Gerak Bersama Jejaring Muslim Moderat
Oleh Kalis Mardiasih
Jakarta – Pada dialog lintas iman dan budayawan akhir tahun yang menghasilkan dokumen Risalah Jakarta, Ibu Lies Marcoes bercerita temuannya dalam sebuah penelitian. Guru di sebuah sekolah anak usia dini mengajari anak-anak lagu “balonku” yang telah diganti lirik. Lirik Balonku ada lima diganti dengan Tuhanku ada satu. Lalu, pada lirik Meletus balon hijau, diganti dengan Siapa yang bilang 3, Dorr!
Orangtua, utamanya ibu di rumah tak berani kritis kepada ajaran keagamaan yang bersifat eksklusif semacam itu karena ibu dianggap satu-satunya benteng penjaga moral keluarga. Jika anak menyimpang, niscaya ibu yang dianggap paling bertanggung jawab atas hal tersebut. Inilah latar belakang mengapa pola beragama yang eksklusif bahkan ekstrem kini efektif menyasar kaum ibu.
Di banyak Taman Pendidikan Al Qur’an, pada sore hari, anak-anak diajarkan untuk meneriakkan yel-yel, “Islam-Islam Yes! Kafir-Kafir No!” Dulu, yel tersebut hanya berbunyi “Islam-Islam Yes!” saja. Entah sejak kapan mendapat tambahan jargon penyambung yang menegasikan kelompok lain itu.
Tahun 2018 adalah tahun yang cukup menggembirakan. Dalam forum lokalatih atau dialog yang menghadirkan cendekiawan dan aktivis muslim moderat, saya seringkali tiba-tiba mengontak Savic Ali, Dedik Priyanto, dan Elik Ragil. Ketiganya adalah generasi muda muslim penyedia konten media Islam kreatif. Savic, Dedik, dan Elik lalu menyusul ke lokasi dialog di Jakarta, di Cirebon, dan di Yogya lengkap dengan alat-alat produksi konten yang diperlukan, mulai dari kamera, latar, sampai lighting.
Ketiga pemuda itu seringkali hanya menunggu di luar ruangan sambil mengobrol dan minum kopi. Di dalam ruangan, saya mulai meminta izin kepada para tokoh agar mereka berkenan berbagi ilmu dan pengalaman masing-masing dalam bentuk video pendek yang akan diproduksi sambil menjadwalkan nomor antrean. Di sela-sela waktu istirahat, para tokoh kemudian bergantian untuk proses pengambilan gambar dan video konten Islam damai.
Salah satu gerakan yang paling bergeliat adalah Gerakan Perempuan untuk Islam dan Keadilan Gender. Saya menyebut Kota Cirebon sebagai Kota “Feminis Muslim”. Di Institut Studi Islam Fahmina, ada tiga tokoh feminis muslim yang justru semuanya adalah laki-laki, yakni KH Husein Muhammad, Dr Faqihuddin Abdul Kodir, dan KH Marzuki Wahid. Dr Faqihuddin Abdul Kodir baru saja menerbitkan buku berjudul Qiraah Mubaadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam. Pemikiran ketiga tokoh ini kini telah menyebar ke hampir seluruh titik di Indonesia lewat sel-sel jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Sama seperti Savic, Dedik, dan Elik, di Cirebon ada Teh Nurul Bahrul Ulum. Ia adalah seorang ibu dan aktivis gerakan perempuan yang aktif memproduksi konten kreatif meski berbekal kamera seadanya. Konten diedit dengan aplikasi sederhana lewat ponsel. Tetapi, gagasan-gagasannya dapat menyebar lewat video pendek yang menantang tabu, seperti tafsir baru sunah monogami, isu kekerasan pada perempuan, dan darurat pernikahan anak. Teh Nurul juga rutin mengajak santri-santri binaan Kang Marzuki Wahid, suaminya, untuk mengaji dan berdiskusi dalam format yang konon pas untuk generasi kekinian. Saya beberapa kali bertugas memfasilitasi lokalatih bertemakan framing perempuan dalam media Islam.
Bersama jejaring feminis muslim dari Cirebon, saya belajar untuk melihat perempuan berdasarkan wujud dan realitas yang ia hadapi sebagai muslim di Indonesia. Syariat dan teks legal Islam hadir untuk memberikan tafsir keadilan dan solusi untuk kemanusiaan, bukan semata sebagai alat penghakiman dan penghukuman.
Beberapa hari lalu, kabar menyenangkan juga datang dari UIN Jakarta yang baru saja melantik Prof Amany Lubis sebagai rektor perempuan pertama. Sebagai institusi pendidikan yang membawa nama “Islam”, kabar baik ini adalah simbol bahwa Islam memang bukan institusi yang membatasi kiprah perempuan secara intelektual, spiritual, maupun relasi antar kemanusiaan.
Di ruang publik Twitter, akun ‘NU Garis Lucu’ dan ‘Muhammadiyah Garis Lucu’ bersahut-sahutan dalam dialektika yang segar. Konon, banyak orang mempertanyakan mengapa NU itu lucu, sedangkan Muhammadiyah tidak. Sering ada olok-olok, Muhammadiyah itu tak punya kiai, tapi hanya punya profesor. Rupanya, orang-orang Muhammadiyah merasa punya genetis kelucuan juga, salah satunya dari Pak AR Fachruddin. Sehingga terbitlah akun ‘Muhammadiyah Garis Lucu’ yang tetap saja mengaku bahwa kelucuan Muhammadiyah itu syar’i, sedangkan lucunya NU sudah hakiki.
Renungan dari Tretan Muslim, komedian yang pernah bikin heboh karena konten saus babi campur kurma itu sekali-sekali memang perlu dipikirkan, “Jika agamawan boleh lucu, mengapa komedian tak boleh relijius?”
Di kanal Youtube, Husen Ja’far yang sering dicandai karena status jomblonya semakin rajin membuat konten ceramah pribadi lewat channel ‘Jeda Nulis’. Ia telah mengunggah lebih dari 20 video dengan materi yang memadukan Islam dengan topik sejarah dan problematika umat saat ini. Fenomena Bib Husen ini bagi saya menarik. Ia mewakili wajah anak muda muslim yang merasa gerah dengan situasi keislaman yang semakin “kemrungsung” sehingga tak betah lagi untuk tidak ambil bagian. Sebagai pelajar studi keislaman, ia merasa harus ikut mengambil tanggung jawab untuk mendistribusikan pengetahuannya lewat medium yang mudah diakses banyak orang, yakni teknologi.
Tahun 2019 adalah tahun yang dianggap cukup menegangkan untuk Indonesia karena akan ada sebuah hajatan politik tertinggi pada April nanti. Tapi, kita semua telah berkomitmen untuk tidak tegang dan menyambutnya dengan bergandeng tangan dan tawa bersama. Semoga!
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4380633/gerak-bersama-jejaring-muslim-moderat
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!