indonesia. Dalam buku ini disajikan aspek yang paling dasar yang menggambarkan hubungan antara fundamentalisme dan perempuan. Perempuan adalah “Padang Kurusetra” dalam pertempuran antara modernisasi dan reaksi balik atas modernisasi yang melahirkan fundamentalisme di era globalisasi.

Buku ini telah mematahkan cara pandang para pemikir dan akademisi tentang fundamentalisme dan gerakan radikal yang selama ini “menganggap enteng” peran perempuan di dalamnya. Namun setelah membaca hasilnya kita sungguh dibuat prihatin karena studi ini tidak bisa lain menunjukkan  evidenced based tentang cara fundamentalisme memanfaatkan kesetiaan dan pengabdian perempuan atas ideologi dan keyakinannya.

 

Buku ini bisa didapatkan di Yayasan Rumah Kita Bersama atau pesan lewat facebook rumahkitab.