Pos

Kerentanan Berlapis pada Perempuan Penyandang Disabilitas


Mendengar
kata disabilitas, umumnya yang terlintas di benak kita adalah orang dengan keterbatasan fisik maupun mental yang menghambat atau mengganggu mereka dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Dalam kondisi normal, perempuan sudah dianggap sebagai kelompok rentan yang harus mendapatkan perlindungan, terutama dalam isu kekerasan seksual. Lantas, bagaimana dengan perempuan penyandang disabilitas? Bukankah mereka menjadi kelompok rentan berlapis dalam isu kekerasan seksual? Bukankah seharusnya mereka mendapat perlindungan ekstra dari berbagai pihak seperti pemerintah, keluarga, lingkungan, lembaga atau organisasi perlindungan perempuan, dan sebagainya?

Perempuan dengan disabilitas memiliki kerentanan berlapis sebab mereka seringkali dianggap sebagai pihak yang lemah, tidak berdaya, bahkan cenderung tidak bisa melakukan perlawanan. Dalam sebuah studi ditemukan bahwa perempuan penyandang disabilitas 4 kali lebih mungkin mengalami kekerasan seksual dibandingkan perempuan non-disabilitas. Studi lain menemukan bahwa 11,1% perempuan disabilitas mengalami kekerasan seksual yang dilakukan bukan oleh pasangan hidup mereka (Ledingham et al., 2020 dalam Azhar et al., 2022).

Kekerasan Seksual pada Perempuan Penyandang Disabilitas

Mengacu pada data yang diperoleh dari pengaduan ke Komnas Perempuan dan Lembaga Pengada Layanan, terdapat 110 korban kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan penyandang disabilitas sepanjang tahun 2023. Korban kekerasan berbasis gender ini dominan dialami oleh perempuan penyandang disabilitas mental, yakni sebanyak 40 korban, diikuti oleh disabilitas sensorik, intelektual, dan fisik. Kekerasan berbasis gender sendiri mencakup kekerasan fisik, seksual, emosional, ekonomi, dan psikologis.


Gambar 2. Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan Berdasarkan Jenis Disabilitas Korban

Sumber: Data Komnas Perempuan dan Lembaga Layanan Tahun 2023

Beberapa faktor yang memengaruhi tingginya kasus kekerasan seksual pada perempuan dengan disabilitas, khususnya di tempat umum, di antaranya adalah keterbatasan fisik atau mental, stigma sosial terhadap penyandang disabilitas, keterbatasan akses informasi mengenai kesehatan reproduksi dan kekerasan berbasis gender, serta rendahnya pemahaman dan sensitivitas aparat penegak hukum (Komnas Perempuan, 2024).

Sama halnya dengan kasus-kasus kekerasan pada perempuan non-disabilitas, pelaku kekerasan seksual pada perempuan penyandang disabilitas umumnya adalah orang yang dikenal oleh korban, bahkan orang terdekatnya. Pelaku sering memanfaatkan keterbatasan korban dan kedudukannya yang lemah secara tidak manusiawi demi memenuhi hasrat seksualnya.

Tidak bisa dipungkiri, kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan penyandang disabilitas menimbulkan trauma mendalam yang dapat berlangsung seumur hidup. Hal ini seharusnya menjadi perhatian berbagai pihak, terutama aparat pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan pengatur regulasi, untuk melindungi perempuan penyandang disabilitas.

Dukungan dan Perlindungan untuk Perempuan Penyandang Disabilitas

Berdasarkan amanat UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, tercantum dengan jelas pada Pasal 5 Ayat 2 bahwa perempuan dengan disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis dan tindak kekerasan, termasuk eksploitasi seksual.

Sementara itu, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Hal tersebut ditujukan untuk mewujudkan keadilan bagi penyandang disabilitas dalam sistem peradilan di Indonesia. Pertanyaannya adalah, apakah hal ini sudah cukup untuk melindungi perempuan dengan disabilitas?

Melihat kenyataan di sekitar kita, perlindungan dan pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas masih belum optimal. Dukungan kepada penyandang disabilitas perlu dilakukan dari berbagai sisi: pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta keluarga atau orang terdekat. Sosialisasi tentang pentingnya mengenali bentuk kekerasan seksual di ranah publik dan menghilangkan stigma bahwa kekerasan seksual merupakan aib juga sangat diperlukan. Pasalnya, anggapan ini justru membuat pelaku kekerasan seksual semakin bebas melakukan perbuatannya.

Diperlukan dukungan penuh, seperti dukungan moral dari keluarga, akses layanan yang memadai, ketersediaan ruang pengaduan, dan hukuman tegas bagi pelaku untuk memberikan efek jera. Hukuman yang diberikan harus sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan sehingga tidak hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga mencegah kejadian serupa di masa mendatang.

Referensi

  1. Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023. Link
  2. UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
  3. Ledingham, E., Wright, G. W., & Mitra, M. (2022). Sexual violence against women with disabilities: experiences with force and lifetime risk. American Journal of Preventive Medicine, 62(6), 895–902.
  4. Azhar, J. K., Hidayat, E. N., & Raharjo, S. T. (2022). Kekerasan seksual: Perempuan disabilitas rentan menjadi korban. Share: Social Work Journal, 13(1), 82–91. https://doi.org/10.45814/share.v13i1.46543

Kasta Sosial Tersamar di Balik Kasus Pemerkosaan Sedarah di Purworejo


Menguatnya Praktik Patriarki

Seiring dengan berkembangnya pemahaman keagamaan dan pesatnya penggunaan media sosial di Indonesia, praktik patriarki kerap menguat. Ketika budaya ini dilakukan secara kolektif, seringkali praktik diskriminasi semakin meluas, hingga membenarkan pelanggaran etika, moral, bahkan kemanusiaan atas nama agama.

Fenomena ini terlihat dalam kasus memilukan pemerkosaan dengan 13 terduga pelaku terhadap kakak-beradik di Desa Banyu Urip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Kasus yang Menggemparkan

Kasus ini menggemparkan publik karena beberapa alasan. Pertama, jumlah terduga pelaku yang mencapai 13 orang. Kedua, para korban adalah kakak-beradik dengan inisial DSA (15 tahun) dan KSA (17 tahun).

Kasus ini dilaporkan ke Poltabes Purworejo sejak Juni 2024, tetapi proses hukumnya mandek. Peristiwa tersebut bahkan terjadi berulang kali sepanjang 2023, hingga setiap bulan. Tragisnya, ada terduga pelaku yang memperkosa kedua kakak-beradik ini.

Karena proses hukum tak kunjung berjalan, kedua korban beserta pendampingnya mendatangi Hotman 911. Kasus ini kemudian menjadi viral di media, hingga mendapat perhatian langsung dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi.

Lemahnya Posisi Korban

Kasus ini juga menyeret aparat desa setempat. Polisi telah memeriksa 20 saksi, termasuk aparat desa, yang diduga memfasilitasi mediasi antara korban dan pelaku. Tindakan tersebut mencerminkan sesat logika bahwa kejahatan sebesar pemerkosaan dapat diselesaikan secara damai.

Hal ini menunjukkan bagaimana perempuan, terutama anak di bawah umur, masih dianggap sebagai warga yang tidak layak mendapat perlindungan hukum. Alih-alih mendukung penegakan hukum, aparat desa justru diduga menutupi kasus ini demi menjaga “aib”.

Latar belakang korban memperparah situasi. Ayah mereka telah meninggal dunia, sementara ibu mereka adalah penyandang disabilitas mental. Dalam usia yang sangat muda, korban harus berjuang sendiri untuk mendapatkan keadilan, sementara pihak yang seharusnya melindungi mereka malah memperburuk keadaan.

Budaya Patriarki dan Relasi Kuasa Timpang

Mengapa kondisi seperti ini terus terjadi? Di beberapa wilayah Indonesia, perempuan dan anak-anak penyandang disabilitas masih dipandang sebelah mata. Faktor fisik dan jenis kelamin sering dijadikan alasan utama dalam menentukan hak dan kedudukan seseorang.

Ironisnya, pelanggaran moral, etika, dan kemanusiaan seperti ini dilakukan secara kolektif dengan memanfaatkan relasi kuasa yang timpang. Ruang sosial yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi tempat pelanggaran HAM. Anak perempuan dan penyandang disabilitas sering menjadi pihak yang paling rentan mengalami diskriminasi mengerikan.

Pentingnya Kampanye Kesetaraan dan Keadilan Gender

Kasus ini menjadi pengingat akan perlunya kampanye besar-besaran terkait kesetaraan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender, baik di desa maupun kota.

Sayangnya, kita masih sering menyepelekan isu ini. Bukti nyata terlihat dari perundungan, ejekan, hingga candaan bernada merendahkan terhadap penyandang disabilitas. Sikap ini membentuk budaya yang membenarkan perilaku buruk dan memberi angin segar bagi pelaku kejahatan.

Kepedulian terhadap perempuan dan penyandang disabilitas dapat dimulai secara virtual maupun langsung. Misalnya, dengan mendukung akun media sosial seperti @ruangsetara_id, @paradifaindonesia, dan @rumahkitab yang fokus pada isu ini. Untuk kesetaraan gender, ada @magdalene.id, @konde.co, dan @indonesiafeminis.

Peran Keluarga dan Komunitas

Praktik kepedulian harus dimulai dari keluarga dan komunitas terdekat. Orang tua perlu memberi contoh dengan memperlakukan semua orang secara adil, serta menegur anak yang mengejek penyandang disabilitas. Jika tetangga melakukan hal serupa, ingatkan mereka secara sopan.

Kasus Purworejo menunjukkan bahwa anak tanpa ayah membutuhkan perhatian lebih dari masyarakat sekitar. Tetangga dan kerabat seyogianya memberikan dukungan layaknya orang tua. Menghapus “kasta sosial tersamar” seperti ini membutuhkan kerja sama dan waktu. Namun, dengan saling mengingatkan, kita bisa menciptakan generasi yang lebih adil dan peduli terhadap sesama.