Merebut Tafsir: Metamorfosa Kyai Husein Muhammad (2)

HARI ini, 26 Maret 2019, Indonesia membuat sejarah dalam dunia pendidikan Islam. Seorang kyai dari dunia pesantren tradisional dari Cirebon mendapatkan gelar akademi Doktor Honoris Kausa di UIN Semarang dalam bidang gender. Ini merupakan langkah  maju dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia. Utamanya karena isu atau bidang pemikiran yang diberi kehormatan adalah (bidang/isu) gender. Gender merupakan isu penting dalam dunia pembangunan karena dengan menggunakan analisis gender pembangunan niscaya akan dicapai lebih cepat, merata dan genap tanpa meninggalkan salah satu pihak akibat prasangka gender.

Dalam konteks Indonesia dan sejumlah negara yang meletakkan ajaran agama (Islam) sebagai sentral pertimbangan, penggunaan analisis dan aksi untuk kesetaraan gender membutuhkan pemikiran yang bersumber dari ajaran Islam. Namun pengalaman menunjukkan, ini bukanlah agenda politik yang gampang. Dalam membahas persoalan gender termuat tiga gugatan yang terlanjur dimiliki dan dinikmati oleh dunia patriarki.

Ketiga basis gugatan yang dibawa oleh (analisis) gender itu adalah: pertama, menyoal secara mendasar kategori sosial yang terlanjur meletakkan secara tidak setara antara kedudukan lelaki dan perempuan, dan karenanya perempuan invisible atau subordinat dari lelaki; kedua, mempertanyakan analisis sosial yang seringkali abai dalam membaca relasi gender (dan kelompok minoritas sosial lainnya seperti ras, suku, agama, usia dan keadaan fisik); ketiga, akibat dari analisis yang tumpul dalam melihat relasi gender itu, maka (analisis) gender menggugat strategi perubahan sosial/aksi yang cenderung bias bahkan diskriminatif secara gender kepada kelompok perempuan.

Dalam ke tiga elemen itu, pandangan agama menjadi titik krusial yang membutuhkan keberanian untuk melakukan perubahan. Hal ini karena gugatannya menyoal arus kekuasaan berbasis perbedaan gender yang dengan sendirinya mengguncang singgasana kaum lelaki atau kaum patriakh yang selama  ini telah diuntungkan oleh penafsiran yang bias gender. Di titik itu pemberian gelar akademik kepada Kyai Husein Muhammad merupakan langkah strategis. Setidaknya ada empat hal yang menunjukkan di mana letak sumbangan Kyai Husein.

Pertama, semua isu yang terkait dengan persoalan perempuan dan anak perempuan membutuhkan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Dalam dunia Islam di Indonesia pembaharuan tampaknya tak mungkin lahir dari pemikiran yang terputus dengan dunia pemikiran klasik/kitab kuning. Pada kenyataannya, dalam mendekati isu-isu tertentu orang cenderng menanyakan status hukumnya. Itu berarti penggunakaan metode ushul fiqh menjadi niscaya. Persoalan-persoalan itu, antara lain eksitensi perempuan di ruang publik (kepemimpinan perempuan), kemiskinan akut berwajah perempuan, perempuan dan kesehatan, perkawinan anak dan perkawinan paksa, kekerasan terhadap perempuan di ruang domestik dan publik, pelibatan paksa perempuan dalam konflik dan terorisme, perempuan penyandang disabilitas, perempuan dalam kelompok minoritas agama dan isu-isu lainnya.

Kyai Husein berangkat dari dunia pesantren dengan penguasaan sangat dalam baik dalam teks-teks klasik maupun metodologi pembacaannya (ushul fiqh). Kemampuan dalam membaca referensi klasik diraihnya dari tempaan panjang pendidikan di pesantren Cirebon dan Lirboyo Jawa Timur, di perguruan tinggi PTIQ dan di Kairo. Itu merupakan modal maha penting baginya. Namun kelebihan Kyai Husein adalah bacaan atas teks klasik dan metodologinya itu ia kembangkan dengan cara baca baru dengan menyerap ragam metodologi yang berasal dari dunia pemikiran modern seperti filsafat, sosiologis, feminisme dan HAM. Kemampuannya dalam menggunakan berbagai alat itu telah menyumbang pada pemikiran yang bukan hanya progresif tetapi juga relevan. Penggunaan metodologi ushul fiqh bersama perangkat analisis/metodologi lain membuat pandangan-pandangan Kyai Husein dalam sederet persoalan gender di atas memiliki dasar argumen yang ketat. Terlebih karena pandangan-pandangannya bukan hanya kajian akademik tetapi juga solusi yang dapat  menjadi dasar pijakan dalam pengambilan hukum. Salah satu pandangannya yang sangat penting adalah soal larangan secara syar’i tindakan kekerasan terhadap perempuan. Tercakup dalam kategori larangan itu adalah perkawinan anak/perkawinan paksa, sunat perempuan, pemaksaan poligami, pemiskinan perempuan, perlakukan subordinatif dan pengucilan perempuan.

Kedua, Kyai Husein bukan kyai penceramah, kyai panggung yang mengandalkan silat lidah agar jamaahnya terhibur. Kyai Husein adalah pemikir yang menuangkan hasil olah pikirnya dalam karya. Dibantu oleh sejumlah mitranya seperti Faqihuddin Abdul Qodir, Marzuki Wahid serta tim media Fahmina, lahir puluhan buku referensi yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk aksi perubahan sosial dengan basis pandangan keagamaan dan gender. Gaya tulisan Kyai Husein sangat khas; ketat dalam kaidah/metodologi, lugas dan logis, dan di beberapa bukunya bernuansa sastra.

Ketiga, Kyai Husein adalah pendidik. Dari berbagai kegiatan yang dilakoninya menjadi pendidik para santri putra-putri, utamanya yang telah menguasai bacaan teks klasik merupakan aktivitas yang tampaknya sangat menggembirakannya. Dalam kerangka mendidik pula ia sangat rajin memenuhi undangan berbagai forum. Ia tak enggan untuk duduk sebagai peserta dan menyerap pengetahuan dari orang lain, namun jika menjadi nara sumber ia akan menyajikan paper yang sangat serius didasarkan dari bacaa dan olah pikirnya.

Keempat, ini yang jarang dimiliki kyai pengasuh pondok pesantren, Kyai Husein bekerja dalam jaringan, namun ia menghindar dari jaringan politik termasuk dalam jajaran elit NU. Ia bersuka cita menjadi pendiri atau dewan pembina, atau pengurus sejumlah yayasan LSM yang bergerak dalam isu gender dan Islam. Dalam membangun jaringan, Kyai Husein berani bekerja keras guna menggabungkan antara pemikirannya dan aksi yang kadang beresiko pada kesehatannya. Dalam kerangka itu pula ia turun gunung menjadi salah satu komisioner Komnas Perempuan yang membantu merumuskan pandangan-pandangan keagamaan soal kekerasan terhadap perempuan. Dan puncak kiprah dalam berjaringan itu adalah mendampingi sejumlah aktivis dan lembaga swadaya masyarakat berbasis pesantren dalam menyelenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).

KUPI, Komnas Perempuan, Fahmina Institute, Rahima, WCC Balqis, Lakpesdam NU, Puan Amal Hayati, Jaringan Alimat, Rumah Kitab, adalah di antara rumah-rumah pemikiran dan aksi yang dalam kelahiran dan kegiatannya terdapat finger print dan jejak langkah Kyai Husein. Gerakan perempuan Indonesia yang bekerja dalam upaya mengatasi beragam kesenjangan perempuan sungguh telah berhutang budi kepada Kyai Husein Muhammad. Selamat Dr. (HC) Husein Muhammad!

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.