Gus Dur dan Gerakan Civil Society

CIVIL society Abdurrahman Wahid atau Gus Dur lahir ketika menghadapi otoritarianisme Orde Baru. Orde Baru begitu kuat mencengkeramkan kuku-kuku kekuasaannya sehingga rakyat hampir tak punya kontrol dan daya tawar terhadap negara (pemerintah). Rakyat di bawah kontrol dan pengawasan negara. Relasi keduanya begitu timpang. Ketidakseimbangan itu menyebabkan dominasi negara begitu kuat. Gerakan civil society hendak merubah situasi tersebut. hubungan keduanya (negara/masyarakat) harus seimbang. Masyarakat harus bisa melakukan check dan balance terhadap seluruh kebijakan negara.

Pemerintahan Orde Baru lebih lebih mencerminkan pemerintahan militeristik. Seringkali atas nama stabilitas negara dan pembangunan, aspirasi masyarakat diberangus habis. Di masa Orde Baru hampir semua elemen civil society, seperti LSM, Ormas, Lembaga Pers, Partai Politik—semuanya lumpuh dipasung negara.

Bagaimana sebetulnya hubungan atau relasi masyarakat dan negara sepanjang pemerintahan Orba hingga saat ini? Nur Syam dalam makalahnya “Gus Dur dan Gerakan Civil Society” membagi tiga tipologi atau pemetaan berdasarkan kurun waktu tertentu.

Pertama, relasi yang sangat tidak seimbang. Ini terjadi pada kurun waktu 1970an-1980an. Waktu itu negara begitu powerfull. Negara memegang kendali atas segalanya. Setidaknya, menurut Nur Syam, ini ditandai tiga hal: (1). Fusi Partai politik. Era multi partai pada masa Orde Lama diakhiri dengan menggabungkan (fusi) menjadi tiga partai saja: Golkar, PPP, dan PDI. Tiga partai ini merupakan fusi dari 10 partai. Melalui penggabungan ini, pemerintah hendak menjadikan Golkar sebagai single majority. Sedangkan dua parpol lainnya hanyalah partner, bukan kontestan politik; (2). Proses negaranisasi secara sistemik, yaitu semua kekuatan masyarakat yang direpresentasikan di dalam institusi sosial kemasyarakatan dan keagamaan disedot ke dalam kekuatan negara melalui partai politik pemerintah. Di era ini di desa-desa mobilisasi kiyai-kiyai, tokoh masyarakat, pegawai pemerintah untuk masuk Golkar begitu gencar dilakukan, bahkan melalui pemaksaan dan kekerasan; (3). Penguatan positioning pemerintah melalui asas tunggal bagi semua elemen organisasi sosial kemasyarakatan, politik dan keagamaan. Tekanan pemerintah begitu kuat sampai-sampai di tahun-tahun ini NU harus menerima asas tunggal Pancasila.

Kedua, era tidak seimbang, yaitu pertengahan 1980-an sampai pertengahan 1990-an. Di era ini sudah muncul kesadaran perlunya keseimbangan antara kekuatan negara dan kekuatan masyarakat. Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) dan dikalangan anak muda muncul Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pada kurun ini ditandai maraknya kekerasan politik oleh negara.

Ketiga, era cukup seimbang, yaitu pada pertengahan 1990-an sampai 2000-an. Era ini ditandai semakin kuatnya civil society melalui gerakan reformasi 1998. Di pemilu 1999 ela murti partai muncul kembali. Rakyat berani menyampaikan aspirasinya lewat demonstrasi, kebebasan pers terbuka lebar, banyak bermunculan LSM-LSM baru, dll.

Keempat, era keseimbangan. Ini dimulai pada 2000-an hingga sekarang. Di era ini kedudukan rakyat sama kuatnya dengan negara. Ada check and balance rakyat terhadap pemerintah, sehingga negara tak bisa berbuat swenang-wenang dan seenak sendiri karena berada di bawah kontrol rakyat. Sesuatu yang tidak terjadi pada era Orde Baru terjadi pada era sekarang.

Munculnya kekuatan civil society ini tak lepas dari jasa Gus Dur. Di era Orde Baru yang sedang kuat-kuatnya Gus Dur mendirikan Fordem untuk manandingi (counter hegemony) terhadap kekuatan negara yang gigantik dan powerfull.

Islam dan Civil Society

Gus Dur membawa Islam ke dalam gerakan civil society melalui pendekatan sosio kultural. Menurut Gus Dur, pendekatan sosio-politis pada Islam hanya menyebabkan Islam teringkus atau terkooptasi negara dan hanya akan menjadi sumber legitimasi negara. Akibatnya, agama hanya akan menjadi bagian dari status quo.

Menurut Gus Dur, jalur sosio-politis sama sekali tidak cocok dan tidak strategis untuk projek demokrastisasi dan pemberdayaan masyarakat (civil society). Karena di dalamanya sudah mengandung contradectio terminis

Karena itu, kata Gus Dur, perjuangan ke arah demokrasi dan pemberdayaan civil society bisa terwujud jika menggunakan instrumen moral dalam menciptakan orientasi politik yang benar melalui kelembagaan masyarakat yang independen dan mandiri. Instrumen moral ini berfungsi untuk menananmkan nilai-nilai demokrasi dan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Organisasi Islam, kata Gus Dur, harusnya memilih dan menggunakan instrumen moral sebagai alat tujuan, landasan, serta cita-cita perjuangannya.

Moralitas yang dimaksud di sini adalah moralitas yang mendukung bagi terwujudnya masyarakat berkeadilan, daulat secara hukum, terbuka (open society), dan menerima sekaligaus menghargai perbedaan.

Menurut Gus Dur pada dasarnya Islam tak begitu tertarik pada politik kekuasaan dalam arti institusi negara. Islam lebih menitikberatkan pada politik moral. Karena itu, tak aneh, apabila tak ada aturan baku dalam Islam menyangkut sistem negara. Dalam al-Qur`an sendiri, kata “al-dawlah” yang berarti negara tak pernah disebut. Yang justeru disebut secara eksplisit adalah kata “baldah” yang memiliki arti bangsa atau komunitas. Jadi, sejak awal Islam lebih tertarik pada gerakan civil society ketimbang membangun sebuah negara.

Nah, untuk mewujudkan civil society berdasarkan nilai-nilai Islam itu, paretam-tama harus mengubah paradigma moral itu sendiri di dalam umat Muslim. Sebab, ujar Gus Dur, umat Muslim saat ini tengah dijangkiti penyakit “moralitas ganda”. Penyakit ini menyebabkan terjadi dikotomi antara soal-soal duniawiyah dan ukhrawiyah.

Contoh paling nyata adanya penyakit moralitas ganda ini adalah kebanggaan sekaligus kegairahan sebagian umat Muslim dalam membangun masjid atau menjaga segala ritus keagamaan, tetapi pada saat yang sama tidak begitu peduli terhadap persoalan-persoalan kemiskinan, pelanggaran HAM, atau korupsi.

Hari-hari ini moralitas ganda juga ditunjukkan oleh sebagian umat Muslim yang cepat sekali bereaksi terhadap persoalan-persoalan keagamaan, semisal penistaan agama, tapi tidak risih terhadap penggusuran rumah-rumah orang miskin, penyerobotan tanah oleh negara, pejabat publik atau politisi korupsi, terorisme, dan lain-lain yang dianggap tak memiliki korelasi dengan agama.

Menurut Gus Dur, moralitas yang harus dibangun adalah moralitas yang memiliki watak utama berupa keterlibatan pada perjuangan si miskin untuk memperoleh kehidupan yang layak sekaligus menghargai hak-hak asasi mereka.

Dengan menempatkan paradigma moral bagi gerakan civil society, secara tidak langsung Gus Dur memberikan landasan teologis dan strategis bagi perkembangan pemikiran dan gerakan civil society di Indonesia. Sehingga tak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa pemicu utama kebangkitan civil society di Indonesia adalah pemikiran dan berbagai aktivisme Gus Dur. Wallahu a’lam bi al-shawab.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses