Kasta Sosial Tersamar di Balik Kasus Pemerkosaan Sedarah di Purworejo


Menguatnya Praktik Patriarki

Seiring dengan berkembangnya pemahaman keagamaan dan pesatnya penggunaan media sosial di Indonesia, praktik patriarki kerap menguat. Ketika budaya ini dilakukan secara kolektif, seringkali praktik diskriminasi semakin meluas, hingga membenarkan pelanggaran etika, moral, bahkan kemanusiaan atas nama agama.

Fenomena ini terlihat dalam kasus memilukan pemerkosaan dengan 13 terduga pelaku terhadap kakak-beradik di Desa Banyu Urip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Kasus yang Menggemparkan

Kasus ini menggemparkan publik karena beberapa alasan. Pertama, jumlah terduga pelaku yang mencapai 13 orang. Kedua, para korban adalah kakak-beradik dengan inisial DSA (15 tahun) dan KSA (17 tahun).

Kasus ini dilaporkan ke Poltabes Purworejo sejak Juni 2024, tetapi proses hukumnya mandek. Peristiwa tersebut bahkan terjadi berulang kali sepanjang 2023, hingga setiap bulan. Tragisnya, ada terduga pelaku yang memperkosa kedua kakak-beradik ini.

Karena proses hukum tak kunjung berjalan, kedua korban beserta pendampingnya mendatangi Hotman 911. Kasus ini kemudian menjadi viral di media, hingga mendapat perhatian langsung dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi.

Lemahnya Posisi Korban

Kasus ini juga menyeret aparat desa setempat. Polisi telah memeriksa 20 saksi, termasuk aparat desa, yang diduga memfasilitasi mediasi antara korban dan pelaku. Tindakan tersebut mencerminkan sesat logika bahwa kejahatan sebesar pemerkosaan dapat diselesaikan secara damai.

Hal ini menunjukkan bagaimana perempuan, terutama anak di bawah umur, masih dianggap sebagai warga yang tidak layak mendapat perlindungan hukum. Alih-alih mendukung penegakan hukum, aparat desa justru diduga menutupi kasus ini demi menjaga “aib”.

Latar belakang korban memperparah situasi. Ayah mereka telah meninggal dunia, sementara ibu mereka adalah penyandang disabilitas mental. Dalam usia yang sangat muda, korban harus berjuang sendiri untuk mendapatkan keadilan, sementara pihak yang seharusnya melindungi mereka malah memperburuk keadaan.

Budaya Patriarki dan Relasi Kuasa Timpang

Mengapa kondisi seperti ini terus terjadi? Di beberapa wilayah Indonesia, perempuan dan anak-anak penyandang disabilitas masih dipandang sebelah mata. Faktor fisik dan jenis kelamin sering dijadikan alasan utama dalam menentukan hak dan kedudukan seseorang.

Ironisnya, pelanggaran moral, etika, dan kemanusiaan seperti ini dilakukan secara kolektif dengan memanfaatkan relasi kuasa yang timpang. Ruang sosial yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi tempat pelanggaran HAM. Anak perempuan dan penyandang disabilitas sering menjadi pihak yang paling rentan mengalami diskriminasi mengerikan.

Pentingnya Kampanye Kesetaraan dan Keadilan Gender

Kasus ini menjadi pengingat akan perlunya kampanye besar-besaran terkait kesetaraan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender, baik di desa maupun kota.

Sayangnya, kita masih sering menyepelekan isu ini. Bukti nyata terlihat dari perundungan, ejekan, hingga candaan bernada merendahkan terhadap penyandang disabilitas. Sikap ini membentuk budaya yang membenarkan perilaku buruk dan memberi angin segar bagi pelaku kejahatan.

Kepedulian terhadap perempuan dan penyandang disabilitas dapat dimulai secara virtual maupun langsung. Misalnya, dengan mendukung akun media sosial seperti @ruangsetara_id, @paradifaindonesia, dan @rumahkitab yang fokus pada isu ini. Untuk kesetaraan gender, ada @magdalene.id, @konde.co, dan @indonesiafeminis.

Peran Keluarga dan Komunitas

Praktik kepedulian harus dimulai dari keluarga dan komunitas terdekat. Orang tua perlu memberi contoh dengan memperlakukan semua orang secara adil, serta menegur anak yang mengejek penyandang disabilitas. Jika tetangga melakukan hal serupa, ingatkan mereka secara sopan.

Kasus Purworejo menunjukkan bahwa anak tanpa ayah membutuhkan perhatian lebih dari masyarakat sekitar. Tetangga dan kerabat seyogianya memberikan dukungan layaknya orang tua. Menghapus “kasta sosial tersamar” seperti ini membutuhkan kerja sama dan waktu. Namun, dengan saling mengingatkan, kita bisa menciptakan generasi yang lebih adil dan peduli terhadap sesama.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.