Pos

Penerapan Konsep Equality Before the Law sebagai Perlindungan terhadap Kerentanan Penyandang Disabilitas atas Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas merupakan isu serius yang sering kali terabaikan dalam diskusi publik. Penyandang disabilitas, baik fisik maupun mental, menghadapi risiko yang lebih tinggi untuk menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan dengan individu non-disabilitas. Dalam konteks ini, penerapan konsep equality before the law (persamaan di muka hukum) menjadi sangat penting sebagai upaya perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas atas tindak kekerasan seksual.

Konsep equality before the law mengacu pada prinsip bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang, status sosial, atau kondisi fisik, berhak diperlakukan sama di hadapan hukum. Di Indonesia, prinsip ini diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini juga diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menegaskan hak-hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Penyandang disabilitas sering kali menjadi target kekerasan seksual karena kerentanan mereka yang berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasan baik secara fisik maupun mental. Keterbatasan tersebut menjadikan penyandang disabilitas sebagai orang-orang yang rentan terhadap tindak kekerasan seksual oleh predator yang tidak peduli siapa yang menjadi korban dan hanya peduli pada nafsu semata.

Faktor-faktor yang menyebabkan penyandang disabilitas rentan terhadap tindak kekerasan seksual

  1. Cara Pandang dan Stigma Sosial Diskriminatif
    Diskriminasi dan stigma yang melekat pada penyandang disabilitas membuat mereka merasa terisolasi dan tidak berdaya untuk melaporkan kekerasan yang dialami, sehingga tidak terwujudnya perlindungan hukum yang cukup untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas sebagai subjek hukum yang juga harus diperlakukan sama di hadapan hukum.
  2. Kurangnya Akses Pendidikan Seksual
    Pendidikan tentang hak-hak tubuh dan cara melindungi diri sering kali tidak tersedia atau tidak memadai bagi penyandang disabilitas, sehingga penyandang disabilitas jarang mendapatkan pendidikan seks (sex education) yang cukup dalam membentuk pemahaman mereka bahwa kekerasan seksual adalah bentuk tindakan yang dilarang dan harus dihindari.
  3. Keterbatasan Mobilitas
    Banyak penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam bergerak atau berinteraksi, sehingga sulit bagi penyandang disabilitas untuk segera melarikan diri ke tempat yang aman dan meminta bantuan atau melindungi diri sendiri, sehingga penyandang disabilitas lebih mudah menjadi korban kekerasan seksual.
  4. Keterbatasan dalam komunikasi
    Banyak penyandang disabilitas tidak bisa speak up terhadap permasalahan yang mereka hadapi karena kesulitan dalam berkomunikasi. Celah ini sering kali dimanfaatkan oleh pelaku tindak kekerasan seksual dengan pemikiran bahwa korban tidak akan dapat memberitahu siapapun tentang apa yang korban alami.

Selain itu, hambatan hukum juga sering muncul, terutama dalam bentuk diskriminasi struktural di dalam sistem peradilan. Misalnya, keterbatasan alat bantu dan kurangnya petugas hukum yang paham akan kebutuhan khusus penyandang disabilitas dapat menyebabkan proses hukum berjalan tidak adil. Situasi ini semakin diperburuk oleh bias terhadap kapasitas penyandang disabilitas sebagai saksi atau pelapor.

Dengan demikian, penerapan prinsip equality before the law dalam konteks perlindungan terhadap penyandang disabilitas harus dilakukan untuk memastikan penyandang disabilitas yang rentan terhadap tindak kekerasan seksual terlindungi hak-haknya sebagai manusia yang harus diperlakukan sama di depan hukum. Perlindungan hukum melalui penerapan prinsip equality before the law ini dapat melalui beberapa langkah strategis sebagai berikut:

  1. Aparat penegak hukum perlu mendapatkan pelatihan mengenai hak-hak penyandang disabilitas serta cara menangani kasus kekerasan seksual dengan sensitif dan inklusif. Hal ini penting untuk memastikan bahwa mereka dapat memberikan perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif, terutama dalam menangani perkara yang berhubungan dengan penyandang disabilitas.
  2. Lembaga penegak hukum harus menyediakan aksesibilitas fisik dan non-fisik bagi penyandang disabilitas. Ini termasuk menyediakan fasilitas ramah disabilitas di pengadilan dan kantor polisi, seperti kursi roda, lift, dan ruang tunggu yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas.
  3. Penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual harus diberikan akses kepada bantuan hukum dan dukungan psikologis. Ini termasuk pendampingan oleh tenaga profesional yang memahami kebutuhan khusus mereka.
  4. Penting untuk mendorong kebijakan publik yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan penyandang disabilitas. Ini termasuk pengembangan peraturan yang menjamin perlindungan khusus bagi mereka dalam proses peradilan.

Penerapan konsep equality before the law adalah langkah krusial dalam melindungi penyandang disabilitas dari kekerasan seksual. Dengan memastikan bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta menyediakan aksesibilitas dan dukungan yang diperlukan, kita dapat membantu mencegah kekerasan seksual dan memberikan keadilan bagi kelompok rentan ini. Upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua individu, terutama bagi penyandang disabilitas.

Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dengan Disabilitas


Kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas terus meningkat setiap tahunnya. Data Komnas Perempuan tahun 2023 mencatat ada 105 kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas, lebih tinggi dibandingkan kasus tahun 2022 yang berada di angka 72 kasus.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi, sebanyak 40 kasus terhadap perempuan disabilitas mental, 33 kasus perempuan disabilitas sensorik (penglihatan, pendengaran, dan bicara), 20 kasus perempuan disabilitas intelektual, 12 kasus perempuan disabilitas fisik.

Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada sepanjang tahun 2021 terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas. Dari data itu kekerasan seksual menempati urutan tertinggi yang mencapai sebanyak 591 kasus.

Meski begitu, kasus kekerasan diperkirakan sebagai fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terlaporkan tetap masih lebih kecil ketimbang kasus yang tidak terlaporkan. Sebab, bukan perkara yang mudah bagi perempuan dan anak perempuan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya.

Budaya dan sistem hukum seringkali masih sulit memberikan rasa keadilan kepada penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual. Selain pelayanan hukum belum secara keseluruhan memiliki aksesibilitas yang tinggi.

Perempuan penyandang disabilitas sebagai korban kekerasan seksual memang sering mengalami diskriminasi dalam proses penyidikan dan peradilan. Selain itu, proses penyelidikan juga cenderung menemui jalan buntu (Alhamudin Maju Hamongan Sitorus: 2022).

Pada saat sama, masih banyak keluarga yang cenderung abai terhadap perempuan penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual. Bahkan solusi yang diambil keluarga justru memasang alat kontrasepsi, sehingga yang menjadi urusan bukan tindakan kekerasan seksualnya, melainkan agar perempuan penyandang disabilitas tidak mengalami kehamilan. Belum lagi, manakala pelaku merupakan orang terdekat yang selama ini menjadi pelindung dalam kehidupan keseharian.

Akar Kekerasan
Kekerasan seksual adalah tindakan pemaksaan atau memanipulasi untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan tanpa izin. Penyintas kekerasan bisa siapa saja, anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua, termasuk penyandang disabilitas. Sementara pelakunya bisa orang asing, tetapi sebagian besar anggota keluarga, orang yang dipercaya, dan teman (NSVRC: 2010).

Tindakan kekerasan seksual mengakibatkan trauma jangka panjang, bahkan bisa terjadi sepanjang sisa hidup penyintas kekerasan seksual, sakit, hilangnya rasa percaya diri, ketakutan, dan juga pengucilan sosial.

Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas berakar pada berbagai diskriminasi dan stigma yang kuat dalam budaya patriarki dengan terjadinya diskriminasi ganda berdasarkan status gender dan disabilitasnya.

Status gender menempatkan perempuan penyandang disabilitas seperti juga perempuan tanpa disabilitas yang harus patuh terhadap nilai dan norma gender tradisional. Ideologi patriarki juga menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, dan menjadikannya sebagai objek seksual.

Dalam konteks disabilitasnya, perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas mengalami kekerasan seksual karena lemahnya dukungan sosial dan hukum, eksklusi sosial, keterbatasan gerak, persoalan komunikasi, dan stereotip terhadap penyandang disabilitas.

Konstruksi mengenai gender dan disabilitas menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang antara penyintas dan pelaku kekerasan seksual. Relasi yang secara terus menerus diproduksi melalui berbagai pranata sosial, termasuk pendidikan dan tradisi budaya yang bias gender.

Strategi Pencegahan
Problem kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan dengan penyandang disabilitas merupakan problem struktural, sistemik, dan masif. Pencegahan terjadinya kasus, dengan begitu tak lagi memadai manakala hanya mengandalkan pendekatan persuasif dan pendekatan prosedur formal.

Persoalan struktural menunjukkan terjadinya berbagai tindakan kekerasan seksual berada pada ranah ideologis dan sistem, sehingga membutuhkan respons yang menyeluruh dan secara bersamaan. Ada tiga lokus dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas.

Pertama, level paradigmatik. Pada level ini agenda perubahan berada pada upaya mengubah cara pandang terhadap perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas. Misalnya, melakukan pengarusutamaan GEDSI (Gender Equality, Disability, and Inclusion) melalui berbagai kanal literasi publik.

Agenda ini akan menggeser pandangan stereotip terhadap penyandang disabilitas, seperti tak berguna, tak berdaya, menyedihkan, kutukan, dan anggapan negatif lainnya. Lalu menggantinya dengan cara pandang positif, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama, penyandang disabilitas tak memiliki perbedaan dengan siapa pun dalam menjalani kehidupan, kecuali mereka hanya membutuhkan alat bantu mobilitas. Dan siapapun memiliki potensi menjadi penyandang disabilitas.

Perubahan cara pandang ini, tidak saja akan mencegah para pelaku tindak kekerasan. Namun, menjadikan para penyedia layanan kekerasan terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas akan menjadi bersikap ramah, dan menghargai para penyintas kekerasan seksual.

Kedua, mengimplementasikan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai pemenuhan hak-haknya, dan melakukan harmonisasi berbagai kebijakan lain dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Misalnya, melakukan harmonisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mengatur pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan pada segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Harmonisasi ini mendorong seluruh layanan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual mendapatkan menjadi ramah.

Ketiga, mewujudkan aksesibilitas fisik, misalnya ruang mudah dijangkau pengguna kursi roda dan kruk, ada penunjuk arah (guiding block) bagi disabilitas netra. Selain itu, aksesibilitas sosial, misalnya tersedia juru bahasa isyarat, dan para petugas layanan yang ramah dengan memiliki kapasitas berinteraksi dengan penyintas kekerasan seksual.[]

Masjid Inklusi dan Berpihak pada Kelompok Berkebutuhan Khusus

Penyandang disabilitas memiliki hak-hak yang telah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini memberikan pengertian tentang penyandang disabilitas sebagai seseorang yang memiliki gangguan, kelainan, kerusakan, atau kehilangan fungsi organ tubuhnya. Lebih dari sekadar definisi, undang-undang tersebut menetapkan berbagai hak yang wajib dipenuhi oleh negara dan masyarakat untuk penyandang disabilitas, termasuk hak keagamaan atau hak untuk beribadah.

Hak keagamaan bagi penyandang disabilitas adalah salah satu hak yang paling sering diabaikan. Meskipun hak-hak ini telah dijamin secara hukum, dalam praktiknya, belum sepenuhnya diimplementasikan secara maksimal oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab. Menjadi penting untuk memahami bahwa hak untuk beribadah adalah bagian fundamental dari hak asasi manusia, yang juga diakui dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

CRPD, yang menjadi dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, menegaskan bahwa setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan, perlakuan kejam, dan tindakan yang merendahkan martabat manusia. Lebih lanjut, mereka juga berhak bebas dari eksploitasi, kekerasan, dan tindakan sewenang-wenang. Hal ini berarti bahwa penyandang disabilitas tidak hanya membutuhkan akses fisik, tetapi juga penghormatan terhadap integritas mental dan fisik mereka.

Beberapa kitab fikih klasik dan modern telah membahas disabilitas dengan berbagai pendekatan. Dalam fikih, disabilitas sering kali menjadi perhatian dalam aspek ibadah dan hak-hak sosial. Misalnya, memberikan rukhsah atau keringanan dalam pelaksanaan ibadah untuk penyandang disabilitas.

Di antara literatur-literatur klasik di bidang ushul fikih baik secara etimologis maupun terminologis, ulama sepakat bahwa seseorang yang tidak mampu berdiri karena kondisi fisik yang terbatas, diperbolehkan untuk melakukan shalat dengan duduk atau bahkan berbaring, sesuai dengan kapasitasnya.

Selain keringanan dalam ibadah, fikih juga memberikan perhatian terhadap aspek muamalah atau hubungan sosial dan ekonomi bagi penyandang disabilitas. Fikih menegaskan bahwa setiap individu berhak untuk dilibatkan dalam transaksi sosial dan ekonomi, namun perlu dipertimbangkan apakah seseorang memiliki kapasitas untuk bertindak secara mandiri. Misalnya, bagi penyandang disabilitas intelektual yang tidak mampu mengelola hartanya sendiri, wali atau keluarganya memiliki hak untuk mengelola kekayaannya dengan tujuan menjaga kemaslahatan.

Dalam konteks sosial dan fasilitas publik, masih terdapat ragam tantangan yang dihadapi dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Misalnya, pada inklusivitas masjid, kesadaran masyarakat Indonesia masih perlu ditingkatkan dalam memberikan fasilitas yang layak bagi penyandang disabilitas untuk dapat beribadah dengan nyaman dan aman. Sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa penyandang disabilitas dapat hidup berdampingan tanpa memerlukan fasilitas tambahan. Namun, pandangan ini kurang tepat karena disabilitas tidak hanya memengaruhi fungsi fisik, tetapi juga sering kali menghambat kemampuan penyandangnya untuk mengakses berbagai sarana publik yang dibutuhkan untuk menjalankan ibadah, seperti masjid.

Disabilitas sering kali menjadi bagian yang terpinggirkan dalam urusan publik, baik dalam aksesibilitas fisik maupun pelayanan yang mereka terima. Oleh karena itu, upaya untuk menciptakan masjid yang ramah terhadap penyandang disabilitas sangat penting. Masjid adalah tempat beribadah seluruh umat Islam dan harus mencerminkan prinsip keterbukaan agar dapat diakses semua orang. Lingkungan masjid yang inklusif adalah wujud dari keadilan sosial-ubudiyah, di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Aksesibilitas dalam konteks ini bukan hanya soal fasilitas fisik seperti toilet yang ramah disabilitas, kursi khusus, mushaf Al-Qur’an dengan huruf Braille, dan keberadaan juru bahasa isyarat untuk membantu penyandang disabilitas pendengaran (PDP), khususnya mereka termasuk kelompok perempuan, anak-anak, dan lansia. Ini juga mencakup akses informasi dan komunikasi, jalur khusus untuk kursi roda, perangkat yang memudahkan keperluan bersuci, dan lingkungan yang ramah terhadap kebutuhan khusus, seperti tempat khusus untuk shalat duduk atau berbaring. Masjid juga sebaiknya menyediakan bantuan untuk akses menuju masjid, baik dalam bentuk ramp atau jalur khusus bagi mereka yang menggunakan kursi roda, serta papan informasi dengan tulisan Braille bagi mereka yang memiliki disabilitas penglihatan.

Selain itu, masyarakat umum juga perlu memiliki pemahaman yang lebih baik tentang hak dan kebutuhan penyandang disabilitas. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan sosialisasi atau edukasi mengenai pentingnya inklusi disabilitas dalam kegiatan ibadah di masjid. Para pengurus masjid, tokoh masyarakat, dan pemangku kepentingan di lingkungan masjid perlu memahami bahwa melayani dan memfasilitasi sesama adalah bagian dari amal ibadah dan tanggung jawab sosial yang diperintahkan oleh agama.

Kesadaran dan tindakan nyata dalam menyediakan fasilitas ini adalah bentuk nyata dari komitmen masyarakat dalam mewujudkan keadilan sosial. Islam mengajarkan bahwa seluruh umatnya, tanpa kecuali, memiliki hak yang sama untuk beribadah dan mendapatkan kemudahan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, upaya untuk menciptakan masjid yang inklusif dan ramah disabilitas bukan hanya sekadar memenuhi tuntutan undang-undang atau hak asasi, tetapi juga menjadi wujud nyata dari nilai-nilai kasih sayang dan keadilan yang diajarkan Islam.