Pos

Memelihara Agama atau Jual Beli Agama?

Oleh : Dinda Shabrina

Saya masih terngiang-ngiang dengan kata-kata Kiai Moqsith dalam workshop penguatan kapasitas tokoh agama 23 Juni 2021 lalu yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB. Saat itu ada yang bertanya pada beliau mana yang harus didahulukan dalam dharuriyat al-khams, hifdzud diin atau hifdzun nafs? Memelihara agama atau memelihara kemanusiaan? Beliau menjawab “memelihara kemanusiaan lebih didahulukan ketimbang memelihara agama”.

Tidak bisa orang melaksanakan maslahat ukhrawi jika maslahat duniawinya belum dikerjakan. Selama ini saya berpikir agama itu di atas segala-galanya. Tetapi setelah mendapatkan penjelasan dari Kiai Moqsith lewat beberapa contoh yang menurut saya sangat masuk akal, cara berpikir saya berubah. Seperti misalnya contoh, “kita tidak bisa membayar zakat jika kita miskin”, jika orang beribadah saja tanpa bekerja, seluruh orang Islam hanya menerima zakat saja, tidak bisa memberi zakat. Lalu contoh berikutnya “kita tidak bisa melakukan shalat ketika perut kita lapar”, ini sangat jelas dengan apa yang diajarkan nabi. Kita tidak akan mungkin bisa khusyuk mendirikan shalat ketika perut kita sedang lapar.

Rasulullah berkata:

إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَةَ الْمَغْرِبِ ، وَلاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ

“Apabila makan malam sudah tersaji, maka dahulukanlah makan malam tersebut dari shalat maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dari makan kalian .” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan terakhir contoh dari Kiai Moqsith tentang memelihara kemanusiaan lebih didahulukan ketimbang memilihara agama yang sangat menggugah hati saya betapa Islam sangat rahmatan lil’alamin “kamu hendak berwudhu untuk menunaikan shalat, lalu ada anjing kehausan, sementara air yang tersedia hanya cukup untuk berwudhu satu kali, maka berikan air itu untuk anjing kehausan, dan kamu tayamum”. Sungguh saya sangat kagum dan tersentuh sekali dengan ajaran Islam. Narasi atau ajaran keagamaan seperti ini sangat sedikit sekali bisa ditemukan di era ini. Etika kita dalam Islam kepada anjing saja seperti itu, apalagi etika kepada sesama manusia.

Sebuah cara pandang baru bagi saya ternyata untuk menegakkan agama kita tidak perlu atribut-atribut keagamaan. Dan untuk menjadi muslim yang kaffah, kita hanya perlu melakukan tugas kemanusiaan kita, memberi maslahat bagi diri sendiri, memberi maslahat bagi orang lain. Jika itu semua sudah dilakukan maka otomatis agama pun terpelihara.

Namun yang terjadi sekarang, orang-orang diarahkan untuk menegakkan agama dengan cara membalut diri mereka dengan pakaian serba syar’i. Semakin syar’i pakaian orang itu, maka dianggap semakin alim, semakin kaffah pula lah Islamnya. Dari dulu sebetulnya saya terganggu dengan fenomena ini. Semakin banyak orang berpakaian syar’i tetapi semakin banyak pula pertikaian terjadi baik sesama umat Islam maupun dengan yang berbeda keyakinan. Dan ini bisa dibuktikan tingginya kasus diskriminasi dan radikalisme dari tahun-tahun terakhir.

Fenomena serba syar’i ini pula yang dimanfaatkan kapitalisme untuk menjual segala hal dengan memanfaatkan “agama” atau “kesalehan” yang dikonstruksi sedemikan rupa. Sekarang bukan hanya pakaian yang syar’i. Benda-benda yang tidak ada hubungannya dengan peribadatan pun berlabel syar’i atau halal. Kulkas halal, komestik halal, sabun cuci piring halal, sepatu halal, kaos kakipun berlabel halal.

Tidak ada yang salah dengan berpakaian syar’i atau membeli semua barang berlabel halal tadi. Menjadi masalah ketika telah berpakaian syar’i lalu mencap orang yang tidak berpakaian seperti dirinya sebagai orang yang penuh dosa. Menjadi masalah ketika merasa berhak menceramahi orang lain di postingan foto sosial medianya dan membuat orang itu malu. Alih-alih menegakkan “hifdzud diin”, orang ini justru memunculkan keretakan antar sesama umat. Orang yang belum berpakaian syar’i akan kesal dan perlahan menaruh rasa kebencian pada orang-orang yang berpakaian syar’i. Keduanya menaruh prasangka yang berujung bertikaian.

Rupanya jualan agama ini bukan hanya berbentuk produk atau barang. Tetapi juga berkedok layanan jasa dan “pendidikan”. Sekarang banyak ditemui kelas-kelas pra nikah syar’i. Atau biro jodoh untuk menemukan pasangan hidup yang saleh/salehah. Bahkan yang paling parah dan paling mengejutkan saya adalah “workshop poligami” yang dipasangi tarif cukup tinggi, 4 juta per orang. Saya betul-betul menyaksikan hari ini agama betul-betul diperjualbelikan. Semua dilabeli “syar’i”, “sunnah” dan “halal” hanya untuk meraup keuntungan.

Dan yang paling mengerikan dari fenomena ini semua adalah ternyata perempuan dijadikan objek utama dari jual beli “agama” ini. Pakaian syar’i paling gencar dipromosikan untuk perempuan. Jilbab, gamis, mukena, sendal, khimar, dll. Produk kecantikan untuk merawat tubuh agar terlihat cantik di mata suami juga untuk perempuan. Kelas pra nikah syar’i juga lebih banyak menekankan agar perempuan tunduk dan patuh pada suami. Dan yang terakhir workshop poligami “berburu madu” yang dibalut dengan label sunnah atau syar’i itu hanya kedok agar menjadikan perempuan sebagai objek kenikmatan seksual laki-laki menjadi halal di dalam Islam.

Dari semua fakta yang kita lihat sekarang ini, fenomena serba halal dan syar’i, apakah pertanyaan kita masih “mana yang didahulukan, memelihara agama atau memelihara kemanusiaan?” Atau sudah berubah menjadi, “apakah kita benar-benar memelihara agama?”. []

rumah kitab

Merebut Tafsir: Agama dan Korupsi

Merebut Tafsir: Agama dan korupsi

Suami saya bilang begini, pejabat yang kebetulan beragama lalu ia tidak korupsi, maka dia dapat dua bonus. Bonus pertama adalah taat konstitusi, bersetuju dengan asas-asas bernegara, sikap adil yang ditunjukkan dengan tidak mengambil hak orang lain dan tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingannya sendiri.

Bonus kedua, sebagai orang yang beragama (Islam), orang itu tak korupsi karena percaya soal pahala dan dosa. Ia tak korupsi karena menjalankan laku kesalehannya. Ia takut dosa-dosanya kelak akan menghukumnya di neraka sesuai dengan konsep neraka dalam keimananannya yang belum tentu diimani orang lain.

Cara pikir itu tidak boleh dibalik. Tidak korupsi itu harus menjadi sikap umum bagi siapapun tanpa kecuali, beragama atau tidak beragama. Tapi dengan kesalehannya, atau takut dosa krn berbuat dhalim dan karenanya tidak korupsi maka itu merupakan sikap primordial yang menjadi penopang sikapnya karena ia yakin ada hari pembalasan dan krn sadar bahwa Allah Maha Tahu dan Maha Adil. Namun keyakinan itu hanya diimani oleh dirinya berdasarkan ajaran agamanya.

# Lies Marcoes 6 Mei 2021.

Jangan Pertentangkan Agama dan Sains!

MOJOK.CO – Asumsi bahwa secara otomatis tindakan beriman berarti meninggalkan sains, itu keliru. Seolah-olah sains dan agama jadi “musuh bebuyutan”.

 

Saya ingin melanjutkan perbincangan tentang sifat Tuhan yang satu ini: al-‘ilm, pengetahuan. Sebagaimana sudah saya jelaskan, salah satu ciri wujud yang berkualitas tinggi adalah adanya pengetahuan di sana.

Wujud yang tidak disertai dengan ‘ilmu memiliki martabat yang rendah, inferior. Semahal apa pun suatu bebatuan, seperti emas atau berlian, ia, dari segi martabat wujud, jauh berada di bawah manusia. Sebab ia tak memiliki potensi untuk “mengetahui”.

Secara individual, jelas ada manusia yang tak berilmu, the ignoramus, orang yang bodoh dan “ngengkel” dengan kebodohannya. Tetapi kita membicarakan manusia sebagai al-jinsu, spesies. Meski ada orang bodoh, tetapi sebagai spesies manusia memiliki qabiliyyah li-l-‘ilm, potensi untuk menerima ilmu.

Di dalam diri manusia, ada “fakultas” atau kemampuan mental untuk mempelajari hal-hal baru. Derajat kemampuan itu bisa berbeda dari orang ke orang. Potensi inilah yang membuat derajat wujud manusia berada persis di bawah Tuhan.

Ibn ‘Arabi (w. 1240), dalam Fusus al-Hikam, menegaskan bahwa Adam (atau manusia secara keseluruhan) adalah tujuan penciptaan alam raya ini. Pada anak cucu Adam ada suatu keunikan (apa yang ia sebut sebagai “kalimah Adamiyyah”) yang tak ada pada makhluk lain: yaitu kemampuan mengetahui.

Pada manusia, jika kita ikuti teori Ibn ‘Arabi, Tuhan seperti melihat semacam “alter-ego”- Nya. Manusia adalah, dalam bahasa dia, “mir’atun majluwwatun,” cermin yang cemerlang di mana Tuhan akan melihat citra diri-Nya.

 

Dengan kata lain, manusia nyaris semacam “tuhan kecil”, karena di dalamnya telah ditiupkan ruh-Nya, nafkhah ilahiyyah. Noah Yuval Harari, penulis selebriti dunia itu, menyebutnya sebagai “homo deus,” manusia-tuhan (meski dia memakai istilah ini dalam pengertian yang agak beda).

Tetapi ada satu “caveat,” peringatan: meski memiliki sifat-sifat Tuhan, manusia tak dibolehkan untuk gembelengankibriya’, sombong. Sifat ini hanya boleh dimiliki dan diperagakan oleh Tuhan. Wa-lahu-l-kibriya’u fi-l-samawati wa-l-‘ardlibagi Tuhan sajalah kesombongan, baik di langit atau bumi (QS 45:37). Meski godaan untuk sombong amatlah besar pada manusia!

Tentu saja, ilmu yang ada pada manusia bukanlah orisinal, asli muncul dari dirinya sendiri, melainkan bersifat derivatif, berasal dari sumber lain: Tuhan. Dalam pandangan seorang beriman, semua ilmu berasal dari sumber yang sama: Tuhan.

Meski demikian, Tuhan tak memberikan begitu saja secara “gratis” ilmu-ilmu itu kepada manusia. Ada jalan yang harus ia lalui untuk memperolehnya.

Ada dua jalan yang harus ditempuh, sebagaimana dijelaskan oleh ushuliyyun (ulama yang mengkaji filsafat hukum Islam).

Yang pertama adalah jalan daruri, yaitu ilmu-ilmu yang diperoleh secara spontan tanpa harus menalar (istidlal). Yang kedua: jalan iktisabi, yaitu ilmu-ilmu yang harus di-“rebut” dengan usaha-keras melalui proses penalaran.

Sebetulnya ada jalan ketiga seperti dijelaskan al-Ghazali dalam Ihya’, yaitu, jalan ilhami – yakni, ilmu-ilmu yang diperoleh secara langsung melalui “pengilhaman” dari Tuhan. Meskipun jalan ketiga ini boleh saja kita pandang sebagai bagian dari “ilmu-ilmu iktisabi.”

 

Dengan pemahaman seperti ini, para hukama’ (filosof) dan ulama Islam di era klasik tak pernah mempertentangkan antara ilmu-ilmu yang berbasis wahyu dan ilmu-ilmu empiris yang bersumber dari observasi.

Kedua jenis ilmu itu bukanlah dua hal yang “mutually exclusionary,” saling menafikan. Pandangan yang dualistis terhadap ilmu seperti ini sama sekali berlawanan dengan “bundelan” atau akidah tentang Tuhan Yang Maha Tahu.

Akidah tentang sifat Tuhan sebagai Yang Maha Tahu (‘Alimun) mengharuskan kita untuk memandang semua ilmu (sekali lagi: semua ilmu!), secara ontologis, sebagai satu-kesatuan: ilmu yang bersumber dari Tuhan.

Ketika pandemi korona sekarang menerjang seluruh dunia, ada yang berteriak kegirangan: Sains telah mengalahkan agama!

Ini jelas keliru, karena mengasumsikan bahwa secara otomatis tindakan beriman berarti meninggalkan sains. Seolah-olah sains dan agama adalah “musuh bebuyutan”.

Para filsuf Muslim klasik seperti Ibn Rusd (w. 1198) memandang wahyu dan akal sebagai dua hal yang saling berkaitan, sebagaimana ia jelaskan dalam karyanya yang sudah classicsFashl al-Maqal. Antara “syari‘ah” dan “hikmah” (filsafat), kata Ibn Rusyd, terdapat hubungan yang erat, ittishal.

Paradigma Rusydian inilah, bagi saya, yang perlu dipakai oleh Muslim sekarang dalam melihat hubungan antara agama dan sains.

Iman bukan lawan dari pengetahuan. Karena itu, jangan pertentangkan agama dan sains.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/jangan-pertentangkan-agama-dan-sains/

Merebut Tafsir : Agama dan Krisis

Mungkin di antara kita pernah atau kerap menempatkan agama bukan sebagai hal yang utama. Namun sebaliknya kerap juga agama dijadikan satu-satunya gantungan harapan. Biasanya itu hadir tatkala kita sedang menghadapi krisis. Krisis apa saja. Dan disitulah memang antara lain peran dan fungsi agama.

Berulang kali saya merasa saya membutuhkannya karena saya merasa sangat rapuh. Waktu berpisah dari keluarga untuk menempuh pendidikan lanjutan di Belanda, ketika menjalani operasi rahim, ketika melahirkan tiga anak dengan penyulitnya masing-masing, ketika orang tua sakit keras, ketika harus mencari jalan untuk melunasi cicilan rumah, ketika harus menjalani operasi mata dan akhirnya harus menerima sebelah mata buta, dan ketika suami, panduan hidup tetiba jatuh dan wafat tiga hari kemudian. Di saat-saat seperti itu agama, kehangatannya, ketentraman yang ditawarkannya, harapan yang ditimbulkannya, kepasrahan yang dihasilkannya, membuat saya mempercayai agama sebagai sebuah sistem sosial dan keyakinan yang dapat membantu saya menghadapi krisis.

Namun ada kalanya saya merasa agama tak boleh mencampuri akal saya. Sebagai peneliti saya harus “setia pada fakta “ yang setiap saat bisa gugur oleh temuan- temuan lain. Dalam situasi itu saya memperlakukan agama sebagai fenomena, sebagai gejala sosial yang berpengaruh kepada pilihan-pilihan dan perilaku orang.

Tapi saya juga sangat menikmati spiritualitas yang lahir dari keyakinan/agama. Spiritualitas saya pelajari dan saya dalami serta saya asah dari pengalaman beragama dan dari keyakinan apapun yang dapat memunculkan “rasa” di dalam batin. Karenanya saya sangat menikmati bulan Puasa dengan segenap “rasa” yag memancar darinya. Sejak masih mahasiswa di Perbandingan Agama saya sangat menyukai ragam ritual agama- agama. Jika ke Kelenteng saya akan ikut bakar dupa dan menikmati harum dupa yang menyimpan memori tentang ketentraman serta perasaan indah di dalam batin. Saya senang mengikuti seremoni Natalan dan mendengarkan kidung-kidung persembahan. Saya sangat terpesona oleh keheningan dunia kerahiban baik dalam tradisi Kristen maupun Budha. Dan saya juga sangat menikmati dunia tarikat serta hal-hal gaib yang karap menyertai amalan-amalan yang dijalankan.

Ilmu pengetahuan merupakan sebuah dunia yang wataknya bisa melucuti keyakinan agama. Kisah “dunia datar”vs “dunia bundar” merupakan cerita klasik yang memperlihatkan ketegangan antara “keyakinan” dan fakta. Di mana agama harus berdiri? Dalam situasi ini kita bisa melihat dan bahkan menghadapi ketegangan-ketegangan serta gesekan antara dunia pengetahuan dan agama.

Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan secara adigung kerap meninggalkan agama. Dan ini membuat dunia agama merasa disepelekan. Namun dalam isu tertentu Ilmu pengetahuan akan sulit meninggalkan agama. Itu terutama ilmu pengetahuan yang harus berhadapan dengan isu moral yang sumbernya dari agama. Ilmu pengetahuan yang terkait dengan dunia penyakit yang belum diketemukan obatnya menjadi rentan oleh campur tangan pandangan agama. Penyakit yang membuat manusia kehilangan keberdayaanya, seperti HIV/AIDS kerap digunakan oleh kalangan agama untuk membuktikan betapa dunia pengetahuan tak ada apa-apanya dibandingkan dengan tentara-tentara Tuhan berupa penyakit yang membuat manusia rentan. Agama dengan cepat dan digdaya dipegang sebagai bukti bahwa pengetahuan manusia ada batasnya sementara kekuatan agama tak terhingga.

Ketidak-berdayaan ilmu pengetahuan atas penyakit mematikan yang belum ditemukan obatnya segera disambar oleh agama sebagai bukti bahwa itu merupakan balasan Tuhan atas kesombongan manusia karena meninggalkan agama. Krisis yang ditimbulkan oleh penyakit, menjadi senjata balasan dari agama kepada ilmu pengetahaun yang selama ini telah mengabaikannya. Dalam situasi krisis serupa itu agama seperti mendapakan bala bantuan berupa claim kebenaran bahwa Tuhan sedang mengirimkan azab dan penyakit mematikan itu menjadi bukti kebejatan moral manusia. Secara psikologis, penyakit itu seperti tentara Tuhan untuk membalaskan “sakit hati” yang diderita agama karena kerap ditinggalkan oleh science. Karenanya penyakit mematikan mereka claim sebagai azab agar manusia insyaf dan taubat.

Dalam dua domain yang berbeda, yang satu berbasis empirik yang lain keyakinan yang tak butuh bukti, memang terjadi persaingan. Sebetulnya itu biasa saja, keduanya bisa berjalan beriringan atau bahkan bertolak belakang. Namun ini menjadi masalah manakala negara yang mendapatkan mandat mengurus crisis, apapun krisis itu, termasuk penyakit, membiarkan agama masuk dan melepaskan fungsi utamanya sebagai pemberi ketentraman, ketenangan dan harapan menjadi penentu kebenaran berdasarkan nilai moralnya sendiri. Dan tatkala itu terjadi maka di saat itulah tampaknya agama telah menjadi sumber krisis itu sendiri.

 

Lies Marcoes, 20 Maret 2020

AGAMA adalah NASEHAT

Oleh Jamaluddin Mohammad

Saya kemarin berdiskusi dengan Enambelas Syarif soal hadis “al-Din al-Nasihah” (Agama adalah nasehat). Alumni Pondok Pesantren al-Fadlu Kaliwungu ini langsung menyodorkan kitab syarh al-Arbain al-Nawawi, sebuah kumpulan hadis-hadis pilihan. Muhyiddin Syarafuddin al-Nawawi (W 676 H) mengumpulkan 40 hadis sahih sekaligus memberikan komentar (syarh) atas hadis-hadis tersebut.

Selain ngobrol-ngobrol soal ini kami juga mendiskusikan pernyataan kontroversial salah seorang “ustadz millenial’ tentang berat badan wanita salihah yang menurutnya tidak lebih dari 55 kilogram. Menurut ustadz yang digemari kalangan millenial muslim urban ini, ukuran tersebut tidak mengada-ngada (artinya dia tidak sedang “melucu” seperti kebiasaan pidato ustadz-ustadz di kampung) karena mengacu pada berat badan Siti Aisyah ketika ditandu oleh beberapa sahabat.

Jika Asiyah sebagai istri Nabi dijadikan parameter dan tolok ukur, kata Syarif, mengapa istri-istri Nabi yang lain diabaikan? Bukankan Saudah binti Zam’ah berperawakan tinggi besar (gemuk)? Berarti beliau tidak salihah dong? “Ustdz ini masih perlu banyak mutala’ah kitab,” ujar Syarif. Pada kesempatan lain, isnya Allah, saya akan menulis soal ini (tapi, penting gak sih? Hehehe). Kali ini saya akan meneruskan uraian hadis “Agama adalah Nasehat” sesuai yang kami diskusikan.

“Agama adalah nasihat,” kata Nabi Muhammad SAW. Beliau mengulang-ulang sampai tiga kali

Para sahabat bertanya, “nasehat kepada siapa?”
“Nasehat kepada Allah, RasulNya, kitabNya, juga kepada para pemimpin dan umat islam”

Secara bahasa, nasehat (na-sa-ha) artinya “bersih” atau “murni”, seperti pada kalimat “nasahtu al-‘asal” (saya membersihkan/memurnikan madu). Nasehat juga bisa berarti ‘menjahit”, sebagaimana perkataan orang Arab “nasaha al-rajul tsaubahu” (seorang lelaki menjahit pakaiannya).

Dari segi bahasa tak jauh dari makna istilah. Menurut para ulama, nasehat artinya “memberikan kebaikan kepada orang lain” (badzlu al-khair li al-ghair). “Kebaikan” (al-khair) identik dengan “kebersihan” atau “kemurnian”. al-Khattabi memberikan definisi nasehat sebagai “memberikan bagian orang yang dinasehati” (hiyaza al-hadzzi li al-mansuh lah). Setelah diserap dalam bahasa indonesia, arti nasehat tidak jauh berbeda dengan bahas Arab, yaitu “ajaran atau pelajaran baik; anjuran (petunjuk, peringatan, teguran) yang baik. Prilaku menasehati seperti menjahit pakaian: membuat pola, menyambung, merapatkan, membenahi, sekaligus merapikan prilaku orang.

Menurut para ulama, nasehat adalah buah (tsamrah) dari persaudaraan, baik persaudaraan berdasarkan rasa keagamaan (ukhuwwah diniyyah), persaudaraan tanah air dan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah) atau pun (ukhuwwah basyariyyah)

Sebagai sebuah nasehat, agama sudah barang tentu mengandung kebaikan dan kebenaran. Ini keyakinan semua penganut agama. Oleh karena itu, sudah sepatutnya ia disampaikan dengan cara baik-baik dan penuh dengan persaudaraan.

Hari ini—terutama di Medsos, khotbah-khotbah dan mimbar-mimbar Jumat—saya melihat agama tidak lagi sebagai nasehat yang mendamaikan dan menyejukkan, melainkan tak lebih dari ekspresi kemarahan, kebencian dan permusuhan. Na’udzubillah min dzalik.

Tampaknya, untuk mengembalikan wajah islam sebagai agama nasehat, salah satunya harapan itu ada pada “Islam Nusantara”

Salam,
Jamaluddin Mohammad

Isu Fundamentalis Agama dan Budaya dalam Program BERDAYA

Salah satu tantangan program BERDAYA adalah tujuan kegiatan ini bisa berbenturan dengan para fundamentalis agama dan budaya yang menganggap perkawinan anak adalah domain mereka.

Fundamentalisme agama merupakan paham keagamaan sekaligus ideologi yang meyakini bahwa cara terbaik untuk menyelamatkan manusia dari kerusakan di bumi adalah dengan “kembali kepada ajaran dasar”. Secara metodologi mereka mengajak untuk kembali pada pemahamanTeks Kitab Suci (Al-Qur’an dan hadits).Namun cara pemahamannya menggunakan landasan literalis.Argumentasi literalis ini menolak hasil ijtihad dan argumentasi hukum-fikih klasik dan tafsir-tafsir klasik yang telah dikodifikasi ulama yang selama berabad-abad mengembangkan
pemikiran Islam secara kontekstual melalui proses budaya-peradaban agar Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Upaya yang mengajak kembali kepada ajaran secara tekstualis ini menghilangkan esensi kemanusiaan didalamnya.Pandangan literalis ini membuat pandangan agama menjadi terhenti, statis dan akibatnya Islam sangat mundur. belakang sehingga pandangan keagamaan menjadi rigid dan tidak mampu menyesuaikan era manusia modern, kondisi ini melahirkan pandangan yang antipati terhadap peradaban modern itu sendiri.

 

Secara hierarkis ideologis, pandangan fundamentalisme ini setingkat dibawah radikalisme, sementara radikalisme satu lingkaran dengan pemaksaan pandangan dan sikap melalui caracara kekerasan dan terorisme. Fundamentalisme merupakan embrio lahirnya radikalisme bahkan sampai ke level terorisme bila tidak ada proses yang menghalanginya. Fundamentalisme budaya juga mirip dengan kondisi fundamentalisme agama, sama-sama
mengacu kepada pedoman dasar suatu ideologi, yang satu ideologi agama, sementara yang lain ideologi budaya. Fundamentalisme budaya akan melahirkan pandangan yang kaku dan absolut dalam memperlakukan tradisi-budaya. Fundamentalisme agama dan budaya sama-sama membahayakan perempuan karena mereka menganggap tubuh dan eksistensi perempuan menjadi ukuran perubahan, karenanya kontrol atas peremuan penting untuk menjaga ideologi mereka. Kawin anak merupakan salah satu hal yang mereka pertahankan karena sesuai dengan fundamen ajaran agama yang diyakini.