Merebut Tafsir 4: ‘Iddah

SAHABAT saya dari Sisters in Islam, Askiah Adam mengirim sebuah ungkapan yang diambil dari One Fit Widow. Ungkapannya mengandung gumam gugatan. Dalam terjemahan bebas saya, ungkapan itu berbunyi “Hanya orang yang tak pernah kehilangan yang mengganggap perkabungan itu berbatas waktu.” Ungkapan itu begitu mengena bagi saya saat ini. Perkabungan “sangatlah individual laksana sidik jari”, bagaimana mungkin terkabungan sanggup diseragamkan. Tapi adat hukum memang menyeragamkan.

Saya teringat diskusi kecil dengan Kiyai Husein Muhammad, Ulil Abshar Abdalla, Nur Rofiah dan Faqihuddin Abdul Kodir di senja setelah penguburan suami saya, Ismed Natsir, Senin 9 Januari 2017. Sekuntum kemboja merah kesukaan Ismed, jatuh ke rumput di senja temaram itu. Faqih menemani saya di sudut taman melanjutkan diskusi berdasarkan pengalaman ibunya. Ibunya ber-‘iddah bukan hanya mengikuti aturan agama, tetapi juga demi menghormati tradisi di lingkungannya. Hal yang sama dilakukan Ibu Sinta Nuriyah setelah wafatnya Gus Dur.

Sebagai feminis Muslim tentu saja saya pernah mengkajinya, sangat serius. Di tahun 90-an kami membahasnya dalam konteks Fiqh al-Nisa`. Basisnya adalah soal kewajiban ‘iddah bagi perempuan yang ditinggal mati, selama 4 bulan 10 hari sebagaimana tercantum dalam QS. al-Baqarah: 234 atau “tiga kali masa suci/tiga bulan bagi yang dicerai,” [QS. al Baqarah: 228], tiga bulan bagi yang telah menopause atau yang tidak haid [QS. al-Thalaq: 4], atau sampai anaknya lahir bagi yang dicerai atau ditinggal mati dalam keadaan hamil [QS. al-Thalaq: 4]. Pengeculian berlaku bagi perempuan yang diceraikan sebelum dicampuri [QS. al-Ahzab: 49] kepadanya tak berlaku ‘iddah.

Tahun 2005 ketika menyusun manual Gender dan Islam dengan Fahmina Institute, soal ‘iddah menjadi salah satu referensi bacaan yang disajikan dalam buku itu. Kalangan aktivis yang bekerja untuk menyusun CLD KHI juga mengusulkan agar iddah berlaku bagi lelaki terutama dalam kasus cerai. Dan ini menjadi salah satu pangkal kontroversi, “lelaki kok dibatasi kan nggak punya rahim”.

Sebagai feminis, saya dan teman-teman mencoba mencari pemaknaan yang berbeda dari sekedar alasan biologis untuk menentukan status rahim atas berlakuknya iddah pada perempuan Sebab jika alasannya hanya itu, zaman sekarang teknologi kedokteran dalam bidang ginekologi niscaya sudah mengatasinya. Artinya jika alasannya sekedar menentukan status rahim, gugur sudah ‘illat (alasan) soal keberlakuan ayat itu.

Secara metodologis, tafsir feminis biasanya melihat konteks sosio historisnya. Dilihat dari konteks sejarahnya, tradisi perkabungan sudah ada dalam tradisi Arab pra-Islam. Ketika itu perempuan yang ditinggal mati akan segera dikeluarkan dari rumahnya ditempatkan di rumah duka dan melakukah ihdad (tidak membersihkan diri apalagi berdandan). Dikisahkan dalam al-Qur`an perempuan Jahiliyah yang selesai ber-ihdad dan ber-‘iddah akan disambar burung-burung pemakan bangkai saking baunya. Dan perempuan yang selesai berkabung tak punya hak apapun atas tempat tinggalnya. Jika masih ada keluarga mereka akan pulang ke keluarga besarnya di bawah proteksi kaum lelaki dalam klannya. (Itu pula yang menjadi dasar logika mengapa lelaki mendapat warisan 2x dibandingkan warisan bagi perempuan).

Bacaan feminis Muslim, melihat bahwa 4 bulan 10 hari yang ditetapkan dalam al-Qur`an, harusnya dimaknai sebagai upaya koreksi Islam/al-Qur`an terhadap tradisi perkabungan Jahiliyah. Namun dalam waktu yang bersamaan itu hendaknya dibaca sebagai perlindungan minimal secara sosio kultural dan ekonomi kepada perempuan yang ditinggal suaminya untuk tidak diusir dari rumahnya begitu suaminya wafat. Dengan cara itu mereka bisa melakukan penyiapan diri untuk melangsungkan kehidupannya di masa mendatang.

Faqih mengisahkan dari hadits tentang perempuan yang sedang menjalani masa iddah dan pergi ke ladangnya. Namun sejumlah warga mengusirnya. Lalu ia mengadu kepada Nabi Saw., dan beliau mengatakan perempuan yang sedang ‘iddah tidak dilarang untuk mencari nafkah.

Dalam tradisi Indonesia, tak sedikit perempuan yang tidak tahu menahu soal iddah, kecuali soal larangan menikah lagi dalam jangka waktu tertentu. Saya sendiri merasa, alangkah anehnya membatasi minimal perempuan untuk berkabung dengan kerangka melarang untuk ganti ke lain hati. Kecurigaan semacam itu niscaya menggunakan tolok ukur orang lain, untuk tak mengatakan ukuran lelaki. Sebab perkabungan pada perempuan, juga pada beberapa lelaki, bahkan terlalu pendek diukur dengan waktu tertentu.

Saya tak merasa punya kewajiban untuk menghormati tradisi sebab di tempat saya tinggal hampir tak ada yang mempersoalkan batas waktu perkabungan kematian. Juga tak dalam rangka untuk meminta perlindungan minimal karena saya tinggal di rumah sendiri bukan rumah warisan atau milik klan.

Namun saya memilih, sebuah pilihan aktif, untuk tetap melakukan “‘iddah” sosial dengan batas waktu selama 40 hari; sebuah batas kesanggupan dan tanggung jawab seorang ibu yang masih memiliki tanggungan anak yang sedang belajar dan membutuhkan dukungan. Sebuah batas untuk melakukan perenungan atas perjalanan perkawinan; bukan sebuah glorifikasi atas keagungan perkawinan karena setiap perkawinan niscaya ada suka dan duka, setiap hubungan pasangan dewasa niscaya ada pahit manis, menyebalkan dan menyenangkan. Namun hal yang ingin dikenang adalah bagaimana mempertahankan sebuah ikatan tanggung jawab; kepada diri sendiri, kepada anak-anak yang dilahirkan, dan kepada Tuhan yang mempertemukan dua manusia berbeda dalam ikatan perkawinan. ‘Iddah bagi saya adalah penghormatan kepada sebuah kesetiaan untuk mempertahankan sebuah ikatan yang layak untuk dismpan dalam ingatan. Jadi saya pamit beberapa waktu tak hadir di ruang publik secara fisik untuk melakukan–iddah atau dalam bahasa Ulil Abshar Abdalla “a spirituality sabbatical”[]

Rindu Gus Dur

GUS DUR adalah teks yang belum selesai. Sebagai sebuah teks, Gus Dur tak pernah tuntas dipahami, ditafsiri, digali, dan direkonstruksi kembali maknanya.

Al-Imam al-Allamah al-Ghazali dalam “Fayshal al-Tafriqah” dan “Qânûn al-Ta’wîl” menyebut bahwa teks memiliki banyak lapisan makna yang bersifat hirarkies. Seperti lapisan bawang, ketika membuka lapisan pertama, kita akan menemukan lapisan kedua, lapisan ketiga, dan seterusnya. Semakin dalam kita gali, semakin banyak dan semakin kaya makna itu.

Begitu juga ketika membaca Gus Dur, kita akan menemukan banyak makna dengan berbagai macam gradasi dan dimensinya. Terkadang makna-makna itu tak muncul sendiri, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri.

Gus Dur sudah meninggal, tapi tulisan dan tindakannya tetap hidup dan mengilhami jutaan pengikutnya, pengagum, simpatisan, dan murid-muridnya. Gus Dur juga dicerca, dihina, bahkan disalahpahami oleh orang-orang yang selama ini memusuhinya. (Gus Dur, menurut pengakuannya sendiri, tak punya musuh)

Saya berkenalan dengan Gus Dur lewat tulisan-tulisannya ketika saya masih di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. “Tuhan Tak Perlu Dibela” adalah buku pertama yang saya baca.

Terus terang, meski saya baca berulang kali, saya tak memahami maksudnya. Buku itu tetap gelap. Bagi seorang santri yang masih duduk di tingkat Ibtidaiyah, buku Gus Dur tergolong bacaan berat. Bahasanya tak begitu akrab. Apalagi “kitab putih” tak begitu populer dan tak banyak dibaca santri. Bahkan, waktu itu pondok melarang santrinya mengonsumsi bacaan selain “kitab kuning”

Saya membelinya karena tertarik judulnya: “Tuhan Tak Perlu Dibela”. Judulnya menantang ajaran dan doktrin yang selama ini diajarkan di pondok pesantren: Tuhan harus diagungkan, Tuhan harus ditinggikan, bahkan Tuhan harus diperjuangkan dan diperebutkan sekalipun dengan jalan peperangan: Jihad.

Gus Dur, dalam tulisannya itu, seolah membalik semuanya, meruntuhkan ajaran yang sudah sedemikian mapan dan established. Kesimpulan seperti itu muncul kalau kita hanya melihat dan membaca judulnya, tanpa memahami isi dan maksudnya (level makna pada tingkat berikutnya).

Seringkali orang menilai dan memahami Gus Dur dari “judulnya”: penggalan pernyataan-pernyataan yang tidak utuh. Selain mengganti “assalamu’alaikum” dengan “selamat pagi/sore/malam”, umat Muslim Indonesia pernah dihebohkan statemen Gus Dur “al-Qur`an kitab suci porno”.

Tentu saja, secara spontanitas, pernyataan tersebut mendapat reaksi sebagian umat Muslim. Gus Dur dituduh menghina Islam dan umat Muslim, menodai sakralitas al-Qur`an sebagai Kalamullah. Gara-gara pernyataan itu, Rizieq Shihab, pemimpin FPI, sampai menghina Gus Dur “buta mata buta hati” (disiarkan di tv secara live).

Sayangnya, kebanyakan tidak menyusuri terlebih dahulu asal-usul pernyataan tersebut. Meskipun Gus Dur sendiri pernah mengklarifikasi pernyataannya itu, media massa sudah kadung menggoreng pernyataan tersebut sebagai isu publik. Porno itu, kata Gus Dur, tak bisa didefinisikan secara baku. Konsep porno ada di kepala kita masing-masing. Bisa jadi, tegas Gus Dur, ayat tertentu di dalam al-Qur`an, semisal QS. al-Baqarah: 233, dipahami porno kalau tidak ada yang beres di otak kita.

Setelah Gus Dur, tampaknya belum ada pemimpin agama yang berani “pasang badan” dan tidak takut melawan arus kecenderungan cara berpikir umat (awam). Gus Dur membawa obor kebenaran di tengah-tengah kegelapan, tanpa sedikit pun takut dicaci, dimaki, dibenci, bahkan dimusuhi oleh mereka yang suka kegelapan. Mungkin inilah yang disebut-sebut QS. Yunus: 62, “Inna awliyâ` Allâhi la khawfun alayhim walâ hum yahzanûn,” (sesungguhnya wali-wali [kekasih] Allah tak pernah merasa takut dan bersedih)

Di saat fasisme-otoritarianisme Orde Baru menancapkan pengaruh dan kekuasaannya begitu kuat, Gus Dur melawan dengan menciptakan kekuatan civil society dan menghidupkan demokrasi.

Sebagai seorang kiyai sekaligus pemikir Islam, Gus Dur tak harus repot-repot mencari dalil, alasan, perbandingan, atau pun pembenaran dari agama, apakah “civil society” dan “demokrasi” tak bertentangan dengan Islam? Apakah perlu dicari asal-usulnya di awal generasi Islam ketika Nabi Saw. membentuk komunitas muslim? Gus Dur juga tak pernah bertanya atau menanyakan, makhluk jenis apakah “civil society” dan “demokrasi” itu? Ia berasal dari mana? Dan, adakah keduannya di dalam al-Qur`an, al-Hadis, atau lembaran-lembaran kitab kuning?

Gus Dur tak perlu dalil karena Gus Dur sendiri adalah dalil. Ketika Gus Dur membela Ahmadiyah, komunitas Tionghoa, atau bahkan Inul Daratista, Gus Dur hanya mengatakan bahwa hak-hak mereka dilindungi Undang-Undang. Gus Dur tak perlu berbusa-busa meminjam pluralisme agamanya Ibn Arabi atau Jalaluddin Rumi.

Bagi Gus Dur, inti dan tujuan agama hanyalah satu: kemanusiaan. Beragama adalah meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan. Juga mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Konsekuensinya, jika ada ajaran agama yang seolah bertentangan dan atau merendahkan nilai-nilai kemanusiaan, maka ajaran agama tersebut harus ditafsiri dan dimaknai ulang dan disesuaikan dengan tujuan, maksud, dan kebutuhan manusia.

Tuhan tidak butuh manusia dan agama bukan untuk Tuhan. Jika Tuhan berkehendak, Ia pasti akan menciptakan satu umat, satu agama, satu ras, satu etnis, satu bangsa dan satu negara. (QS. al-Nahl 93)

Dalam situasi karut marut seperti ini, kita tentu tidak mungkin berharap Gus Dur lahir kembali. Dalam kurun waktu tertentu setiap umat ada “Nabinya” sendiri. Mungkin, saat ini, bangsa kita sedang mengalami masa fathrah—sebuah situasi di mana orang kehilangan pegangan, panutan, tuntunan, bimbingan dan keteladanan seorang pemimpin. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.

Sumbangan IAIN/UIN Pada Kajian Gender di Indonesia

Dayana Parvanova, editor sekaligus peneliti pada Society for South-East Asian Studies (SEAS) Wina Austria baru-baru ini meluncurkan tulisan tentang gerakan kaum Muslim Feminis[1] di Indonesia.[2] Kajiannya bagus. Komprehensif dan tajam dalam menganalisis perkembangan feminis Muslim di Indonesia. Namun, saya melihat ada dua hal yang luput ia perdalam. Ini terkait dengan pertanyaan dasar mengapa aktivitas kaum femininis Muslim Indonesia bisa begitu menonjol. Dalam pandangan saya, kelemahan tulisan itu, pertama, tak cukup menjelaskan peran lembaga seperti IAIN yang memberi sumbangan berupa ketersediaan sumber daya dan kemampuan mengeksplorasi kajian-kajian keagamaan dan gender. Kedua, kurang mengelaborasi bagaimana terjadinya konvergensi antara kelompok feminis sekular dan feminis Islam di Indonesia. Padahal konvergensi itu merupakan persemaian subur yang memungkinkan benih-benih kajian gender dan Islam dapat tumbuh dan berkembang. Dan pada gilirannya itu menyumbang secara signifikan terhadap perkembangan kajian gender di Indonesia.

Parvanova mendasarkan kajiannya kepada sejumlah referensi utama dan penting dalam kajian studi feminis Islam di Indonesia.[3] Karenanya, kajian dia tergantung benar kepada ketersediaan sumber bacaan. Namun harus diakui referensi yang menjelaskan di titik mana peran lembaga pendidikan Islam di Indonesia memberi sumbangan pada gerakan feminisme di Indonesia masih kurang, apatah lagi dalam bahasa Inggris. Dalam tulisannya ia memang telah mengambil saya sebagai contoh.[4] Dan telah pula mengulas sepintas tentang latar belakang pendidikan saya di IAIN/UIN. Tulisan itu ia peroleh dari Jurnal Inside Indonesia.[5]

Tulisan ini dimaksudkan mengisi bagian yang kosong dari tulisan Dayana Parvanova dimaksud. Bahan tulisan ini saya elaborasi dari pengalaman pribadi dan dari hasil wawancara kandidat doktor dari Universitas Wisconsin, Madison Shahirah Mahmood[6] dengan saya.

Sejalan dengan watak epistimologinya, perkembangan feminisme di Indonesia harus dibaca dalam konteks sosial politik. Dan pada era Orde Baru, kajian harus ditempatkan pada politik Orde Baru yang represif dan mengontrol warga. Pada era tahun 80, Soeharto sangat kukuh menerapkan ideologi “state ibuism” dalam mengatur bagaimana seharusnya perempuan dicitrakan dan sekaligus bertingkah laku.[7] Ibu dalam arti istri di rumah atau istri pejabat negara, dalam ideologi politik Orde Baru menjadi prototipe yang ideal sebagai penunjang peran suami. Peran utama perempuan adalah ibu rumah tangga. Peran perempuan di masyarakat adalah perpanjangan dari perannya di rumah tangga. Karenanya jenis-jenis aktivitasnya haruslah sejalan dengan citra dimaksud yang tentu saja harus a politis. Bangunan ideologi istri dalam politik Orde Baru pada dasarnya mengadopsi konsep isteri dalam kebudayaan Jawa dan istri prajurit dalam tradisi militer. Sebagai pendamping suami istri tak hanya aktif di rumah tetapi juga di ruang publik melalui aktivitas PKK atau organisasi istri pegawai (Dharma Wanita).[8] Keduanya merupakan wadah pengabdian bagi istri untuk menunjuang karier suami. Di dalamnya tentu ada kegiatan untuk membantu pemerintah dalam menggerakkan kaum perempuan secara pro bono. Mereka melaksanakan dan menyukseskan program-program pembangunan, antara lain melalui partisipasi dalam penurunan angka kelahiran (KB) dan perbaikan kesehatan anak.

Pada waktu yang bersamaan politik yang mengatur hubungan negara, partai dan civil society tak berjalan mulus untuk tidak dikatakan tegang. Negara berusaha menerapkan kontrol melalui politik Asas Tunggal Pancasila. Negara menjadi pihak yang paling berhak untuk menafsirkan peran negara diperhadapkan dengan elemen lainnya. Termasuk didalamnya kontrol atas keluarga. Diskursus keluarga dikuasai sepenuhnya oleh tafsir tunggal negara. Keluarga yang baik adalah, suami bekerja, istri rumah tangga menunjang karier suami, anak dua. Negara juga mengontrol gerak civil society dan partai politik.

Untungnya, negara tidak cukup punya keberanian untuk menggangu organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, meski hubungan negara dengan keduanya tak terlalu manis. Sebagai perbandingan, kontrol dan intervensi negara terhadap keduanya tak seintensif kepada partai-partai Islam (seperti PPP). Namun, tentu saja NU dan Muhammadiyah menjadi kaki tangan negara dalam mengejawantahkan program pembangunan bagi perempuan seperti dalam isu KB.

Di bandingkan dengan Muhammadiyah, agaknya NU mendapatkan “keuntungan” karena dua hal: Pertama, NU punya basis pesanteran. Di dalam pesanteran, pandangan-pandangan keagamaan sangat plural karena pendekatannya berbasis fikih yang bersumber dari Kitab Kuning yang ragam. Ketika negara memaksakan kehendaknya dalam mendefinisikan diskursus keluarga, NU, dengan bantuan pijakan pada tradisi fikih yang plural tadi dapat segera beradaptasi. Sementara Muhammadiyah yang cenderung menggunakan pendekatan legalistik berbasis keputusan tarjih, mengalami kesulitan dalam mengadopsi kehendak negara itu hingga akhirnya melahirkan diskursus alternatif yang mereka sebut “Konsep Keluarga Sakinah”. Di dalam konsep itu, gagasan tentang pembatasan anak melalui KB ditafsirkan secara berbeda namun halus. Pembatasan kelahiran, tidak boleh didasarkan pada kekhawatiran dan kesangsian kepada Allah yang mengatur rezeki manusia.[9]

Keuntungan kedua, NU punya Gus Dur. Dalam perannya sebagai tokoh civil society Gus Dur memberi ruang kepada anak-anak muda di lingkungan NU untuk melakukan ekperimentasi teologis yang memungkinkan mereka secara bebas melakukan olah gagasan dalam memikirikan tentang masyarakat, termasuk keluarga. Dalam berhadapan dengan pihak penguasa Gus Dur menjadi tameng atas aktivitas intelektual itu. Meskipun Gus Gur sebagai pimpinan NU juga tak diterima penuh oleh Soeharto, namun negara tak ambil pusing pada olah gagasan yang marak dilakukan oleh LSM-LSM di lingkungan MU. Harap dicatat pada saat itu rezim “Preman Berjubah” memang masih mati suri. Gus Dur telah memungkinkan negara tak mewaspadai bahwa kajian-kajian keagamaan itu tak membahayakan negara. Dalam perlindungan Gus Dur, kalangan LSM di lingkungan NU secara bebas melakukan eksperimentasi pemikiran di bidang fikih untuk menjawab persoalan-persoalan masyarakat. Termasuk di dalamnya untuk isu gender dan pemberdayaan perempuan. Gus Dur bakan aktif terlibat dalam berbagai bahsul masail dan menjadi salah satu board di LSM PKBI.

Keberhasilan gerakan perempuan di Indonesia di sumbang oleh situasi itu. Mereka mendapat manfaat dari perkembangan pemikiran di lingkungan ormas keagamaan atau LSM berbasis pesantren. Dan dipastikan bahwa sebagian besar pemikir di lingkungan itu adalah lulusan IAIN utamanya Jakarta dan Yogyakarta.

Tak dapat dipungkiri, gerakan feminis di Indonesia dikembangkan oleh para aktivis yang datang dari keluarga elit dengan latar belakang pendidikan di universitas umum yang umumnya sekuler. Artikulasi mereka dalam mengembangkan wawasan dan pemahaman mengenai diskriminasi gender dan salah satu akarnya adalah tafsir misoginis sangat terbantu oleh kajian-kajian terkait dengan tafsir misoginis itu yang dilakukan oleh para aktivis berlatar belakang IAIN. Demikian sebaliknya kemampuan para aktivis berlatar belakang pendidikan IAIN dalam memahami teori teori sosial yang berperspektif feminis sangat terbantu setelah mereka bergaul dengan aktivis feminis sekuler itu.

Namun satu hal yang mempertemukan dua kelompok feminis ini adalah karena ada “musuh bersama” yaitu politik Orde Baru dengan ideologi state ibuism itu. Dosa Orde Baru di mata para aktivis feminis itu bukan saja militeristik tetapi juga karena pemaksaan dalam mengusung ideologi “developmentalisme” itu. Padahal developmentalisme terbukti telah menyingkirkan perempuan dari produksi pertanian dan industri. Negara melalui ideologi state ibuism sangat mensubordinasikan kaum perempuan. Atas dasar itu Orde Baru menjadi musuh bersama. Dan karena ada musuh bersama, feminis sekular dan dan feminis Muslim di Indonesia bisa saling mendukung. Padahal karakteristik feminis Islam yang bernaung di organisasi-organisasi perempuan dan feminis sekular lain sekali.

Organisasi perempuan Islam pada saat itu pada dasarnya juga terkooptasi oleh negara karena organisasi induknya tak sanggup melawan. Untuk bertahan hidup, mereka cenderung mengamini berbagai diskursus dan definisi yang dirumuskan negara tentang peran perempuan. Bahkan dalam beberapa hal sebenarnya juga cocok dengan watak organisasi mereka di mana kelompok perempuan ditempatkan sebagai women’s wing of male organization. Sementara feminis sekular seperti Kalyanamitra di Jakarta atau Yasanti telah sangat kritis kepada negara dalam mendefinisikan tentang peran perempuan. Mereka menolak perempuan yang ditempatkan sebagai subordinat lelaki.

Untuk memahami bagaimana diskriminasi atau ketidaksetaraan bekerja sebagai suatu sistem pembagian kerja di dalam masyarakat, dibutuhkan sebuah alat analisis yang disebut alat analisis gender. Para aktivis perempuan Muslim di Yogyarakta yang sebagiannya adalah dosen muda di IAIN mulai membicarakan ideologi feminisme yang di dalamnya menggunakan gender sebagai tool untuk melihat pembagian kerja, akses dan kontrol antara lelaki dan perempuan terhadap sumber daya.

Dengan belakang konteksnya, Yasanti sebetulnya sedikit berbeda dengan Kalyanamitra. Yasanti mulai dengan penelitian tentang buruh gendong mbok-mbok bakul yang menghitung beban kerja perempuan perantau sirkuler itu. Itu adalah suatu penelitian yang sangat grounded, suatu dunia yang benar-benar mereka kenali. Sementara itu latar bekalang sebagian pengurusnya juga dekat dengan organisasi perempuan Islam seperti Aisyiyah. Kalyanamitra, sebaliknya, sama sekali tak punya hubungan kultural dengan organisasi Islam apapun. Dalam mengekspresikan kepemikahannya kepada perempuan mereka juga mulai dengan memberi perhatian pada pengorganisasian buruh perempuan di pubrik. Perkenalan mereka dengan buruh tentu tak dapat dipisahkan dari peran para aktivis lelaki yang telah lebih dulu bekerja untuk isu HAM seperti Fauzi Abdullah dan beberapa kawannya dari Fakultas Sastra dan Antropologi UI. Mereka adalah para sarabat Ratna Saptari, salah satu pendiri Kalyanamitra.

Namun pada dasarnya mereka datang dari keluarga elit terdidik, dan sama sekali tak mengenal islamic studies. Perhatian pada isu buruh boleh jadi merupakan romantisme gerakan. Dalam berelasi mereka menjadi semacam patron of class-based issues. Lama kelamaan agaknya bagi Kalyanamitra bekerja dengan buruh dianggap tidak strategis. Lalu mereka pun mulai mengambil peran yang paling pas dan cocok dengan dunia mereka sebagai akademisi. Mereka menyediakan referensi untuk studi gender dan feminisme. Referensi itu pula yang banyak dibaca oleh aktivis perempuan Muslim terdidik lulusan IAIN. Pada saat itu, Kalyanamitra memiliki perpustakaan yang sangat lengkap untuk kajian gender dan feminisme.

Harus diakui, pada mulanya hubungan “persahabatan” antara aktivis perempuan Islam dan perempuan sekular tidak mudah. Kelompok aktivis feminis sekular, dalam pandangan sepihak aktivis perempuan Muslim, tak menghargai mereka, atau menganggap mereka rendah. Sebaliknya dari kalangan aktivis perempuan Islam, terutama yang berbasis ormas, muncul kecurigaan pada agenda-agenda politik kaum feminis yang disalah artikan sebagai gerakan anti keluarga.

Satu hal yang membuat kalangan aktivis feminis harus mengakui kehadiran kalangan feminis Islam adalah karena referensi yang mereka miliki tak sanggup menjawab problem-problem teoretis terkait dengan isu gender yang pada kenyataannya berbenturan dengan ranah agama. Katakan soal hukum waris, atau saksi atau kepemimpinan yang dalam kajian feminisme juga menjadi area of concerned.

Misalnya, gender didefinisikan sebagai konstruksi sosial, pertanyaannya bagaiman jika konstruksi tentang pembagian peran secara gender itu ternyata merupakan ajaran dan ketentuan di dalam keyakinan Islam (fikih)? Peran sebagai istri adalas sebuah kontsruksi sosial, tapi bagaimana berhadapan dengan keyakinan bahwa itu kodrat, ketentuan mutlak dalam ajaran agama? Begitu juga ketika bicara soal kepemimpinan, pandangan itu bisa bertabrakan dengan keyakinan bahwa lelaki dalah pemimpin. Belum lagi soal warisan dan poligami. Kajian yang didasakan pada studi sosial politik antropologis membuktikan praktek itu kerap memunculkan ketidakadilan bagi perempuan. Tapi ranah agama mengaggap itu telah selesai, dianggap sebagai sesuatu yang mutlak dan tak dapat diganggu gugat. Di titik ini kalangan feminsi sekular bungkam.

Adalah Wardah Hafidz yang pertama mencari solusi untuk persoalan itu. Meskipun ia adalah alumni Sastra Inggris IKIP Malang, latar belakangnya adalah pesantren. Ia melihat persoalan di mana kalangan feminis sekular gagap dalam menjawabnya. Sebaliknya kalangan feminis Muslim tidak mempunyai reference. Wardah menurunkan tulisan yang sangat penting terkait kajian femisnme dan Islam dalam jurnal Ulumul Quran, sebuah jurnal kajian Islam yang cukup sophisticated pada masa itu.[10] Dan tak hanya sampai di sana, ia juga mengusahakan agar Rif’at Hassan serta beberapa scholar dari dunia Islam lainnya seperti Asghar Ali Engineer bisa datang ke Indonesia. Bukunya diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia.[11]

Sebelum itu, beberapa tulisan panjang yang menjelaskan secara antropologis tentang gerakan perempuan Islam di Indonesia mulai muncul di dunia internasional. Salah satunya misalnya tentang mubalighat sebagai mediator dalam menyaring dan menterjemahkan nilai-nilai tentang peranan perempuan. Tulisan itu saya ramu dari hasil penelitian tentang Islam di Indonesia yang diselenggarakan LIPI.[12]

Sebuah seminar nasional yang dihadiri ratusan aktivsi perempuan Islam dan sekuler pertama kali diselenggarakan di Jakarta atas prakarsa Prof. Jacob Vredernerg perwakilan Universitas Leiden di Indonesia melalui lembaga INIS.[13] Seminar dengan tajuk Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual menghadirkan sejumlah pemikir Muslim dan sekuler, lelaki dan perempuan. Antara lain Prof. Quraish Shihab yang mengupas soal perempuan dalm Islam dengan pendekatan tafsir. Sementara Prof. Martin van Bruinessen dan tokoh pesantren Masdar F. Mas’udi membedah isu perempuan dalam Kitab Kuning.

Seminar ini penting bukan saja sebagai memula dari kajian serupa itu, tetapi secara langsung mempertemukan antara feminsis sayap sekuler dan aktivis perempuan Islam. Di dalam ruangan itu ketegangan dan kecurigaan sangat terasa. Namun hal yang penting dari seminar itu adalah bahwa kajian-kajian tentang perempuan yang “menabrakkan” antara teks dan realitas mulai dimunculkan.

Metodologi hermeunetika yang digunakan Rif’at Hassan dalam menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur`an terkait isu perempuan berpengaruh besar pada dunia penelitian teks di IAIN. Salah satunya adalah Prof. Dr. Nasaruddin Umar yang kemudian menggunakannya untuk distertasinya tentang perempuan dalam al-Qur`an.[14]

Sumbangan metodologi ini juga mengilhami para aktivis di lingkungan NU dengan latar belakang IAIN untuk melakukan kajian yang lebih serius untuk tema-tema tertentu.

Tahun 1995 menjelang konferensi Beijing, P3M, LSM berbasis pesantren mengembangkan sebuah program yang luas sekali pengaruhnya pada perkembangan studi gender di lingkungan IAIN. Adalah Rosalia Sciortino, Program Officer Ford Foundation Indonesia, yang berhasil “menemukan” khasanah ini. Isu kesehatan reproduski yang dikembangkan oleh P3M sangat kontekstual karena isu itu masih menjadi persoalan besar bagi Indonesia. Gender secara paradigma tak dibiarkan muncul sebagai isu melainkan hanya alat untuk memahami isu kesehatan reproduksi yang berakibat buruk kepada perempuan.

Melalui P3M inilah isu-isu kesetaraan gender dikembangkan, dan penerima informasi dari P3M itu umumnya adalah kalangan pesantren yang sebagiannya adalah alumni IAIN. Sejumlah lembaga mendapatkan manfaat seperti Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) yang dipimpin oleh aktivis seperti Masrukhah. Demikian juga organisasi seperti Fatayat pada umumnya di mana Maria Ulfah, Musdah Mulia, Neng Dara yang kesemuanya berlatar belakang pendidikan Islam mendapatkan manfaat.

Perkembangan pemikiran dalam isu gender di kalangan IAIN ini tentu saja tak dapat dipisahkan dari kebebasan berpikir yang telah lebih dulu disemaikan oleh Prof. Harun Nasution, rektor IAIN Jakarta pada periode itu. Kurikulum yang dikembangkan telah mengenalkan mahasiswa IAIN pada pemikiran-pemikian yang terbuka dan dikembangkan melalui pendekatan pendidikan model seminar. Kami diperkenalkan kepada perbandingan mazhab, kepada filsafat, dan Islam dilihat dalam konteks historis; bukan Islam yang melulu di teks tetapi living Islam. Di sisi ini sebetulnya hubungan antara feminis sekular dan feminis Muslim tak berjarak. Kami sama-sama dari dunia akademik, dan kami sama-sama mengunyah teori dan referensi.

Di IAIN Jakarta dan Yogyakarta, untuk menyebut dua IAIN yang paling menonjol lahir jurnal dan buku kajian yang terkait dengan isu gender. PPIM misalnya, sebuah lembaga di dalam sivitas akademika IAIN/UIN Jakarta menerbitkan sejumlah buku referensi penting tentang gerakan perempuan Islam di Indonesia.[15] Sementara di IAIN/UIN Yogyakarta lahir jurnal kajian Islam dan gender Musawa dan beberapa hasil kajian tentang tafsir yang berperspektif gender.

Di dunia gerakan, alumni IAIN bekerja untuk tema-tema yang lebih khusus. Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid adalah satu di antaranya yang mengembangkan WCC Puan Amal Hayati. Tak hanya itu, bersama grupnya ia memimpin anotasi kritis atas kitab “‘Uqud al-Lujayn” karya Imam Nawani al-Bantani.[16] Kitab itu saat ini tak asing lagi bagi para aktivis feminis sekular.

Penutup

Kajian Parvanova sangat penting dalam memetakan gerakan feminis yang lahir dari perkawinan antara dunia pemikiran/akademik Islam Indonesia dan dunia gerakan. Namun ia luput dalam melihat bahwa itu dimungkinkan karena adanya konvergensi pemikiran dan gerakan antara gerakan feminis sekuler dan feminis Muslim. Gerakan feminis Muslim mendapat sumbangan yang sangat penting dari tradisi pemikiran kritis yang lahir dari dunia akademik di IAIN/UIN.

_____________________________________

[1] Feminis menunjuk kepada seseorang yang menganut ideologi feminsime. Feminisme adalah ideologi yang menganalisis mengapa terjadi sexisme, diskriminasi berbasis gender di dalam mamsyarakat, dan bagaimana mengatasinya. Berbeda dengan isme yang lain, pada feminisme, setiap analisis senantiasa berdialektika dengan jalan keluar yang ditawarkannya. Feminis Muslim lahir sebagai wujud dari cara kerja feminis yang senantiasa kontekstual. Pada feminis Muslim, teks keagamaan menjadi sumber refenesi baik dalam menganalisis mengapa hal itu terjadi maupun mencari solusi dengan menawarkan tafsir baru.

[2] Dayana Parvanova, Islamic Feminist Activism in Indonesia: Muslim Women’s Paths to Empowerment. (http://www.univie.ac.at/alumni.ksa/images/text-documents/ASSA/ASSA-SN-2012-01-Art2-Parvanova.pdf www.univie.ac.at

[3] Ada sejumlah referensi yang ia jadikan dasar kajiannya. Dua yang terpenting di antaranya adalah: Doorn-Harder, Pieternella van, Women shaping Islam: Reading the Qur’an in Indonesia, Urbana. 2006. dan Blackburn, Susan, Indonesian Women and Political Islam. In: Journal of Southeast Asian Studies, 39 (1). Pp. 83-105. 2008

[4] Secara ekslpisit dia menyebut saya sebagai salah satu pionir. Lihat: 2.1. Pioneers and Leaders: The Example of Lies Marcoes-Natsir, p 9.

[5] Harvey, Clare. 2011. Living Islam>. In: Inside Indonesia 103, http://www.insideindonesia.org/edition-103/living-islam-09011391. Zugriff: 20.06.2011

[6] Terima kasih kepada Shahirah Mahmood yang telah membagi transkripsi hasil wawancara dengan saya. Itu sangat membantu saya dalam menyusun tulisan ini.

[7] Julia I. Suryakusuma, State Ibuism: The Social Construction of Womenhood in New Order, Indonesia, Komunitas Bambu, 2011.

[8] Julia I. Suryakusuma, “Seksualitas dan Pengaturan Negara”, Prisma, Juli 1991.
Lies Marcoes, “Bekerja dan Beramal di Aisyiyah,” lihat: “Perempuan Indonesia Dulu dan Kini”, Mayling Oey at.al., Gramedia, 1996.

[9] Jurnal Ulumul Qur’an, diterbitkan oleh LSAF pimpinan Amin Aziz dan kemudian Dawam Raharjo. Nomor tentang gerakan perempuan Wardah Hafidz menulis yang membellakan mata banyak aktivis perempuan Islam atas keberaniannya melakukan kajian hadits yang dianggap mysoginis (membenci perempuan. Artikelnya berjudul “Mysiginy dalam Fundamentalisme Islam”. Dalam jurnal yang sama, Wardah juga menurunkan artikel “Feminisme dalam al-Qur’an; Sebuah Percakapan dengan Rif’at Hassan. Lihat Ulumul Quran no 3 Vol V, 1993.

[11] Misalnya buku Rifat Hassan “Equal befor Allah” diterjemahkan dan diterbitkan oleh LSPPA dengan judul “Setara Di Hadapan Allah“. Di dalam lembaga itu terdapat sejumlah aktivis perempuan berbasis pendidikan pesantren dan IAIN seperti Farkha Cicik.

[12] Lies Marcoes “Muballigat as mediator in religion” dalam buku Sita van Bemmellen at.al., Women and mediation in Indonesia, KITLV, 1992.

[13] Seminar “Wanita Indonesia dalam Kajian Islam secara Tekstual dan Kontekstual” diselenggarakan oleh Pusak Kajian wanita IAIN Jakarta dalam kerjasama dengan INIS. Saya da Dr Johan Meuleman adalah panitia pelaksana yang menentukan arah pembahasan dan para pembicara serta peserta seminar. Hasil seminar itu dibukukan dalam serial terbitan INIS dan mengalami cetak ulang berkali-kali. Lihat Lies Marcoes-Natsir, Johan Hendrik Meuleman, “Wanita Islam Indonesia dalam Kajian tekstual dan Kontekstual, Seri ke 18, INIS, 1991.

[14] Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an (disertasi)

[15] Jajat Burhanuddin, Oman Faturrahman (eds), Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, Gramedia, 2004.

[16] Sinta Nuriyah, Kembang Setaman, Penerbit Kompas, 2004.

Merebut Tafsir 3: Laku Pepe dan Istighatsah

BAGI yang pernah belajar sejarah kekuasaan raja-raja Jawa dan hubungannya dengan rakyat, niscaya pernah membaca sebuah laku Jawa mengekspresikan rasa ketidakadilannya dan memohonkan perlakukan adil dengan “laku pepe”, berjemur di alun-alur menghadap ke keraton. Ia atau mereka tak akan berhenti berjemur berhari—hari sampai raja “nimbali” memanggil dan mendengarkan aduannya. Jika raja tak nimbali mereka akan wirang atau malu dan lari menghindari kampung menjalani laku tirakat atau menghimpun kekuatan untuk melakukan pemberontakan. Di mana Orde Baru, lebih dari 30 tahu budaya untuk mengadukan persoalan yang dirasakan rakyat, dibumpat, dan dialihkan melalui mekanisme “perwakilan” yang kita tahu semua, hanya menjadi pelengkap sebuah proses demokrasi semu.

Reformasi memberi harapan. Saluran-saluran demokrasi dibuka terutama melalui media yang lebih bebas. Tapi saluran demokrasi bagi rakyat tak benar-benar terbuka meski partai telah lebih bebas. Kekuasaan lain, yang tak dihitung di masa perumusan trias politika—yaitu kepentingan pemodal—dicurigai jadi penentu kebijakan yang paling nyata meski wujudnya kerap serupa siluman. Demit dan siluman ini menjadi dahsyat tatkala negara tunduk kepada mereka karena hanya dengan cara itu “pembangunan” bisa berjalan. Namun cara-cara ini menggangu proses-proses demokrasi karena memunculkan gossip was wis wus yang menggelembung ke segala arah termasuk ke isu pemodal-pemodal “asing dan aseng” dan tentu saja dengan mudah memicu kecurigaan di benak rakyat dan umat.

Saluran berdemokrasi di luar parlemen, sayangnya belum benar-benar tumbuh, kecuali dalam ruang yang kecil dan sangat teknokratik seperti Musrenbang dan sejenisnya yang juga memakai sistem perwakilan. Lalu suara umat sebagai bagian dari rakyat yang kecewa, sakit hati, bertanya-tanya, tersinggung, marah disalurkan melalui apa? Belasan tahun dari reformasi aspek ini belum digarap secara sungguh-sungguh baik oleh partai yang mestinya punya kaki dan telinga di bawah atau oleh negara yang punya tali sampai ke desa.

Umat Muslim kelihatannya, hanya mengenal istighatsah, yang semula—seperti pepe—dijadikan sebagai sarana menyalurkan permohonan yang amat-sangat. Menjelang reformasi, istighatsah kemudian di bawa oleh budaya NU ke ruang publik sebagai cara untuk memohon kekuatan Tuhan ketika umat merasa tak memiliki kekuatan berhadapan dengan tirani, dan mengadu dengan cara lain dalam berdemokrasi tersumbat. Mereka tak mengenal tata cara berdemokrasi yang lain kecuali melakukan laku pepe yang dalam bentuk berbeda dan diakrabi oleh umat Muslim adalah istighatsah.

Malangnya istighatsah juga merupakan kendaraan bebas yang bisa digunakan oleh siapa saja untuk kepentingan apa saja. Sudah saatnya kita melihat saluran-saluran demokrasi yang lebih inovatif, lebih dari mempertontonkan kekuatan primordial berwajah SARA. Kita harus mencari saluran berdemokrasi yang bisa dimaknai sebagai jalan yang biasa dilalui dalam berdemokrasi. Kita bisa mengambil inspirasi dari Laku Pepe seperti yang dilakukan ibu-ibu Kendeng, Kamisan Ibu Maria Sumarsih, atau sejenisnya. Sepertinya kita perlu tafsir baru dalam cara berdemokrasi.[]

Gus Dur dan Gerakan Civil Society

CIVIL society Abdurrahman Wahid atau Gus Dur lahir ketika menghadapi otoritarianisme Orde Baru. Orde Baru begitu kuat mencengkeramkan kuku-kuku kekuasaannya sehingga rakyat hampir tak punya kontrol dan daya tawar terhadap negara (pemerintah). Rakyat di bawah kontrol dan pengawasan negara. Relasi keduanya begitu timpang. Ketidakseimbangan itu menyebabkan dominasi negara begitu kuat. Gerakan civil society hendak merubah situasi tersebut. hubungan keduanya (negara/masyarakat) harus seimbang. Masyarakat harus bisa melakukan check dan balance terhadap seluruh kebijakan negara.

Pemerintahan Orde Baru lebih lebih mencerminkan pemerintahan militeristik. Seringkali atas nama stabilitas negara dan pembangunan, aspirasi masyarakat diberangus habis. Di masa Orde Baru hampir semua elemen civil society, seperti LSM, Ormas, Lembaga Pers, Partai Politik—semuanya lumpuh dipasung negara.

Bagaimana sebetulnya hubungan atau relasi masyarakat dan negara sepanjang pemerintahan Orba hingga saat ini? Nur Syam dalam makalahnya “Gus Dur dan Gerakan Civil Society” membagi tiga tipologi atau pemetaan berdasarkan kurun waktu tertentu.

Pertama, relasi yang sangat tidak seimbang. Ini terjadi pada kurun waktu 1970an-1980an. Waktu itu negara begitu powerfull. Negara memegang kendali atas segalanya. Setidaknya, menurut Nur Syam, ini ditandai tiga hal: (1). Fusi Partai politik. Era multi partai pada masa Orde Lama diakhiri dengan menggabungkan (fusi) menjadi tiga partai saja: Golkar, PPP, dan PDI. Tiga partai ini merupakan fusi dari 10 partai. Melalui penggabungan ini, pemerintah hendak menjadikan Golkar sebagai single majority. Sedangkan dua parpol lainnya hanyalah partner, bukan kontestan politik; (2). Proses negaranisasi secara sistemik, yaitu semua kekuatan masyarakat yang direpresentasikan di dalam institusi sosial kemasyarakatan dan keagamaan disedot ke dalam kekuatan negara melalui partai politik pemerintah. Di era ini di desa-desa mobilisasi kiyai-kiyai, tokoh masyarakat, pegawai pemerintah untuk masuk Golkar begitu gencar dilakukan, bahkan melalui pemaksaan dan kekerasan; (3). Penguatan positioning pemerintah melalui asas tunggal bagi semua elemen organisasi sosial kemasyarakatan, politik dan keagamaan. Tekanan pemerintah begitu kuat sampai-sampai di tahun-tahun ini NU harus menerima asas tunggal Pancasila.

Kedua, era tidak seimbang, yaitu pertengahan 1980-an sampai pertengahan 1990-an. Di era ini sudah muncul kesadaran perlunya keseimbangan antara kekuatan negara dan kekuatan masyarakat. Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) dan dikalangan anak muda muncul Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pada kurun ini ditandai maraknya kekerasan politik oleh negara.

Ketiga, era cukup seimbang, yaitu pada pertengahan 1990-an sampai 2000-an. Era ini ditandai semakin kuatnya civil society melalui gerakan reformasi 1998. Di pemilu 1999 ela murti partai muncul kembali. Rakyat berani menyampaikan aspirasinya lewat demonstrasi, kebebasan pers terbuka lebar, banyak bermunculan LSM-LSM baru, dll.

Keempat, era keseimbangan. Ini dimulai pada 2000-an hingga sekarang. Di era ini kedudukan rakyat sama kuatnya dengan negara. Ada check and balance rakyat terhadap pemerintah, sehingga negara tak bisa berbuat swenang-wenang dan seenak sendiri karena berada di bawah kontrol rakyat. Sesuatu yang tidak terjadi pada era Orde Baru terjadi pada era sekarang.

Munculnya kekuatan civil society ini tak lepas dari jasa Gus Dur. Di era Orde Baru yang sedang kuat-kuatnya Gus Dur mendirikan Fordem untuk manandingi (counter hegemony) terhadap kekuatan negara yang gigantik dan powerfull.

Islam dan Civil Society

Gus Dur membawa Islam ke dalam gerakan civil society melalui pendekatan sosio kultural. Menurut Gus Dur, pendekatan sosio-politis pada Islam hanya menyebabkan Islam teringkus atau terkooptasi negara dan hanya akan menjadi sumber legitimasi negara. Akibatnya, agama hanya akan menjadi bagian dari status quo.

Menurut Gus Dur, jalur sosio-politis sama sekali tidak cocok dan tidak strategis untuk projek demokrastisasi dan pemberdayaan masyarakat (civil society). Karena di dalamanya sudah mengandung contradectio terminis

Karena itu, kata Gus Dur, perjuangan ke arah demokrasi dan pemberdayaan civil society bisa terwujud jika menggunakan instrumen moral dalam menciptakan orientasi politik yang benar melalui kelembagaan masyarakat yang independen dan mandiri. Instrumen moral ini berfungsi untuk menananmkan nilai-nilai demokrasi dan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Organisasi Islam, kata Gus Dur, harusnya memilih dan menggunakan instrumen moral sebagai alat tujuan, landasan, serta cita-cita perjuangannya.

Moralitas yang dimaksud di sini adalah moralitas yang mendukung bagi terwujudnya masyarakat berkeadilan, daulat secara hukum, terbuka (open society), dan menerima sekaligaus menghargai perbedaan.

Menurut Gus Dur pada dasarnya Islam tak begitu tertarik pada politik kekuasaan dalam arti institusi negara. Islam lebih menitikberatkan pada politik moral. Karena itu, tak aneh, apabila tak ada aturan baku dalam Islam menyangkut sistem negara. Dalam al-Qur`an sendiri, kata “al-dawlah” yang berarti negara tak pernah disebut. Yang justeru disebut secara eksplisit adalah kata “baldah” yang memiliki arti bangsa atau komunitas. Jadi, sejak awal Islam lebih tertarik pada gerakan civil society ketimbang membangun sebuah negara.

Nah, untuk mewujudkan civil society berdasarkan nilai-nilai Islam itu, paretam-tama harus mengubah paradigma moral itu sendiri di dalam umat Muslim. Sebab, ujar Gus Dur, umat Muslim saat ini tengah dijangkiti penyakit “moralitas ganda”. Penyakit ini menyebabkan terjadi dikotomi antara soal-soal duniawiyah dan ukhrawiyah.

Contoh paling nyata adanya penyakit moralitas ganda ini adalah kebanggaan sekaligus kegairahan sebagian umat Muslim dalam membangun masjid atau menjaga segala ritus keagamaan, tetapi pada saat yang sama tidak begitu peduli terhadap persoalan-persoalan kemiskinan, pelanggaran HAM, atau korupsi.

Hari-hari ini moralitas ganda juga ditunjukkan oleh sebagian umat Muslim yang cepat sekali bereaksi terhadap persoalan-persoalan keagamaan, semisal penistaan agama, tapi tidak risih terhadap penggusuran rumah-rumah orang miskin, penyerobotan tanah oleh negara, pejabat publik atau politisi korupsi, terorisme, dan lain-lain yang dianggap tak memiliki korelasi dengan agama.

Menurut Gus Dur, moralitas yang harus dibangun adalah moralitas yang memiliki watak utama berupa keterlibatan pada perjuangan si miskin untuk memperoleh kehidupan yang layak sekaligus menghargai hak-hak asasi mereka.

Dengan menempatkan paradigma moral bagi gerakan civil society, secara tidak langsung Gus Dur memberikan landasan teologis dan strategis bagi perkembangan pemikiran dan gerakan civil society di Indonesia. Sehingga tak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa pemicu utama kebangkitan civil society di Indonesia adalah pemikiran dan berbagai aktivisme Gus Dur. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Politik Rendah Hati

JOKOWI sedang memainkan politik tingkat tinggi. Setelah demonstarsi 4 September dan kekuatan politik sudah bisa dipetakan, Jokowi menyisir mempreteli satu persatu barisan lawan untuk diajdikan kawan, sekaligus mengkonsolidasikan potensi dalam.

Jokowi sadar betul sedang berhadapan dengan kekuatan besar. Jika ia menghadapinya head to head, ongkos politiknya cukup mahal dan membutuhkan waktu penyelesaian lama.

Akhirnya, ia petakan dulu tokoh, ormas, atau pun partai politik yang terlibat. Siapakah pemain utama, siapakah pengikut (followers), dan siapakah hanya sekadar penonton.

Pemain utamanya dibiarkan, sedangkan “pengikut” dan “penonton” dihampiri dan diajak berdialog dan berdiplomasi. Kenapa pemain utama tak diajak bertemu, berdiskusi dan berdiplomasi?

Pemain utama adalah “musuh utama” dan “musuh paling nyata”, sementara “pengikut” dan “penonton” hanyalah “musuh potensial”. Jokowi tidak dan belum melawan, melainkan baru meminimalisir dan memperkecil ancaman.

Sejak awal Jokowi sadar bahwa sasaran tembak atau target akhirnya adalah dirinya sendiri. Ahok dan isu penistaan agama hanyalah target antara. Karena itu, isu yang dibangun dan yang dimunculkan publik, Jokowi seolah melindungi Ahok.

Mereka mendesak agar Jokowi bertindak inkonstitusional di luar mekanisme hukum, yaitu memenjarakan Ahok tanpa melalui proses hukum. Pada saat yang sama mereka menolak intervensi Jokowi terhadap kasus Ahok.

Lantas, bagaiaman episode pertarungan politik selanjutnya? Yang pasti hingga saat ini Jokowi masih mengikuti irama politik lawan, belum mengambil sikap politik untuk melawan dan menghadapi manuver-manuver politik lawan.

Namun, tanda-tandanya sudah mulai kelihatan. Jokowi berkali-kali mengatakan adanya ancaman disintegrasi bangsa, NKRI, Pancasila dan UUD 45. Inilah senjata Jokowi untuk menghabisi lawan-lawan politiknya.

Jika saja Ahok mau bersikap rendah hati seperti Jokowi, saya kira persoalannya takkan serumit saat ini. Seorang politisi juga harus rendah hati. Di saat suhu politik Jakarta sedang tinggi, Jokowi rajin silaturrahim ke semua tokoh dan elemen bangsa ini, baik diundang ke istana atau disambangi ke tempatnya masing-masing.

Sayangnya akhir-akhir ini Jokowi sendiri kelihatan sudah mulai terpancing dan kehilangan kendali. Dalam menyikapi situasi dan dinamika politik saat ini, Jokowi terlihat tak siap mengawal proses demokrasi di negeri ini. Ia terkesan berlebihan merespon rencana aksi demonstrasi lanjutan 2 Desember mendatang. Jokowi mulai melempar spekulasi dan tuduhan macam-macam, mulai dari anti NKRI hingga rencana memakzulkan Jokowi sendiri. Situasinya hampir sama seperti di zaman Orde Baru, ketika tak setuju dan melancarkan kritik terhadap pemerintah langsung dicap: PKI! Apakah Jokowi ingin membangunkan kembali fasisme-otoritarianisme Orde Baru?

Biarlah sebagian umat Muslim menyuarakan pendapat dan aspirasinya. Jokowi tak perlu membuat tuduhan ini dan itu. Toh, semua tuduhan dan kekhawatiran pada aksi 4/11 kemarin saja tak terbukti kebenarannya. Tinggal bagaimana pemerintah memantau dan mengawal jalannya aksi tersebut agar berjalan damai dan tertib, tak terjadi tindakan-tindakan anarkis dan inkonstitusional.

Sebagai pengamat sekaligus penikmat situasi politik saat ini, saya tak terlalu khawatir menanggapi rencana aksi 2/12. Jika aksi mereka ditunggangi aktor politik dan kasus Ahok hanyalah kuda tunggangan saja, saya menilainya biarlah itu menjadi bagian dari eksperimen politik Riziek Syihab dkk. Seberapa hebat kekuatan serta manuver politik mereka dalam memainkan isu ini untuk menjatuhkan Jokowi. Saya sedang menunggu endingnya.

Namun, jika Jokowi mampu mendinginkan suasana, menenangkan massa, menahan emosi, dan menjaga situasi tetap tenang dan terkendali, rencana jahat untuk memakzulkan Jokowi tak akan banyak mendapatkan hasil. Kuncinya ada pada Jokowi sendiri, apakah ia mampu menjaga kesantunan dan sikap rendah hati dalam berpolitik? Wallahu a’lam bi al-shawab.

Reklamasi dalam Nalar Santri

BEBERAPA minggu lalu, saya mengikuti Bahtsul Masail yang diselenggarakan oleh FMPP (Forum Musyawarah Pondok Pesantren) di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Kegiatan ini diiniasi oleh Pondok Pesantren Lirboyo dan diikuti oleh para perwakilan dari 336 pondok pesantren se Jawa-Madura. Salah satu isu yang dibahas adalah soal reklamasi.

Dalam proses diskusi, para santri—yang dimaksud di dalamnya adalah ustadz dan kiyai—mencoba menjawab persoalan reklamasi dengan kitab kuning. Dikatakan, di dalam kitab kuning terdapat pembahasan mengenai bagaimana etika dalam mengelola lautan, mengelola sarana umum/publik, bagaimana etika mengelola dan menghidupkan bumi tak bertuan yang diistilahkan dengan ihyâ` al-mawât. Lautan dalam pandangan kitab kuning termasuk ke dalam huqûq al-musytarakah (hak publik atau milik bersama). Sehingga tidak boleh ada upaya privatisasi oleh perorangan atau korporasi. Laut pun boleh dibangun dengan berbagai jenis bangunan di pinggir pantainya dengan catatan bangunan itu berfungsi untuk memaksimalkan pemanfaatan lautan (li tamâm al-intifâ’ bihi) yang dalam kitab kuning disebut al-harîm, seperti membangun dermaga, pelabuhan, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), dan berbagai kemaslahatan bagi nelayan dan lalu-lintas laut.

Akan tetapi, al-harîm pun diatur sedemikian rupa agar tidak berlebihan dan pembangunannya pun disyaratkan tidak terlalu lebar dan panjang yang berdampak pada perusakan ekosistem laut, tidak menghalau akselerasi laju ombak, lingkungan, dan budaya setempat. Jika sebaliknya, maka harus direkonstruksi ulang.

Lalu bagaimana dengan reklamasi? Reklamasi dibangun yang fungsinya untuk membuat daratan baru yang akan dibangun rumah-rumah high class, yang hanya mampu dimiliki oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan pemaksimalan kemanfaatan lautan sebagaimana al-harîm. Secara substansial—belum melangkah ke dampak negatif bagi lingkungan dan perusakan ekosistem laut—dalam pandangan santri berdasarkan kitab kuning, reklamasi sudah menabrak aturan dan etika pengelolaan lautan. Pada saat yang sama juga terdapat praktik privatisasi terhadap lautan yang notabene sebagai hak publik atau milik bersama.

Para nelayan dipastikan sulit mencari penghasilan untuk menafkahi anak-istri, sebagaimana yang diucapkan para saksi di persidangan, “Untuk mencari ikan saja harus ke tengah menghabiskan solar yang sangat boros. Karena ikan sudah terusir ke tengah.”

Sehingga, nalar santri mengatakan, kalau ternyata sudah ada yang diuruk dan menjadi daratan, maka tanah tersebut harus dimiliki bersama dan dimanfaatkan oleh rakyat, bukan dimiliki oleh perorangan atau korporasi. Caranya pemerintah mengambil alih, bernegosiasi dengan korporasi, dan diserahkan pada kepentingan rakyat. Sedangkan yang belum diuruk, harus diberhentikan.

Bahkan, sebagian berpendapat menyatakan bahwa kalau ternyata bangunan dan pengurukannya tersebut terlalu lebar dan luas—apalagi ribuan hektar—maka harus dibongkar dan dikembalikan pada kondisi semula: menjadi lautan. Sebab jika dibiarkan, sama saja dengan membiarkan lautan menjadi daratan yang berpotensi pada perusakan dan kerugian bagi masyarakat sekitar yang sudah sekian lama memanfaatkan untuk mencari nafkah melalui pencarian ikan.

Muncul dilema, jika digusur kembali dan menjadi lautan, maka akan ada kerugian materi berupa pembongkaran, pengerukan dan pengambilan kembali tanah yang sudah diuruk, dll., yang terjabak pada dhiyâ’ al-mâl (hilangnya harta). Karena itu, reklamasi yang sudah terlanjur dapat dijadikan tempat untuk memaksimalkan kemanfaatan yang berkaitan dengan kelautan bagi para nelayan setempat, dll.

Kalaupun persoalan reklamasi ditarik pada persoalan menghidupkan tanah yang tak bertuan, ihyâ` al-mawât, maka lautan tidak dapat dikategorikan sebagai bumi tak bertuan yang butuh diupayakan untuk dihidupkan, sebab lautan sejatinya sudah bertuan, yaitu publik dan masyarakat yang menggantungkan nasib dan pencaharian ekonominya ke lautan.

Terlebih, diketahui bahwa ternyata ada dampak negatif bagi lingkungan, budaya, dan perusakan ekosistem laut. Menurut Syaikh Nawawi al-Bantani, ulama Nusantara, dalam tafsir “Murâh Labîdz”, pada waktu menafsirkan ayat yang berbunyi, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari [akibat] perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar],” [QS. al-Rum: 41].

Syaikh Nawawi menafsirkan ayat tersebut, “Umat manusia tidak boleh berbuat kerusakan di laut dan di bumi/daratan. Jika berbuat kerusakan di laut yang berakibat kerusakan ekosistem laut, seperti terumbu karang dan dasaran lautan yang indah menjadi rusak dan punah, ikan-ikan mati dan punah, erosi, maka akan berdampak pada kerusakan di bumi/daratan.”

Wal hasil, menurut nalar santri dengan kitab kuningnya, bahwa dalam mengolah lautan, pembangunan yang diperbolehkan ada di pinggir pantai hanya al-harîm, sedangkan selain al-harîm pada prinsipnya tidak diperkenankan. Seperti reklamasi tidak tergolong ke dalam kategori al-harîm. Apalagi jelas-jelas menimbulkan dampak negatif, merusak, dan destruktif!

Memaknai Zhalim

MEMINDAHKAN warga dengan pendekatan legalistik mengabaikan realitas kemanusiaan kaum miskin. Daya tahan kaum miskin tinggal di kawasan yang tergusur ada pada organisme hidup mereka yang merupakan lempengan-lempengan sosial. Mereka bisa bertahan karena satu sama lain bisa saling dukung menjadi satu kekuatan hidup. Karenanya dengan upah paling rendah pun mereka bisa bertahan karena kekuatannya justru ada pada lempeng sosial itu.

Pendekatan hukum dalam memindahkan warga mengabaikan fakta sosiologis antropologis tentang lempeng sosial dan satu kesatuan organisme hidup kaum miskin itu. Pengabaian fakta sosiologis memindahkan warga ke kotak-kotak getho bernama rusun itu adalah upaya dehumanisasi yang memutuskan rantai sosial pertahanan mereka meskipun telah menjadi warga legal dan tak tampak kumuh.

Pemindahan paksa telah mengabaikan sejarah sosial, ikatan memori, kekerabatan, ikatan sosial, rasa aman yang kesemuanya menandai hilangnya pengakuan atas hakekat manusia sebagai mahluk sosial. Kelak hanya yang kuat yang bisa tinggal dan bertahan di rusun-rusun itu dengan membangun ikatan sosial baru yang berbiaya mahal, sementara yang termiskin dari wilayah gusuran itu akan lenyap dimakan kejahatan pembangunan dengan pendekatan “bangunan fisik” yang enak dilihat dan dipandang oleh para kelas menengah yang takut dan trauma melihat kemiskinan.

Saya tidak hendak mengatakan kemiskinan adalah baik dan manusiawi, tapi penggusuran bukan jalan keluar yang lebih manusiawi. Di sisi itu saya mendefinisikan sebagai kezhaliman. Di sini pula saya terkenang ajaran rohaniawan Katolik, Cina Jawa Romo Mangun yang menolak model-model pembangunan fisik a la Orde Baru ketika menentang Kedung Ombo. “Buat orang Jawa jangankan ikatan dengan orang hidup, sedang dengan orang mati saja–kuburan–sangat penting, kok ini seenaknya saja digusur,” demikian Romo Mangun ketika itu!

Merebut Tafsir (2)

SEMULA saya tak tertarik untuk ikut mengomentari soal Tafsir al-Maidah: 51 yang menjadi pangkal munculnya demo 411. Namun setelah melihat sejumlah debat termasuk meme yang menggambarkan bahwa kekisruhan itu berangkat dari hilangnya satu kata “pakai” dalam proses transkipsi video kontroversial itu, saya tak dapat berhenti memikirkan di mana letak benang kusutnya, jika dilihat dari metode penafsiran dan implikasinya.

Secara sederhana dalam tradisi Islam dikenal dua cara pendekatan al-Qur’an, tekstualis dan kontekstualis. Pendekatan tektualis berusaha untuk membaca teks dan memaknainya secara teksualis, apa adanya. Perseteruan dua pendekatan itu nyaris berlangsung sepanjang usia Ilmu Tafsir sendiri yang lahir sejak abad ke-8.

Dalam banyak hal ini menjadi masalah ketika hendak menggunakannya sebagai pedoman hidup. Bagi perempuan, ayat-ayat soal anjuran poligami, warisan, kepemimpinan, perkawinan beda agama terasa tidak adil jika dibaca secara tekstualis. Karenanya para ahli tafsir, tak melulu penafsir feminis, membacanya dengan pendekatan kontekstualis. Dengan metode itu, diperoleh hasil yang berbeda di tingkat penafsirannya. Secara metodologis, biasanya dicari dulu apa “tujuan/maksud hukum yang dikandung ayat”. Misalnya ayat itu hendak menjelaskan cara mengimplementasikan keadilan, atau larangan menyakiti perempuan, menelantarkan anak yatim, dan kalangan yang dimarjinalkan. Setelah diketemukan maksud ayatnya, maka lahirlah penafsiran yang bisa jadi “beda” dengan bacaan yang tekstualis.

Dalam isu poligami misalnya, dengan menggunakan tafsir kontekstualis, makna ayat bukan lagi “anjuran poligami” melainkan “pembatasan atau larangan poligami”. Sebab tujuan ayatnya adalah keadilan bagi perempuan dan bagi anak-anak yatim. Mufasir modernis abad lampau dari Universitas Al Azhar seperti Muhammad Abduh memilih pendekatan kontekstual setelah mengamati realitas konteks Mesir. Menurut ulama dari Al-Azhar ini, poligami dilarang.

Di Indonesia dua pendekatan itu sebetulnya sering dipakai, baik formal maupun informal untuk rupa-rupa persoalan. Dalam keluarga-keluarga yang menyandarkan putusan terkait hukum keluarga kepada tafsir al-Qur’an, diterapkan tafsir yang kontekstual. Misalnya ketika membagi waris anak lelaki dan perempuan mendapat bagian yang sama meskipun dalam tekstual ayatnya perempuan mendapatkan sebagian atau separuh dari lelaki. Tafsir kontektual diterapkan mengingat anak yang laki-laki secara de facto tak lagi mengambil beban dan tanggung jawab sebagai “pelindung bagi keluarga besarnya”, sementara pada ayat itu dijelaskan pada lelaki secara sosiologis zamannya ada beban yang ditanggungnya. Karenanya para mufasir tekstualis pun memberi rasionalisasi, “Lelaki mendapat 2 bagian kotor-bruto, pada perempuan 1 bagian bersih, netto”.

Untuk mengubah dari pendekatan teks ke konteks dalam pembagian waris bermacam-macam. Namun yang umum, dbagi dulu sesuai tafsir tekstualis, lalu sang saudara lelaki menghibahkan kepada adik atau kakanya yang perempuan hingga jumlahnya sebanding atau sama. Dalam konteks ini, ulama besar abad lampau dari Banjarmain, Syeikh Asyad Banjar pun memberikan tafsir konteksual dengan meletakan secara setara anak lelaki dan perempuan dalam hak penerimaan warisan. Demikian halnya yang disampaikan Menteri Agama Pak Munawir Sadzali dengan melihat konteks masyarakat Solo di mana perempuan berperan penting dalam ekonomi keluarga. Namun tafsir mayoritas hukum keluarga memang mengambil yang tekstualis. “Dua bagian bagi lelaki ya dua bagian,” demikian umumnya dimaknai.

Demikianlah, secara umum ada dua cara pendekatan dalam memaknai al-Qur’an, dalam bahasa awam pendekatan itu disederhanakan menjadi tekstualis dan kontektualis.

Dalam kaitannya dengan kepemimpinan politik, pegangannya antara lain QS. al-Ma’idah: 51. Ayat itu dalam terjemahan bahasa Indonesia artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin[mu]; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”

Ayat ini oleh penafsir teksualis dianggap sebagai larangan mengambil pemimpin di luar yang beragama Islam. Begitu mengambilnya, jika ayat itu dibaca secara tekstualis, maka orang yang memilihnya (misalnya Muslim) termasuk golongan orang yang dipilihnya (misalnya Kristen). Ini tentu tak main-main.

Bagi sebagian penafsir, ayat ini harusnya dibaca secara kontekstual. Pertama-tama dicari dulu tujuan ayatnya, apakah melarang memilih pemimpin dari agama lain atau larangan memilih pemimpin yang zhalim. Sebab di ujung ayat yang tidak diberi petunjuk adalah orang yang zhalim.

Kalangan penafsir feminis, niscaya akan menggunakan pendekatan kedua, larangan untuk memilih pemimpin yang zalim. Dengan begitu, dalam konteks kepemimpinan perempuan, tafsir kontekstual akan memberi ruang bagi perempuan untuk menjadi pemimpin dengan syarat tidak zhalim. Dengan cara tafsir seperti itu, ayat “Lelaki adalah pemimpin bagi perempuan” yang selama ini dijadikan jagoan untuk menolak kepemimpinan perempuan dapat ditafsirkan ulang sehingga memungkinkan bagi perempuan jadi pemimpin.

Sekarang mari kita lihat apa yang menjadi kontroversi pada video Ahok di Pulau Seribu itu. Penggalan yang dianggap kontrversial adalah “Dibohongi pakai Surat al-Ma’idah: 51”. Pangkal kontriversinya, menurut beberapa pihak, karena ada yang telah mengedit atau menghilangkan kata “pakai” dan karenanya menjadi “Dibohongi Surat al-Ma’idah: 51”.

Tentu saja menjadi sangat jauh beda di antara keduanya. Pada yang pertama, ketika masih lengkap dengan kata “pakai”, maka yang melakukan pembohongan adalah penafsirnya. Sementara ketika kata “pakai” itu hilang yang bohong adalah QS. al-Ma’idah: 51 itu sendiri. Tapi, menurut Sayyidina Ali RA, ayat itu tak bicara sendiri kecuali oleh penafsirnya. Jadi yang menjadi tertuduh sebagai pembohong adalah penafsirnya.

Katakanlah kata “pakai” masih ada. Para mufassir tekstualis tidak terima mereka dianggap pembohong. Justru mereka merasa merekalah yang paling akurat dan otentik dalam memaknai teks. Soal kedua, letak masalahnya pada tuduhan bahwa orang yang menafsirkan larangan kepemimpinan non Muslim secara tekstualis itu disebut pembohong.

Para penafsir yang kontekstualis pun, seperti kami kaum feminis Muslim, tak mengatakan penafsiran yang tektualis itu pembohong melainkan tak memperhatikan maksud ayat (maqashid al-syariah) di mana tujuan ayat itu adalah menolak kepemimpinan yang zhalim. Pertanyaannya, dalam kepemimpinnya apakah Ahok termasuk pemimpin yang zhalim atau tidak? Di sisi ini mari kita berdebat. Sebagai feminis Muslim saya mengatakan ia BISA disebut zhalim, ketika ia tak berpihak kepada kelompok yang dimarginalkan dalam struktur yaitu kaum miskin yang digusur, padahal didalamnya ada perempuan, perempuan tua, anak-anak, anak yatim, manula dan kelompok disabilitas. Wallahu’alam bi al-shawab.[]

Merebut Tafsir

SEBAGAIMANA sejarah, tafsir atas teks suci adalah milik kaum pemenang. Karenanya tafsir tak [mungkin] relatif. Tafsir, oleh kepentingan dan demi legitimasi rezim yang bekuasa, tak kuasa untuk netral. Ia senantiasa berpihak kepada kepentingan penafsir serta rezim yang menguasainya.

Di masa kerasulannya, Nabi Muhammad meletakkan dasar keberpihakannya kepada mereka yang dizhalimi. Kezhaliman itu berlangsung dalam stuktur masyarakat dengan karakteristik feodal, rasis berbasis warna kulit, patriakh, anti perempuan, anti kaum miskin, anti anak yatim, anti minoritas agama, dan anti monogami. Dalam bahasa advokasi klompok itu disebut sebagai kaum Jahiliyah atau bodoh.

Bacaan Nabi atas realitas itu—bersama wahyu yang diterimanya—melahirkan ajaran yang mendobrak dan menjungkirbalikkan struktur-struktur kuasa yang seolah sudah menjadi kebenaran. Dengan legitimasinya seluruh ketimpangan sosial diperbaiki melalui pengenalan pada prinsip-prinsip nilai baru dan contoh praktisnya. Misalnya, ajaran Islam meletakkan secara setara semua manusia, tak ada yang boleh dipertuhankan selain Tuhan. Karenanya secara prinsip manusia bebas merdeka dan setara, perbedaannya terletak pada amal perbuatannya. Gagasan itu merupakan prinsip tauhid. Sementara untuk penerapan praksisnya, diwujudkan dalam berbagai macam ibadah, misalnya dalam ibadah haji semuanya diberlakukan sama ditunjukkan dalam tata cara bepakaian sangat sederhana dan sama seperti kain ihram.

Praktik rasisme diatasi Nabi dengan mengawini perempuan hitam Koptik dari Mesir dan mengangkat Bilal–seorang budak hitam–menjadi muadzin. Mereka diberi kelas/kedudukan sosial di hadapan kelas menengah para feodal Makkah Madinah. Perempuan yang dihinakan dalam stuktur patriakh feodal, diposisikan setara secara sosial dengan lelaki dengan pemberian warisan yang esui dengan peran sosialnya. Dan karena ketika itu lelaki adalah pemimpin keluarga dan kaum, tentu sangat wajar mendapatkan dua kali lipat dari yang diperoleh perempuan. Larangan mengambil harta anak yatim, larangan mengawini budak-budak, pembatasan poligami adalah cara Nabi untuk mendidik umat soal kesantunan dan berbuat adil kepada perempuan dan mereka yang dilemahkan seperti anak yatim. Perempuan didengar pendapatnya serta direstui cara berpikirnya dalam menolak kekerasan; anak yatim dan budak dijadikan sarana penebusan kesalahan sosial dan agama; kalau batal puasa kasih makan anak yatim, kalau berzina tebus budak, kalau membunuh tebus budak lebih banyak.

Sepeninggal Nabi, penerusnya faham betul bahwa tak ada yang punya kuasa atas ajaran agama kecuali melalui tafsir. Padahal melalui dan dalam agama ada magma kuasa. Di sini tafsir lalu diperebutkan dan dibeli. Karenanya sang pemenang niscaya kaum penguasa. Pada kenyataannya berkembangnya suatu mazhab tergantung pada dukungan penguasa. Pemerintahan Muawiyah mendukung paham liberal Muktazilah yang mengutamakan rasionalisme. Paham ini dibabat habis dan nyaris punah di masa Abasyiah yang mendukung sunni dan menguatakan teks. Aliran Syiah didukung rezim Mamluk di Mesir, dan Hulagu Khan di wilayah asia tengah dan Mongol. Walhasil, perekembangan mazhab pemikiran, atau metode penafsiran bukan berkembang secara alamiah dan sebagai kebenaran atas yang lain, tetapi karena dukungan dan kepentingan penguasa. Demikian halnya mazhab Wahabi yang didukung Saudi Arabia dan beberapa negara teluk yang berkepentingan dengan tafsir ala Wahabi yang menolak perubahan.

Kalangan feminis Muslim, dalam catatan Ziba Mir Hossaini, seorang feminis Muslim dari Iran, ahli hukum Islam, terus mencoba memperlakukan tafsir sebagaimana kaum patriakh memperlakukan teks. Mereka membaca teks sesuai tafsir dan kepentingannya. Namun menafsirkan dengan cara itu hanya membuahkan tafsir pinggiran meskinpun secara subtansi telah berupaya mengembalikan ayat pada fungsinya sebagaimana dilakukan Nabi. Dalam kesadaran kaum feminis Muslim, rupanya tafsir tak bisa menjadi pandangan mainstream tanpa menggunakan kekuasaan politik. Dan mana ada kekuasaan yang memihak pada tafsir kaum feminis sedang para penguasa menikmati kejayaannya dengan menindas kaum perempuan.

Berdasakan itu, menurut Ziba, cara untuk mengembalikan penafsiran pada jalannya yang benar adalah mengkontraskan teks dengan realitas. Di sini realitas ketertindasan manusia harus dijadikan konteks yang menantang teks. Ketertindasan setiap entitas harus dihadirkan. Dan sebagaimana Nabi, dengan agama yang dibawanya, Nabi membebaskan mereka yang dilemahkan dalam struktur-struktur kelas sosial, gender, umur, posisi sosial ekonomi dan politik. Dalam makna itu dan demi membebaskan tafsir dari kungkungan rezim pemenang, maka kiblat atau pedoman untuk penafsiran haruslah jelas yaitu semangat pembebasan bagi mereka yang dizhalimi secara struktur dan kelas. Jadi siapa yang hendak Anda bela dengan tafsir Anda?[]