Tidak Perlu ke Barat: Pelestarian Lingkungan Berbasis Sumber Tradisional Islam

“Lingkungan” seringkali dianggap sebagai konsep Barat yang muncul sebagai respons terhadap krisis lingkungan global. Namun, dunia Islam tradisional memiliki prinsip-prinsip yang mendalam mengenai pelestarian alam yang tertanam dalam ajaran agama Islam. Prinsip-prinsip ini tercermin dalam panduan sehari-hari umat Islam tradisional yang tidak hanya terbatas pada teks-teks agama tetapi juga pada praktik-praktik nyata di masyarakat.

Al-Qur’an menyebutkan fenomena alam sebagai tanda-tanda Tuhan. Alam semesta merupakan cerminan kebesaran-Nya, dan manusia diajak untuk merenungkannya. Dari lebih dari 6.200 ayat dalam Al-Qur’an, sekitar 750 ayat mendorong umat Islam untuk merenungkan alam, sementara hanya 250 ayat bersifat legislatif. Ini menunjukkan pentingnya hubungan manusia dengan alam dalam perspektif Islam.

Literatur hadits dan sirah juga kaya akan episode yang menunjukkan kasih sayang Nabi Muhammad terhadap makhluk non-manusia. Contohnya adalah larangan eksploitasi berlebihan terhadap hewan, kepedulian terhadap kesejahteraan hewan kurban, dan larangan membuang-buang air.

Ajaran Islam juga mengandung konsep-konsep metafisika dan kosmologi yang memiliki relevansi lingkungan. Doktrin manusia sebagai khalifah di bumi menunjukkan tanggung jawab manusia untuk menjaga alam. Dalam tradisi sufi, konsep al-insan al-kamil (manusia sempurna) menegaskan bahwa kehadiran manusia yang sempurna melindungi alam.

Menurut Munjed M. Murad, ajaran sufi dari Jalaluddin Rumi mengajarkan bahwa seluruh kosmos penuh cinta dan berdoa, bahkan kosmos itu sendiri bersifat teofanik (peristiwa penampakan sosok ilahi kepada manusia). Puisi-puisi Rumi dan Sa’di juga menggambarkan pentingnya alam dalam kehidupan spiritual umat Islam, menumbuhkan kekaguman dan keheranan terhadap ciptaan Tuhan.

Dalam syariat Islam, alam memiliki hak-hak (ḥuqūq) yang harus dipenuhi oleh manusia. Terdapat berbagai instrumen hukum Islam yang dapat digunakan untuk pelestarian alam, di antaranya:

  1. Sistem hima yang melindungi situs-situs alam dengan mempertimbangkan kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Dalam Islam, konsep hima merujuk pada aturan-aturan yang mengatur penggunaan dan pelestarian sumber daya alam serta menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan demikian, istilah hima bisa saja berarti taman nasional, hutan lindung, cagar alam, dan lainnya.
  2. Sistem harim yang merupakan wilayah yang dilindungi untuk konservasi sumber daya air. Kawasan ini dapat dimiliki atau dicadangkan oleh individu atau kelompok dalam area yang mereka kuasai. Secara istilah, harim mengacu pada lahan yang dilarang untuk dimanfaatkan kecuali dengan alasan tertentu. Biasanya, harim terbentuk bersamaan dengan keberadaan ladang atau persawahan, dan ukurannya umumnya tidak terlalu luas. Contoh-contoh harim meliputi sungai, mata air, sumur, ngarai, dan sebagainya.
  3. Konsep ihyaal-mawat yang mengelola lahan terlantar menjadi produktif. Secara literal, ihya’ al-mawat berarti “menghidupkan yang mati.” Sebagai istilah, ini merujuk pada upaya untuk mengelola, mengoperasikan, dan memberdayakan lahan produktif yang masih layak digunakan tetapi terbengkalai. Dengan metode ini, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi manusia, satwa, dan lingkungan.
  4. Konsep wakaf juga telah digunakan untuk melindungi alam secara abadi. Wakaf adalah tindakan amal sukarela di mana seseorang menyerahkan aset atau hartanya dengan tujuan menjadikannya berkah. Wakaf biasanya diberikan untuk tujuan mulia yang spesifik, seperti pembangunan masjid, madrasah, atau infrastruktur keagamaan lainnya. Namun, wakaf juga dapat berupa investasi berkelanjutan seperti penyediaan panel surya untuk sekolah, pembangunan sumur dan distribusi air dengan tenaga surya, penanaman sayuran di taman sekitar masjid, atau usaha-usaha pelestarian alam lainnya. Bentuk ini juga sering dikenal sebagai wakaf hijau (green waqf).

Ali Ahmad dalam Environmentalism in the Muslim World memberikan contoh nyata penerapan hukum Islam dalam pelestarian lingkungan di Pulau Misali, Tanzania. Akibat penangkapan ikan yang berlebihan, nelayan lokal menggunakan metode destruktif seperti senjata dan dinamit. Meskipun pemerintah melarangnya, praktik ini hanya dihentikan setelah dikeluarkannya fatwa yang mengharamkan tindakan tersebut. Salah satu nelayan berkata, “Mudah untuk mengabaikan pemerintah, tetapi tidak ada yang dapat melanggar hukum Tuhan”. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen hukum agama dapat lebih efektif dalam menjaga lingkungan dibandingkan dengan hukum sekuler.

Menurut Seyyed Hossein Nasr, kehidupan tradisional di dunia Islam sering kali lebih berkelanjutan dibandingkan dengan masyarakat modern yang dipengaruhi oleh Barat. Ini bukan hasil dari kecocokan dengan wahyu suci, tetapi karena pandangan dunia teosentris yang menghormati kosmos sebagai sesuatu yang sakral. Sebaliknya, pandangan sekuler Barat yang muncul dari Era Pencerahan telah memisahkan manusia dari alam, menyebabkan revolusi industri dan eksploitasi alam yang terus berlangsung.

Kehidupan tradisional di dunia Islam—serta peradaban tradisional lainnya seperti Cina dan India—tidak melanggar ketahanan lingkungan global. Ini menunjukkan bahwa ajaran dan praktik Islam tradisional memiliki kemampuan untuk menjaga hubungan harmonis antara kehidupan manusia dengan alam.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.