Sumbangan IAIN/UIN Pada Kajian Gender di Indonesia
Dayana Parvanova, editor sekaligus peneliti pada Society for South-East Asian Studies (SEAS) Wina Austria baru-baru ini meluncurkan tulisan tentang gerakan kaum Muslim Feminis[1] di Indonesia.[2] Kajiannya bagus. Komprehensif dan tajam dalam menganalisis perkembangan feminis Muslim di Indonesia. Namun, saya melihat ada dua hal yang luput ia perdalam. Ini terkait dengan pertanyaan dasar mengapa aktivitas kaum femininis Muslim Indonesia bisa begitu menonjol. Dalam pandangan saya, kelemahan tulisan itu, pertama, tak cukup menjelaskan peran lembaga seperti IAIN yang memberi sumbangan berupa ketersediaan sumber daya dan kemampuan mengeksplorasi kajian-kajian keagamaan dan gender. Kedua, kurang mengelaborasi bagaimana terjadinya konvergensi antara kelompok feminis sekular dan feminis Islam di Indonesia. Padahal konvergensi itu merupakan persemaian subur yang memungkinkan benih-benih kajian gender dan Islam dapat tumbuh dan berkembang. Dan pada gilirannya itu menyumbang secara signifikan terhadap perkembangan kajian gender di Indonesia.
Parvanova mendasarkan kajiannya kepada sejumlah referensi utama dan penting dalam kajian studi feminis Islam di Indonesia.[3] Karenanya, kajian dia tergantung benar kepada ketersediaan sumber bacaan. Namun harus diakui referensi yang menjelaskan di titik mana peran lembaga pendidikan Islam di Indonesia memberi sumbangan pada gerakan feminisme di Indonesia masih kurang, apatah lagi dalam bahasa Inggris. Dalam tulisannya ia memang telah mengambil saya sebagai contoh.[4] Dan telah pula mengulas sepintas tentang latar belakang pendidikan saya di IAIN/UIN. Tulisan itu ia peroleh dari Jurnal Inside Indonesia.[5]
Tulisan ini dimaksudkan mengisi bagian yang kosong dari tulisan Dayana Parvanova dimaksud. Bahan tulisan ini saya elaborasi dari pengalaman pribadi dan dari hasil wawancara kandidat doktor dari Universitas Wisconsin, Madison Shahirah Mahmood[6] dengan saya.
Sejalan dengan watak epistimologinya, perkembangan feminisme di Indonesia harus dibaca dalam konteks sosial politik. Dan pada era Orde Baru, kajian harus ditempatkan pada politik Orde Baru yang represif dan mengontrol warga. Pada era tahun 80, Soeharto sangat kukuh menerapkan ideologi “state ibuism” dalam mengatur bagaimana seharusnya perempuan dicitrakan dan sekaligus bertingkah laku.[7] Ibu dalam arti istri di rumah atau istri pejabat negara, dalam ideologi politik Orde Baru menjadi prototipe yang ideal sebagai penunjang peran suami. Peran utama perempuan adalah ibu rumah tangga. Peran perempuan di masyarakat adalah perpanjangan dari perannya di rumah tangga. Karenanya jenis-jenis aktivitasnya haruslah sejalan dengan citra dimaksud yang tentu saja harus a politis. Bangunan ideologi istri dalam politik Orde Baru pada dasarnya mengadopsi konsep isteri dalam kebudayaan Jawa dan istri prajurit dalam tradisi militer. Sebagai pendamping suami istri tak hanya aktif di rumah tetapi juga di ruang publik melalui aktivitas PKK atau organisasi istri pegawai (Dharma Wanita).[8] Keduanya merupakan wadah pengabdian bagi istri untuk menunjuang karier suami. Di dalamnya tentu ada kegiatan untuk membantu pemerintah dalam menggerakkan kaum perempuan secara pro bono. Mereka melaksanakan dan menyukseskan program-program pembangunan, antara lain melalui partisipasi dalam penurunan angka kelahiran (KB) dan perbaikan kesehatan anak.
Pada waktu yang bersamaan politik yang mengatur hubungan negara, partai dan civil society tak berjalan mulus untuk tidak dikatakan tegang. Negara berusaha menerapkan kontrol melalui politik Asas Tunggal Pancasila. Negara menjadi pihak yang paling berhak untuk menafsirkan peran negara diperhadapkan dengan elemen lainnya. Termasuk didalamnya kontrol atas keluarga. Diskursus keluarga dikuasai sepenuhnya oleh tafsir tunggal negara. Keluarga yang baik adalah, suami bekerja, istri rumah tangga menunjang karier suami, anak dua. Negara juga mengontrol gerak civil society dan partai politik.
Untungnya, negara tidak cukup punya keberanian untuk menggangu organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, meski hubungan negara dengan keduanya tak terlalu manis. Sebagai perbandingan, kontrol dan intervensi negara terhadap keduanya tak seintensif kepada partai-partai Islam (seperti PPP). Namun, tentu saja NU dan Muhammadiyah menjadi kaki tangan negara dalam mengejawantahkan program pembangunan bagi perempuan seperti dalam isu KB.
Di bandingkan dengan Muhammadiyah, agaknya NU mendapatkan “keuntungan” karena dua hal: Pertama, NU punya basis pesanteran. Di dalam pesanteran, pandangan-pandangan keagamaan sangat plural karena pendekatannya berbasis fikih yang bersumber dari Kitab Kuning yang ragam. Ketika negara memaksakan kehendaknya dalam mendefinisikan diskursus keluarga, NU, dengan bantuan pijakan pada tradisi fikih yang plural tadi dapat segera beradaptasi. Sementara Muhammadiyah yang cenderung menggunakan pendekatan legalistik berbasis keputusan tarjih, mengalami kesulitan dalam mengadopsi kehendak negara itu hingga akhirnya melahirkan diskursus alternatif yang mereka sebut “Konsep Keluarga Sakinah”. Di dalam konsep itu, gagasan tentang pembatasan anak melalui KB ditafsirkan secara berbeda namun halus. Pembatasan kelahiran, tidak boleh didasarkan pada kekhawatiran dan kesangsian kepada Allah yang mengatur rezeki manusia.[9]
Keuntungan kedua, NU punya Gus Dur. Dalam perannya sebagai tokoh civil society Gus Dur memberi ruang kepada anak-anak muda di lingkungan NU untuk melakukan ekperimentasi teologis yang memungkinkan mereka secara bebas melakukan olah gagasan dalam memikirikan tentang masyarakat, termasuk keluarga. Dalam berhadapan dengan pihak penguasa Gus Dur menjadi tameng atas aktivitas intelektual itu. Meskipun Gus Gur sebagai pimpinan NU juga tak diterima penuh oleh Soeharto, namun negara tak ambil pusing pada olah gagasan yang marak dilakukan oleh LSM-LSM di lingkungan MU. Harap dicatat pada saat itu rezim “Preman Berjubah” memang masih mati suri. Gus Dur telah memungkinkan negara tak mewaspadai bahwa kajian-kajian keagamaan itu tak membahayakan negara. Dalam perlindungan Gus Dur, kalangan LSM di lingkungan NU secara bebas melakukan eksperimentasi pemikiran di bidang fikih untuk menjawab persoalan-persoalan masyarakat. Termasuk di dalamnya untuk isu gender dan pemberdayaan perempuan. Gus Dur bakan aktif terlibat dalam berbagai bahsul masail dan menjadi salah satu board di LSM PKBI.
Keberhasilan gerakan perempuan di Indonesia di sumbang oleh situasi itu. Mereka mendapat manfaat dari perkembangan pemikiran di lingkungan ormas keagamaan atau LSM berbasis pesantren. Dan dipastikan bahwa sebagian besar pemikir di lingkungan itu adalah lulusan IAIN utamanya Jakarta dan Yogyakarta.
Tak dapat dipungkiri, gerakan feminis di Indonesia dikembangkan oleh para aktivis yang datang dari keluarga elit dengan latar belakang pendidikan di universitas umum yang umumnya sekuler. Artikulasi mereka dalam mengembangkan wawasan dan pemahaman mengenai diskriminasi gender dan salah satu akarnya adalah tafsir misoginis sangat terbantu oleh kajian-kajian terkait dengan tafsir misoginis itu yang dilakukan oleh para aktivis berlatar belakang IAIN. Demikian sebaliknya kemampuan para aktivis berlatar belakang pendidikan IAIN dalam memahami teori teori sosial yang berperspektif feminis sangat terbantu setelah mereka bergaul dengan aktivis feminis sekuler itu.
Namun satu hal yang mempertemukan dua kelompok feminis ini adalah karena ada “musuh bersama” yaitu politik Orde Baru dengan ideologi state ibuism itu. Dosa Orde Baru di mata para aktivis feminis itu bukan saja militeristik tetapi juga karena pemaksaan dalam mengusung ideologi “developmentalisme” itu. Padahal developmentalisme terbukti telah menyingkirkan perempuan dari produksi pertanian dan industri. Negara melalui ideologi state ibuism sangat mensubordinasikan kaum perempuan. Atas dasar itu Orde Baru menjadi musuh bersama. Dan karena ada musuh bersama, feminis sekular dan dan feminis Muslim di Indonesia bisa saling mendukung. Padahal karakteristik feminis Islam yang bernaung di organisasi-organisasi perempuan dan feminis sekular lain sekali.
Organisasi perempuan Islam pada saat itu pada dasarnya juga terkooptasi oleh negara karena organisasi induknya tak sanggup melawan. Untuk bertahan hidup, mereka cenderung mengamini berbagai diskursus dan definisi yang dirumuskan negara tentang peran perempuan. Bahkan dalam beberapa hal sebenarnya juga cocok dengan watak organisasi mereka di mana kelompok perempuan ditempatkan sebagai women’s wing of male organization. Sementara feminis sekular seperti Kalyanamitra di Jakarta atau Yasanti telah sangat kritis kepada negara dalam mendefinisikan tentang peran perempuan. Mereka menolak perempuan yang ditempatkan sebagai subordinat lelaki.
Untuk memahami bagaimana diskriminasi atau ketidaksetaraan bekerja sebagai suatu sistem pembagian kerja di dalam masyarakat, dibutuhkan sebuah alat analisis yang disebut alat analisis gender. Para aktivis perempuan Muslim di Yogyarakta yang sebagiannya adalah dosen muda di IAIN mulai membicarakan ideologi feminisme yang di dalamnya menggunakan gender sebagai tool untuk melihat pembagian kerja, akses dan kontrol antara lelaki dan perempuan terhadap sumber daya.
Dengan belakang konteksnya, Yasanti sebetulnya sedikit berbeda dengan Kalyanamitra. Yasanti mulai dengan penelitian tentang buruh gendong mbok-mbok bakul yang menghitung beban kerja perempuan perantau sirkuler itu. Itu adalah suatu penelitian yang sangat grounded, suatu dunia yang benar-benar mereka kenali. Sementara itu latar bekalang sebagian pengurusnya juga dekat dengan organisasi perempuan Islam seperti Aisyiyah. Kalyanamitra, sebaliknya, sama sekali tak punya hubungan kultural dengan organisasi Islam apapun. Dalam mengekspresikan kepemikahannya kepada perempuan mereka juga mulai dengan memberi perhatian pada pengorganisasian buruh perempuan di pubrik. Perkenalan mereka dengan buruh tentu tak dapat dipisahkan dari peran para aktivis lelaki yang telah lebih dulu bekerja untuk isu HAM seperti Fauzi Abdullah dan beberapa kawannya dari Fakultas Sastra dan Antropologi UI. Mereka adalah para sarabat Ratna Saptari, salah satu pendiri Kalyanamitra.
Namun pada dasarnya mereka datang dari keluarga elit terdidik, dan sama sekali tak mengenal islamic studies. Perhatian pada isu buruh boleh jadi merupakan romantisme gerakan. Dalam berelasi mereka menjadi semacam patron of class-based issues. Lama kelamaan agaknya bagi Kalyanamitra bekerja dengan buruh dianggap tidak strategis. Lalu mereka pun mulai mengambil peran yang paling pas dan cocok dengan dunia mereka sebagai akademisi. Mereka menyediakan referensi untuk studi gender dan feminisme. Referensi itu pula yang banyak dibaca oleh aktivis perempuan Muslim terdidik lulusan IAIN. Pada saat itu, Kalyanamitra memiliki perpustakaan yang sangat lengkap untuk kajian gender dan feminisme.
Harus diakui, pada mulanya hubungan “persahabatan” antara aktivis perempuan Islam dan perempuan sekular tidak mudah. Kelompok aktivis feminis sekular, dalam pandangan sepihak aktivis perempuan Muslim, tak menghargai mereka, atau menganggap mereka rendah. Sebaliknya dari kalangan aktivis perempuan Islam, terutama yang berbasis ormas, muncul kecurigaan pada agenda-agenda politik kaum feminis yang disalah artikan sebagai gerakan anti keluarga.
Satu hal yang membuat kalangan aktivis feminis harus mengakui kehadiran kalangan feminis Islam adalah karena referensi yang mereka miliki tak sanggup menjawab problem-problem teoretis terkait dengan isu gender yang pada kenyataannya berbenturan dengan ranah agama. Katakan soal hukum waris, atau saksi atau kepemimpinan yang dalam kajian feminisme juga menjadi area of concerned.
Misalnya, gender didefinisikan sebagai konstruksi sosial, pertanyaannya bagaiman jika konstruksi tentang pembagian peran secara gender itu ternyata merupakan ajaran dan ketentuan di dalam keyakinan Islam (fikih)? Peran sebagai istri adalas sebuah kontsruksi sosial, tapi bagaimana berhadapan dengan keyakinan bahwa itu kodrat, ketentuan mutlak dalam ajaran agama? Begitu juga ketika bicara soal kepemimpinan, pandangan itu bisa bertabrakan dengan keyakinan bahwa lelaki dalah pemimpin. Belum lagi soal warisan dan poligami. Kajian yang didasakan pada studi sosial politik antropologis membuktikan praktek itu kerap memunculkan ketidakadilan bagi perempuan. Tapi ranah agama mengaggap itu telah selesai, dianggap sebagai sesuatu yang mutlak dan tak dapat diganggu gugat. Di titik ini kalangan feminsi sekular bungkam.
Adalah Wardah Hafidz yang pertama mencari solusi untuk persoalan itu. Meskipun ia adalah alumni Sastra Inggris IKIP Malang, latar belakangnya adalah pesantren. Ia melihat persoalan di mana kalangan feminis sekular gagap dalam menjawabnya. Sebaliknya kalangan feminis Muslim tidak mempunyai reference. Wardah menurunkan tulisan yang sangat penting terkait kajian femisnme dan Islam dalam jurnal Ulumul Quran, sebuah jurnal kajian Islam yang cukup sophisticated pada masa itu.[10] Dan tak hanya sampai di sana, ia juga mengusahakan agar Rif’at Hassan serta beberapa scholar dari dunia Islam lainnya seperti Asghar Ali Engineer bisa datang ke Indonesia. Bukunya diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia.[11]
Sebelum itu, beberapa tulisan panjang yang menjelaskan secara antropologis tentang gerakan perempuan Islam di Indonesia mulai muncul di dunia internasional. Salah satunya misalnya tentang mubalighat sebagai mediator dalam menyaring dan menterjemahkan nilai-nilai tentang peranan perempuan. Tulisan itu saya ramu dari hasil penelitian tentang Islam di Indonesia yang diselenggarakan LIPI.[12]
Sebuah seminar nasional yang dihadiri ratusan aktivsi perempuan Islam dan sekuler pertama kali diselenggarakan di Jakarta atas prakarsa Prof. Jacob Vredernerg perwakilan Universitas Leiden di Indonesia melalui lembaga INIS.[13] Seminar dengan tajuk Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual menghadirkan sejumlah pemikir Muslim dan sekuler, lelaki dan perempuan. Antara lain Prof. Quraish Shihab yang mengupas soal perempuan dalm Islam dengan pendekatan tafsir. Sementara Prof. Martin van Bruinessen dan tokoh pesantren Masdar F. Mas’udi membedah isu perempuan dalam Kitab Kuning.
Seminar ini penting bukan saja sebagai memula dari kajian serupa itu, tetapi secara langsung mempertemukan antara feminsis sayap sekuler dan aktivis perempuan Islam. Di dalam ruangan itu ketegangan dan kecurigaan sangat terasa. Namun hal yang penting dari seminar itu adalah bahwa kajian-kajian tentang perempuan yang “menabrakkan” antara teks dan realitas mulai dimunculkan.
Metodologi hermeunetika yang digunakan Rif’at Hassan dalam menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur`an terkait isu perempuan berpengaruh besar pada dunia penelitian teks di IAIN. Salah satunya adalah Prof. Dr. Nasaruddin Umar yang kemudian menggunakannya untuk distertasinya tentang perempuan dalam al-Qur`an.[14]
Sumbangan metodologi ini juga mengilhami para aktivis di lingkungan NU dengan latar belakang IAIN untuk melakukan kajian yang lebih serius untuk tema-tema tertentu.
Tahun 1995 menjelang konferensi Beijing, P3M, LSM berbasis pesantren mengembangkan sebuah program yang luas sekali pengaruhnya pada perkembangan studi gender di lingkungan IAIN. Adalah Rosalia Sciortino, Program Officer Ford Foundation Indonesia, yang berhasil “menemukan” khasanah ini. Isu kesehatan reproduski yang dikembangkan oleh P3M sangat kontekstual karena isu itu masih menjadi persoalan besar bagi Indonesia. Gender secara paradigma tak dibiarkan muncul sebagai isu melainkan hanya alat untuk memahami isu kesehatan reproduksi yang berakibat buruk kepada perempuan.
Melalui P3M inilah isu-isu kesetaraan gender dikembangkan, dan penerima informasi dari P3M itu umumnya adalah kalangan pesantren yang sebagiannya adalah alumni IAIN. Sejumlah lembaga mendapatkan manfaat seperti Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) yang dipimpin oleh aktivis seperti Masrukhah. Demikian juga organisasi seperti Fatayat pada umumnya di mana Maria Ulfah, Musdah Mulia, Neng Dara yang kesemuanya berlatar belakang pendidikan Islam mendapatkan manfaat.
Perkembangan pemikiran dalam isu gender di kalangan IAIN ini tentu saja tak dapat dipisahkan dari kebebasan berpikir yang telah lebih dulu disemaikan oleh Prof. Harun Nasution, rektor IAIN Jakarta pada periode itu. Kurikulum yang dikembangkan telah mengenalkan mahasiswa IAIN pada pemikiran-pemikian yang terbuka dan dikembangkan melalui pendekatan pendidikan model seminar. Kami diperkenalkan kepada perbandingan mazhab, kepada filsafat, dan Islam dilihat dalam konteks historis; bukan Islam yang melulu di teks tetapi living Islam. Di sisi ini sebetulnya hubungan antara feminis sekular dan feminis Muslim tak berjarak. Kami sama-sama dari dunia akademik, dan kami sama-sama mengunyah teori dan referensi.
Di IAIN Jakarta dan Yogyakarta, untuk menyebut dua IAIN yang paling menonjol lahir jurnal dan buku kajian yang terkait dengan isu gender. PPIM misalnya, sebuah lembaga di dalam sivitas akademika IAIN/UIN Jakarta menerbitkan sejumlah buku referensi penting tentang gerakan perempuan Islam di Indonesia.[15] Sementara di IAIN/UIN Yogyakarta lahir jurnal kajian Islam dan gender Musawa dan beberapa hasil kajian tentang tafsir yang berperspektif gender.
Di dunia gerakan, alumni IAIN bekerja untuk tema-tema yang lebih khusus. Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid adalah satu di antaranya yang mengembangkan WCC Puan Amal Hayati. Tak hanya itu, bersama grupnya ia memimpin anotasi kritis atas kitab “‘Uqud al-Lujayn” karya Imam Nawani al-Bantani.[16] Kitab itu saat ini tak asing lagi bagi para aktivis feminis sekular.
Penutup
Kajian Parvanova sangat penting dalam memetakan gerakan feminis yang lahir dari perkawinan antara dunia pemikiran/akademik Islam Indonesia dan dunia gerakan. Namun ia luput dalam melihat bahwa itu dimungkinkan karena adanya konvergensi pemikiran dan gerakan antara gerakan feminis sekuler dan feminis Muslim. Gerakan feminis Muslim mendapat sumbangan yang sangat penting dari tradisi pemikiran kritis yang lahir dari dunia akademik di IAIN/UIN.
_____________________________________
[1] Feminis menunjuk kepada seseorang yang menganut ideologi feminsime. Feminisme adalah ideologi yang menganalisis mengapa terjadi sexisme, diskriminasi berbasis gender di dalam mamsyarakat, dan bagaimana mengatasinya. Berbeda dengan isme yang lain, pada feminisme, setiap analisis senantiasa berdialektika dengan jalan keluar yang ditawarkannya. Feminis Muslim lahir sebagai wujud dari cara kerja feminis yang senantiasa kontekstual. Pada feminis Muslim, teks keagamaan menjadi sumber refenesi baik dalam menganalisis mengapa hal itu terjadi maupun mencari solusi dengan menawarkan tafsir baru.
[2] Dayana Parvanova, Islamic Feminist Activism in Indonesia: Muslim Women’s Paths to Empowerment. (http://www.univie.ac.at/alumni.ksa/images/text-documents/ASSA/ASSA-SN-2012-01-Art2-Parvanova.pdf www.univie.ac.at
[3] Ada sejumlah referensi yang ia jadikan dasar kajiannya. Dua yang terpenting di antaranya adalah: Doorn-Harder, Pieternella van, Women shaping Islam: Reading the Qur’an in Indonesia, Urbana. 2006. dan Blackburn, Susan, Indonesian Women and Political Islam. In: Journal of Southeast Asian Studies, 39 (1). Pp. 83-105. 2008
[4] Secara ekslpisit dia menyebut saya sebagai salah satu pionir. Lihat: 2.1. Pioneers and Leaders: The Example of Lies Marcoes-Natsir, p 9.
[5] Harvey, Clare. 2011. Living Islam>. In: Inside Indonesia 103, http://www.insideindonesia.org/edition-103/living-islam-09011391. Zugriff: 20.06.2011
[6] Terima kasih kepada Shahirah Mahmood yang telah membagi transkripsi hasil wawancara dengan saya. Itu sangat membantu saya dalam menyusun tulisan ini.
[7] Julia I. Suryakusuma, State Ibuism: The Social Construction of Womenhood in New Order, Indonesia, Komunitas Bambu, 2011.
[8] Julia I. Suryakusuma, “Seksualitas dan Pengaturan Negara”, Prisma, Juli 1991.
Lies Marcoes, “Bekerja dan Beramal di Aisyiyah,” lihat: “Perempuan Indonesia Dulu dan Kini”, Mayling Oey at.al., Gramedia, 1996.
[9] Jurnal Ulumul Qur’an, diterbitkan oleh LSAF pimpinan Amin Aziz dan kemudian Dawam Raharjo. Nomor tentang gerakan perempuan Wardah Hafidz menulis yang membellakan mata banyak aktivis perempuan Islam atas keberaniannya melakukan kajian hadits yang dianggap mysoginis (membenci perempuan. Artikelnya berjudul “Mysiginy dalam Fundamentalisme Islam”. Dalam jurnal yang sama, Wardah juga menurunkan artikel “Feminisme dalam al-Qur’an; Sebuah Percakapan dengan Rif’at Hassan. Lihat Ulumul Quran no 3 Vol V, 1993.
[11] Misalnya buku Rifat Hassan “Equal befor Allah” diterjemahkan dan diterbitkan oleh LSPPA dengan judul “Setara Di Hadapan Allah“. Di dalam lembaga itu terdapat sejumlah aktivis perempuan berbasis pendidikan pesantren dan IAIN seperti Farkha Cicik.
[12] Lies Marcoes “Muballigat as mediator in religion” dalam buku Sita van Bemmellen at.al., Women and mediation in Indonesia, KITLV, 1992.
[13] Seminar “Wanita Indonesia dalam Kajian Islam secara Tekstual dan Kontekstual” diselenggarakan oleh Pusak Kajian wanita IAIN Jakarta dalam kerjasama dengan INIS. Saya da Dr Johan Meuleman adalah panitia pelaksana yang menentukan arah pembahasan dan para pembicara serta peserta seminar. Hasil seminar itu dibukukan dalam serial terbitan INIS dan mengalami cetak ulang berkali-kali. Lihat Lies Marcoes-Natsir, Johan Hendrik Meuleman, “Wanita Islam Indonesia dalam Kajian tekstual dan Kontekstual, Seri ke 18, INIS, 1991.
[14] Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an (disertasi)
[15] Jajat Burhanuddin, Oman Faturrahman (eds), Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, Gramedia, 2004.
[16] Sinta Nuriyah, Kembang Setaman, Penerbit Kompas, 2004.
848031 173630Hmm, I never thought about it that way. I do see your point but I feel many will disagree 633748