Jangan Tak Bertuhan di Indonesia
Psikologi bangsa ini agak lucu sekaligus getir. Di Indonesia, ketidakberimanan seseorang itu diterima sepanjang bukan dari keluarga mereka. Ronaldo boleh ateis, dosen bule silakan agnostik; tapi jangan kakak, adik, apalagi anakku. Demikianlah kira-kira kalau isi hati masyarakat dituliskan.
Mereka sumringah dan nyengir saja ketika berfoto dengan dosen asing kulit putih (dengan berbagai variasi white priviledge) yang bukan saja tak bertuhan dan tak beragama, melainkan bahkan rutin jajan di lokalisasi atau langganan daring. Sepanjang ia necis, isi kepalanya canggih, reputasi dan kutipan paper-nya melimpah serta H-Index tinggi, orang-orang—apalagi mahasiswa berjiwa inferior dan gemar pansos—akan berduyun-duyun mengajaknya berfoto.
Hal semacam itu mustahil terjadi di ruang lingkup terdekat.
Begitulah psikologi massa dan ketaksadaran kolektif warga di negeri ini. Korupsi, tak masalah. Merusak hutan, silakan. Sengsarakan ribuan masyarakat adat dengan salah satu kebijakanmu, monggo saja. Asal jangan tak bertuhan! Jangan tidak beriman.
Meski kau memborong semua dosa struktural tersebut (korupsi, perusakan ekologis, perebutan ruang hidup, dll.), cukup naik haji, pakai peci atau berkerudung, walau tak sembahyang, tidak masalah. Asal jangan tak bertuhan! Asal getol bela ulama dan paling preman saat pemuka agamanya dihujat (sampai mengancam mau “menggorok” sebagaimana staf ahli Kemenag itu), walau tak sholat, tak apa-apa, kau malah disebut pahlawan—sekalipun sesungguhnya adalah pembantai.
Kau tak beribadah sama sekali sepanjang hidupmu? Tak pernah ke gereja, vihara, kuil, atau masjid? Tidak perlu khawatir. Kau masih dianggap manusia. Asal jangan tak bertuhan, jangan tidak beragama. Walaupun kau baik, sopan, tak pernah merugikan orang lain apalagi sampai merenggut hidup mereka; walau rasa kemanusiaanmu, kejujuranmu, integritasmu terjaga sehingga terlalu kokoh ketidakmauanmu untuk berlangganan pada kultur korup di negeri ini—melampaui seluruh kebaikan seremonial umat beragama di sini—kau takkan pernah punya ruang dan tak layak dapat kasih sayang. Yang menunggumu hanyalah parang!
Tentu, kecuali kau Christiano Ronaldo, atau Benedict Anderson, atau Shah Rukh Khan! Semua akan melupakan ketidakberimananmu dan mengajakmu berswafoto dengan penuh bangga. Hingga ke level paling absurd: Idol K-Pop silakan tak beragama dan tak bertuhan, asal ganteng dan—seperti kata netizen cewek-cewek K-Popers di kolom komentar di negeri ini: “bikin rahimku anget!”
Demikianlah ironi sekaligus potret ganjil perlakuan kita terhadap sesama manusia di Tanah Air. Orang asing silakan tak beriman, tapi jangan keluarga, jangan temanku, jangan kerabatku. Watak kemanusiaan kita mendadak ditelanjangi: betapa sempit dan dangkal penerimaan kita di tengah gemuruh klaim inklusivitas dan toleransi yang dijual obral oleh pemerintah.
Kalau filsuf-filsuf Prancis, jajaran pengarang keren, sastrawan sangar, seniman nyeleneh yang membikin orang mengunggah quotes (walau tak membaca tuntas buku-buku dan karya-karyanya), mereka boleh ateis atau agnostik. Bahkan hal itu diam-diam dan tanpa malu-malu membuat kita sedemikian bangga setelah memamerkan kutipan di Instastory.
Tapi, begitu orang yang jadi ateis dan tak bertuhan itu serumah denganmu, berbagi selimut denganmu, sedapur, atau bahkan pernah meringkuk lugu di dalam hangat rahimmu, kau akan seketika panik seribu bahasa. Engkau akan merasakan teror sosial dan batin—sesuatu yang lebih mematikan ketimbang perang.
Tidak Mudah Menjadi Non-Teis di Indonesia: Kamuflase Jadi Taktik Kunci
Kemerdekaan di negeri ini masihlah sangat parsial. Keadilan sosial hanya berlaku bagi segelintir kelompok. Banyak praktik kewarganegaraan separo (partial citizenship) dan inklusi bersyarat (conditional inclusion) yang masih ajeg mendominasi wajah politik dan sosial sehari-hari. Tidak kaget jika Freedom House memberi rating Indonesia sebesar 56/100 poin, dan membuat kita termasuk sebagai negara yang partly free. Dan menjadi kelompok Non-Teis di negeri ini bisa menuai konsekuensi yang serius.
Timo Duile, antropolog asal Jerman yang terkenal karena risetnya soal Kuntilanak, pernah meneliti bagaimana kelompok ateis menjalani hidup di Indonesia, negara yang mayoritas masyarakatnya amat religius. Timo menyoroti bahwa Indonesia memang mengakui Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) namun itu hanya berlaku sepanjang ia sejalan dengan umat-umat beriman semata—lewat “kerukunan umat beragama”. Dengan begitu, kelompok non-teis (khususnya ateis) tidak termasuk di dalamnya.
Menjadi ateis di Indonesia, tulis Timo, adalah suatu hal yang berdampak ke setiap ruas aspek kehidupan seseorang. Mereka harus mencari-cari alasan, bernegosiasi dengan teman, keluarga, dan orang lain, terutama untuk memutuskan apakah ia mau mengungkapkan hal itu atau menyembunyikannya.
Ada terlalu banyak batu sandungan dan ranjau sosial-politik yang siap menumpas mereka. Apalagi secara historis, ateisme di Indonesia bertaut-erat dengan Perang Dingin dan narasi PKI. Usai genosida 1965, Suharto yang naik ke tampuk kekuasaan pun memanfaatkan itu untuk strategi framing ke musuh-musuhnya. Dan tahun 1967 barulah muncul “kolom agama” di KTP yang membuka lebar pintu diskriminasi terhadap masyarakat adat, penghayat kepercayaan, termasuk kelompok non-teis. Inilah salah satu dari sekian banyak dosa-dosa Suharto yang menjadikannya tidak layak disebut pahlawan.
Sejak saat itu, stigma sosial dan risiko untuk jadi sasaran main hakim sendiri (vigilance) kerap mengintai para ateis di Tanah Air—sembari pemerintah dan ormas-ormasnya terus menerus memproklamirkan diri sebagai “negara harmonis”. Walhasil, mereka hidup penuh kamuflase demi bertahan hidup. Ada yang pura-pura Jumatan, atau pergi ke gereja, dan ikut perayaan hari besar keagamaan. Padahal, hati mereka aslinya teriris dalam kepura-puraan, tanpa punya ruang untuk diterima sebagai diri sendiri.
Padahal, mereka sama-sama manusia yang pernah merangkak, ditimang ibunya, dibesarkan dan disayanginya. Padahal, mereka sama-sama manusia yang juga bisa tersenyum, ketawa, dan menangis. Padahal, mereka juga anak bangsa, warga negara, yang sama punya keinginan lirih di hati kecilnya untuk ikut bermanfaat bagi sesama warga negara, juga warga dunia. Namun, keberadaan mereka—baik di ruang sosial maupun di kajian akademis—seolah tak terlihat. Gaib. Atau, mungkin mereka memang mengeksklusi diri.
Padahal, jika kita simak riset Timo, ada pertumbuhan yang cukup signifikan dari generasi muda sekuler di Indonesia yang menjadi ateis dan secara total menampik keberadaan Tuhan. Dan ini bukanlah unik di Indonesia, melainkan potret global: Arab Saudi, Australia, bahkan Amerika yang juga terkenal religius. Survey Pew Research (2021) menemukan sekitar 3 dari 10 warga Amerika Serikat tidak terafiliasi agama dan seperempatnya lebih suka termasuk ke dalam kelompok “spiritual but not religious” (SBNR). Sementara riset Anna Halafoff, dkk. (2021) yang fokus pada Gen Z Australia menunjukkan ada sekitar 23% dari populasi remaja usia 13-18 tahun termasuk ke dalam kelompok This Worldly yang sama sekali menolak pandangan keagamaan, spiritual, maupun metafisik—dan mereka dengan sadar tidak percaya Tuhan.
Bila kita kembali ke Indonesia, saya ingin mengambil spektrum yang lebih luas saja, yakni kelompok Non-Teis. Di dalamnya mencakup ateis, agnostik, dan sejenisnya. Ini karena “ateisme” sendiri menurut John Gray ada tujuh tipe—yang sekalipun kategorisasinya penting, namun saya punya kebebasan untuk tidak menganutnya. Belum jika menyoal kategori SBNR, lalu kategori the seeker yang oleh Wade C. Roof dijelaskan dalam Spiritual Marketplace. Kelompok the seeker ini termasuk beririsan dengan golongan non-teis karena mereka meraba-raba hidup dengan tanda tanya, tanpa tergesa-gesa menyimpulkan, lebih-lebih memeluk erat sesuatu yang diwariskan tanpa filter nalar yang ketat.
Dari uraian tersebut, semakin penting untuk memperhatikan kelompok ini dan kehidupan sehari-hari mereka. Dinamika sulit semacam apa yang mereka simpan sendiri, atau sekurang-kurangnya mereka bagikan di lingkaran kecil yang mereka anggap aman. Apalagi, ketika mendiskusikan bab-bab teologis, UU Penistaan Agama kerap menjadi momok bagi mereka. Sementara bagi para penerima manfaat dan privilesenya, UU ini mangkus sebagai pembenaran untuk mengkriminalisasi atau mendevaluasi hak-hak kebebasan individu yang tidak beriman.
Sebenarnya agak kontradiksi dengan regulasi Indonesia yang sejak 2005 telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menjamin hak setiap orang untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama, serta bebas dari aneka perlakuan kejam, penyiksaan, atau hal-hal yang tidak manusiawi. Dan kelompok non-teis, mirip dengan penghayat kepercayaan dan masyarakat adat: sama tersisihkan dan tak dianggap—yang masih punya iman aja didiskriminasi, apalagi yang tidak?
Padahal Kita Tak Pernah Hidup Mandiri
Usai berkicau panjang soal nasib kelompok non-teis dan psikologi massa kita terhadap mereka, rasanya perlu untuk merinci betapa dalam hidup ini, kita tidak tinggal sendiri. Dan kita pun tak pernah benar-benar mandiri.
Dalam sehelai benang yang jadi bahan celana dalammu, ada jejak ratusan keringat manusia yang berjasa—baik dia beriman atau tidak. Juga jasa-jasa organisme lain, matahari yang menumbuhkan kapas, hingga unsur-unsur anorganik lainnya. Bahkan, di dalam kitab suci yang rutin kita baca itu, tersimpan jejak peluh orang-orang yang mungkin dituduh kafir (dari masing-masing agamamu) dan mungkin pezinah, lonte, bandar, kartel, hingga koruptor.
Sejak dari materialnya saja, kita perlu sadar bahwa tintanya bisa dari Cina, kertas dari Vietnam atau Eropa, bahannya bambu dari Jepang, mesin produksinya buatan orang Jerman, tenaga kerjanya asal Sukabumi, desainernya kafir dan pemadat. Bagaimana bisa engkau merasa benar sendiri dan melupakan sembari tak sadar betul akan jasa dan kerja-kerja senyap pihak liyan untuk membuat kitab suci itu sampai ke tanganmu dan rutin kau baca?
Dari sini, kita sadar bahwa kita saling bergantung satu sama lain—tanpa pandang ras, tanpa pandang iman. Dengan kata lain, kita tak pernah benar-benar mandiri. Tak pernah!
Saatnya Melibatkan Kelompok Non-Teis di Gerakan Lintas Iman
Dari keseluruhan peta masalah tersebut, ada satu gagasan yang penting untuk diangkat: perlunya melibatkan kelompok non-teis di forum-forum lintas iman. Butuh semacam imajinasi sosial-emosional baru secara kolektif agar ruang aman berdialog dengan semua pihak yang berbeda ini tersedia. Sebab dari situlah ruang publik benar-benar terwujud.
Ada beberapa poin penting terkait urgensi pelibatan mereka. Pertama, jumlah mereka secara demografis bertambah secara global. Kedua, dialog tentang perbedaan tidaklah semestinya dibatasi oleh teologi semata. Ketiga, ada nilai-nilai etik bersama yang perlu dibincang dan menjadi jembatan pemahaman antarkelompok. Keempat, jika mereka senantiasa dikucilkan, tidak diterima, risiko polarisasi semakin besar dan dapat membengkak menjadi perpecahan sosial. Kelima, itu karena klaim “inklusivitas” menuntut konsistensi dan bukti.
Dan ini bukan sama sekali hal baru untuk diterapkan. Di Belanda dan Australia, kelompok non-teis ikut gabung dan berdiskusi secara empatik dengan komunitas lintas iman. Dan Indonesia dengan segala modal keramahan dan budaya gotong-royongnya punya bekal besar untuk ikut menerapkannya—sebab kita pernah punya ini jauh di masa lalu.
Kalau usulan semacam ini tidak diupayakan, gagasan tentang “Rumah Kita Bersama” akan hanya berakhir sebagai kata. Padahal, Rendra lewat sajak “Paman Doblang” pernah menyodok muka kita: “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.” Sudahkah kita berjuang? Atau cuma omon-omon doang?[]











