Menghidupkan Kembali Seni Arsitektur Islam

“Iskandariyah menjadi istimewa, di antaranya karena keberadaan tiang marmer masif di luar kota. Orang-orang Iskandariyah menyebutnya dengan tiang as-Sawari. Tiang ini terletak di tengah hutan kurma yang terkenal dengan pohon-pohonnya yang sangat tinggi. Tiang as-Sawari dibangun dengan sangat kokoh. Pahatan di dindingnya sangat sempurna, berdiri di atas pondasi dari bebatuan persegi empat, mirip sebuah toko besar, dan tidak diketahui siapa serta bagaimana cara membangunnya.”

“Di sisi timur kota Baghdad terdapat banyak sekali pasar yang ditata dengan sangat rapi. Pasar terbesar bernama Pasar Selasa. Para pedagang dikelompokkan berdasarkan jenis barang dagangannya. Di tengah pasar berdiri Madrasah An-Nizhamiyah yang menjadi percontohan bagi madrasah-madrasah lain karena keindahannya. Di sisi terluar pasar terdapat Madrasah Al-Mustanshiriyah, tempat diajarkannya fikih berdasarkan empat mazhab. Setiap mazhab memiliki ruang tersendiri untuk kegiatan belajar mengajar. Guru duduk di atas kursi kayu kecil yang dialasi permadani, dengan wibawa dan ketenangan yang terpancar dari dirinya.”

(Rihlah Ibnu Batutah)

~~~

Ibnu Batutah, sang pengelana Muslim termasyhur, meninggalkan catatan perjalanan yang sangat berharga. Dari pengamatannya, kita dapat memetik pelajaran tentang kemajuan peradaban Islam, terutama dalam bidang arsitektur yang menawan. Ia mencatat dengan cermat tata kota, kondisi geografis, perkembangan sosial, politik, ekonomi, budaya, hingga kehidupan keagamaan di berbagai wilayah Islam yang ia kunjungi.

Tata Kota dan Ikatan Sosial: Perspektif Heba Raouf Ezzat

Arsitektur dan tata kota memiliki peranan besar dalam membentuk tatanan masyarakat. Dr. Heba Raouf Ezzat, intelektual Mesir, dalam sebuah siniar di YouTube bertajuk “Are Modern Cities Killing Our Souls?” (lihat di sini) menegaskan:

“Setiap fenomena yang terjadi hari ini perlu ditinjau dari perspektif perkotaan dan tata ruang, sebab semuanya saling berkaitan. Kita tidak hanya memproduksi tempat, tetapi juga mengonsumsi tempat—dan tempat itu dikonsumsi untuk kelas yang berbeda-beda.”

Pernyataan ini menegaskan pentingnya melihat pembangunan kota, desa, dan permukiman sebagai lanskap sosial yang utuh. Kehidupan di kota modern, dengan kemewahan dan kemudahan transportasinya, sering kali melahirkan gaya hidup individualistik dan hedonis.

Sebaliknya, di desa—di mana rumah-rumah berdiri setara tanpa pagar tinggi dan masih banyak ruang terbuka bersama—ikatan sosial terasa lebih kuat. Menurut Heba Raouf, “urbanisme adalah cara hidup, dan setiap kota dibangun berdasarkan ikatan sosial.”

Dengan demikian, setiap wilayah—baik kota, desa, maupun rumah—sebenarnya mencerminkan nilai-nilai sosial yang melatarinya. Bangunan yang megah di kota sering kali berdiri di atas fondasi nilai materialistik, sedangkan balai desa atau langgar di pedesaan dibangun melalui semangat gotong royong yang mencerminkan nilai kebersamaan dan solidaritas sosial.

Gotong Royong dan Spirit Arsitektur Komunal

Tradisi roan atau gotong royong dalam membangun gedung, sebagaimana dihidupi para santri di pesantren, adalah simbol kuat dari ikatan sosial. Pembangunan bukan semata pekerjaan fisik, melainkan ekspresi dari kebersamaan. Ikatan sosial semacam ini sulit ditemukan di lingkungan yang individualistik dan kapitalistik.

Ironinya, pada masa kini, seni dan ilmu arsitektur dalam masyarakat Islam tampak kian ditinggalkan. Tragedi robohnya bangunan dua lantai Majelis Taklim Asabiyah di Ciomas, Bogor, pada 7 September lalu, yang menelan empat korban jiwa dan melukai ratusan orang, menjadi pelajaran berharga. Belum lama berselang, peristiwa lebih besar terjadi: ambruknya bangunan di Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, yang menewaskan puluhan santri dan menjadi sorotan media internasional.

Kedua peristiwa memilukan ini memberikan refleksi mendalam tentang pentingnya ilmu arsitektur dan prinsip keamanan bangunan. Tentu para korban layak didoakan, namun pada saat yang sama, kita perlu melakukan introspeksi. Sebab musibah bukan hanya tragedi, melainkan juga peringatan yang mengandung ibrah bagi orang-orang yang berakal.

Tiga Prinsip Utama Arsitektur Islam

Bangunan yang kokoh mencerminkan nilai-nilai kekuatan dan keteguhan. Al-Qur’an mengibaratkan hal itu dengan pohon yang memiliki akar kuat, sebagaimana firman Allah dalam surah Ibrahim ayat 24:

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ

“Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimah ayyibah seperti pohon yang baik, akarnya kuat, dan cabangnya menjulang ke langit.” (QS. Ibrahim [14]: 24)

Ayat lain menegaskan pentingnya kekokohan dalam struktur sebagaimana firman-Nya:

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِهٖ صَفًّا كَاَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَّرْصُوْصٌ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan, seakan-akan mereka suatu bangunan yang tersusun kukuh.” (QS. al-Shaff [61]: 4)

Kedua ayat ini mengajarkan bahwa bangunan (baik secara fisik maupun sosial) harus memiliki fondasi yang kuat (ashl tsabit). Di sinilah peran penting ilmu arsitektur—membangun struktur yang memberikan rasa aman dan keteguhan bagi penghuninya.

Selain kekuatan, arsitektur Islam menonjolkan keindahan. Seperti tergambar dalam narasi Ibnu Batutah, bangunan-bangunan Islam klasik tidak hanya kokoh, tetapi juga indah. Keindahan tidak selalu berarti kemewahan; ia juga bisa lahir dari kesederhanaan.

Seni arsitektur Islam tampak dalam ukiran, pahatan, serta kaligrafi yang menghiasi dinding-dinding masjid dan madrasah. Keindahan semacam ini bukan hanya estetika visual, melainkan juga manifestasi spiritual dari sifat Allah yang indah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

“Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan.”
(HR. Muslim)

Dengan demikian, aspek seni harus tetap menjadi pertimbangan utama dalam pembangunan agar menghadirkan kenyamanan dan keteduhan bagi penghuninya.

Prinsip ketiga adalah keselarasan antara bangunan dan alam. Arsitektur Islam klasik selalu memperhatikan keseimbangan ini. Bangunan masjid dan madrasah dibangun dengan ventilasi alami, ruang terbuka, serta taman hijau yang memungkinkan udara dan cahaya mengalir bebas.

Sebaliknya, arsitektur modern sering kali memutus hubungan dengan alam: menebang pohon untuk kemudian membuat taman buatan demi kesan hijau. Pola pembangunan demikian mencerminkan cara berpikir yang eksploitatif terhadap lingkungan. Padahal, kekuatan dan keindahan bangunan seharusnya tidak mengorbankan alam. Keduanya mesti bersinergi dalam satu kesatuan yang utuh.

Membangun Peradaban, Bukan Sekadar Bangunan

Atas dasar inilah, Persatuan Arsitek Internasional (Union Internationale des Architectes) sejak tahun 1985 menetapkan Hari Arsitektur Sedunia, yang diperingati setiap Senin pertama di bulan Oktober, bertepatan dengan Hari Habitat Sedunia.

Peringatan ini menyoroti pentingnya desain arsitektur yang berkelanjutan, ramah lingkungan, serta seimbang antara budaya dan kemajuan modernitas. Para arsitek diharapkan mampu berkontribusi pada isu-isu global melalui rancangan yang memperkuat kualitas hidup masyarakat.

Dari sejarah, kita belajar bahwa arsitektur Islam bukan hanya tentang fisik bangunan, tetapi juga tentang spiritualitas, sosial, dan keberlanjutan. Bangunan yang kuat, indah, dan selaras dengan alam adalah cerminan masyarakat yang beradab dan bersatu.

Ketika bangunan-bangunan kita mudah ambruk, boleh jadi itu mencerminkan kondisi umat yang kian terpuruk. Bagaimana kita dapat membangun ekonomi umat, jika bangunan fisiknya saja didirikan dengan modal yang “melarat”?

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses