Site icon Rumah KitaB

Ilusi Kemerdekaan Berdoa dan Gincu Politik Moderasi

“Saya semakin hopeless atau hilang harapan dengan program kedamaian dalam keberagaman, khususnya dengan umat Muslim, selain Ahmadiyah tentunya. Mungkin satu-satunya Islam yang saya percaya dan tidak membuat saya resah hanya Ahmadiyah saja.”

Demikian cuplikan pesan dari seorang teman Kristen di sebuah grup WA. Ia membuka pesan dengan memohon maaf untuk berbagi uneg-uneg yang telah lama ia dekap sendiri.

Ungkapan jujur itu tidak menetas dari batu. Ia lahir dari keresahan tentang betapa banyak kasus perpecahan dan perusakan rumah ibadah, terutama menjelang kedatangan Zakir Naik yang dibebaskan begitu saja oleh pemerintah untuk memprovokasi warga. Belum lagi kasus terakhir perusakan rumah doa di Padang, milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) pada Minggu, 27 Juli 2025.

Orang-orang itu mengepung, membanting kursi-kursi plastik berwarna hijau, menendangnya penuh rasa amuk, dan mengepruknya dengan balok kayu berulang kali. Seolah kursi yang benda mati itu telah melakukan perbuatan keji yang tak layak diampuni.

Kasus perusakan bangunan milik jemaat GKSI yang diobrak-abrik itu menyingkapkan banyak hal terkait isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di tanah air kita. Bahwa masih terlalu banyak situasi yang rumpang dan memprihatinkan, khususnya relasi antarumat beragama. Peristiwa di Padang itu hanyalah satu dari sekian daftar panjang persoalan KBB yang perlu sorotan dan penanganan serius.

Jika menengok data tahun 2023 saja, sekurang-kurangnya terdapat 329 tindakan pelanggaran KBB dan 114 di antaranya melibatkan aktor negara (Setara Institute, 2024). Pelanggar terbanyak ternyata adalah pemerintah daerah dan kepolisian.

Di sini muncul ironi getir: pihak yang bertugas untuk menjamin rasa aman dan hak-hak warga sipil, malah terbalik menjadi pelaku kekerasan (baik itu simbolik maupun struktural).

Kendati sembilan pelaku perusakan di Padang tersebut sudah diciduk, namun penanganannya kurang serius. Terlebih lagi banyak redaksi media mengutip keterangan dari pihak kepolisian yang menggunakan diksi “diamankan”.

Tak kaget jika muncul komentar miring, salah satunya dari sosiolog Ariel Heryanto, “agar punya rasa aman, masyarakat umum dan khususnya kelompok rentan, butuh keamanan dan pengamanan. Tapi jika ada gangguan keamanan, mengapa yang diamankan oleh petugas malah pelakunya, bukan korbannya?” Di tahap inilah kita akan tiba pada gambaran yang lebih besar mengenai ilusi kemerdekaan beragama dan inklusi bersyarat.

Inklusi Bersyarat dan Kewarganegaraan Separo (Parsial)

Berulangnya kasus-kasus perusakan dan pelarangan rumah ibadah di tanah air sejatinya menyandikan dua potret ganjil yang perlu dikritisi bersama. Pertama, adanya inklusi bersyarat. Dengan kata lain, “kamu diterima, namun ada tapinya …” seolah ada tanda bintang kecil di pojok atas: syarat dan ketentuan berlaku. Kamu diterima, tapi jangan bangun rumah ibadah. Kamu diterima, tapi jangan menyanyi lagu gereja keras-keras (tapi kalau kami takbiran, boleh keras-keras).

Pola inklusi semacam ini berbakat, terlalu berbakat, dalam mencitrakan dirinya sebagai pengusung toleransi yang merangkul berbagai golongan. Namun, itu semua hanya bersifat performatif—alias pertunjukan semata. Tidak sedikit sistem pemerintahan yang mendayagunakan strategi semacam ini, tetapi secara praksis mereka justru membiarkan tindakan diskriminasi dan vigilantisme (main hakim sendiri) dari kelompok mayoritas.

Takashi Kazama (2020), peneliti isu toleransi asal Jepang, menjabarkan bahwa dalam politik inklusi bersyarat (conditional inclusion), hak-hak sebagai warga negara dari kelompok minoritas dan rentan hanya terjamin sebagian saja, alias dikorting. Di sinilah potret kedua yang perlu disoroti: “kewarganegaraan parsial” (partial citizenship). Kondisi ini apabila dinormalisasi, tentu akan mempertajam segregasi sosial dan keterbelahan masyarakat ke dalam sangkar-sangkar budaya (cultural aviaries) yang tidak saling berinteraksi satu sama lain.

Sering kali, situasi demikian diabaikan pemerintah atas dasar menjaga kesatuan, ketertiban (dengan memuaskan hasrat kuasa dan dominasi dari kaum mayoritas), padahal justru mewajarkan aksi-aksi pelanggaran hak-hak sipil setiap individu. Narasi nasionalisme, persatuan, dan alibi mujarab lainnya kerap menyerbuki praktik inklusi bersyarat dan mempermulus kewarganegaraan separo.

Padahal, kalau kita coba menguping bapak-bapak di warung kopi yang muak dan sarkas, mungkin kita akan sejenak berefleksi. Bapak bercelana pendek berkaos partai lusuh berseloroh, “Hilih, rumah kita bersama, mbelpret! Wong kelakuan tidak jauh berbeda dengan Zionis Israel gitu, yang melarang warga Palestina beribadah, ini melarang warga Kristen bahkan memporak-porandakan tempat ibadahnya. Terus apa bedanya?”

Satu lagi nimbrung, “Ngaku-ngaku rahmatan lil-‘alamin, namun dalam praktiknya malah rahmatan lil-muslimin, hingga bahkan semakin sempit: lil-nahdliyyin, lil-muhammadiyyin, lil-ormasku.”

Tak tertamparkah kita? Apalagi setelah mendengar jerit lirih kawan di grup WA awal tadi. Padahal, bumi berisi segala unsur yang beraneka, keragaman ekstrem, multi-spesies, beragam kerajaan, ordo, hingga di level partikel! Mengapa membiarkan orang dengan tenang berdoa dan beribadah saja kita tak sanggup? Sebegitu lemahnya-kah imanmu, Kisanak?

Ompongnya Politik Moderasi dan Upaya Mencari Sila Kedua

Dari rentetan narasi tersebut, kita bisa kembali bertanya. Ke mana program moderasi beragama? Apa signifikansi dan dampaknya? Sepertinya program yang dibiayai sampai Rp 3,2 T  sejak 2021 ini semakin tampil ompong, alias mandul. Kalau hanya kecaman, bocil putus sekolah pun bisa. Persoalannya ini program yang direstui negara, pemerintah juga menganggarkan dananya, kenapa hanya kecaman yang keluar, alih-alih turun langsung dan terlibat aktif mengatasi konflik?

Dengan lapang hati mesti diakui bahwa kita masih berada di tengah arena sosial yang semerbak oleh “ilusi kemerdekaan”—terutama dalam hal berdoa. Politik moderasi hanya berakhir sebagai gincu. Lipstik yang ramai dalam seremonial, namun kurang berdampak ke perilaku warga secara menyeluruh.

Dana dihabiskan di mimbar-mimbar ber-AC, hotel-hotel berbintang, hidangan mewah prasmanan, namun begitu pulang, tak membekaskan apa-apa kecuali rasa berjasa semu dan (mungkin) perbaikan gizi. Kalau demikian, kenapa tidak diserahkan ke Badan Gizi Nasional saja?

Hal semacam ini jika dibiarkan tanpa kritik tajam, mereka para penunggang politik moderasi dan politisi yang mendiamkan kekerasan struktural bisa semakin jumawa, merasa tak tersentuh dan menjelma impunitas toksik. Dan yang menjadi korban selalu saja masyarakat yang terpinggir, terkucil, dan asing. Kelompok minoritas pada akhirnya berdiri tanpa perlindungan di tengah amuk bernafaskan narsisisme kolektif yang dibiarkan begitu saja—tanpa konsekuensi hukum.

Selalu saja modusnya sama: bila pelaku adalah kerumunan, petugas kepolisian kita mangkir dan cepat-cepat cuci tangan. Alasan sudah damai dan telah “dikondisikan”, “diamankan”. Dan hal ini akan membekaskan luka-luka baru bagi generasi mendatang yang boleh jadi semakin kecewa dengan pemerintah yang tak becus mengurus isu KBB di bumi keragaman ini.

Apabila kasus perusakan semacam ini tidak ditangani secara tepat dan serius, mungkin akan banyak warga negara kita yang bertanya: ke mana perginya sila kedua?[]

Exit mobile version