NU, PALESTINA, DAN YAMAN

NU lahir merespon sekurang-kurangnya atas tiga hal, yaitu: kolonialisme, gerakan puritanisme Wahabi yang akan meratakan makam Rasulullah dan situs-situs bersejarah, dan identitas keislaman dan keindonesiaan.

NU sebagai gerakan anti-kolonialisme, ditandai dengan sikap patriotisme para kiyai dan santri dalam menghadapi kolonialisme. Dan klimaksnya adalah dikeluarkannya “Resolusi Jihad” oleh Hadzratu Syekh Hasyim Asy’ari.

Di saat makam Rasulullah dan situs-situs Islam akan diratakan rezim Wahabi Saudi, NU mengutus Romo KH. A. Wahab Chasbullah ke Saudi menyampaikan protes keras atas rencana tersebut dan menuai hasil: sampai sekarang makam Rasulullah masih terjaga.

Dan bagaimana hubungan NU, Palestina, dan Yaman? Perlu dijelaskan satu persatu hubungan NU dengan Palestina dan NU dengan Yaman.

NU DAN PALESTINA
Sebagaimana pada umumnya umat Islam dari berbagai mazhab, NU sangat memuliakan Masjidil Aqsha Palestina. Kemuliaan Palestina berdasarkan keyakinan akan Kisah Isra-Mi’raj Rasulullah dari Masjidil Aqsha yang diimani, dan pada masa Islam awal umat Islam menghadap kiblatnya ke Masjidil Aqsha yg kemudian direvisi kiblatnya ke Masjidil Haram.

Pasca pendudukan Israel atas tanah Palestina, NU adalah ormas yang dengan lantang memprotes tindakan Israel dan menggalang solidritas untuk Palestina. Tepat pada 12-15 Juli 1938 M/13 Rabiuts Tsani 1357 H dalam Muktamar NU ke-13 di Menes-Pandeglang Banten, Romo KH. A. Wahab Chasbullah secara resmi menyampaikan sikap NU atas penderitaan Palestina dengan mengatakan, “Pertolongan-pertolongan yang telah diberikan oleh beberapa komite di tanah Indonesia ini berhubung dengan masalah Palestina, tidaklah begitu memuaskan adanya. Kemudian guna dapat mencukupi akan adanya beberapa keperluan yang tak mungkin tentu menjadi syarat yang akan dipakai untuk turut menyatakan merasakan duka cita, sebagi perhatin dari pihak umat Islam di tanah ini. Atas nasib orang malang yang diderita oleh umat Islam di Palestina itu, maka sebaiknyalah NU dijadikan Badan Perantara dan Penolong Kesengsaraan umat Islam di Palestina. Maka pengurus atau anggota NU seharusnyalah atas namanya sendiri-sendiri mengikhtiarkan pengumpulan uang yang pendapatannya itu terus diserahkan kepada NU untuk diurus dan dibereskan sebagaimana mestinya”.

Pada tahun 80-an, Gus Dur bersama Gus Mus dan para seniman/budayawan mengadakan pembacaan puisi Doa untuk Palestina, sebagai penggalangan solidaritas untuk Palestina melalui strategi kebudayaan dan kultural. Dan pada tahun ini, 2017, Gus Mus mengadakan acara yang sama berama budayawan Taufik Ismail, Sutarji, Habib Quraisy Shiab, Adul Abdul Hadi, KH. Ulil Abshar Abdalla, Fatin Hamama, dan lain lain., pada saat Palestina memanas.

Pada tahun 90-an, Gus Dur yang dipercaya sebagai presiden gama-agama dunia melakukan komunikasi dan pergaulan di tingkat internasional untuk perdamaian Palestina.

Pada tahun 2017, KH. Makruf Amin selaku RAIS AM PBNU, mengajak umat Islam untuk bersama sama menggalang solidaritas untuk Palestina.

Jadi NU dalam sejarah sangat peduli dengan nasib Palestina. Karena Palestina adalah saudara. Palestina terluka, kita pun merasakan sakit.

NU DAN YAMAN
Hubungan NU dan Yaman sudah berlangsung lama. Secara tradisi keberagamaan NU dan Yaman memiliki banyak kesamaan: sama-sama pecinta bid’ah hasanah. Belakangan, banyak kader pesantren NU yang dikirim belajar di pesantren yang da di Hadramaut-Yaman.

NU juga menjadikan kitab Bughyatul Mustaryidin, anggitan Syekh Abdurrahman Ba’alwi, Mufti Yaman Pada abad 19, sebagai kitab yang absah dirujuk/mu’tabarah. Dalam kitab itu ada fatwa bahwa ardhun Jawa (baca; Indonesia) adalah dar al-Islam. Dan di kitab itu juga terdapat konsep waliyul amri dharuri bisy syaukah–juga di kitab-kitab yang lain–dan konsep ini dijadikan argumentasi keagamaan NU untuk Presiden Soekarno pada Muktamar NU di Purwokerto 26-29 Maret 1946.

Saat ini Yaman sedang diserang Arab Saudi (AS) dan sekutunya. AS lahir karena mendapatan dukungan kolonial Inggris. Sudah besar menjadi negara kolonial dengan memberikan pangkalan militer USA, mendukung invansi USA pada Irak dengan dalih adanya Senjata Pemusnah Massal (yang ternyata yang ada pembohong massal) dan belakangan menyerang Yaman. Krisis Timur Tengah pun tak lepas dari peran AS.

NU lahir dan besar sebagai kekuatan anti-kolonialisme. Tentu saja tidak setuju dan bahkan mengutuk upaya penjajahan melalui kekerasan dan peperangan yang sedang dipertontonkan AS.

Penderitaan Yaman adalah derita kita. [Mukti Ali Qusyairi]

SEDEKAH SIRRI

Bertetangga adalah seni bergaul. Keindahan berbagai ketersalingan di setiap interaksi; saling menghormati, saling menyapa, saling menolong, saling menyapa, berbagi, tebar senyum, dan empati.

Syahdan, masyarakat Nusantara pra-Islam, menghidupkan tradisi di depan rumahnya terdapat pelataran yang terhampar, tanpa ada sekat penghalang pagar. Ini bertujuan untuk disediakan bagi para pejalan baik tetangga atau siapapun yang hendak melewatinya. Bahkan, di pelataran itu kadang dibangun bangunan setinggi setengah meter, panjang satu atau dua meter, dan lebar 30 cm yg berfungsi untuk duduk-duduk bersama tetangga atau tempat istirahat bagi pejalan kaki melepas lelah. Di Cirebon disebut “buk”.

Atau pun menyediakan kursi atau amben bambu untuk duduk di teras rumah, menyediakan kendi berisi air, dan bahkan sumur tanpa ditutup, yang dengan sendirinya pengguna mengerti bahwa pemiliknya ridha.

Tradisi tersebut, diabadikan atau dilestarikan ketikan Islam datang. Sebab, tradisi tersebut dalam pandangan Islam termasuk tradisi positif yang dianjurkan, lantaran termasuk sedekah sirri.

Sedekah siri sebentuk pemberian/sedekah yang antara pemberi dan penerima tidak melakukan serah-terima secara langsung melalui akad, tapi secara kultural penerima manfaat sudah mengetahui akan keridhaan sang pemilik yang barang miliknya dgn sengaja diberikan pada publik.

Dengan kata lain, sedekah dalam kerahasiaan/siri. Sedekah siri ini bertujuan untuk menjaga sterilitas sedekah dari sikap-sikap negatif yang dapat merusak orientasi dan ketulusan dalam hati, seperti sikap pamer/riya, berbangga diri/ujub, ngungkit, dan takabur. Sedekah adalah pemberian tanpa kepentingan, tanpa syarat, dan tanpa tendensi.

Para sesepuh desa bertutur, bahwa dulu dalam pembuatan jalan-jalan dan gang-gang desa diambil dari tanah warga yangg memiliki kesadaran kolektif sedekah siri. Dan itu ide bersama berdasarkan musyawarah warga. Sebab kebutuhan bersama/umum.

Di sarapan pagi, biasa dilakukan di teras depan rumah yang terbuka. Ada teh tubruk panas, gorengan serabi, ubi/singkong godok, gorengan, dan lain lain. Setip ada yang lewat ditawarin mampir dan sarapan. Ada interaksi dan komunikasi sosial yang tercipta dengan hangat. Kohesi sosial yang merekat kuat.

Nilai-nilai kenusantaraan ternyata senafas dengan doktrin Islam. Tanah nusantara adalah tanah subur bagi Islam. Di antara doktrin Islam yang senafas dengan kenusantaraan adalah anjuran menghormati tetangga dan tamu, yang sedari awal orang-orang nusantara sudah menghidupkan dalam tingkah-laku. [Mukti Ali Qusyairi]

KEKHILAFAN ATAS KHILAFAH

Kata “Khilafah” di era modern merupakan sebuah kata yang pada kenyataanya mengalami perubahan makna berulang kali sesuai  konteks historisnya.  Kata itu semula disebut dalam teks sejarah sosial-keagamaan dalam mengkaji salah satu era dalam sejarah islam paska Nabi Muhammad. Namun kata itu  kini diposisikan sebagai ideologi dengan rumusan yang sama sekali berbeda dari asal usul sejarah kata itu.  Bahkan kini diimani sebagai kebenaran dan dianggap sebagai kekuatan Islam oleh sebagian muslim. Selain menjadi ideologi, khalifah pun hadir sebagai simbol keagamaan yang menjadi cita-cita utopis. “Khilafah Islamiyah” pun tidak lagi berbasis pada dimensi kemanusiaan sebagai tujuannya atau sebagai salah satu pilihan sistem dalam bernegara, melainkan menjadi gagasan yang disakralkan bahkan secara egois dimaknai sebagai pihak  yang paling Islami.

Secara historis, khilafah sebagai konsep gerakan politik muncul sebagai mimpi kaum tertindas di Palestina. Gagasan ini disuarakan oleh seorang hakim asal Haifa, Palestina, Taqiyuddin An-Nabhani tahun 1953. Ia memimpikan hadirnya khalifah, yang dianggap sebagai “Satrio Piningit”, meminjam istilah dalam ramalan Jayabaya dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pemasa. Khalifah diimpikan hadir untuk membebaskan dan menolong bangsa Palestina dari agresi bangsa asing.

Turki  Usmani atau dinasti Ottoman yang runtuh tahun 1924 dianggap oleh an-Nabhani sebagai wujud jati diri khilafah Islamiyah yang paling otoritatif. An-Nabhani menyayangkan kehancuran dunia Islam saat itu, karena Komunitas Muslim di Timur Tengah melepaskan sendiri nilai-nilai yang pernah ada di masa lampau dan hidup dalam permusuhan satu sama lain, terkotak-kotak dalam negara-negara kecil.

An-Nabhani memimpikan hadirnya kembali kekuasaan dunia Islam dengan terciptanya khilafah yang dapat menyatukan muslim dari berbagai belahan dunia. Untuk mewujudkannya dibutuhkan sebuah kendaraan politik yaitu Party of Liberty (Partai Pembebasan) dikenal dengan nama  Hizbut Tahrir. Partai universal ini dibentuk tahun 1953 di Yordania dan didaftarkan resmi sebagai sebuah partai politik kepada otoritas Yordania. Khilafah pun kemudian diperlakukan sebagai gagasan sistem politik, dan ini tentu  saja jauh dari khilafah sebagai nilai. Akibatnya, sebagai teori, khilafah pun dikecilkan ke dalam sistem politik tertentu yaitu sistem politik  yang dibangun oleh Hizbut Tahrir. Dengan sendirinya ini telah menghilangkan esensi nilai dalam hakikat makna khilafah itu sendiri.

Atas perkembangan ini, makna khilafah perlu dibedakan atas tiga hal. Pertama, Khilafah sebagai nilai, Kedua, Khilafah sebagai cerita dan kisah dalam sejarah, Ketiga, Khilafah sebagai ideologi politik. Pembedaan ketiga hal ini  perlu dipahami agar tidak terjebak dalam teori khilafah  model yang paling rendah yaitu sebagai ideologi politik sebagaimana ditawarkan kelompok Hizbut Tahrir dalam memahami khilafah.[1]

Kalau dikaji secara teologis, kata “khilafah” ini disebut sebelum penciptaan Adam,

 

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ

Artinya,

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana? sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?, Dia berfirman, “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 30)

 

Qurthubi dalam tafsirnya[2], Al-Jȃmi’ li ahkȃm al-Qur’ȃn wa al-Mubayyin Li Mȃ Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqȃn,  “Khalifah”; “annahu alladzȋ yufashshilu bayna al-nȃsi fȋ mȃ yaqa’u baynahum mina al-mazhȃlimi”[3], (orang yang menghindari kezhaliman yang terjadi di antara manusia dan menghindari mereka dari berbuat dosa). Khalifah dalam bayangan AL-Qurtubi yakni seorang yang bijaksana, dengan kebijaksanaannya mampu menghindari kelaliman dan membebaskan sesama dari ketertindasan, dan menghalangi orang untuk berbuat dosa. Dosa yang dimaksud disini yaitu dosa karena melukai orang lain atau menyakiti orang lain. Khalifah dalam definisi Qurthubi yaitu manusia ideal dengan pemahaman kemanusiaannya yang kaffah. Qurthubi juga mendefinisikan Khilafah, “Yakhlufu man kȃna qablahu mina al-Malȃikati fȋ al-ardhi”, (makhluk yang menggantikan peran makhluk sebelumnya, yakni Malaikat, di muka bumi. Kisah dialog dalam Surah Al-Baqarah di atas dalam pemahaman Qurthubi  adalah saat Tuhan hendak menciptakan manusia sebagai pengganti peran Malaikat  yang kemudian dipertanyakan oleh Malaikat, apakah ciptaan itu bisa lebih baik dari malaikat yang tidak pernah merusak bumi dan selalu menghiasi bumi dengan tasbih dan selalu mensucikan Tuhan.

Khalifah sebagai nilai, berarti sosok dengan segala sifat kebijaksanaannya, menciptakan kebajikan untuk dirinya, orang lain dan lingkungan, memelihara bumi dari kehancuran, melestarikan kedamaian antar sesama, bukan seorang raja yang memerintah mengatasnamakan agama untuk melanggengkan kekuasaannya.

Karenanya menganggap bahwa khalifah hanya berdimensi politik dan bersifat tunggal sebagai sistem politik merupakan sebuah kekeliruan. Cara itu telah menyeret makna khilafah sebagai nilai menjadi simbolitas politik dari sebuah ideologi tertentu itu.

Kembali kepada dimensi teologis dan sejarah Islam, khalifah itu bukan hanya menunjuk kepada Nabi Adam saja; khalifah itu juga bukan hanya terlahir pada saat Nabi Muhammad Saw mangkat, lalu dilanjutkan oleh khulafaurrasyidin, dinasti-dinasti Muawiyah, Abbasiyah dan lainnya.

Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib, keempatnya diakui sebagai khalifah namun memiliki model pengangkatan sebagai khalifah dan model pemerintahan yang berbeda-beda. Dalam buku Mausȗ’atu al-tȃrȋkh wa al-hadhȃrah al-Islȃmiyyah, karya Ahmad Shalabi, seorang pakar sejarah politik Islam Klasik,  Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin umat Islam berkat bai’at dari mayoritas para tokoh dan para kepala suku yang hadir di Balairung Tsaqifah di sebuah desa Bani Sa’idah, Madinah, setelah melalui perdebatan yang panjang. Umar ibn Khattab? Ia ditunjuk langsung oleh Abu Bakar sebagai pewaris kepemimpinannya kelak pasca wafatnya, pengangkatan itu menimbang situasi keamanan umat yang sedang darurat. Penunjukkan langsung ini disetujui oleh para tokoh saat itu setelah menggelar dialog warga di depan kediaman Abu Bakar. Utsman bin Affan? Beliau dipilih berdasarkan hasil musyawarah para pemuka sahabat yang berada di Madinah dilakukan selama 3 hari dengan arahan dan mekanisme yang diketahui Umar Ibn Khattab yang sedang dirawat di rumahnya pasca penikaman atas dirinya oleh Abu Lu’lu’ah. Lalu Ali bin Abu Thalib?  Beliau dibaiat oleh masyarakat dan para veteran perang Badar  pasca terbunuhnya Utsman ibn Affan di kediamannya, pada 19 Dzulhijjah tahun 35 H. Keempatnya, Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib, dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin (Pemimpin orang Mukmin), bukan khalifah dalam definisi fundamentalis sekarang, meski julukan mereka sebagai khalifat khalifat al-nabiy. Keempatnya pun tidak hanya sebagai pemimpin politik tapi juga berperan sebagai hakim agung sekaligus sosok yang dimintai fatwa oleh masyarakatnya.

Setelah itu, pemerintahan dunia Islam di pimpin oleh dinasti-dinasti dengan sistem pemerintahan klasik, kerajaan, tahta pemimpin politik diwariskan secara turun temurun, di mana dunia Islam menjadi milik keluarga dan keturunannya semata. Misalnya dinasti Umayyah berkuasa tahun 661-750 Masehi. Lalu Abbasiyah 750-1258 Masehi. Setelah itu, dinasti Turki Usmani, Dinasti Syavawi Persia, Dinasti Mughal di India, Dinasti Fatimiyah di Mesir, dan lain-lain. Kesemua dinasti itu murni menganut sistem politik kerajaaan di mana pemerintahannya diwariskan secara turun temurun, mereka bergelar sebagai raja dengan julukan khalifatullah fi al-ardhi.

Dari kajian ini jelas bahwa menunggalkan makna khilafah sebagai sistem perjuangan politik umat Islam semesta sebagaimana dimaknai ala Hizbut Tahrir atau kelompok lain yang mengklaim pelanjut khilafah Islamiyah adalah sebuah kekhilafan. Islam adalah ruh di berbagai sistem politik dengan ciri yang sangat tegas – senantiasa berpihak kepada keadilan dan kemanusiaan, bukan kekuasaan.[Achmat Hilmi]

 

[1] Lihat Abdel Qadim Zallum, Nizhȃm al-Hukmi fȋ al-Islȃm, Cet. Keenam, Manshȗrȃt Hizbi al-Tahrȋr  2002

[2] Imam Qurthubi bernama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Anshari al-Qurthubi, seorang ahli hadits, ahli fikih, ahli qira’at, dan ahli tafsir terkenal, lahir di Qurthuba (Cordova) Spanyol, dan wafat di Mesir tahun 671H.

[3] Imam Qurthubi, Al-Jȃmi’ li ahkȃm al-Qur’ȃn wa al-Mubayyin Li Mȃ Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqȃn, Jilid 1, hal

Counter-Narasi Terhadap Kaum Jihadis

GERAKAN radikal jihadis tidak pernah mati. Nama organisasi seringkali berganti, tetapi substansi perjuangan tidak pernah pudar: konsisten dengan misi penegakan negara Islam, khilafah, dan penerapan syairat Islam secara kaffah. Misi ini meniscayakan mereka menegasikan negara yang menggunakan sistem nation-state dan demokrasi dengan memberi cap ‘thâghût’. Sebab, menurut golongan jihadis, setiap negara yang tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah disebut ‘thâghût’.

Para ideolog dan konseptor jihadis awal, seperti Abu al-A’la al-Maududi dan Sayyid Qutb, menggunakan istilah ‘sistem jahiliyah’ bagi negara yang tidak menerapkan syariat Islam. Para pengikut setianya menyebut sebagai ‘sistem jahiliyah modern’. Sedangkan istilah ‘thâghût’ baru muncul dimulai dari Abdullah Azam, konseptor dan komandan jihad Afghanistan. Istilah ‘thâghût’ juga digunakan oleh para pengikut dan murid-murid ideologinya yang ada di Indonesia.

Istilah ‘thâghût’ yang dilontarkan oleh kalangan jihadis merupakan klaim yang mengandung konsekuensi cukup serius, tidak sekedar pengkafiran tetapi juga meniscayakan perubahan secara radikal, revolusioner, dan tidak setengah-setengah dengan cara-cara kekerasan, seperti pengeboman dengan atas nama jihad.

Mereka menjadi eksis dengan berpijak pada sebuah hadits mengenai pemimpin akhir zaman sebagai pembenar. Hadits tersebut seolah ‘memberi harapan’ kepada mereka untuk bisa kembali mendirikan khalifah Islamiyah. Disebutkan dalam hadits tersebut bahwa di satu saat, setelah tumbangnya pemimpin-pemimpin diktator dari umat Muslim, akan muncul khalifah ‘alâ minhâj al-nubûwwah yang tegak di atas bumi.

Klaim kalangan jihadis soal khalifah ‘ala minhâj al-nubûwwah menuai respon dari berbagai kalangan, tak terkecuali dari kalangan ulama dan tokoh muda Islam Indonesia. Pada 31 Juli-3 Agustus 2016, para ulama dan tokoh muda Islam NU, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, Mathali’ul Anwar dan Al-Khairat berkumpul di Hotel Rancamaya Bogor, yang difasilitasi oleh Wahid Foundation (WF), bertujuan merespon dan membuat counter-narasi terhadap kalangan jihadis serta membuat narasi damai.

Para ulama dan toko Islam Indonesia menyatakan bahwa ‘thâghût’ adalah segala perbuatan yang melampaui batas yang secara substansial menentang hukum Allah dan Rasul-Nya serta mengingkarinya. Jika tidak mengingkari dan meralisasikannya secara substansial maka tidak bisa disebut ‘thâghût’. Sehingga pemerintahan Indonesia tidak bisa dikatakan ‘thâghût’, sebab aturan dan hukum yang terdapat di Indonesia tidak mengingkari substansi nilai-nilai Islam.

Ajaran Islam sendiri yang bersumber dari al-Qur`an dan Sunnah memberi kewenangan kepada para ulama untuk berijtihad merumuskan hukum yang relevan dan maslahat bagi bangsa dan negara selama tidak bertentangan dengan keduanya.

Di samping itu, Islam tidak menentukan sistem pemerintahan tertentu dan memberikan kebebasan untuk mengadopsi sistem pemerintahan manapun selama substansinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam. Sebab yang menjadi perhatian adalah substansi, bukan bentuk. Sebagaimana disebutkan dalam prinsip yang berbunyi, “al-‘ibrah bi al-jawhar, lâ bi al-mazhhar”.

Substansi pemerintahan dalam perspektif Islam ialah suksesi kepemimpinan yang bisa mengatur berbagai kebutuhan dan kemaslahatan rakyat. Dalam kaidah fikih disebutkan, “Tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûth bi al-maslahah”. Dan jika tidak ada pemimpin, maka akan terjadi disintegrasi bangsa dan kekacauan. Tentunya yang dipilih adalah pemimpin yang menjunjung tinggi moralitas yang mulia dan agung, seperti adil.

Khilafah Islamiyah sebagai sistem sudah tidak maslahat (relevan) dan bisa diganti dengan sistem nation-state (negara-bangsa). Terlebih lagi sistem khilafah merupakan hasil ijtihad masa lalu dan tidak ada kewajiban untuk mengikutinya. Dalam al-Qur`an sendiri tidak dijelaskan tentang kewajiban untuk menegakkan sistem khilafah, yang ada hanyalah sistem syura, “Wa amruhum syûrâ baynahum.”

Semakin menguatnya gerakan kelompok jihadis karena mereka merasa sesuai dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa akan muncul khalifah ‘alâ minhâj al-nubûwwah yang tegak di atas bumi, dan menurut mereka sudah tiba saatnya untuk mendirikan khilafah sebagaimana hadits itu. Padahal, berdasarkan kajian dan diskusi bahtsul masail cukup serius, para ulama dan tokoh muda Islam Indonesia menyimpulkan bahwa hadits tersebut terdapat tujuh versi. Dari ketujuh versi tersebut, ada enam versi yang kualitas sanad-nya tidak sampai pada level shahîh, karena terdapat dua perawi hadits yang masih diperdebatkan kredibilitasnya (tsiqah). Sementara hadits yang tergolong shahîh hanya satu, dan itupun isinya tidak mendeskripsikan periodesasi kepemimpinan akhir zaman sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits lainnya.

Terdapat banyak hadits Nabi yang berkualitas shahîh yang isinya sangat kontradiktif dengan hadits tersebut. Di antaranya adalah hadits yang menyatakan bahwa khalifah hanya berlaku selama 30 tahun setelah Nabi wafat. Sedangkan maksud hadits yang berisi tentang kepemimpinan akhir zaman adalah Khalifah Umar ibn Abdil Aziz dari Bani Umayyah. Hadits lainnya berbicara tentang kepemimpinan akhir zaman yang isinya tentang turunnya Isa al-Masih dan Imam Mahdi. Hadits-hadits tersebut bersifat prediktif, dan sama sekali tidak berbentuk perintah untuk menegakkan khalifah.

Sementara yang dimaksud dengan ‘ala minhaj al-nubûwwah adalah cara-cara yang ditempuh oleh Nabi Saw. secara substansial untuk menyempurnakan keadilan. Menurut Mulla Ali al-Qari, yang dimaksud dengan ‘alâ minhaj al-nubûwwah adalah kepemimpinan Isa al-Masih dan Imam Mahdi yang akan turun kelak di akhir zaman yang dapat menegakkan keadilan berdasarkan cara-cara atau metode yang digunakan oleh Nabi Muhammad Saw., bukan sebagaimana yang disangkakan oleh para propagandis tegaknya Khilafah Islamiyah, seperti ISIS, HTI dan sejenisnya.

Para ulama dan tokoh muda Indonesia juga meluruskan makna jihad yang telah direduksi maknanya oleh golongan radikal jihadis menjadi hanya bermakna qitâl (perang atau membunuh). Mengutip pandangan Sayyid Bakr ibn al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi di dalam kitab “Hâsyiyah I’ânah al-Thâlibîn Syarh Fath al-Mu’în”, bahwa jihad tidak identik dengan perang atau membunuh. Di antara makna jihad adalah melaksanakan penyiaran agama, mengajarkan ilmu-ilmu syariat (seperti tafsir al-Qur`an, hadits, fikih, dan sejenisnya), melindungi warga sipil baik dari kalangan umat Muslim, dzimmîy (non-Muslim yang berdamai) dan musta’man (non-Muslim yang melakukan perjanjian perdamaian dengan kaum Muslim) dari marabahaya yang mengancam, menganjurkan dan menyerukan kebaikan serta melarang kemungkaran, menjawab salam dan menebar kedamaian bagi umat manusia.

Begitu luasnya pengertian jihad, sehingga qitâl (perang) bukanlah tujuan utama jihad. Karena jihad dalam arti qitâl (membunuh atau memerangi) hanyalah wasilah (media/sarana), bukan tujuan. Jihad yang baik dan benar adalah tanpa perang dan pemaksaan. Tujuan dan target jihad adalah tercapainya hidayah, seperti mengajak umat manusia ke jalan yang benar tanpa berperang. Yang demikian itu, justru lebih utama daripada harus berperang, sehingga umat manusia tulus dan ikhlas menerima hidayah. Dan jihad dalam arti qitâl baru boleh dilakukan dalam kondisi darurat, seperti untuk membela diri (jihâd difâ’îy). Jihad dalam arti qitâl tidak boleh dalam kondisi damai.

Selain mereduksi makna jihad diidentikkan dengan qitâl, kaum radikal jihadis termasuk dalam golongan takfiri (gemar mengkafirkan sesama umat Muslim). Ini adalah sebuah ironi, karena kafir adalah sikap mengingkari ketuhanan Allah dan mengingkari apa yang datang dari Rasulullah. Dan para ulama telah bersepakat bahwa orang yang bersaksi atas ketuhanan Allah dan kenabian Rasulullah Saw., maka ia tergolong muslim dan tidak boleh dikafirkan. Orang yang mengkafirkan muslim, maka ia sendiri yang kafir. Sesama umat Muslim tidak boleh saling mengkafirkan.[Mukti Ali]

Hizbut Tahrir dan Mimpi Khilafah Islamiyah[1]

Disarikan dari Diskusi Kitab Jihad Seri IV yang diselenggarakan pada Kamis, 10 Maret 2016, di Aula The Wahid Institute, Matraman, Jakarta, dengan tema “Nizhâm al-Islâm, Karya Taqiyuddin al-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir”. Pembicara dalam diskusi ini: Ulil Abshar Abdalla (Direktur ICRP), Ahmad Hilmi (Peneliti Rumah KitaB), dan Shiddiq al-Jawi (HTI Pusat). Kitab yang dikaji: “Nizhâm al-Islâm”, karya Taqiyuddin al-Nabhani.

____________________________________

 

Taqiyuddin al-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir

Ia adalah Muhammad Taqiyuddin al-Nabhani ibn Ibrahim ibn Mustafa ibn Ismail ibn Yusuf al-Nabhani. Ia dikenal dengan nama Taqiyuddin al-Nabhani, keturunan kabilah Bani Nabhan[2] yang merupakan salah satu suku dari Arab al-Badiyah. Bani Nabhan ini bermukim di desa Ijzim, yang terletak di sebelah utara kota al-Quds, Palestina.

Taqiyuddin al-Nabhani lahir di desa Ijzim pada tahun 1909 M. Lingkungan keluarganya adalah penganut Ahl al-Sunnah. Ayahnya bernama Ibrahim ibn Mustafa, seorang ulama ahli fikih dan bekerja sebagai pengajar ilmu-ilmu syariat pada Kementerian Pendidikan Palestina. Sedangkan ibunya adalah putri dari Yusuf ibn Ismail ibn Yusuf al-Nabhani.[3] Dalam keluarga yang komitmen keagamaannya tinggi inilah Taqiyuddin al-Nabhani tumbuh dan berkembang. Ia sangat cerdas, tak mengherankan jika ia mampu menghafal al-Qur`an di bawah usia 13 tahun.[4]

Pendidikan pertama Taqiyuddin al-Nabhani diperoleh di rumahnya di bawah bimbingan ayah dan kakeknya. Ia telah diajari dasar-dasar ilmu agama di rumahnya. Ia juga belajar di Sekolah Dasar di daerah Ijzim. Setelah tamat Sekolah Dasar, ia melanjutkan Sekolah Menengah di ‘Aka. Belum selesai Sekolah Menengah, ia pindah ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Perpindahan ini terjadi karena kakeknya telah menyakinkan ayahnya tentang perlunya mengirim Taqiyuddin al-Nabhani ke Al-Azhar untuk melanjutkan pendidikan dalam bidang ilmu syari’ah.[5]

Taqiyuddin al-Nabhani masuk Al-Azhar tahun 1928. Ia masuk mulai tingkat Tsanawiyah. Dan pada tahun yang sama, ia berhasil meraih ijazah Tsanawiyah dengan predikat sangat memuaskan. Selesai Tsanawiyah Al-Azhar, ia melanjutkan studinya di Universitas Darul Ulum. Proses belajar di Universitas Darul Ulum sangat mempengaruhi pemikiran Taqiyuddin al-Nabhani, terutama disiplin ilmu filsafat.

Ketika kuliah di Darul Ulum, Taqiyuddin al-Nabhani sering menghadiri halaqah-halaqah ilmiah di Universitas Al-Azhar yang diisi oleh ulama Al-Azhar, semisal Syaikh Muhammad al-Hidhir Husain. Teman-teman dan para dosen mengenalnya sebagai sosok yang cerdas dengan pemikiran dan pemahaman yang mendalam, serta berkemampuan tinggi untuk meyakinkan orang di dalam berbagai diskusi.[6]

Taqiyudin al-Nabhani menyelesaikan studinya di Universitas Darul Ulum pada tahun 1932. Dan pada tahun yang sama, ia menyelesaikan kuliahnya di Universitas Al-Azhar menurut sistem lama. Ketentuan sistem lama memungkinkan mahasiswanya untuk memilih beberapa ulama Al-Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab, fikih, ushul fikih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan ilmu-ilmu Islam lainnya.

Setelah lulus Al-Azhar, Taqiyuddin al-Nabhani kembali ke Palestina. Selama di Palestina, ia bekerja pada Departemen Pendidikan sebagai guru di Sekolah Menengah Atas Negeri (Tsanawiyah Nizhamiyah) di Haifa. Di kota yang sama, ia mengajarkan ilmu-ilmu syariat di Madrasah Islamiyah.

Dalam kurun waktu tahun 1932 sampai dengan 1938, Taqiyuddin al-Nabhani kerap berpindah tempat tinggal dan tempat mengajar.[7] Selama berkecimpung di dunia pendidikan, ia gelisah dan resah melihat pengaruh Barat makin merasuk ke sekolah-sekolah. Ia menganggap pengaruh Barat dalam bidang peradilan relatif kecil bila dibandingkan di dunia pendidikan. Untuk itu ia memilih berkecimpung di dunia hukum dari pada pendidikan. Inilah alasan yang menyebabkannya meninggalkan bidang pendidikan dan bekerja di Mahkamah Syar’iyah.[8]

Ketika Taqiyuddin al-Nabhani kembali dari Kairo ke Palestina dan menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestina, ia sudah melakukan upaya penyadaran mengenai situasi saat itu kepada para murid yang diajarnya dan orang-orang yang ditemuinya. Ia memandang bahwa pengaruh penjajah Barat di negeri umat Muslim semakin kuat. Alasan ini pula yang memotivasinya untuk membangkitkan pemikiran dan perasaan umat Muslim dengan Islam dan menggelorakan semangat murid-muridnya untuk berpegang teguh kepada Islam. Ia melihat bahwa Barat tidak hanya menjajah umat Muslim, tetapi juga meracuni pemikiran mereka. Semua itu disampaikannya melalui berbagai kutbah, dialog, diskusi, dan perdebatan.

Saat pindah pekerjaan dari pengajar ke bidang peradilan, Taqiyuddin al-Nabhani juga selalu mengadakan kontak dengan para ulama dan para pemikir yang dikenal dan ditemuinya di Mesir. Kepada mereka ia menawarkan ide pembentukan sebuah partai politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan umat Muslim, mengembalikan kemuliaan dan kejayaan mereka. Untuk tujuan ini, ia rela berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di Palestina.[9]

Kedudukan Taqiyuddin al-Nabhani di Mahkamah Isti’naf di al-Quds sangat membantu aktivitasnya. Ia dapat menyelenggarakan berbagai seminar dan mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di Palestina. Dalam kesempatan itu, ia berdialog dengan mereka mengenai metode kebangkitan yang benar. Ia banyak berdebat dengan para pendiri organisasi-organisasi sosial Islam (Jam’iyah Islamiyah) dan partai-partai politik yang bercorak nasionalis dan patriotis.[10]

Taqiyuddin al-Nabhani sering melontarkan berbagai masalah politik dalam kutbah yang ia sampaikan pada acara-acara keagamaan di berbagai masjid, seperti Masjid al-Aqsha, Masjid Ibrahim al-Khalil (Hebron), dan masjid-masjid lainnya. Ia mengkritik sistem pemerintahan negara-negara Arab yang berbentuk monarkhi. Menurutnya, sistem pemerintahan Islam bukanlah monarkhi melainkan khilafah. Ia mengemukakan bahwa perubahan paradigma sistem pemerintahan di negara-negara Arab tersebut merupakan rekayasa penjajah Barat dan hal ini merupakan strategi Barat untuk mencengkeram negeri-negeri Islam. Karena itu ia berpandangan bahwa umat Muslim wajib mendirikan partai politik yang berasaskan Islam. Ia kemudian mencalonkan dirinya untuk menduduki Majelis Perwakilan. Karena sikap-sikapnya yang kritis terhadap pemerintah yang berkuasa, aktivitas politik dan upayanya yang sungguh-sungguh untuk membentuk sebuah partai politik, serta keteguhannya berpegang kepada agama (Islam), ia tidak berhasil untuk duduk di Majelis Perwakilan.

Kecaman Taqiyuddin al-Nabhani terhadap sistem pemerintahan negeri-negeri Arab tersebut membuat marah raja Yordania, Abdullah ibn al-Husain. Sikapnya yang keras dan tegas, hampir saja mengantarkannya ke penjara. Sekalipun demikian, kejadian tersebut tidak menyurutkan aktivitas politiknya. Ia terus mengadakan kontak-kontak dan diskusi-diskusi, sehingga akhirnya ia berhasil meyakinkan para ulama, tokoh politik dan pemikir untuk membentuk partai politik yang berasaskan Islam. Ia menawarkan kepada mereka kerangka organisasi dan pemikiran yang dapat digunakan sebagai landasan bagi partai yang akan dibentuk itu. Ternyata pemikiran-pemikirannya itu dapat diterima dan disetujui oleh para ulama, pemikir, dan politikus. Setelah Hizbut Tahrir terbentuk, aktivitas Taqiyuddin al-Nabhani semakin padat.

Sikap Taqiyuddin al-Nabhani terhadap Pemerintah Yordania membawa implikasi berupa larangan Hizbut Tahrir untuk melakukan seluruh aktivitasnya. Namun ia sama sekali tidak peduli dengan larangan tersebut. Ia tetap teguh melanjutkan misinya menyebarkan risalah yang telah ditetapkan sebagai asas bagi Hizbut Tahrir. Ia sangat berharap bisa membangkitkan umat Muslim melalui Hizbut Tahrir, gerakan dakwah yang telah ia dirikan dan ia tetapkan falsafahnya yang digali dari teks-teks syariat dan sejarah Nabi Saw.

Menyadari eksistensi Hizbut Tahrir sebagai partai politik terlarang di Yordania, Taqiyuddin al-Nabhani menjalankan aktivitas pembinaan kader-kadernya secara rahasia. Langkah ini ditempuhnya untuk menjaga kelangsungan dakwah Hizbut Tahrir. Meskipun dalam tataran praktis, aktivitas politik Taqiyuddin al-Nabhani tidak terlihat. Dalam tataran ide, ia tetap melakukan kritik kepada penguasa secara terbuka. Ia segera membentuk Dewan Pimpinan yang baru bagi Hizbut Tahrir. Ia sendiri yang menjadi pimpinannya. Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah.

Sepanjang masa kepemimpinannya, Taqiyuddin al-Nabhani telah melakukan berbagai upaya untuk memajukan Hizbut Tahrir sebagai partai berasaskan Islam yang memiliki pola tahapan dakwah yang terencana, sistematis dan terukur, sehingga cukup diperhitungkan oleh seluruh pemikir dan politikus, baik yang bertaraf regional maupun internasional, meskipun Hizbut Tahrir tetap tergolong partai terlarang di dunia Islam.

Aktivitas politik merupakan aspek paling menonjol di dalam kehidupan Taqiyuddin al-Nabhani hingga akhir hayatnya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa Taqiyuddin a-Nabhani adalah Hizbut Tahrir itu sendiri. Kemampuannya dalam melakukan analisis politik tampak dalam kecermatan selebaran yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir. Taqiyuddin al-Nabhani juga banyak menelaah peristiwa-peristiwa politik, lalu mendalaminya secara teliti, disertai pemahaman yang tajam terhadap situasi dan ide-ide politik yang berkembang dan aktual.

Ia mengkritik nasionalisme yang dianggapnya menghambat manusia untuk merealisasikan dirinya di dunia ini, karena ikatan yang digunakan adalah ikatan tanah air, bukan ikatan Tuhan. Berbeda dengan khilafah Islamiyah, ikatan yang digunakan adalah ikatan Tuhan. Makanya, khilafah Islamiyah anti negara, anti tanah air. Ikatannya bukan lagi batas-batas bangsa, batas-batas negara, melainkan ikatan agama. Untuk mewujudkan itu, menurutnya harus ada kepemimpinan yang berdasarkan syariat Islam, yaitu Khilafah Islamiyah.

Khilafah Islamiyah bagi Taqiyuddin al-Nabhani merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir mengemban tugas sejarah untuk mendirikan khilafah Islamiyah. Karena, bagi Taqiyuddin al-Nabhani, dunia saat ini dikuasai oleh tiga ideologi besar. Pertama, kapitalisme; kedua, sosialisme dan komunisme; ketiga, Islam. Dua ideologi pertama, yaitu kapitalisme dan sosialisme, berpengaruh besar di beberapa negara. Sayangnya, dua ideologi ini tidak memberikan sumbangan apa-apa terhadap dunia, justru menjauhkan manusia dari agama dan Tuhan. Sehingga, menurut Taqiyuddin al-Nabhani, perlu diajukan ideologi Khilafah Islamiyah yang disyariatkan oleh Islam, yang tidak memisahkan kehidupan dari agama dan Tuhan. Nah, Khilafah Islamiyah ini adalah salah satu cita-cita yang diusung Hizbut Tahrir untuk melawan ideologi yang sekarang berkembang di dunia.

Pada 20 Juni 1977 M/25 Rajab 1398 H Taqiyuddin al-Nabhani wafat. Ia dikebumikan di pemakaman al-Auza’i di Beirut. Ia menghadap Tuhan dengan meninggalkan puluhan karya hasil pemikiran dan ijtihadnya. Karya-karyanya mencapai 30 lebih, yang mengkupas berbagai bidang, mulai bidang politik, ekonomi, sosial, hingga masalah-masalah individu. Selain itu, ia juga menulis banyak artikel yang berisi tanggapan terhadap situasi yang terjadi, kritik konstruktif berdasarkan persepsi Islam, yang ia tulis dan disebarkan sebagai solusi problematika yang muncul.

Di antaranya karya-karya Taqiyuddin al-Nabhani adalah: (1). Nizhâm al-Islâm; (2). Al-Takattul al-Hizbîy; (3). Mafâhîm Hizb al-Tahrîr; (4). Nizhâm al-Iqtishâd fî al-Islâm; (5). Al-Nizhâm al-Ijtimâ’îy fî al-Islâm; (6). Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm; (7). Al-Dustûr; 8. Muqaddimah al-Dustûr; (9). Al-Dawlah al-Islâmîyyah; (10). Al-Syakhshîyyah al-Islâmîyyah [3 Jilid]; (11). Mafâhîm Siyâsîyyah li Hizb al-Tahrîr; (12). Nazharât Siyâsîyyah li Hizb al-Tahrîr; (13). Al-Khilâfah; (14). Al-Tafkîr; (16). Sur’at al-Badîhah; (17). Nuqthah al-Intilâq; (18). Dukhûl al-Mujtama’; (19). Inqâdz Falisthîn; (20). Risâlah al-‘Arab, dan; (22). Hall Qadhîyyah Falisthîn ‘alâ al-Tharîqah al-Amrîkîyyah wa al- Inkilîzîyyah?

 

Mimpi Khilafah Islamiyah

Hizbut Tahrir merupakan salah satu gerakan yang belakangan menjadi pembicaraan di mana-mana karena Banser NU saat ini sedang melakukan kegiatan untuk menangkal penyebaran Hizbut Tahrir di berbagai daerah di Nusantara. Hizbut Tahrir dianggap sebagai gerakan yang berlawanan dengan dasar-dasar negara, yaitu negara Pancasila. Hizbut Tahrir dianggap ingin mendirikan negara yang berbeda, sementara NU punya suatu “aqîdah siyâsîyyah” atau falsafah politik bahwa Indonesia adalah negara yang sudah final.

Kalau menelaah beberapa literatur Hizbut Tahrir, sebetulnya teori jihad di dalam ideologi Hizbut Tahrir tidak menempati kedudukan yang penting, meskipun tentu saja tidak diabaikan sama sekali. Fokus utama dari teori Hizbut Tahrir adalah khilafah, teori mengenai negara khilafah.

Negara khilafah oleh Taqiyuddin al-Nabhani dan Hizbut Tahrir mungkin sebagai satu-satunya instrumen untuk membawa kembali khilafah yang sudah hilang karena dihancurkan oleh Kamal Ataturk pada tahun 1923. Taqiyuddin al-Nabhani sendiri merupakan cucu dari seorang ulama besar yang cukup populer di kalangan NU yaitu Syaikh Yusuf al-Nabhani. Syaikh Yusuf al-Nabhani adalah seorang tokoh besar di dalam pemikiran Sunni modern yang menulis beberapa sangkalan terhadap akidah Wahabiyah.

Jadi, fokus Hizbut Tahrir adalah khilafah. Dasar gagasan khilafah ini adalah jatuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani pada tahun 1923. Jatuhnya kekhilafahan ini memang menimbulkan syok besar di kalangan umat Muslim ketika itu. Ada banyak gerakan khilafah: Mesir, India, Saudi, dan lain-lain. Mungkin mereka merasa setelah jatuhnya kekhilafahan Turki Utsmani mereka bisa mewarisi kekhilafahan itu.

Sebenarnya gerakan khilafah ini tidak hanya dimonopoli Hizbut Tahrir, tetapi sejak runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani sudah ada beberapa gerakan penegakan khilafah di berbagai belahan dunia Islam. Namun Hizbut Tahrir-lah yang secara resmi menjadikan ini sebagai tema besar gerakan.

Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Yordania dan didaftarkan resmi sebagai sebuah partai kepada otoritas Yordania. Lantas kenapa Hizbut Tahrir di negara-negara lain seperti Indonesia, misalnya, juga tidak mendaftarkan secara resmi sebagai sebuah partai. Padahal sejak awal berdirinya Hizbut Tahrir resmi sebagai sebuah partai Islam? Mungkin akan ada perdebatan panjang mengapa Hizbut Tahrir di negara-negara lain tidak menjadi partai politik.

Hizbut Tahrir ini sebetulnya tidak cukup sukses berkembang di Timur Tengah, jauh bila dibandingkan, misalnya, dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Hizbut Tahrir ini di negara-negara di Timur Tengah justru dilarang. Mungkin karena sejak awal tujuan Hizbut Tahrir adalah mendirikan sebuah negara—dari awal karakternya adalah politik. Tidak seperti Ikhwanul Muslimin yang awalnya bukan gerakan politik, sama seperti NU, meskipun memang tendensi politik sejak awal sudah ada. Tetapi gerakan Ikhwanul Muslimin itu lebih merupakan gerakan dakwah. Kalau dalam istilah PKS itu adalah tarbiyah.

Hizbut Tahrir di negara-negara Timur Tengah memang tidak diberikan ruang, karena dari awal mereka sudah mencium motif politik, bukan sekedar dakwah. Di negara-negara Asia Tengah juga dilarang, bahkan dilarang sangat keras, misalnya di Yordania.

Hizbut Tahrir justru berkembang di kawasan luar Arab, dan berkembang cukup baik di dua kawasan, di mana keduanya adalah kawasan kebebasan politik. Pertama, Hizbut Tahrir berkembang di Barat, bukan di Arab. Berbeda dengan Ikhwanul Muslimin yang buminya adalah di negara-negara Arab, di Barat muncul belakangan. Sementara Hizbut Tahrir lahirnya di Timur Tengah tetapi berkembang di Barat, mencakup Eropa dan beberapa negara lainnya. Tetapi yang paling banyak di Inggris. Kalau kita menonton BBC, banyak sekali talkshow yang menghadirkan juru bicara dari Hizbut Tahrir. Karenanya tidak mengherankan jika pusat dakwah (khilafah/kantor pusat) Hizbut Tahrir dulunya adalah di Barat. Kedua, Hizbut Tahrir berkembang di Indonesia. Jadi, Hizbut Tahrir berkembang di negara-negara yang iklim kebebasannya sangat baik. Sementara di negara yang otoriter, Hizbut Tahrir biasanya tidak bisa berkembang dengan cukup leluasa.

Nah, yang menarik, strategi Hizbut Tahrir adalah lâ ‘unfîyyah (tanpa kekerasan). Tetapi gerakan ini tidak bisa diingkari sebagai gerakan yang sangat agresif, terutama secara intelektual. Karena mereka punya doktrin “qiyâdah fikrîyyah”, mereka harus leading secara pemikiran. Makanya, kalau kita amati, sebagian orang dari Hizbut Tahrir rajin menghadiri diskusi. Kalau ada tanya-jawab mereka pasti ngomong. Ngomongnya paling keras dan kadang-kadang tidak nyambung dengan tema pembicaraan. Ini adalah strategi kalangan Hizbut Tahrir yang berlaku di mana-mana. Mereka mencoba untuk melakukan penetrasi.

Itulah bedanya dengan Ikhwanul Muslimin yang strateginya adalah tarbiyah. Gerakan tarbiyah sebetulnya mirip dengan NU, tidak terlalu frontal, tidak terlalu agresif. Mereka mendirikan pusat-pusat pendidikan, santunan anak yatim-piatu, dsb. Jadi, gerakan Ikhwanul Muslimin pada awalnya mirip dengan NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, dan seterusnya.

Nah, kalau Hizbut Tahrir, dari awal mereka sudah menempuh gerakan untuk melakukan penetrasi pemikiran ke berbagai kalangan. Kalau bisa mereka masuk ke semua lingkaran atau pertemuan yang ada di masyarakat, terutama perguruan tinggi. Misalnya di Oxford, Inggris, yang merupakan perguruan tinggi yang terkenal dengan tradisi debat yang sangat mapan. Orang-orang Hizbut Tahrir senang sekali, mereka masuk ke semua lingkaran perdebatan di sana. Makanya kalau kita lihat, mereka jago debat, terutama berkaitan dengan soal tahlil, qunut shubuh, ziarah kubur—dan yang menjadi lawan biasanya selalu orang-orang NU.

Hanya saja, kelompok Hizbut Tahrir ini, karena ambisi debat mereka yang terlalu besar, seringkali ‘memanipulasi’ dalil-dalil di dalam teks-teks Islam. Kenapa dikatakan ‘memanipulasi’ teks? Mereka berusaha untuk menjustifikasi gagasan-gagasan mereka dengan teks-teks tradisional atau teks-teks klasik. Hanya saja cara memahaminya kadang-kadang dengan melakukan manipulasi. Contohnya adalah soal khilafah. Sebagian hadits yang digunakan kelompok Hizbut Tahrir berkaitan dengan wajibnya mengangkat imam (pemimpin). Mereka juga kerap merujuk kitab-kitab klasik tentang fiqh siyasah, seperti kitab “al-Ahkâm al-Sulthânîyyah”, yang menunjukkan wajibnya mengangkat seorang imam.

Dengan akal sehat yang biasa saja, sebetulnya dalil itu bisa dibaca dengan sederhana, bahwa adanya “imam”, penguasa, atau pemerintahan adalah syarat pokok bagi tertibnya suatu masyarakat. Dalil-dalil agama tentang wajibnya mengangkat imam hanya sebatas menegaskan hukum sosial yang sudah berlaku berabad-abad. Tidak ada yang istimewa dengan dalil-dalil itu. Agama datang untuk men-taqrir atau menetapkan adat dan hukum sosial yang baik. Salah satu adat sosial yang berlaku di negeri mana pun adalah bahwa setiap masyarakat selalu akan mengangkat seorang pemimpin yang mengatur dan menyelenggarakan kepentingan mereka. Pemimpin itu bisa kepala suku, lurah, camat, bupati, presiden, raja, sultan, khalifah, dan lain sebagainya.

Di dalam fiqh siyâsah dikenal dua pendapat tentang sumber dan dasar yang menetapkan keharusan pengangkatan seorang imam. Pendapat pertama: keharusan pengangkatan imam bersumber dari dan didasarkan pada ijtihad atau penalaran rasional. Pendapat kedua: bersumber dari wahyu.[11] Sebetulnya ada pendapat ketiga, yaitu: bersumber dari hukum sosial yang berlaku di dalam masyarakat.

Ketiga pendapat tersebut bisa dikombinasikan menjadi satu dan tidak harus dipertentangkan. Keharusan mengangkat seorang imam atau pemimpin bersumber dari akal manusia, wahyu, dan sekaligus hukum sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Ketiga sumber ini saling mendukung satu terhadap yang lain.

Semua orang setuju bahwa masyarakat harus memiliki pemerintahan dan seorang pemimpin. Kalau ada ijma’ (konsensus) yang berlaku secara global, inilah contohnya karena tidak ada masyarakat di dunia ini yang tidak dipimpin oleh seorang pemimpin. Perkecualian mungkin terjadi pada kasus mereka yang menganut gagasan anarkisme yang anti-sistem dan anti-negara atau segala bentuk pemerintahan. Seperti dijelaskan tadi, wahyu hanya menetapkan hukum sosial yang sudah berjalan ini. Seandainya tidak ada hadits mengenai wajibnya mengangkat imam atau pemimpin, umat Muslim akan tetap mengangkat pemimpin mereka. Soalnya, nalar dan hukum sosial mengharuskan hal itu. Masyarakat lain di luar Islam yang tidak mengenal hadits tentang keharusan adanya seorang pemimpin itu pun juga memiliki pemimpin mereka sendiri.

Dalam kerangka pemahaman seperti ini kita bisa memaknai dengan lebih tepat dan proporsional hadits yang menegaskan, “Barangsiapa meninggal dan tidak memberikan baiat (wa laysa fî ‘unûqihim bay’ah), maka ia mati secara jahiliyah.” Hadits ini hanya menegaskan prinsip yang sudah berlaku dalam adat sosial di mana pun bahwa seorang harus memilih seorang pemimpin. Oleh sebagian kelompok Islam hadits ini diselewengkan untuk mendukung pendapat bahwa seorang muslim harus berbaiat (bersumpah setia) kepada seorang imam. Dan yang dimaksud dengan “imam” itu adalah pemimpin organisasi mereka. Dengan dasar hadits ini, mereka menuduh orang-orang di luar organisasi mereka sebagai “kafir” karena tidak memberikan baiat kepada imam atau pemimpin organisasi mereka.

Apakah pemimpin harus khalifah? Apakah sistem pemerintahan harus khilafah? Kata “khalîfah” atau “khilâfah” berasal dari kata kerja “khalafa” yang artinya menggantikan atau berada di belakang sesuatu yang lain. Khalifah artinya seorang pengganti yang berada di belakang orang lain yang digantikannya. Khilafah adalah kata benda yang mengabstraksikan proses penggantian itu.

Jika khalifah artinya “pengganti”, maka pertanyaan pokoknya adalah: pengganti siapa? Semua ulama sepakat, yang disebut khalifah, terutama al-Khulafa` al-Rasyidun (Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn al-Khatthab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib) adalah penguasa yang menggantikan Rasulullah, baik dalam menyelenggarakan urusan dunia maupun akhirat. Khilafah bukanlah wakil Tuhan di muka bumi seperti didaku oleh sebagian khalifah Dinasti Umayyah.

Berbeda dengan kalangan Syi’ah, ulama Sunni sepakat bahwa yang tidak ditentukan oleh “teks agama”, tetapi diserahkan kepada ijtihad dan penalaran umat Muslim sendiri, sebagaimana dijelaskan di dalam kitab “Giyats al-Umam” dalam pasal tentang “Ikhtiyâr al-Imâm wa Itsbât al-Ikhtiyâr”, juga di dalam kitab “al-Farq bayn al-Firaq”. Berikut ini akan disajikan kutipan penting dari Abdul Qahir al-Baghdadi di dalam kitab “al-Farq bayn al-Firaq”:

 

  • Inna al-imâmah fardh-un wâjib-un ‘alâ al-ummah li ajli iqâmat al-imâm,” (sesungguhnya imamah itu wajib bagi umat Muslim untuk memilih seorang imam [penguasa]).
  • Inna tharîqah ‘aqd al-imâmah li al-imâm fi hâdzihi al-ummah al-ikhtiyâr bi al-ijtihâd,” (cara memilih seorang imam di dalam umat Muslim ini adalah melalui pemilihan dengan ijtihad). Maksudnya bukan melalui penunjukan dari Rasulullah atau teks agama sebagaimana anggapan yang dianut oleh kelompok Syi’ah.
  • Laysa min al-Nabîy nashsh ‘alâ imâmah wâhid-in bi ‘aynih-i,” (Tidak ada satu teks atau dalil pun dari Nabi yang mengharuskan seseorang tertentu diangkat sebagai imam atau penguasa).

 

Pendapat Abdul Qahir al-Baghdadi ini mewakili sebagian besar pendapat di kalangan Sunni. Pendapat inilah yang sering ‘dimanipulasi’ oleh kalangan Hizbut Tahrir untuk menunjukkan keharusan khilafah dalam Islam. Pendapat kalangan Sunni ini hanya sebatas menunjukkan bahwa memilih seorang imam adalah wajib. Imam di sini adalah penguasa dalam pengertian umum (tentu dengan syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sebagaimana yang kita baca di dalam kitab-kita fikih siyâsah. Tidak ada kaitan apapun antara dalil ini dengan sistem khilafah. Di dalam kutipan dari Abdul Qahir al-Baghdadi sendiri, redaksi yang dipakai adalah “al-imâm” dan bukan “al-khalîfah”. Seandainya khilafah adalah suatu sistem yang baku dan merupakan istilah teknis yang digunakan di dalam agama, sudah pasti redaksi yang dipakai akan lain.

Kenapa Rasulullah Saw. tidak menetapkan seorang suksesor atau pengganti? Bukankah para sahabat terlibat pertengkaran serius gara-gara Rasulullah Saw. wafat tanpa meninggalkan wasiat tentang penguasa yang menggantikan beliau? Bagaimana mungkin urusan sangat penting seperti ini dilupakan oleh beliau? Jika Islam adalah agama yang lengkap, dan jika al-Qur`an tidak membiarkan suatu apapun kecuali menjelaskan hukum-hukumnya, sebagaimana selalu dikatakan oleh kalangan jihadis, bagaimana masalah ‘politik’ yang gawat seperti ini tidak dijelaskan oleh teks agama? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak bisa dijawab dengan memuaskan. Kita tidak tahu pasti kenapa Rasulullah Saw. tidak menjelaskan siapa pengganti beliau atau bagaimana cara memilih pengganti itu. T.W. Arnold, penulis buku “The Caliphate”, berandai-berandai tentang hal ini:

 

It is mor probable that he (Nabi Muhammad) was a child of his age, and fully realized the strength of Arab tribal feeling, which recognized no hereditary principle in its primitive forms of political life, and left the members of the tribe entirely free to select their own leader.

 

Spekulasi T.W. Arnold itu mungkin benar, tetapi kita tidak tahu pasti. Salah satu kemungkinan lain, bahwa Rasulullah sadar benar bahwa urusan politik sangat dibentuk dan dipengaruhi oleh perubahan zaman sehingga Islam tidak perlu menetapkan sistem yang pasti, rigid, dan berlaku sepanjang zaman. Karena itulah, tepat sekali jika kalangan Sunni berpendapat bahwa masalah pemilihan imam/penguasa ditentukan oleh akal atau ijtihad manusia. Dengan kata lain, basis doktrinal dari fikih siyâsah Sunni adalah rasionalisme, sebagai lawan dari posisi Syi’ah yang tekstualistis.

Kita bisa mengembangkan lebih jauh pandangan politik rasional dari kalangan Sunni tersebut. Jika seorang imam/penguasa ditetapkan secara ijtihadiyah atau rasional, maka dengan sendirinya sistem pemerintahan itu sendiri harus dibangun berdasarkan asas-asas yang rasional. Jika agama tidak menetapkan tata-cara bagaimana seorang imam/penguasa dipilih, maka dengan sendirinya tata-cara itu hanya bisa diketahui melalui ijtihad. Hal ini juga berlaku untuk sistem pemerintahan secara keseluruhan.

Karena yang belaku dalam penyelenggaraan sistem politik adalah ijtihad, maka sistem itu bersifat fleksibel. Dan inilah yang terjadi dalam sejarah Islam. Selepas generasi al-Khulafa` al-Rasyidun (Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn al-Khatthab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib), kita menyaksikan munculnya sistem kedinastian yang merupakan replika dari sistem yang berlaku pada zaman itu. Alasan paling masuk akal kenapa al-Khulafa` al-Rasyidun tidak menegakkan sistem dinasti adalah bahwa mereka masih dekat dengan tradisi Arab yang tak mengenal adat kepemimpinan turun-temurun. Jika ada ‘demokrasi’ yang berlaku pada zaman al-Khulafa` al-Rasyidun, maka itu adalah kelanjutan dari semangat egalitarianisme dalam suku-suku Arab. Dalam hal ini, pengamatan T.W. Arnold di atas mungkin ada benarnya. Sudah tentu semangat egalitarianisme Islam mempunyai pengaruh di sini, tetapi bukan satu-satunya.

Dengan demikian, sistem kedinastian yang ditegakkan oleh Dinasti Umayyah tidak bisa dikatakan berlawanan dengan ajaran Islam sebab, sebagaimana yang kita tahu, Rasulullah tidak meninggalkan petunjuk teknis yang jelas bagaimana bentuk kekuasaan dalam Islam. Karena tidak ada teks yang tegas, maka Dinasti Umayyah mempunyai keleluasaan untuk mengadopsi sistem yang datang dari luar Islam sebagai bagian dari ijtihad politik.

Kalau diamati, cepat atau lambat, begitu Islam menyebar ke kawasan Timur Tengah dan sekitarnya, sistem kedinastian sudah pasti akan diadopsi oleh umat Muslim sebab sistem itulah yang berlaku sebagai norma politik pada zaman itu. Dengan kata lain, sistem kedinastian adalah, menggunakan ungkapan populer dalam demokrasi modern, the only game in town, satu-satunya cara mengelolahan politik pada zaman itu. Umat Muslim, dalam hal ini Dinasti Umayyah, tinggal mencomot saja sistem yang sudah ada untuk diisi dengan semangat Islam, persis seperti metode Wali Songo di Tanah Jawa yang mencomot bentuk wayang sebagai medium dakwah, tentu setelah semangatnya diubah agar sesuai dengan semangat Islam. Karena sistem politik dalam pandangan Sunni bersifat rasional, maka tidak ada kendala apapun untuk mengadopsi sistem yang berlaku pada fase sejarah yang bersangkutan.

Argumen standar yang digunakan kalangan Hizbut Tahrir adalah bahwa praktik politik yang berlaku pada masa Dinasti Umayyah dan seterusnya adalah fakta historis. Menurut mereka, fakta sosial bukan dalil yang bisa dijadikan pegangan untuk menetapkan suatu hukum agama. Dengan kata lain, jika sistem kedinastiaan berlaku pada zaman Dinasti Umayyah, tidak berarti bahwa sistem itu mewakili ajaran Islam yang benar.

Argumen itu kiranya sama sekali tidak berdasar. Sistem politik atas dasar kedinastian turun-temurun didukung, baik secara diam-diam atau terus-terang, oleh sebagian besar ulama Sunni. Seluruh pandangan atau karya-karya di dalam fikih siyasah yang ditulis oleh para sarjana besar Sunni seperti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, Abdul Qahir al-Baghdadi, Imam al-Juwaini, Imam al-Ghazali, Imam al-Mawardi, al-Syahrastani, Abu Ya’la al-Farra’, dll., semuanya mendukung sistem kedinastian turun-temurun yang berlaku pada zaman mereka.

Jika sistem kedinastian yang berlangsung selama berabad-abad itu dianggap tidak Islami, atau asing dari semangat egalitarianisme Islam, lalu sistem yang Islami itu mana? Apakah sistem yang Islami adalah yang berlaku pada zaman al-Khulafa` al-Rasyidun? Masa kekhalifahan empat sahabat itu hanya berlangsung dalam waktu yang singkat jika dilihat dari skala waktu yang menjulur sepanjang 14 abad. Masa al-Khulafa` al-Rasyidun hanya berlangsung selama 29 tahun (632 – 661 M). Bandingkan hal ini dengan masa dinasti-dinasti yang muncul setelahnya: Dinasti Umayyah (661 – 750 M), Dinasti Abbasiyah (750 – 1258 M), Dinasti Buwaihi (954 – 1055 M), Dinasti Fatimiyah (909 – 1171 M), Kesultanan Saljuk (1055 – 1194 M), Dinasti Mughal di India (1526 – 1857 M), dan Dinasti Utsmani (1280 – 1922 M).

Melihat rentang waktu historis seperti itu, kelihatan sekali bahwa sistem khilafah pada masa al-Khulafa` al-Rasyidun adalah seperti sebutir pasir di tengah lautan waktu sejarah Islam yang begitu luas itu. Perbandingan waktu yang njomplang ini juga menunjukkan bahwa sistem yang berlaku pada masa al-Khulafa` al-Rasyidun  tidak cukup relevan untuk zaman itu. Sesuai dengan tahapan sejarah pada waktu itu, sistem kedinastianlah yang paling bertahan lama, sebagaimana dibuktikan oleh sejarah. Dan sistem itulah yang didukung dan diteorisasikan oleh para ulama yang menulis karya-karya di bidang fikih siyâsah.

Tetapi, sebagaimana kita tahu, sistem kerajaan-imperial turun-temurun yang menjadi basis kekhilafahan Islam pada zaman dahulu adalah produk zaman yang mempunyai umurnya sendiri. Sistem tersebut saat ini sudah menjadi monumen masa lampau dan jika ada sisa pun hanyalah bersifat simbolik. Setiap zaman menciptakan sistem politiknya sendiri. Pandangan politik Sunni adalah bersifat rasional dan, karena itu, bersedia menyesuaikan diri dengan zaman yang terus berubah. Sebagaimana Mu’awiyah dan Abu Sufyan dulu dengan tanpa beban “doktrinal” apapun dapat mengadopsi sistem kedinastian yang berlaku di Persia dan Romawi sebab memang tidak ada panduan yang tegas dari Islam tentang bentuk negara, maka kita bisa meniru ijtihad Mu’awiyah itu dengan mengambil yang terbaik dari praktik politik zaman ini. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan karena watak pandangan politik Sunni yang rasional dan realitis.

Seorang pemikir dan penulis Masyumi kelahiran Sumatera Barat, Zainal Abidin Ahmad, menulis beberapa buku tentang sistem politik Islam. Zainal Abidin mempunyai pendapat menarik yang tentu mencerminkan keadaan politik pada zamannya. Di dalam buku “Islam dan Parlementarianisme” yang terbit pada tahun 1956, ia menegaskan bahwa prinsip syûrâ yang diajarkan Islam dapat diterjemahkan dalam bentuk demokrasi parlementer seperti yang berlaku di Indonesia pada tahun 1950-an. Dengan kata lain, sistem demokrasi parlementer adalah sistem Qur`ani dan Islami.

Tanpa harus mengakui secara harfiyah pandangan Zainal Abidin Ahmad, kita menyertai semangat yang terkandung di dalam pendapat tersebut, bahwa prinsip syûrâ dalam Islam bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan bentuk-bentuk kenegaraan yang berlaku pada masing-masing zaman. Tidak ada bentuk kenegaraan dan sistem politik yang pasti dan ditetapkan untuk berlaku secara eternal dalam Islam.

Jika boleh, kita menyebut bahwa sistem kekhalifahan adalah historical coincidence atau kebetulan sejarah saja. Artinya, kebetulan saja Islam berkembang sebagai sistem sosial dan politik pada zaman di mana kerajaan dan kedinastian turun-temurun merupakan adat politik yang lazim pada zaman itu. Kalangan Hizbut Tahrir yang ‘ngotot’ mempertahankan sistem khilafah sebagai keharusan dalam agama sama saja dengan orang berpendapat bahwa seorang pemimpin harus berasal dari suku Quraisy berdasarkan hadits yang terkenal, “al-a`immah min Quraysy,” (pemimpin adalah dari suku Quraisy). Sudah tentu hadits ini adalah kondisional dan tidak mungkin dipertahankan hingga saat ini, kecuali jika kita hendak menjadi olok-olok sejarah.

Lalu, bentuk negara apakah yang dikehendaki oleh Islam? Sudah jelas bahwa Islam tidak menghendaki bentuk negara tertentu. Islam hanya menetapkan nilai-nilai dasar yang harus diterjemahkan dalam konteks waktu yang terus berubah. Menyertai konsensus politik yang ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama, maka kita bisa mengatakan bahwa negara nasional berdasarkan Pancasila seperti yang kita miliki di Indonesia ini adalah bentuk final dan sangat berpotensi untuk menjadi negara sebagaimana dicita-citakan oleh Islam. Bentuk negara republik (bukan kerajaan) atas dasar demokrasi adalah sistem yang hingga saat ini paling ideal meskipun sistem ini terus terbuka untuk perbaikan-perbaikan di kemudian hari.

Kiranya sangat perlu menyoroti pandangan Shiddiq al-Jawi, tokoh Hizbut Tahrir Indonesia, yang mengatakan bahwa tidak fair memperbandingkan antara sistem khilafah dan sistem negara-bangsa karena yang satu masih merupakan cita-cita, sementara yang lain adalah realitas historis.[11] Tentu saja kita kaget dengan argumen semacam ini karena umumnya strategi memperbandingkan antara “yang normatif” dengan “yang empiris” adalah hal yang lazim kita temui di kalangan kaum islamis seperti Hizbut Tahrir. Bukankah selama ini mereka selalu mengutuk dan mengecam sistem-sistem “kafir” yang berasal dari Barat dan mengusulkan sistem khilafah karena yang terakhir ini lebih baik? Padahal, sistem khilafah masih cita-cita, sementara sistem “kafir” itu sudah ada di depan mata. Bagaimana bisa mereka mengatakan bahwa sistem khilafah yang masih cita-cita itu lebih baik dari sistem Barat yang sudah ada di dalam dunia realitas? Bukankah ini juga tindakan tidak fair?

Sebenarnya, tidak masalah seorang bermimpi membangun sistem yang ideal di muka bumi. Tidak ada larangan bermimpi menegakkan khilafah di muka bumi. Kemampuan bermimpi merupakan salah satu keistimewaan manusia dibandingkan dengan binatang. Tetapi jika si pemimpi mendakwahkan mimpinya itu kepada orang lain, tentu orang lain itu bisa menilai apakah mimpi si pemimpi itu baik atau buruk, bermasalah atau tidak. Jika ada seseorang bermimpi mendirikan suatu sistem yang menegakkan diskriminasi dalam masyarakat, maka orang lain sudah seharusnya pasang kuda-kuda dan mengawasi mimpi itu, kalau perlu menyadarkan orang-orang yang lainnya akan bahaya mimpi itu. Jika si pemimpi itu mulai melakukan macht vorming atau membangun kekuatan, maka masyarakat selayaknya waspada dan melakukan segala daya-upaya untuk mencegah hal-hal buruk agar tak terjadi di kemudian hari.

Ide khilafah sebagaimana dibawa oleh Hizbut Tahrir adalah ide buruk yang sangat menakutkan. Apalagi, inti pokok dari penegakan khilafah adalah untuk menyelenggarakan kehidupan politik berdasarkan syariat Islam. Artinya, sistem khilafah sebagai bentuk adalah tak beda dengan sistem imperial-kerajaan yang ada di negeri-negeri lain pada zamannya, seperti di Persia, Romawi, Cina, Mongol, dll. Bentuk-bentuk negara berubah setiap saat dan bentuk kerajaan turun-temurun yang dengan seenaknya melakukan agresi atas wilayah lain seperti kita saksikan dalam dinasti-dinasti kuno dulu—baik Islam maupun non-Islam—adalah mumi sejarah yang hanya enak dibaca dan didengar sebagai kisah, tetapi sudah tidak layak lagi dihidupkan pada masa kini.

Shiddiq al-Jawi mengutip sebuah kutipan dari kitab “al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah”, karya Syaikh al-Jazairi, mengenai kewajiban mengangkat imamah dan imam, tetapi dua kata itu ia tafsirkan sebagai khalifah. Kalau kitab tersebut kita periksa, redaksi yang dipakai Syaikh al-Jazairi adalah “al-imâm”, bukan “al-khalîfah”; “al-imâmah”, bukan “al-khilâfah”. Sebagaimana disebutkan di atas, kalangan Hizbut Tahrir dengan seenaknya memanipulasi dalil-dalil dalam teks klasik untuk membenarkan argumen mereka. Dalil-dalil tentang “al-imâmah” mereka selewengkan dan dimaknai dengan “al-khilâfah”. Sudah dijelaskan di atas, bahwa yang dimaksud dengan “al-imâm” adalah pengertian umum dari kata itu: seorang pemimpin, bisa raja, presiden, CEO, dll. Jika kata itu dimaknai sebagai “al-khilâfah” pada masa Imam al-Mawardi, misalnya, alasannya sangat jelas: pada saat itu yang berlaku memang sistem kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang dalam bahasa Arab disebut khalifah. Ini hanya kebetulan sejarah belaka.

Shiddiq al-Jawi juga menyebutkan bahwa imam empat mazhab sepakat bahwa di seluruh dunia Islam hanya boleh ada satu imam atau penguasa. Di sini ia melakukan manipulasi yang sangat halus. Sebagaimana yang kita tahu, imam empat mazhab hidup pada saat Dinasti Abbasiyah masih cukup solid dan belum mengalami kemerosotan sejak pertengahan abad ke-9 M. Imam Abu Hanifah wafat pada 767 M, Imam Malik wafat pada 795 M, Imam al-Syafi’i wafat pada 820 M, dan Imam Ahmad ibn Hanbal wafat pada 855 M. Dengan kata lain, seluruh imam empat mazhab itu hidup pada fase awal Dinasti Abbasiyah yang berdiri pada 750 M (Imam Abu Hanifah masih sempat hidup pada masa dinasti sebelumnya, Dinasti Umayyah. Hingga imam empat mazhab terakhir, Imam Ahmad ibn Hanbal, Dinasti Abbasiyah masih cukup solid, yang secara de facto maupun de jure masih memegang kekuasaan efektif di seluruh dunia Islam. Ketika imam empat mazhab mengatakan bahwa di seluruh dunia Islam harus hanya ada satu khilafah, maka “fatwa” ini hanya menjustifikasi realitas politik saat itu, yaitu kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang memang secara faktual menjadi penguasa tunggal di seluruh dunia Islam (sebetulnya hal ini tidak tepat seluruhnya sebab di kawasan Barat Islam, yakni di Andalusia, berdiri dinasti baru yang meneruskan kekuasaan Dinasti Umayyah di tanah Spanyol/Isbania).

Fatwa ulama tentang perkara ini terus berkembang. Kita tahu sejak abad ke-10 khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah hanyalah menjadi penguasa-penguasa simbolik, sementara the real holder of power adalah sultan-sultan yang umumnya berasal dari kawasan yang sebelumnya ditaklukkan oleh pasukan Islam. Sejak itu Dinasti Abbasiyah bukan lagi satu-satunya dinasti di dunia Islam sebab di kawasan lain berdiri dinasti lain yang menantang kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Demikianlah, misalnya, pada tahun 945 M berdiri Dinasti Buwaihi di Iran/Irak, atau pada 909 M berdiri Dinasti Fatimiyah di Mesir, dan seterusnya. Dengan kata lain, semakin hari kekuasaan Islam semakin terpecah-pecah. Realitas inilah yang disaksikan oleh Ibn Taimiyah (w. 1328 M). Karena itu ia berfatwa bahwa dimungkinkan di dunia Islam terdapat negara atau kekuasaan yang plural, tidak hanya satu.

Fatwa tentang kemungkinan adanya dua negara atau imam di dunia Islam sebetulnya juga dikatakan jauh sebelumnya oleh guru Imam al-Ghazali, yaitu Imam al-Haramain (w. 1085 M). Di dalam kitab “Giyâts al-Umam” dalam bab “Matâ yajûzu nashb al-imâmayn?” (kapan diperbolehkan mengangkat dua kepala negara?), Imam al-Haramain menegaskan bahwa dalam keadaan darurat diperbolehkan adanya dua imam, misalnya, jika antara imam yang satu dengan imam yang lain terdapat jarak yang begitu jauh sehingga tidak dimungkinkan adanya satu imam karena dengan demikian, administrasi kekuasaan menjadi kurang efektif. Harus diakui, Imam al-Haramain sebetulnya tidak nyaman dengan fakta adanya dua imam di dunia Islam. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa manakala keadaan darurat itu sudah bisa diatasi, maka seluruh dunia Islam harus kembali ke keadaan ideal semula, yaitu dipimpin oleh satu imam atau penguasa. Pandangan tentang bolehhnya dua kepala negara di dunia Islam juga dikatakan oleh sarjana lain yang sejawat (lebih senior) Imam al-Haramain di Perguruan Nizhamiyah di Baghdad, yaitu Imam Abu Ishaq al-Isfarayini (w. 1027 M), yang di kalangan pesantren NU ia dikenal melalui karyanya di bidang ushul fikih, “al-Luma’”.

Demikianlah, pendapat ulama berkaitan dengan fikih siyâsah terus berkembang. Shiddiq al-Jawi tampaknya tidak melihat dinamika semacam ini. Saat ini para ulama di kalangan NU dan Muhammadiyah dapat menerima fakta politik tentang negara nasional yang bernama Indonesia. Pandangan semacam ini tentu mencerminkan keadaan sosial yang memang terus berubah. Meskipun kita bisa bermimpi bahwa sejarah bisa diputar kembali ke zaman abad pertengahan dan negara kerajaan/khilafah dihidupkan kembali, dan seluruh dunia Islam dipimpin oleh satu imam, siapa pun bisa menilai apakah ini mimpi yang masuk akal atau hanya fantasi yang mencerminkan frustasi karena dunia Islam saat ini yang centang-perenang. Kita lihat bahwa utopia kalangan Hizbut Tahrir ini adalah sejenis eskapisme dari realitas pahit di dunia Islam: sikap melarikan diri dari kenyataan yang bopeng.

Dikatakan oleh kalangan Hizbut Tahrir bahwa doktrin tentang khilafah adalah doktrin yang berasal dari Islam sendiri dan bukan doktrin impor dari dunia lain. Pernyataan ini bersifat umum dan, jika dikaji dengan mendalam, sebetulnya mengandung bolong-bolong. Argumen ini hanyalah siasat lidah untuk mengelabui massa yang tak punya kesempatan membaca sejarah Islam dengan baik.[12]

Islam tidak mempunyai teori yang sudah jadi dan bisa dipakai tentang penyelenggaraan negara. Yang kita temui adalah pendapat ulama yang terus berkembang tentang tata-laksana kehidupan negara. Sistem khilafah juga bukan merupakan sistem yang tunggal dan sama pada setiap zaman. Pendapat ulama tentang sistem ini juga terus berkembang hingga sekarang. Jika kalangan Hizbut Tahrir menyetarakan bentuk negara khilafah dengan ajaran tentang shalat, puasa, zakat, dan haji, jelas itu adalah bohong besar. Shalat, puasa, zakat, dan haji mempunyai aturan terperinci di dalam al-Qur`an dan hadits Rasulullah Saw., sementara khilafah sama sekali tidak demikian.

Jika khilafah adalah ajaran dan doktrin Islam, bagaimana mungkin Rasulullah Saw. wafat tanpa meninggalkan wasiat dan petunjuk bagaimana memilih seorang khalifah sehingga para sahabat terlibat dalam pertikaian sehingga jenazah Rasulullah Saw. menjadi terlantar tak dimakamkan sampai tiga hari. Padahal, menurut hadits, jenazah seseorang muslim harus segera dikebumikan. Dengan demikian, menyamakan doktrin khilafah—jika ada yang disebut demikian—dengan shalat, puasa, zakat, dan haji adalah, dalam bahasa ushul fikih, al-qiyâs ma’a al-fâriq, analogi yang njomplang.

 

Anomali Hizbut Tahrir[13]

Hizbut Tahrir ibarat Ashabul Kahfi. Mereka tertidur selama ratusan tahun dan begitu terbangun mereka tak sadar, bahkan menyangka hanya tertidur satu atau setengah hari. Dunia telah berubah. Islam bukan lagi sebuah imperium besar yang dipimpin oleh seorang kaisar, al-Imâm al-A’zham. Secara geopolitik, dunia tak lagi dibagi dalam dua blok besar (bipolar): Negara Islam (dâr al-islâm) dan Negara Kafir (dâr al-kuffâr/dâr al-harb). Yang dulu termasuk Imperium Islam, sejak runtuhnya Turki Utsmani, sudah terkotak-kotak ke dalam negara-negara kecil berdaulat (nation-state). Lantas, mungkinkah disatukan kembali dalam Khilafah Islamiyah? Lihat saja hari ini Jazirah Arab sudah tercabik-cabik dalam kekacauan dan kehancuran.

Jika melihat fakta-fakta yang terjadi di belahan dunia Islam sendiri, Khilafah Islamiyah merupakan konsep utopis. Sebagai sebuah cita-cita politik ia masih mungkin. Sayangnya, Khilafah Islamiyah hanya berhenti pada tataran ide dan sangat sulit direalisasikan, sama seperti cita-cita Karl Marx mendirikan “Masyarakat Tanpa Kelas”. Khilafah Islamiyah hanya cocok dijadikan sebuah spirit dan ideologi perlawanan terhadap ketertindasan dan ketimpangan global, misalnya, bukan sebagai sistem kekuasaan.

Klaim Hizbut Tahrir bahwa Khilafah Islamiyah berasal dari Islam dan digunakan oleh Rasulullah ternyata tidak terbukti dalam sejarah. Ada beberapa argumen yang mematahkan klaim ini. Pertama, Rasulullah tak pernah mewarisi sistem politik tertentu dan tak menunjuk siapa penggantinya. Buktinya, sepeninggal beliau, para sahabat disibukkan dengan suksesi kepemimpinan. Kedua, suksesi kepemimpinan era sahabat sendiri tak menganut sistem tunggal. Abu Bakr al-Shiddiq dipilih melalui Ahl al-Hall wa al-Aqd (formatur), sedangkan Utsman ibn Affan dipilih melalui penunjukan pemimpin sebelumnya (Wilâyah al-Ahd). Pasca al-Khulafa` al-Rasyidun, dunia Islam menganut sistem kerajaan (Umayyah, Abbasiyah, hingga Turki Utsmani). Jika Khilafah Islamiyah dianggap sebagai sistem baku dan warisan Nabi Muhammad Saw. tentunya sistem itu tak pernah berubah sepanjang masa.

Pengikut Hizbut Tahrir meneriakkan ‘Khilafah Islamiyah’ di Indonesia. Mungkinkah negara-negara Arab mau tunduk pada kekuasaan non-Arab? Konflik Sunni-Syi’ah saja tak bisa disembuhkan, apalagi sampai berebut kekuasaan. Agaknya, hampir mustahil mengharap persatuan negara-negara Islam, baik di Timur Tengah maupun Asia. Organisasi-organisasi Islam saja hampir tak berkutik menghadapi krisis yang dihadapi umat Muslim saat ini. Apalagi sampai mendirikan “negara bersama” yang disebut Khilafah Islamiyah itu.

Hizbut Tahrir masih diuntungkan di negeri ini. Meskipun tak setuju dengan demokrasi, karena dianggap sistem thâghût (bukan syariat Islam), Hizbut Tahrir tetap menikmati iklim demokrasi. Mereka dibiarkan hidup dan diberi hak hidup oleh negara, walaupun sesungguhnya anti-negara. Hizbut Tahrir harusnya bersyukur karena di tanah kelahirannya sendiri, bahkan di banyak negara, dianggap sebagai organisasi terlarang. Kita tidak begitu mengerti dengan konstitusi negara ini: ada sebuah organisasi anti-negara tetapi dipelihara dan dibiarkan tumbuh subur oleh negara sendiri. Apakah negara sedang bermain api?

Jika Hizbut Tahrir ingin merebut dan menguasai negeri ini secara konstitusional, harusnya mereka bertarung secara jantan dengan mendirikan sebuah partai politik dan mengikuti Pemilu. Kuasailah parlemen (DPR) dan ubahlah konstitusi dan UUD negeri ini agar sesuai dengan cita-cita Hizbut Tahrir—minimal sebagai uji coba mendirikan Khilafah Islamiyah di negara Indonesia. Jangan-jangan, sebagai skenario kedua, Hizbut Tahrir sedang menyiapkan sebuah revolusi![]

 

__________________________

[1]. Dalam Diskusi Kitab Jihad Seri IV yang diselenggarakan pada Kamis, 10 Maret 2016, di Aula The Wahid Institute, Matraman, Jakarta, dengan tema “Nizhâm al-Islâm, Karya Taqiyuddin al-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir”. Pembicara dalam diskusi ini: Ulil Abshar Abdalla (Direktur ICRP), Ahmad Hilmi (Peneliti Rumah KitaB), dan Shiddiq al-Jawi (HTI Pusat). Kitab yang dikaji: “Nizhâm al-Islâm”, karya Taqiyuddin al-Nabhani.

[2]. Taqiyuddin al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (terj. Muhammad Maghfur Wachid), Surabaya: Risalah Gusti, Cet. II, 1996, hal. 359.

[3]. Ihsan Samarah, Mafhûm al-‘Adâlah al-Ijtimâ’îyyah fî al-Fikr al-Islâmîy al-Mu’âshir (terj. Muhammad Shiddiq al-Jawi), Bogor: Al-Azhar Press, 2003, hal. 11

[4]. Ibid.

[5]. Ibid., hal. 13

[6]. Ibid., hal. 15

[7]. Taqiyuddin al-Nabhani, al-Dawlah al-Islâmîyyah, Beirut: Dar al-Ummah, 1994, hal. 153 – 154

[8]. Ihsan Samarah, Mafhûm al-‘Adâlah al-Ijtimâ’îyyah fî al-Fikr al-Islâmîy al-Mu’âshir (terj. Muhammad Shiddiq al-Jawi), Bogor: Al-Azhar Press, 2003, hal. 18 – 19

[9.]. Ibid., hal. 22

[10]. Taqiyuddin al-Nabhani, al-Takattul al-Hizbîy (terj. Zakaria dkk.), Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah, 2000, hal. 3 – 5.

[11]. Mengenai hal ini, baca: Imam al-Haramain (w. 1885 M), Giyats al-Umam fî Iltiyats al-Zhulam, atau Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 1037 M), al-Farq bayn al-Firaq.

[12]. Shiddiq al-Jawi, dalam Diskusi Kitab Jihad Seri IV bertajuk “Nizhâm al-Islâm, Karya Taqiyuddin al-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir” yang diselenggarakan Rumah KitaB pada Rabu, 10 Maret 2016, di Aula The Wahid Institute, Jl. Taman Amir Hamzah no. 8, Matraman.

[13]. Jamaluddin Mohammad, dalam Diskusi Kitab Jihad Seri IV bertajuk “Nizhâm al-Islâm, Karya Taqiyuddin al-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir” yang diselenggarakan Rumah KitaB pada Rabu, 10 Maret 2016, di Aula The Wahid Institute, Jl. Taman Amir Hamzah no. 8, Matraman.

 

Isu Fundamentalis Agama dan Budaya dalam Program BERDAYA

Salah satu tantangan program BERDAYA adalah tujuan kegiatan ini bisa berbenturan dengan para fundamentalis agama dan budaya yang menganggap perkawinan anak adalah domain mereka.

Fundamentalisme agama merupakan paham keagamaan sekaligus ideologi yang meyakini bahwa cara terbaik untuk menyelamatkan manusia dari kerusakan di bumi adalah dengan “kembali kepada ajaran dasar”. Secara metodologi mereka mengajak untuk kembali pada pemahamanTeks Kitab Suci (Al-Qur’an dan hadits).Namun cara pemahamannya menggunakan landasan literalis.Argumentasi literalis ini menolak hasil ijtihad dan argumentasi hukum-fikih klasik dan tafsir-tafsir klasik yang telah dikodifikasi ulama yang selama berabad-abad mengembangkan
pemikiran Islam secara kontekstual melalui proses budaya-peradaban agar Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Upaya yang mengajak kembali kepada ajaran secara tekstualis ini menghilangkan esensi kemanusiaan didalamnya.Pandangan literalis ini membuat pandangan agama menjadi terhenti, statis dan akibatnya Islam sangat mundur. belakang sehingga pandangan keagamaan menjadi rigid dan tidak mampu menyesuaikan era manusia modern, kondisi ini melahirkan pandangan yang antipati terhadap peradaban modern itu sendiri.

 

Secara hierarkis ideologis, pandangan fundamentalisme ini setingkat dibawah radikalisme, sementara radikalisme satu lingkaran dengan pemaksaan pandangan dan sikap melalui caracara kekerasan dan terorisme. Fundamentalisme merupakan embrio lahirnya radikalisme bahkan sampai ke level terorisme bila tidak ada proses yang menghalanginya. Fundamentalisme budaya juga mirip dengan kondisi fundamentalisme agama, sama-sama
mengacu kepada pedoman dasar suatu ideologi, yang satu ideologi agama, sementara yang lain ideologi budaya. Fundamentalisme budaya akan melahirkan pandangan yang kaku dan absolut dalam memperlakukan tradisi-budaya. Fundamentalisme agama dan budaya sama-sama membahayakan perempuan karena mereka menganggap tubuh dan eksistensi perempuan menjadi ukuran perubahan, karenanya kontrol atas peremuan penting untuk menjaga ideologi mereka. Kawin anak merupakan salah satu hal yang mereka pertahankan karena sesuai dengan fundamen ajaran agama yang diyakini.

MERAYAKAN HAK-HAK ANAK

Meskipun jutaan anak di seluruh dunia mengalami banyak penderitaan akibat kondisi-kondisi politik, ekonomi, dan perang-perang yang menghancurkan, hanya saja hari raya anak internasional atau yang biasa dikenal dengan “Hari Anak Universal” atau “Hari Anak Sedunia”, tetapi hari ini hari anak itu terjadi sebagaimana sebelumnya tanpa ada sesuatu yang baru kecuali rekomendasi-rekomendasi resmi dari sejumlah negara sebagai respon terhadap nasib buruk anak di seluruh dunia.

Hari Anak Internasional adalah hari yang dirayakan oleh berbagai negara dalam rangka melihat kondisi terakhir anak seluruh dunia setelah 1954 PBB mengeluarkan rekomendasi supaya semua negara merayakan satu hari yang bersifat universal untuk anak sebagai hari untuk menghormati hak-hak anak di seluruh dunia.

Tanggal 20 November ditetapkan sebagai “Hari Anak Universal”. Sejumlah konvensi internasional mengenai hak-hak anak dan perlindungannya mengiringi perayaan hari universal tersebut.

Kendati sudah banyak konvensi internasional yang dikeluarkan, tetapi hak-hak anak di sejumlah negara masih belum benar-benar terlindungi, khususnya di Palestina, Suriah, Irak, Yaman, Libia, dan Myanmar akibat perang, dan juga beberapa negara berkembang di benua Afrika akibat kondisi-kondisi ekonomi yang menyebabkan kematian, kelaparan, keterlantaran, dan kebodohan.

Pada tahun 2017 ini dunia kembali merayakan “Hari Anak Universal” di tengah semakin meningkatnya angka-angkat yang menunjukkan terpuruknya kondisi anak akibat perang dan krisis ekonomi. Berdasarkan data dari Unicef, paling sedikitnya 69 juta anak akan meninggal dari sekarang sampai tahun 2030, dan dalam rentang waktu yang sama sekitar 167 juta anak akan mengalami pemiskinan, termasuk di antaranya sekitar 750 perempuan akan menikah di masa anak-anak ketimbang pergi ke sekolah. Disebutkan juga bahwa saat ini, di saat dunia sedang mengkampanyekan perlindungan hak-hak anak, sekitar 1 milyar anak mengalami perlakukan yang buruk!

Merebut Tafsir: Perlindungan bagi Perempuan yang Sedang dalam Proses Cerai

Dokter Letty, seorang istri, 46 tahun, dokter, tewas di ruang praktek, ditembak suaminya yang juga dokter. Sang istri sedang ajukan gugat cerai karena tak tahan dengan KDRT yang dilakukan suaminya. Sang suami tak hanya pelaku KDRT tetapi juga pelaku kekerasan kepada karyawati/staf di klinik sang istri. 

Sebagai konselor paralegal yang kerap dimintai tolong untuk proses gugat cerai, saya tahu bahwa selama proses pengajuan gugatan, banyak hal bisa terjadi, apalagi jika sang istri lari dari rumah.

Pihak tergugat akan melakukan segala cara untuk menentang upaya sang istri; dari ancaman tidak akan mengizinkan membawa anak, akan memperpanjang/menggantung proses di persidangan, sampai mengancam secara fisik. Penentangan suami itu bukan karena dia begitu cintanya tetapi ini terkait dengan egonya sebagai lelaki yang merasa dilawan.


Atas ancaman-ancaman serupa itu saya selalu menanggapi secara serius. Karenanya saya selalu menganjurkan agar penggugat benar-benar waspada, minta pindah-pindah tempat tinggal, tinggal di shelter, menggunakan kendaraan dengan jalur yang tidak biasa, tidak turun dari mobil di tempat yang tak ada orang, langsung memasukkan mobil ke garasi sebelum turun, membawa alat pengaman paling dasar seperti air lada/air cabai atau <em>hairspray</em> untuk disemprotkan ke mata atau alat kejut listrik.

Sependek pengalaman saya, saat penantian proses perceraian sebetulnya itu merupakan waktu yang sangat rentan bagi si istri. Kekerasan yang dilakukan tergutat akan bertambah berkali lipat. Ini karena maskulinitas patriakhnya benar-benar tertohok. Karenanya sangat kuat kehendak untuk menaklukan. Ia merasa dilecehkan dan ditantang oleh pihak yang selama ini berhasil ia ancam, ia kuasai.

Kekerasan dalam proses perceraian yang mengancam nyawa bukan kasus langka. Satu kasus bahkan terjadi di ruang tunggu sidang di sebuah Pengadilan Agama yang menewaskan yang mengajukan gugat cerai. Sangatlah keliru jika kemudian yang dipersoalkan semata “keadaan psikis” pelaku apalagi menyalahkan korban yang melakukan gugatan.

Menurut saya analisisnya harus mampu melihat bahwa akar persoalannya terletak pada konstruksi relasi kuasa dalam perkawinan. Perkawinan adalah membangun relasi dua pihak. Namun perkawinan yang tidak sehat akan berkembang ke arah relasi kuasa berbasis status gendernya yang sangat berpotensi menindas. Anggapan dan pembenaran bahwa suami merupakan kepala keluarga sering meleset dimaknai sebagai penguasa keluarga.

Saat terjadi gugatan, sebetulnya perkawinan itu nyaris tanpa status. Kedua pihak telah sampai ke tahap paling sulit untuk berdamai. Ini karena kekerasan yag terjadi, atau apapun pemicunya dari proses perceraian itu telah berlangsung lama. Jika ada kekerasan di mana sang istri lebam-lebam itu sesungguhnya kekerasan lainnya telah terjadi dan berlangsung tahunan. Proses mediasi formalitas di Pengadilan jarang yang bisa berhasil mendamaikan manakala kercekcokan dan atau kekerasan pelaku telah berlangsung lama dan akut.

Menyadari begitu kritisnya situasi “tanpa status” selam amasa proses gugat cerai itu, seharusnya ada upaya perlindungan yang sangat serius yang dilakukan secara sistemik oleh negara di dalam situasi limbo ini. Dalam pengalaman saya, ancaman psikis dan fisik yang membuat penggugat (istri dalam konteks gugat cerai/tergugat dalam cerai talak) menyerah sebelum ke pengadilan tak kurang-kurang. Ini karena korban merasa sendirian dan ketakutan. Padahal begitu si istri membatalkan gugatannya. intensitas kekerasan tak pernah atau jarang yang berkurang. Sebaliknya malah makin hebat.[]

 

Merebut Tafsir: Keberpihakan

SEBAGAIMANA sejarah, tafsir atas teks suci adalah milik kaum pemenang. Karenanya tafsir tak (mungkin) relatif. Ia, bersama rezim penafsir yang bekuasa, untuk kepentingannya, untuk legitimasinya senantiasa berpihak kepada kepentingan mereka.

Di masa kerasulannya, Nabi Muhammad meletakan dasar keberpihakannya kepada mereka yang dizhalimi dalam struktur masyarakat dengan karakteristik feodal, rasis berbasis warna kulit, patriakh, anti perempuan, anti kaum miskin, anti anak yatim, anti minoritas agama, dan anti monogami. Bacaan Nabi atas realitas itu, bersama wahyu yang diterimanya, melahirkan ajaran yang mendobrak dan menjungkirbalikkan struktur-struktur kuasa yang seolah sudah menjadi kebenaran. Dengan legitimasinya seluruh ketimpangan sosial diperbaiki dengan prinsip-prinsip nilai dan contoh praktisnya. Misalnya, meletakkan secara setara semua manusia karena yang dinilai oleh Allah adalah amalnya. Itu merupakan prinsip Tauhid. Sementara untuk praktisnya, nilai itu ditunjukkan dengan ibadah haji yang semuanya sama ditunjukkan dalam tata cara bepakaian seperti kain ihram. Rasisme diatasi dengan mengawini perempuan hitam Koptik dari Mesir dan mengangkat Bilal- budak hitam menjadi muazzin. Mereka diberi kelas/kedudukan sosial di hadapan kelas menengah para feodal Makkah-Madinah; perempuan yang dihinakan dalam stuktur patriakh feodal, diposisikan setara secara sosial dengan lelaki dengan cara pemberian warisan yang setara, larangan mengawini budak-budak, dan didengar pendapatnya serta direstui cara berpikir mereka dalam menolak kekerasan; anak yatim dan budak dijadikan sarana penebusan kesalahan sosial dan agama–kalau batal puasa–kasih makan anak yatim, kalau berzina tebus budak, kalau membunuh tebus budak lebih banyak.

Sepeninggal Nabi, penerusnya paham betul bahwa tak ada yang punya kuasa atas ajaran agama kecuali melalui tafsir. Padahal melalui dan dalam agama ada magma kuasa. Di sini tafsir lalu diperebutkan dan dibeli. Karenanya sang pemenang niscaya kaum penguasa.

Kalangan feminis Muslim, dalam catatan Ziba Mir Hossaini, terus-menerus mencoba memperlakukan tafsir sebagaimana kaum patriakh memperlakukan teks. Membaca teks sesuai tafsir dan kepentingannya. Namun menafsirkan dengan cara itu hanya menjadi tafsir pinggiran meskin secara subtansi telah berupaya mengembalikan ayat pada fungsinya sebagaimana dilakukan Nabi. Dalam kesadaran kaum feminis Muslim, rupanya tafsir tak bisa menjadi pandangan mainstream tanpa menggunakan kekuasaan politik. Dan mana ada kekuasaan yang memihak pada tafsir kaum feminis sedang mereka menikmati kejayaannya dengan menindas kaum perempuan. Berdasakan itu, menurut Ziba, cara untuk mengembalikan penafsiran pada jalannya yang benar adalah mengkontraskan teks dengan realitas, di sini realitas ketertindasan manusia harus dijadikan konteks yang menantang teks. Ketertindasan setiap entitas harus dihadirkan, dan sebagaimana Nabi, dengan agama yang dibawanya Nabi membebaskan mereka yang dilemahkan dalam struktur-struktur kelas sosial, gender, umur, posisi sosial ekonomi dan politik. Dalam makna itu, untuk membebaskan tafsir dari kungkungan rezim pemenang, maka kiblat atau pedoman untuk penafsiran haruslah jelas yaitu semangat pembebasan bagi mereka yang dizhalimi secara stuktur dan kelas. Jadi siapa yang hendak Anda bela dengan tafsir Anda?[]

 

Tauhid Aisyiyah

SENANG dan bangga PP Aisyiyah pimpinan Ibu Noorjannah Djohantini mendapat kesempatan menjelaskan program kesehatan reproduksi atas dukungan program MAMPU, dan mendapat kunjungan Duta Besar Australia. Saya percaya mereka telah menjelaskan perbedaan mereka dengan program serupa yang dikembangkan pusat-pusat layanan kesehatan yang dikelola pemerintah.

Aisyiyah telah lama menengarai soal timpangnya relasi gender yang berpengaruh pada rendahnya daya tawar perempuan untuk memenuhi kesehatan reproduksi mereka. Aisyiyah menguatkan jamaahnya untuk menolak setiap bentuk pemaksaan hubungan seks apalagi yang berpotensi membawa penyakit ke rumah karena praktik gonta ganti pasangan, atau poligami. Jadi pasti bukan karena fisik biologisnya semata yang harus dijaga melainkan penguatan kuasa perempua atas tubuh dan sekualitasnya.

Itu adalah inti peneguhan ajaran Tauhid yang ditegakkan Aisyiyah yaitu tak menjadikan suami sebagai sesembahan yang maha benar dan maha kuasa, yang menyebabkan perempuan kehilangan kiblatnya.

Tanpa penjelasan serupa itu upaya Aisyiyah hanya akan jadi perpanjangan tangan negara dalam bidang kesehatan, suatu sikap yang sejak dulu dihindari Aisyiyah ketika menolak pemaksaan KB dengan menawarkan “Konsep Keluarga Sakinah”. Tanpa melakukan upaya membangun kesadaran ideologis serupa itu Aisyiyah akan menjadi kaki tangan negara dalam menangani kesehatan reproduksi perempuan yang seharusnya menjadi tugas negara.[]