Pos

Perempuan dan Seni: Mencipta dalam Bayang-bayang Kekerasan

Perempuan telah menjadi bagian integral dari dunia seni sejak lama. Peran mereka tidak hanya sebagai objek yang diabadikan dalam karya seni, tetapi juga sebagai subjek yang menciptakan, menginspirasi, dan membentuk ekosistem seni. Kini, keterlibatan perempuan dalam seni semakin terlihat. Banyak organisasi dan komunitas seni yang didirikan untuk mewadahi dan mendukung perempuan, seperti Jaringan Seni Perempuan, Perempuan Lintas Batas, dan Koalisi Seni. Organisasi-organisasi ini menjadi ruang bagi perempuan untuk berkarya dan menyuarakan isu-isu krusial, termasuk kesetaraan gender, yang selama ini kerap diabaikan dalam percakapan seni arus utama.

Namun, di balik peran yang kian masif ini, perempuan dalam seni masih menghadapi ancaman serius: pelecehan seksual dan objektifikasi. Seni, yang seharusnya menjadi medium untuk kebebasan berekspresi dan pemberdayaan, sering kali menjadi ranah yang tidak aman bagi perempuan. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun langkah-langkah penting telah diambil, masih ada kesenjangan besar dalam menciptakan ruang aman yang inklusif.

Seni Pertunjukan dan Kerentanan Perempuan

Dalam seni pertunjukan, perempuan sering kali menjadi sasaran pelecehan seksual. Salah satu contohnya adalah dalam seni tari tradisional yang melibatkan praktik “saweran.” Di beberapa daerah, kegiatan ini telah menjadi bagian dari tradisi, tetapi tradisi tersebut kerap dimanfaatkan oleh penonton laki-laki untuk melecehkan penari perempuan. Memberikan uang saweran sering kali dijadikan pembenaran untuk menyentuh tubuh penari, mereduksi martabat mereka sebagai seniman menjadi sekadar objek hiburan.

Saweran, yang pada awalnya bertujuan sebagai bentuk apresiasi, kini sering kali menyimpang menjadi ajang eksploitasi. Penari perempuan tidak hanya harus berjuang untuk mempertahankan profesionalisme di atas panggung, tetapi juga menghadapi ancaman pelecehan yang nyata. Beberapa studi menunjukkan bahwa pelecehan ini tidak hanya terjadi dalam lingkungan pertunjukan tradisional, tetapi juga di ruang-ruang seni kontemporer, meskipun bentuknya mungkin berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan sekadar masalah budaya lokal, tetapi bagian dari masalah global yang lebih besar: yaitu bagaimana perempuan sering kali diposisikan sebagai objek dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk seni.

Selain tari, seni teater juga tidak lepas dari isu serupa. Peristiwa yang terjadi pada Festival Teater Jakarta 2024 menjadi bukti nyata. Dalam forum diskusi teknis, seorang perempuan pelaku seni teater dilecehkan secara verbal oleh rekan laki-lakinya, yang mengucapkan kata-kata tak senonoh dengan nada merendahkan. Kejadian ini menunjukkan bahwa bahkan di ruang-ruang yang seharusnya menjadi wadah profesional, perempuan tetap menghadapi ancaman terhadap keamanan dan martabat mereka. Lebih menyakitkan lagi, banyak korban pelecehan yang tidak melaporkan kasusnya karena takut akan stigma sosial atau kehilangan kesempatan di dunia seni.

Struktur Patriarki dalam Dunia Seni

Pelecehan seksual yang dialami perempuan dalam seni tidak dapat dilepaskan dari dominasi patriarki yang masih kuat. Dalam ekosistem seni, perempuan sering kali ditempatkan sebagai pelengkap, bukan aktor utama. Objektifikasi perempuan, baik dalam karya seni maupun dalam proses penciptaannya, menciptakan ketimpangan yang terus-menerus memperlemah posisi perempuan. Perspektif dan suara perempuan sering kali diabaikan, sehingga mereka kehilangan ruang untuk benar-benar mengekspresikan diri.

Sebagai contoh, dalam seni rupa, perempuan masih sering digambarkan sebagai sosok pasif, seperti “muse” yang hanya menjadi inspirasi bagi seniman laki-laki. Representasi semacam ini tidak hanya memperkuat stereotip gender, tetapi juga membatasi potensi perempuan sebagai kreator yang aktif. Lebih jauh lagi, patriarki juga memengaruhi distribusi kesempatan di dunia seni. Banyak perempuan pelaku seni yang melaporkan bahwa mereka harus bekerja lebih keras daripada rekan laki-laki mereka untuk mendapatkan pengakuan yang sama.

Langkah Menuju Ruang Aman

Isu pelecehan seksual dalam dunia seni tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan sporadis. Diperlukan panduan yang jelas untuk melindungi perempuan pelaku seni. Pada 2023, Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) meluncurkan Panduan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dalam Produksi Film. Langkah ini menjadi terobosan penting dalam memastikan bahwa pekerja seni, terutama perempuan, memiliki perlindungan yang memadai. Sayangnya, kebijakan serupa belum diterapkan secara luas di semua cabang seni.

Panduan seperti ini sangat penting untuk memastikan adanya sistem pelaporan yang jelas dan dukungan yang memadai bagi korban. Lebih dari itu, komunitas seni juga perlu menyelenggarakan pendidikan tentang kesetaraan gender, melibatkan laki-laki sebagai bagian dari solusi, dan mempromosikan perubahan budaya. Penerapan langkah-langkah ini harus didukung oleh semua pihak, mulai dari institusi pendidikan seni, komunitas lokal, hingga pemerintah.

Menciptakan Seni yang Berkeadilan

Dunia seni adalah ruang untuk menciptakan keindahan, menyuarakan kebenaran, dan melawan ketidakadilan. Namun, keindahan seni tidak akan bermakna jika di dalamnya terdapat ketimpangan dan kekerasan. Keterlibatan perempuan dalam seni harus dilihat sebagai kekuatan yang memajukan, bukan ancaman bagi struktur yang ada.

Membangun ruang aman bagi perempuan bukanlah tugas satu pihak saja, tetapi tanggung jawab bersama. Dunia seni hanya akan mencapai potensinya yang sejati jika setiap individu, terlepas dari gendernya, dapat berkarya dengan bebas dan tanpa rasa takut. Karena seni, pada akhirnya, adalah milik semua orang—tanpa diskriminasi.

Kasus Gus Miftah dan Yati Pesek Sebagai Momentum Stop Normalisasi Candaan Seksisme

Rumah KitaB– Kontroversi seputar olok-olokan Miftah Maulana Habiburrohman atau Gus Miftah terhadap penjual es teh bernama Sunhaji di Magelang berbuntut panjang. Setelah Gus Miftah meminta maaf, muncul kembali video tahun lalu yang tidak kalah geramnya bagi warganet. Di dalam video tersebut, tampak Gus Miftah menggunakan Bahasa Jawa untuk bercanda dengan ibu Suyati atau yang akrab dikenal sebagai ibu Yati Pesek.

Gus Miftah pada intinya memakai istilah tidak pantas yang menghina kaum perempuan. Jujur saya sendiri tidak sampai hati menuliskannya di sini sebab begitu mendiskreditkan perempuan sebagai makhluk yang di mata yang bersangkutan tidak lebih dari sekadar fisik.

Tulisan ini tidak bermaksud menambahkan minyak ke dalam api yang masih membara. Gus Miftah sendiri telah mengundurkan diri sebagai salah satu utusan Presiden Prabowo Subianto dan akan meminta maaf ke ibu Yati Pesek. Saya hanya ingin mengekspresikan betapa masih banyak yang seolah menormalkan candaan seksisme dalam kehidupan sehari-hari. Celakanya, jika tidak segera diputus, alur ini akan secara tidak sadar menimbulkan dampak berkepanjangan bagi perempuan dari berbagai aspek.

Pengertian Seksisme dan Dampaknya

Sebagaimana diambil dari MedicalNewsToday.com, seksisme adalah diskriminasi menurut jenis kelamin seseorang yang dapat menyebabkan banyak perilaku membahayakan. Umumnya, seksisme lebih menimpa ke perempuan atau gadis serta menjadi akar penyebab ketidaksetaraan gender di seluruh dunia.

Perilaku seksisme terbagi ke dalam enam macam, salah satunya adalah seksisme antar pribadi. Hal ini bisa ditemukan dimana saja, seperti di tempat kerja, sekolah, di antara anggota keluarga, dan orang asing di jalan. Yang paling sering kita saksikan di Indonesia dan dimana saja adalah berkomentar tentang fisik seseorang yang dirasa kurang cocok.

Seksisme tidak bisa dianggap enteng, termasuk saat bercanda. Membiarkan perilaku seksisme sama artinya dengan mengizinkan perilaku pelecehan verbal. Bahkan menurut Gender Action Portal dari Universitas Harvard, candaan seksisme, terutama yang merendahkan perempuan, seringkali dinilai tidak membahayakan. Kenyataannya, candaan seksisme menciptakan lingkungan sehingga tercipta stigma secara sosial diizinkan untuk mengekspresikan seksisme dan melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Di Indonesia sendiri, peristiwa yang terjadi belum lama ini tersebut membuat miris karena dilakukan oleh seorang petinggi negara sekaligus tokoh agama. Tidak mengherankan jadinya mengetahui bahwa di masyarakat masih banyak yang menormalisasi perilaku tersebut.

Padahal, candaan seksisme masuk ke dalam kategori pelecehan verbal. Selain candaan seksisme, catcalling atau pemanggilan bernada seksisme saat di lingkungan publik masih sangatlah umum. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada 2024 telah menerima laporan kekerasan verbal hingga 15.621 kasus. Mayoritas kejadian dialami oleh korban saat berada di fasilitas umum, seperti pasar, terminal, bahkan kampus. Kekerasan verbal menduduki posisi ke-3 dalam daftar kekerasan yang diderita perempuan setelah kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi.

Saya sendiri meyakini jumlah tersebut lebih banyak yang sesungguhnya terjadi. Tetapi, banyak yang enggan melaporkannya lantaran malu atau takut dengan stigma sosial. Inilah hal yang membuat kekerasan verbal masih merajalela sehingga tetap meredupkan dampaknya yang sangat besar bagi psikis perempuan.

Waktunya Memutus Rantai Normalisasi Candaan Seksisme

Kasus di atas tak pelak membangunkan publik betapa candaan seksisme tidak lagi dipandang remeh. Hidup dan tinggal di negara yang kental dengan budaya patriarki, kita perlu bergerak bersama secara jangka panjang. Berikut contoh solusinya.

Pertama, menegur siapa saja yang melontarkan candaan seksisme. Jangan ragu untuk menegur siapa saja yang Anda dapati memberikan candaan seksisme ke perempuan di tempat umum. Lantanglah bersuara ke mereka yang melakukannya agar tidak lagi merasa tindakan mereka wajar. Usir keraguan untuk melakukan konfrontir jika si pelaku malah merasa tersinggung dan seolah mengajak ribut. Langkah tegas ini kemungkinan dapat menyulut keramaian tetapi kadang kala situasi seperti ini menjadi perlu demi meningkatkan kewaspadaan bersama.

Kedua, bersuara di media sosial. Jika Anda termasuk yang takut menegur secara langsung, gunakan media sosial untuk berkampanye melawan kekerasan verbal. Anda bisa menggunakan desain dan kata-kata sendiri tergantung kreativitas yang dimiliki. Dengan cara sederhana ini, Anda bisa mengajak rekan sesama perempuan agar berani bersuara untuk lingkungan mereka masing-masing. Paling tidak dengan kebersamaan ini perempuan meyakini mereka tidak sendiri berjuang demi tegaknya hak asasi perempuan.

Ketiga, mendidik anak laki-laki agar menghormati perempuan

Pendidikan anti kekerasan verbal sejatinya berakar di rumah. Anda yang sebagai orang tua sebisa mungkin didik dan ajarkan agar anak laki-laki dan perempuan menghormati hak asasi orang lain. Caranya dengan mencontohkan perilaku hormat dan tidak menggunakan kalimat bernada seksisme ke siapa saja, termasuk saat bercanda. Ajak buah hati memilih kata dan kalimat yang aman untuk berkomunikasi, termasuk bercanda ke siapa saja.[]

Ironi Rendahnya Keterwakilan Perempuan dalam Kabinet Merah Putih

Sebuah potret miris tersaji saat mengamati komposisi Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Hanya 14 perempuan atau 12,5% saja yang menduduki jajaran kabinet yang total berjumlah 112 orang untuk masa tugas 2024 hingga 2029.

Kabinet ini terdiri dari 48 menteri, 56 wakil menteri, lima pejabat setingkat menteri, Panglima TNI, Kapolri, dan Sekretaris Kabinet. Adapun ke-14 menteri dan wakil menteri perempuan tersebut adalah sebagai berikut sebagaimana diambil dari Tempo.co:

  • Veronica Tan – Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
  • Sri Mulyani – Menteri Keuangan
  • Meutya Hafid – Menteri Komunikasi dan Digital
  • Rini Widyantini – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
  • Widiyanti Putri Wardhana – Menteri Pariwisata
  • Arifatul Choiri Fauzi – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
  • Ribka Haluk – Wakil Menteri Dalam Negeri
  • Ni Luh Puspa – Wakil Menteri Pariwisata
  • Christina Aryani – Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran
  • Stella Christie – Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi
  • Dyah Roro Esti Widya Putri – Wakil Menteri Perdagangan
  • Ratu Isyana Bagoes Oka – Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
  • Diana Kusumastuti – Wakil Menteri Pekerjaan Umum
  • Irene Putri – Wakil Menteri Ekonomi Kreatif.

Kalah Kompetensi atau Stigma Patriarki yang Mengakar?

Jika dijabarkan lebih lanjut, dari 14 tersebut, hanya lima orang yang menjabat sebagai menteri, sementara sisanya menduduki posisi sebagai wakil menteri. Pertanyaan besar pun mengemuka mengenai faktor penunjukan yang sangat sedikit tersebut. Sebagaimana kita ketahui, posisi di dalam kabinet memang lebih sarat keputusan politis.

Banyak posisi menteri, wakil menteri, atau yang setara dengan itu diisi oleh tokoh yang berasal dari partai politik pendukung pemerintah. Jikalau pun demikian, seharusnya jumlah pejabat kabinet perempuan tetap lebih banyak dari 14, mengingat ada banyak politisi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat.

Pertanyaan pun tak pelak mengerucut menjadi: apakah jumlah tersebut semata lantaran stigma patriarki yang mendarah daging, bahkan hingga level pemerintahan? Sistem patriarki sendiri adalah sistem sosial yang meletakkan laki-laki sebagai pemegang dominasi dalam organisasi dan struktur di masyarakat.

Keputusan presiden dan wakil presiden di atas tentunya ironis mengingat era emansipasi perempuan sudah melahirkan begitu banyak perempuan berbakat dan cerdas dalam segala bidang. Untuk membawahi bidang level nasional, seharusnya perbandingan kompetensi menjadi metrik yang dipakai, bukan hanya condong kepada salah satu jenis kelamin.

Ambil contoh, untuk memilih Menteri Kebudayaan, standar yang dipakai haruslah mencakup gelar akademis terkait bidang tersebut dan/atau kiprah selama ini di bidang yang sama. Seorang Menteri Kebudayaan juga haruslah orang dengan relasi kuat dengan pegiat seni dan kebudayaan Nusantara. Portofolio yang mencakup kompetensi teknis, pengalaman lapangan, dan relasi inilah yang seharusnya membuat ia masuk ke jajaran kabinet, bukan lantaran faktor gender apalagi titipan partai politik tertentu.

Signifikansi Bertambahnya Jumlah Perempuan di Kabinet

Sangat disayangkan pergantian kabinet masih kurang memberikan ruang ekstra bagi perempuan cerdas nasional. Hingga keputusan semacam ini berubah, kita harus terus menggaungkan pentingnya jumlah keterwakilan perempuan dalam kabinet secara obyektif.

Mengapa ini begitu penting?

Pertama, dengan bertambahnya kepercayaan kepada perempuan Indonesia akan memberikan teladan positif bagi generasi muda perempuan Tanah Air. Ada banyak perempuan hebat di Indonesia yang layak menduduki posisi tertinggi pada bidangnya masing-masing sesuai keahlian mereka. Jika kebiasaan memberikan posisi sepenting menteri atau wakil menteri masih sedikit, dikhawatirkan mengurangi ruang berkarya sekaligus mengabdi perempuan muda hebat di luar sana.

Kedua, kepemimpinan feminis mempunyai keunggulan khas berupa sifatnya yang merangkul siapa saja. Dengan begitu, menteri atau wakil menteri akan lebih berempati pada jajarannya demi menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat. Dalam dunia birokrasi yang selama ini dikenal kaku, kepemimpinan feminis lebih mengutamakan berbaurnya antar eselon. Gebrakan ini akan berdampak pada pelayanan publik yang lebih berkualitas karena dilakukan oleh pegawai yang diakomodir pendapatnya.

Meski susunan kabinet telah ditentukan, tidak seharusnya gaung kesetaraan jumlah perempuan di kabinet berhenti. Dalam kesempatan apa pun, kampanye semacam ini harus dilakukan agar kesempatan berkarier bagi perempuan Indonesia bisa berkibar setinggi-tingginya.

Selama ini, sudah banyak perempuan Indonesia yang menduduki posisi tinggi di perusahaan swasta hingga BUMN. Sekarang, masih menjadi pekerjaan rumah bersama agar hal serupa bisa terwujud pada berbagai kementerian dan lembaga nasional. Sebab jika memang perempuan Indonesia layak dan mampu, kenapa tidak?

Meninjau Ulang Konsep Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Al-Qur’an

Terdapat sebagian dari kalangan Muslim yang menganggap kepemimpinan perempuan bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Bagi mereka, arrijalu qawwamuna ‘ala an-nisa—salah satu penggalan dari ayat ke-34 dalam surah an-Nisa—adalah sebuah dogma ajaran Islam tentang konsep kepemimpinan yang harus dipatuhi. Tetapi apakah benar demikian?

Penafsiran bahwa kepemimpinan hanya ada di tangan laki-laki memang dapat ditemukan dalam banyak kitab tafsir klasik. Ayat tersebut sebenarnya berbicara tentang kepemimpinan dalam lingkup kecil, yaitu kehidupan rumah tangga. Namun, ayat ini sering kali dibawa ke ruang lingkup yang lebih luas, seperti dalam kepentingan politik.

Perlu diingat bahwa penafsiran adalah upaya manusia untuk memahami maksud dari sebuah ayat. Sebagai hasil dari dialektika antara teks, konteks, pemikiran, serta pengaruh latar sosio-historis, geopolitik, dan kepentingan tertentu, penafsiran bukanlah sesuatu yang mutlak. Oleh karena itu, proses penafsiran harus terus dilakukan agar Al-Qur’an dapat selalu dibaca secara produktif. Sebuah penafsiran harus selalu direkonstruksi dan tidak boleh antikritik, agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, Al-Qur’an dapat benar-benar menjadi kitab yang shalihun li kulli zaman wa makan (relevan untuk setiap zaman dan wilayah).

Penafsiran yang menyatakan bahwa hanya laki-laki yang layak menjadi pemimpin perlu digugat. Hal ini sudah tidak relevan dengan realitas kehidupan saat ini, di mana kelayakan seorang pemimpin tidak lagi didasarkan pada dikotomi biologis antara laki-laki dan perempuan, melainkan pada pengetahuan, kompetensi, pengalaman, dan kecakapan seseorang. Dengan demikian, siapa pun yang memiliki keunggulan tersebut, baik laki-laki maupun perempuan, berhak menjadi pemimpin.

Alternatif Penafsiran

Terdapat setidaknya dua model pendekatan alternatif dalam menafsirkan konsep kepemimpinan pada surah an-Nisa ayat 34, yang lebih peka terhadap wacana kesetaraan gender.

1. Pendekatan Sosio-Historis

Model penafsiran ini menekankan pada aspek latar sosio-historis turunnya ayat. Secara redaksional, ayat tersebut memang berbicara soal kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Namun, ayat tidak boleh hanya dipahami secara tekstual; aspek kontekstualnya juga harus dipahami.

Realitas budaya saat turunnya Al-Qur’an belum mengenal konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pada masa itu, budaya patriarki sangat mengakar kuat, menempatkan laki-laki jauh di atas perempuan. Al-Qur’an, yang turun di tengah-tengah realitas tersebut, tidak mungkin mengubah budaya secara drastis dalam waktu singkat. Sebagai strategi dakwah, Islam memperbaiki kehidupan masyarakat secara perlahan agar ajarannya dapat diterima.

Meskipun an-Nisa ayat 34 mengandung nada diskriminatif terhadap konsep kepemimpinan, hal ini bersifat transisional dan kontekstual, bukan dogmatis. Oleh karena itu, ayat tersebut dalam konteks saat ini harus dipahami sebagai refleksi realitas sosio-historis pada masa itu, bukan sebagai dogma Islam yang harus diikuti secara literal.

2. Pendekatan Revolusioner

Pendekatan ini menekankan pada pembaruan makna dengan cara memandang Al-Qur’an seolah-olah baru saja turun di era sekarang. Dengan demikian, penafsiran dapat secara langsung mencari makna baru yang relevan di era modern.

Kondisi masyarakat pada masa turunnya an-Nisa ayat 34 berpijak pada perbedaan biologis, di mana laki-laki memiliki akses dan peran lebih luas dibandingkan perempuan. Namun, realitas masyarakat saat ini telah berubah. Baik laki-laki maupun perempuan kini memiliki akses dan peran yang setara dalam berbagai aspek kehidupan.

Oleh karena itu, penafsiran dapat dilakukan dengan memaknai lafaz ar-rijal sebagai pihak maskulin dan an-nisa sebagai pihak feminin. Kepemimpinan tidak lagi didasarkan pada jenis kelamin, tetapi pada potensi seseorang. Siapa pun yang memiliki potensi tinggi (maskulin), baik laki-laki maupun perempuan, berhak menjadi pemimpin, sedangkan yang memiliki potensi lebih rendah (feminin) menjadi pihak yang dipimpin.

Dengan dua model pendekatan ini, konsep ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa dapat membuka jalan bagi siapa saja yang layak dan cakap, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menjadi pemimpin. Pendekatan ini juga dapat menutup jalan diskriminasi terhadap perempuan dalam persoalan kepemimpinan atas nama Al-Qur’an.

Sumber:

  • Aksin Wijaya, Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas Nalar Tafsir Gender. Yogyakarta: IRCiSod, 2020.
  • Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS Group, 2012.

Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dengan Disabilitas


Kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas terus meningkat setiap tahunnya. Data Komnas Perempuan tahun 2023 mencatat ada 105 kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas, lebih tinggi dibandingkan kasus tahun 2022 yang berada di angka 72 kasus.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi, sebanyak 40 kasus terhadap perempuan disabilitas mental, 33 kasus perempuan disabilitas sensorik (penglihatan, pendengaran, dan bicara), 20 kasus perempuan disabilitas intelektual, 12 kasus perempuan disabilitas fisik.

Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada sepanjang tahun 2021 terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas. Dari data itu kekerasan seksual menempati urutan tertinggi yang mencapai sebanyak 591 kasus.

Meski begitu, kasus kekerasan diperkirakan sebagai fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terlaporkan tetap masih lebih kecil ketimbang kasus yang tidak terlaporkan. Sebab, bukan perkara yang mudah bagi perempuan dan anak perempuan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya.

Budaya dan sistem hukum seringkali masih sulit memberikan rasa keadilan kepada penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual. Selain pelayanan hukum belum secara keseluruhan memiliki aksesibilitas yang tinggi.

Perempuan penyandang disabilitas sebagai korban kekerasan seksual memang sering mengalami diskriminasi dalam proses penyidikan dan peradilan. Selain itu, proses penyelidikan juga cenderung menemui jalan buntu (Alhamudin Maju Hamongan Sitorus: 2022).

Pada saat sama, masih banyak keluarga yang cenderung abai terhadap perempuan penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual. Bahkan solusi yang diambil keluarga justru memasang alat kontrasepsi, sehingga yang menjadi urusan bukan tindakan kekerasan seksualnya, melainkan agar perempuan penyandang disabilitas tidak mengalami kehamilan. Belum lagi, manakala pelaku merupakan orang terdekat yang selama ini menjadi pelindung dalam kehidupan keseharian.

Akar Kekerasan
Kekerasan seksual adalah tindakan pemaksaan atau memanipulasi untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan tanpa izin. Penyintas kekerasan bisa siapa saja, anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua, termasuk penyandang disabilitas. Sementara pelakunya bisa orang asing, tetapi sebagian besar anggota keluarga, orang yang dipercaya, dan teman (NSVRC: 2010).

Tindakan kekerasan seksual mengakibatkan trauma jangka panjang, bahkan bisa terjadi sepanjang sisa hidup penyintas kekerasan seksual, sakit, hilangnya rasa percaya diri, ketakutan, dan juga pengucilan sosial.

Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas berakar pada berbagai diskriminasi dan stigma yang kuat dalam budaya patriarki dengan terjadinya diskriminasi ganda berdasarkan status gender dan disabilitasnya.

Status gender menempatkan perempuan penyandang disabilitas seperti juga perempuan tanpa disabilitas yang harus patuh terhadap nilai dan norma gender tradisional. Ideologi patriarki juga menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, dan menjadikannya sebagai objek seksual.

Dalam konteks disabilitasnya, perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas mengalami kekerasan seksual karena lemahnya dukungan sosial dan hukum, eksklusi sosial, keterbatasan gerak, persoalan komunikasi, dan stereotip terhadap penyandang disabilitas.

Konstruksi mengenai gender dan disabilitas menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang antara penyintas dan pelaku kekerasan seksual. Relasi yang secara terus menerus diproduksi melalui berbagai pranata sosial, termasuk pendidikan dan tradisi budaya yang bias gender.

Strategi Pencegahan
Problem kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan dengan penyandang disabilitas merupakan problem struktural, sistemik, dan masif. Pencegahan terjadinya kasus, dengan begitu tak lagi memadai manakala hanya mengandalkan pendekatan persuasif dan pendekatan prosedur formal.

Persoalan struktural menunjukkan terjadinya berbagai tindakan kekerasan seksual berada pada ranah ideologis dan sistem, sehingga membutuhkan respons yang menyeluruh dan secara bersamaan. Ada tiga lokus dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas.

Pertama, level paradigmatik. Pada level ini agenda perubahan berada pada upaya mengubah cara pandang terhadap perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas. Misalnya, melakukan pengarusutamaan GEDSI (Gender Equality, Disability, and Inclusion) melalui berbagai kanal literasi publik.

Agenda ini akan menggeser pandangan stereotip terhadap penyandang disabilitas, seperti tak berguna, tak berdaya, menyedihkan, kutukan, dan anggapan negatif lainnya. Lalu menggantinya dengan cara pandang positif, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama, penyandang disabilitas tak memiliki perbedaan dengan siapa pun dalam menjalani kehidupan, kecuali mereka hanya membutuhkan alat bantu mobilitas. Dan siapapun memiliki potensi menjadi penyandang disabilitas.

Perubahan cara pandang ini, tidak saja akan mencegah para pelaku tindak kekerasan. Namun, menjadikan para penyedia layanan kekerasan terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas akan menjadi bersikap ramah, dan menghargai para penyintas kekerasan seksual.

Kedua, mengimplementasikan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai pemenuhan hak-haknya, dan melakukan harmonisasi berbagai kebijakan lain dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Misalnya, melakukan harmonisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mengatur pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan pada segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Harmonisasi ini mendorong seluruh layanan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual mendapatkan menjadi ramah.

Ketiga, mewujudkan aksesibilitas fisik, misalnya ruang mudah dijangkau pengguna kursi roda dan kruk, ada penunjuk arah (guiding block) bagi disabilitas netra. Selain itu, aksesibilitas sosial, misalnya tersedia juru bahasa isyarat, dan para petugas layanan yang ramah dengan memiliki kapasitas berinteraksi dengan penyintas kekerasan seksual.[]

Tau Nina Kanca Anak Berdaya: Perempuan dan Anak Berdaya

Oleh: Erni Agustini

Kegiatan Temu Perempuan Pemimpin di Lombok Utara, yang diselenggarakan pada 9-10 November 2024, dapat terlaksana berkat kerja sama antara Rumah KitaB, JASS, dan Klub Baca Perempuan (KBP). Salah satu tujuan utama kegiatan ini adalah untuk menelaah kehidupan perempuan melalui pengalaman-pengalaman masing-masing peserta. Dari pengalaman tersebut, para peserta merumuskan strategi bersama untuk memperkuat kepemimpinan perempuan di akar rumput.

Salah satu sesi penting dalam kegiatan ini adalah sesi mengenali tubuh sendiri. Dalam sesi ini, peserta diajak untuk memahami bagian tubuh mana yang sering menderita sakit, jenis sakit yang dirasakan, serta bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dapat dialami oleh perempuan. Penting bagi setiap perempuan untuk mengenali tubuh mereka sendiri, memahami potensi penyakit yang dapat menyerang, dan mencari solusi penanganan yang tepat. Fasilitator memandu peserta untuk berkelompok dan menggambar tubuh perempuan, yang memungkinkan mereka memberi tanda pada potensi penyakit dan kekerasan seksual yang mungkin dialami. Sesi ini sangat relevan mengingat pada tahun 2024, Lombok Utara mencatatkan 127 kasus kekerasan, dengan kekerasan seksual menjadi kasus tertinggi (SIMFONI-PPA).

Secara umum, para peserta berhasil mengenali tubuh dan alat reproduksi perempuan, serta mengidentifikasi potensi penyakit dan kekerasan seksual yang mungkin terjadi. Selain itu, peserta diajak untuk lebih memahami kesehatan reproduksi perempuan, bentuk-bentuk kekerasan seksual, dampaknya, serta sistem dukungan yang dibutuhkan perempuan dan anak. Dengan demikian, peserta memperoleh pemahaman lebih dalam tentang tubuh mereka, ruang aman bagi perempuan, dan pentingnya pemberdayaan perempuan.

Perempuan Berdaya, Bersatu, dan Bergerak Bersama

Klub Baca Perempuan (KBP) berperan sebagai wadah potensial bagi pemimpin perempuan komunitas di Lombok Utara untuk berkontribusi dalam menyelesaikan masalah perempuan dan anak. Sebanyak 11 lembaga yang bergerak dalam isu perlindungan perempuan dan anak turut mendampingi masyarakat di Lombok Utara. Keterlibatan KBP dalam perlindungan perempuan dan anak meliputi partisipasi dalam penyusunan naskah akademik Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Anak. Melalui keterlibatan ini, perempuan di akar rumput dapat mengawal proses pembuatan regulasi hingga implementasinya, agar perempuan dan anak di Lombok Utara memperoleh perhatian khusus.

KBP juga turut mendorong predikat Kabupaten Layak Anak yang berhasil diraih oleh Lombok Utara. Pada tahun 2017, 10 orang remaja yang tergabung dalam Kanca/KBP dilibatkan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), di mana mereka menyampaikan aspirasi untuk prioritas pembangunan youth center sebagai rumah bersama para pemuda. Proyek ini diharapkan dapat direplikasi di berbagai tempat di Lombok Utara.

Keterlibatan pemimpin muda komunitas dalam berbagai momentum pengambilan kebijakan di Lombok Utara merupakan upaya penting untuk mempertegas hak warga negara dalam mengawal kebijakan, sekaligus menjadi wujud perempuan yang berdaya di Lombok Utara. Gerakan bersama yang melibatkan pemimpin perempuan di akar rumput diperlukan untuk terus mendorong disahkannya regulasi yang berpihak pada perempuan dan anak. Bahkan setelah disahkan, regulasi tersebut harus terus diawasi dan disuarakan pelaksanaannya.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh pemimpin perempuan komunitas, melalui Kanca/KBP, adalah terus melakukan kampanye menggunakan seni dan budaya—seperti tari, musik, dan kampanye di media sosial. Anggota muda yang tergabung dalam Kanca dan KBP telah melakukan hal luar biasa untuk merespons budaya patriarki dan kemiskinan. Langkah selanjutnya adalah terus memperkuat kerjasama dan persaudaraan agar perempuan dan anak di Lombok Utara dapat terus berdaya.

Kasta Sosial Tersamar di Balik Kasus Pemerkosaan Sedarah di Purworejo


Menguatnya Praktik Patriarki

Seiring dengan berkembangnya pemahaman keagamaan dan pesatnya penggunaan media sosial di Indonesia, praktik patriarki kerap menguat. Ketika budaya ini dilakukan secara kolektif, seringkali praktik diskriminasi semakin meluas, hingga membenarkan pelanggaran etika, moral, bahkan kemanusiaan atas nama agama.

Fenomena ini terlihat dalam kasus memilukan pemerkosaan dengan 13 terduga pelaku terhadap kakak-beradik di Desa Banyu Urip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Kasus yang Menggemparkan

Kasus ini menggemparkan publik karena beberapa alasan. Pertama, jumlah terduga pelaku yang mencapai 13 orang. Kedua, para korban adalah kakak-beradik dengan inisial DSA (15 tahun) dan KSA (17 tahun).

Kasus ini dilaporkan ke Poltabes Purworejo sejak Juni 2024, tetapi proses hukumnya mandek. Peristiwa tersebut bahkan terjadi berulang kali sepanjang 2023, hingga setiap bulan. Tragisnya, ada terduga pelaku yang memperkosa kedua kakak-beradik ini.

Karena proses hukum tak kunjung berjalan, kedua korban beserta pendampingnya mendatangi Hotman 911. Kasus ini kemudian menjadi viral di media, hingga mendapat perhatian langsung dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi.

Lemahnya Posisi Korban

Kasus ini juga menyeret aparat desa setempat. Polisi telah memeriksa 20 saksi, termasuk aparat desa, yang diduga memfasilitasi mediasi antara korban dan pelaku. Tindakan tersebut mencerminkan sesat logika bahwa kejahatan sebesar pemerkosaan dapat diselesaikan secara damai.

Hal ini menunjukkan bagaimana perempuan, terutama anak di bawah umur, masih dianggap sebagai warga yang tidak layak mendapat perlindungan hukum. Alih-alih mendukung penegakan hukum, aparat desa justru diduga menutupi kasus ini demi menjaga “aib”.

Latar belakang korban memperparah situasi. Ayah mereka telah meninggal dunia, sementara ibu mereka adalah penyandang disabilitas mental. Dalam usia yang sangat muda, korban harus berjuang sendiri untuk mendapatkan keadilan, sementara pihak yang seharusnya melindungi mereka malah memperburuk keadaan.

Budaya Patriarki dan Relasi Kuasa Timpang

Mengapa kondisi seperti ini terus terjadi? Di beberapa wilayah Indonesia, perempuan dan anak-anak penyandang disabilitas masih dipandang sebelah mata. Faktor fisik dan jenis kelamin sering dijadikan alasan utama dalam menentukan hak dan kedudukan seseorang.

Ironisnya, pelanggaran moral, etika, dan kemanusiaan seperti ini dilakukan secara kolektif dengan memanfaatkan relasi kuasa yang timpang. Ruang sosial yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi tempat pelanggaran HAM. Anak perempuan dan penyandang disabilitas sering menjadi pihak yang paling rentan mengalami diskriminasi mengerikan.

Pentingnya Kampanye Kesetaraan dan Keadilan Gender

Kasus ini menjadi pengingat akan perlunya kampanye besar-besaran terkait kesetaraan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender, baik di desa maupun kota.

Sayangnya, kita masih sering menyepelekan isu ini. Bukti nyata terlihat dari perundungan, ejekan, hingga candaan bernada merendahkan terhadap penyandang disabilitas. Sikap ini membentuk budaya yang membenarkan perilaku buruk dan memberi angin segar bagi pelaku kejahatan.

Kepedulian terhadap perempuan dan penyandang disabilitas dapat dimulai secara virtual maupun langsung. Misalnya, dengan mendukung akun media sosial seperti @ruangsetara_id, @paradifaindonesia, dan @rumahkitab yang fokus pada isu ini. Untuk kesetaraan gender, ada @magdalene.id, @konde.co, dan @indonesiafeminis.

Peran Keluarga dan Komunitas

Praktik kepedulian harus dimulai dari keluarga dan komunitas terdekat. Orang tua perlu memberi contoh dengan memperlakukan semua orang secara adil, serta menegur anak yang mengejek penyandang disabilitas. Jika tetangga melakukan hal serupa, ingatkan mereka secara sopan.

Kasus Purworejo menunjukkan bahwa anak tanpa ayah membutuhkan perhatian lebih dari masyarakat sekitar. Tetangga dan kerabat seyogianya memberikan dukungan layaknya orang tua. Menghapus “kasta sosial tersamar” seperti ini membutuhkan kerja sama dan waktu. Namun, dengan saling mengingatkan, kita bisa menciptakan generasi yang lebih adil dan peduli terhadap sesama.

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan


Untuk menyambut Tahun Politik, Rumah KitaB kembali meluncurkan sebuah buku “Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan”. Buku setebal 340 halaman ini ditulis oleh peneliti-peneliti Rumah KitaB, yaitu Achmat Hilmi, Roland Gunawan, Nur Hayati Aida, serta Jamaluddin Mohammad.

Pada tanggal 13 Oktober 2024, buku yang dieditori Usman Hamid dan Ken Michi tersebut pertama kali didiskusikan bersama mahasiswa-mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Al-Biruni, Cirebon, dengan menghadirkan perwakilan penulis, Ketua JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) Fathan Mubarak, dan anggota Bawaslu Kabupaten Cirebon Amir Fawaz. Acara berlangsung meriah dan dihadiri oleh 85 mahasiswa/mahasiswi.

Saat flyer acara ini dibagikan di media sosial, seorang aktivis perempuan memprotes dan memberikan komentar: mengapa pembicaranya laki-laki semua? Bukankah tema yang diangkat berkaitan dengan Fikih Politik Perempuan? Bagaimana mungkin diskusi tentang perempuan tanpa melibatkan perempuan? Menjawab pertanyaan ini penting, sama pentingnya dengan menjawab pertanyaan mengapa harus ada afirmasi 30% perempuan dalam politik.

Yang tak dimiliki laki-laki ketika berbicara tentang perempuan adalah pengalamannya. Secara biologis, perempuan berbeda dengan laki-laki. Karena itu, tubuh perempuan mengalami pengalaman biologis seperti menstruasi, mengandung, melahirkan, nifas, dan menyusui. Pengalaman-pengalaman ini tidak bisa diwakili laki-laki.

Di samping itu, dalam kehidupan sosialnya, perempuan kerap kali mengalami ketidakadilan hanya karena berjenis kelamin perempuan, seperti stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. Ketidakadilan berbasis gender ini adalah pengalaman sosial perempuan dan hanya perempuan yang mengalaminya.

Dua pengalaman perempuan inilah, pengalaman biologis dan pengalaman sosial, yang merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan perspektif dalam melihat dan membaca ketidakadilan gender dalam kehidupan sosial maupun politik. Itulah mengapa partisipasi politik perempuan perlu diafirmasi.

Dalam konteks Cirebon, kehadiran buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan ini merupakan gagasan baru yang menarik untuk didiskusikan di masyarakat pesantren di Kabupaten Cirebon, khususnya terkait hak politik dan hak kepemimpinan politik perempuan dalam perspektif agama. Selama ini pembicaraan keadilan gender telah menjadi wacana yang diterima masyarakat pesantren, namun dalam konteks politik, ini merupakan wacana baru. Dunia politik di Cirebon masih didominasi wajah maskulinitas yang sangat kuat. Silih bergantinya pemimpin politik jarang diiringi pembicaraan terkait hak-hak pemilih perempuan.

Buku ini berupaya mengurai problem keagamaan yang biasanya menjadi tembok besar bagi partisipasi perempuan dalam kepemimpinan politik, dan membantu masyarakat pemilih perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya yang tersandera oleh budaya patriarki yang berkawin dengan pandangan agama.

Dalam kehidupan politik yang patriarkis, nasib dan peran perempuan termarginalkan. Karena itulah politik afirmasi diperlukan untuk menjaring sebanyak-banyaknya partisipasi politik perempuan sekaligus diharapkan dapat mewarnai dunia dan kebijakan politik. Inilah salah satu pesan yang ingin disampaikan buku ini. Buku ini memberikan dasar dan legitimasi historis maupun teologis keterlibatan politik perempuan.

Perlawanan Kaum Feminis Iran terhadap Otoritarianisme Negara

Iran: Negara Maju dengan Kesenjangan Gender

Di antara komunitas negara-negara berkebudayaan Islam (kawasan Timur Tengah), Iran boleh jadi menjadi satu-satunya negara yang cukup maju dan mandiri. Di tengah porak-poranda yang terjadi di berbagai negara Muslim akibat konflik, otoritarianisme, dan terorisme, Iran termasuk negara yang cukup stabil meski ketegangan dengan Amerika masih belum reda. Ini terjadi lantaran Iran secara terang-terangan menolak segala bentuk intervensi Barat yang diprakarsai Amerika. Termasuk juga konflik yang sedang terjadi antara Iran dan Israel sebetulnya merupakan kepanjangan dari ketegangan antara Iran dan Amerika.

Namun, kehebatan Iran di mata dunia tidak membuat negara ini ramah terhadap perempuan. Hal ini terjadi, salah satunya, karena ada kesenjangan yang sangat kontras antara realitas partisipasi perempuan di ruang publik dan status hukum mereka di mata negara. Misalnya, pada tahun 2006, Presiden Ahmadinejad menyeru kepada para perempuan Iran untuk kembali ke rumah dan mendedikasikan diri mereka dalam menjalankan kewajiban mengasuh anak.

Diskriminasi Hukum: Perempuan Setengah dari Laki-laki

Menurut catatan Rebecca Barlow dalam Prospects for Feminism in the Islamic Republic Iran, sejumlah aturan Republik Islam Iran memang secara eksplisit mendiskreditkan perempuan. Hal ini didasari oleh keadaan di mana budaya patriarki menjadi kerangka hukum negara.

Sebagai contoh, hukum Qishash menetapkan bahwa “uang darah” yang harus dibayarkan kepada keluarga korban perempuan hanya separuh dibandingkan uang yang harus dibayarkan jika korbannya laki-laki. Kesaksian perempuan juga hanya dihargai separuh dari kesaksian laki-laki, dan itupun tidak ada nilainya jika tidak dikuatkan oleh kesaksian laki-laki. Selain itu, poligami bersifat legal dan perceraian merupakan hak prerogatif laki-laki.

Patriarki, Misogini, dan Tafsir Teks Suci

Alasan penting mengapa perempuan tampak begitu diskriminatif adalah karena ideologi gender di negara Iran didasarkan pada budaya patriarki. Tentu saja, ini bersifat misoginis dan otoriter, diperkuat lagi dengan interpretasi terhadap kitab suci. Memang, harus diakui bahwa problem utama terkait gender dalam Islam adalah interpretasi teks, di mana banyak ulama klasik melegitimasi peran laki-laki secara lebih dominan dibandingkan perempuan.

Di Iran, landasan ideologi gender berpijak pada anggapan bahwa pria dan perempuan pada dasarnya adalah makhluk yang “berbeda”. Keyakinan ini berasal dari pandangan dunia Islam konservatif, di mana pria dan perempuan ada, berfungsi, dan hanya berhubungan satu sama lain dalam batas-batas hierarki gender yang “alami”. Artinya, karena Tuhan memberikan fungsi biologis yang berbeda, maka pria dan perempuan memiliki peran serta tanggung jawab yang berbeda dalam masyarakat.

Anggapan Keliru tentang Perempuan: Rasionalitas dan Kemandirian

Situasi ini diperparah oleh pandangan kaum elit konservatif yang menganggap bahwa perempuan memang lebih rendah daripada pria dalam hal rasionalitas dan kemampuan mereka untuk hidup mandiri. Menurut pandangan kaum elit, faktor penting dalam pemeliharaan kohesi sosial di Iran adalah dengan melakukan kendali laki-laki atas perempuan. Pendapat ini jelas perlu dipertanyakan dan cacat secara epistemologis.

Faktanya, meskipun Iran menerapkan hukum syariah klasik sebagai akibat dari revolusi Islam 1979, perempuan Iran menolak untuk dikurung dalam ranah domestik. Bahkan, mereka sudah mampu merambah ke dalam berbagai aspek kehidupan publik. Ini menjadi bukti bahwa pada realitasnya, kehidupan perempuan Iran tidaklah begitu terkekang dan terbatas sebagaimana yang ditentukan oleh negara. Tentu saja, ini adalah akibat dari perlawanan mereka yang cukup besar dalam menolak segala bentuk budaya patriarki.

Kiprah Perempuan Iran di Ruang Publik

Perempuan Iran telah banyak yang berhasil berkiprah di bidang politik, media, pendidikan, dan kehidupan publik pada umumnya. Selama tiga dekade terakhir, Parlemen Iran secara konsisten memasukkan beberapa anggota perempuan. Pers perempuan Iran juga menggeliat dan sangat dinamis. Bahkan, saat ini perempuan menjadi mayoritas dalam ujian masuk universitas, dengan persentase sebesar 65%.

Ketidakmampuan negara (atau keengganannya) untuk mengantisipasi meningkatnya kemampuan perempuan dan semakin besarnya ekspektasi keterbukaan lapangan kerja, lebih banyak ruang politik, dan diperluasnya sejumlah hak telah menciptakan apa yang disebut sebagai “teka-teki gender”. Sekalipun perempuan menjadi mayoritas dalam pendidikan tinggi, mereka hanya menempati 33% dari semua jabatan profesional dan teknis di Iran.

Patriarki: Masalah Tafsir atau Politik?

Apakah terbatasnya kebebasan perempuan Iran ini merupakan misinterpretasi atas nash yang dapat diselesaikan dengan pembacaan yang lebih berwawasan gender? Atau hanya masalah politik semata, di mana negara menolak segala perubahan atas status quo patriarki?

Feminisme Iran: Agama dan Sekularisme

Dalam rangka membebaskan perempuan Iran dari keterkungkungan yang disebabkan oleh negara, muncullah para feminis. Secara garis besar, feminis Iran terbagi dalam dua jenis; feminis yang berorientasi pada agama dan yang berorientasi sekuler.

Feminis yang berorientasi pada agama menekankan bahwa sejumlah masalah yang dialami oleh perempuan merupakan hasil dari interpretasi laki-laki yang salah arah tentang teks suci Islam, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Mereka percaya bahwa jurang antara ideologi gender negara dan realitas kehidupan perempuan bisa diatasi dengan pembacaan ulang yang berpusat pada perempuan terhadap teks suci Islam.

Para feminis yang berorientasi pada agama ini menerima legitimasi proyek politik Islam, sehingga mereka menjadi kekuatan yang berkembang karena tidak menentang rezim Iran. Mereka hanya mengincar kebijakan negara yang dianggap menyimpang dari Islam. Aliran ini semakin dikenal pada akhir tahun 1990-an dengan latar belakang Presiden Muhammad Khatami.

Sementara itu, feminis yang berorientasi sekuler memandang penggabungan Islam dan politik sebagai bagian sentral dari masalah yang dihadapi perempuan Iran. Oleh karenanya, mengatasi masalah perempuan dipandang sangat bergantung pada pemisahan negara dan hukum Islam. Perjuangan untuk hak-hak perempuan di Iran harus bergerak lebih jauh melampaui agama.

Kesamaan Tujuan: Meruntuhkan Patriarki

Baik feminis yang berorientasi pada agama maupun sekuler, keduanya memiliki visi yang sama, yakni meruntuhkan budaya patriarki yang sebab musababnya banyak berasal dari tafsir agama. Oleh karena itu, memperjuangkan hak-hak perempuan dalam negara yang menjunjung kode hukum yang melembagakan ketidaksetaraan gender hanya bisa berhasil dengan bantuan aktivisme akar rumput dan ketegasan perempuan dalam kehidupan publik mereka.

Feminisme Postmodern dan Kepemimpinan Feminis: Pesan dan Pelajaran di Balik Tren Marriage is Scary

Pernikahan, yang seharusnya menjadi momen bahagia bagi perempuan, kini sering dianggap sebagai “momok,” menumbuhkan skeptisisme di kalangan mereka. Sementara banyak yang mendambakan pernikahan sebagai simbol kebahagiaan, kenyataan menunjukkan ketakutan dan keraguan perempuan untuk berkomitmen. Hal ini melahirkan tren marriage is scary di media sosial, yang menyatakan bahwa pernikahan membawa lebih banyak masalah daripada manfaat.

Tren marriage is scary menjadi topik hangat, menentang anggapan bahwa pernikahan adalah ikatan kebahagiaan semata. Sebaliknya, pernikahan sering dinilai lebih penuh dengan masalah daripada keuntungan, hingga banyak netizen memperdebatkan pengaruh tren ini terhadap persepsi publik terhadap pernikahan. Munculnya tren ini bukan tanpa sebab; ia menandakan lebih dari sekadar fenomena sesaat.

Marriage is Scary: Lebih dari Sekadar Tren?

Psikolog Tabula Arnold Lukito menjelaskan bahwa marriage is scary mencerminkan perubahan nilai di masyarakat dan tidak selalu bernilai negatif. Fenomena ini menunjukkan kesadaran kalangan muda, khususnya perempuan, bahwa pernikahan bukanlah tolok ukur tunggal kebahagiaan.

Kasus opresi seperti femisida, KDRT, perceraian, dan berbagai bentuk ketidakadilan gender dalam kehidupan pasca-pernikahan menambah kecemasan perempuan akan pernikahan. Budaya patriarki yang menumbuhkan opresi turut memperkuat ketakutan ini, sehingga marriage is scary memiliki makna lebih dalam daripada sekadar tren. Premis dari tren ini adalah ketakutan akan konflik, perceraian, dan hambatan terhadap kebebasan perempuan dalam pernikahan.

Marriage is Scary dalam Pandangan Feminisme Postmodern

Fenomena marriage is scary sejalan dengan pandangan feminisme postmodern, yang berupaya membongkar “kebenaran” yang selama ini diyakini dalam masyarakat. Feminisme postmodern melihat kebenaran ini kerap terkait dengan nilai patriarki yang hierarkis dan memandang pernikahan tradisional sebagai narasi tunggal. Tren marriage is scary membuktikan bahwa pernikahan bisa menciptakan opresi, menandakan dominasi patriarki yang masih kuat.

Feminisme postmodern juga menolak hierarki dalam peran suami-istri. Struktur ini sering kali kaku dan menciptakan opresi. Bagi feminisme postmodern, kebahagiaan tidak harus diwujudkan dalam pernikahan, dan individu bebas memilih kebahagiaan tanpa tekanan sosial untuk menikah. Hal ini tercermin dalam penurunan angka pernikahan di Indonesia sebesar 28,63% dalam satu dekade terakhir.

Namun, pernikahan bukan sesuatu yang harus dihindari. Dengan prinsip kepemimpinan feminis, hubungan pernikahan yang setara tanpa bias gender dapat tercapai.

Kepemimpinan Feminis sebagai Antitesis dari Marriage is Scary

Meski marriage is scary mengkritik pernikahan sebagai institusi yang bias gender, hal ini tidak berlaku bagi pasangan yang menerapkan budaya feminis. Kepemimpinan feminis dapat diterapkan oleh perempuan maupun laki-laki, menekankan kebersamaan, transparansi, dan kepedulian.

Prinsip kepemimpinan feminis menolak pernikahan sebagai institusi tradisional yang kaku. Dalam keluarga, suami-istri duduk bersama untuk mengambil keputusan, mendukung karier satu sama lain, dan berbagi tanggung jawab dalam pengasuhan anak. Dengan mengadopsi kepemimpinan feminis, keluarga dapat menjadi ruang yang ramah gender dan harmonis, bertentangan dengan anggapan marriage is scary yang menyatakan bahwa keluarga adalah institusi penindasan.