Masjid Inklusi dan Berpihak pada Kelompok Berkebutuhan Khusus

Penyandang disabilitas memiliki hak-hak yang telah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini memberikan pengertian tentang penyandang disabilitas sebagai seseorang yang memiliki gangguan, kelainan, kerusakan, atau kehilangan fungsi organ tubuhnya. Lebih dari sekadar definisi, undang-undang tersebut menetapkan berbagai hak yang wajib dipenuhi oleh negara dan masyarakat untuk penyandang disabilitas, termasuk hak keagamaan atau hak untuk beribadah.

Hak keagamaan bagi penyandang disabilitas adalah salah satu hak yang paling sering diabaikan. Meskipun hak-hak ini telah dijamin secara hukum, dalam praktiknya, belum sepenuhnya diimplementasikan secara maksimal oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab. Menjadi penting untuk memahami bahwa hak untuk beribadah adalah bagian fundamental dari hak asasi manusia, yang juga diakui dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

CRPD, yang menjadi dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, menegaskan bahwa setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan, perlakuan kejam, dan tindakan yang merendahkan martabat manusia. Lebih lanjut, mereka juga berhak bebas dari eksploitasi, kekerasan, dan tindakan sewenang-wenang. Hal ini berarti bahwa penyandang disabilitas tidak hanya membutuhkan akses fisik, tetapi juga penghormatan terhadap integritas mental dan fisik mereka.

Beberapa kitab fikih klasik dan modern telah membahas disabilitas dengan berbagai pendekatan. Dalam fikih, disabilitas sering kali menjadi perhatian dalam aspek ibadah dan hak-hak sosial. Misalnya, memberikan rukhsah atau keringanan dalam pelaksanaan ibadah untuk penyandang disabilitas.

Di antara literatur-literatur klasik di bidang ushul fikih baik secara etimologis maupun terminologis, ulama sepakat bahwa seseorang yang tidak mampu berdiri karena kondisi fisik yang terbatas, diperbolehkan untuk melakukan shalat dengan duduk atau bahkan berbaring, sesuai dengan kapasitasnya.

Selain keringanan dalam ibadah, fikih juga memberikan perhatian terhadap aspek muamalah atau hubungan sosial dan ekonomi bagi penyandang disabilitas. Fikih menegaskan bahwa setiap individu berhak untuk dilibatkan dalam transaksi sosial dan ekonomi, namun perlu dipertimbangkan apakah seseorang memiliki kapasitas untuk bertindak secara mandiri. Misalnya, bagi penyandang disabilitas intelektual yang tidak mampu mengelola hartanya sendiri, wali atau keluarganya memiliki hak untuk mengelola kekayaannya dengan tujuan menjaga kemaslahatan.

Dalam konteks sosial dan fasilitas publik, masih terdapat ragam tantangan yang dihadapi dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Misalnya, pada inklusivitas masjid, kesadaran masyarakat Indonesia masih perlu ditingkatkan dalam memberikan fasilitas yang layak bagi penyandang disabilitas untuk dapat beribadah dengan nyaman dan aman. Sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa penyandang disabilitas dapat hidup berdampingan tanpa memerlukan fasilitas tambahan. Namun, pandangan ini kurang tepat karena disabilitas tidak hanya memengaruhi fungsi fisik, tetapi juga sering kali menghambat kemampuan penyandangnya untuk mengakses berbagai sarana publik yang dibutuhkan untuk menjalankan ibadah, seperti masjid.

Disabilitas sering kali menjadi bagian yang terpinggirkan dalam urusan publik, baik dalam aksesibilitas fisik maupun pelayanan yang mereka terima. Oleh karena itu, upaya untuk menciptakan masjid yang ramah terhadap penyandang disabilitas sangat penting. Masjid adalah tempat beribadah seluruh umat Islam dan harus mencerminkan prinsip keterbukaan agar dapat diakses semua orang. Lingkungan masjid yang inklusif adalah wujud dari keadilan sosial-ubudiyah, di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Aksesibilitas dalam konteks ini bukan hanya soal fasilitas fisik seperti toilet yang ramah disabilitas, kursi khusus, mushaf Al-Qur’an dengan huruf Braille, dan keberadaan juru bahasa isyarat untuk membantu penyandang disabilitas pendengaran (PDP), khususnya mereka termasuk kelompok perempuan, anak-anak, dan lansia. Ini juga mencakup akses informasi dan komunikasi, jalur khusus untuk kursi roda, perangkat yang memudahkan keperluan bersuci, dan lingkungan yang ramah terhadap kebutuhan khusus, seperti tempat khusus untuk shalat duduk atau berbaring. Masjid juga sebaiknya menyediakan bantuan untuk akses menuju masjid, baik dalam bentuk ramp atau jalur khusus bagi mereka yang menggunakan kursi roda, serta papan informasi dengan tulisan Braille bagi mereka yang memiliki disabilitas penglihatan.

Selain itu, masyarakat umum juga perlu memiliki pemahaman yang lebih baik tentang hak dan kebutuhan penyandang disabilitas. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan sosialisasi atau edukasi mengenai pentingnya inklusi disabilitas dalam kegiatan ibadah di masjid. Para pengurus masjid, tokoh masyarakat, dan pemangku kepentingan di lingkungan masjid perlu memahami bahwa melayani dan memfasilitasi sesama adalah bagian dari amal ibadah dan tanggung jawab sosial yang diperintahkan oleh agama.

Kesadaran dan tindakan nyata dalam menyediakan fasilitas ini adalah bentuk nyata dari komitmen masyarakat dalam mewujudkan keadilan sosial. Islam mengajarkan bahwa seluruh umatnya, tanpa kecuali, memiliki hak yang sama untuk beribadah dan mendapatkan kemudahan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, upaya untuk menciptakan masjid yang inklusif dan ramah disabilitas bukan hanya sekadar memenuhi tuntutan undang-undang atau hak asasi, tetapi juga menjadi wujud nyata dari nilai-nilai kasih sayang dan keadilan yang diajarkan Islam.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.