Asmi: Profil Pendamping Remaja Pencegahan Kawin Anak di Panakkukang, Makassar

oleh Mulyani Hasan

Ketika sejumlah remaja Tamamaung dan Sinrijala Kecamatan Panakkukang mengikuti Pelatihan Peningkatan Kapasitas Remaja  untuk Pencegahan Kawin Anak yang diselenggarakan program BERDAYA  Rumah KitaB, Asmi hadir sebagai pendamping.  Tak sekadar untuk memenuhi syarat dasar pelaksanaan kegiatan yang melibatkan remaja yang mewajibkan hadirnya pendamping, tapi Asmi juga mengambil peran sebagai “asisten fasilitator” yang membantu kelancaran pelatihan.  “ Saya ingin setelah pelatihan saya bisa mendampingi mereka, karenanya saya mengikuti penuh materi-materi ini agar saya paham,”  demikian Asmi memberikan alasan.

Asmi,  seorang ibu berusia 30 tahun tinggal di Sukaria, wilayah padat penduduk di tengah Kota Makassar. Wilayah ini merupakan bagian  dari Tammamaung, Kecamatan Panakkukang, salah satu lokasi penelitian Pencegahan Kawin Anak untuk program BERDAYA Rumah Kita Bersama.

Jika perempuan lain tak terlalu ambil peduli pada praktik yang dianggap hal yang biasa itu, Asmi melihatnya berbeda. Karenanya ia berharap kawin anak di wilayah tempat tinggalnya tidak lagi terjadi atau paling tidak berkurang. “ Saya lihat dengan mata kepala sendiri, dampaknya sangat buruk bagi anak perempuan yang mengalami kawin anak,” demikian Asmi menegaskan sikapnya.

Sambil mengurus rumah tangga dan aktif di majelis taklim, sehari-hari ia  menjahit dan merajut. Dari aktivitasnya itu ia terhubung langsung dengan anak korban perkawinan anak, atau orang tuanya.  Tahun 2015 Ketika LBH APIK Makassar mengajaknya bergabung sebagai paralegal untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan, Asmi merasa menemukan teman dan lembaga seperjuangan. Karenanya dia juga langsung setuju untuk membantu program BERDAYA ketika tim  Berdaya mengajaknya aktif dalam program pencegahan perkawinan anak di wilayahnya. Dalam satu tahun terakhir ini, dia giat mengikuti kegiatan pencegahan kawin anak dan menghimpun para perempuan dewasa dan remaja untuk menolak kawin anak.

Perkawinan anak bukan hal aneh bagi Asmi. Di lingkungan keluarga dan tetangganya, kawin anak dianggap lumrah. Namun bagi Asmi, apalagi setelah mengikuti pelatihan dari LBH APIK ia menyadari, mengawinkan anak sebelum usia dewasa bukan keputusan tepat. Bukan saja  anak perempuan itu akan terputus pendidikannya tapi juga harus menanggung pekerjaan rumah tangga yang terlalu berat untuk si anak. Ia juga melihat, mereka yang kawin di usia anak-anak mengalami kesulitan ekonomi, tidak punya pekerjaan, dan berujung pada perceraian.“Ujung-ujungnya lari lagi ke orangtuanya,” kata Asmi.

Asmi sendiri menikah di usia 21 tahun setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas dan sempat bekerja sebagai kasir dan pelayan toko. Asmi memilki tiga orang anak perempuan. Anak pertama duduk di kelas VI SD, yang kedua, kelas IV dan yang terakhir Kelas II SD. Suaminya pedagang dan pegiat di komunitas pasar tradisional.

Di Sukaria tempat Asmi bermukim, kawin anak umumnya terjadi karena perjodohan dan paling banyak akibat kehamilan tak diinginkan. “Warga di sini khawatir terjadi sesuatu pada anak perempuannya. Sebelum terjadi, mereka menikahkan anak perempuan, apalagi kalau sudah kelihatan pacaran,” kata Asmi.

Kehamilan di luar nikah memang menjadi hal paling menakutkan bagi para orangtua yang memiliki anak perempuan. Masalahnya, menurut Asmi,  para remaja itu tidak mendapatkan pendampingan dan informasi yang tepat, bagaimana cara bergaul yang sehat. Karenanya Asmi sangat mengapresiasi adanya program BERDAYA di kampungnya. “Dari pemaparan para pemateri saya senang, karena anak- anak kami diberi pengetahuan untuk percaya diri, diajari untuk berunding dengan orang tua dan kerabat agar tak cepat-cepat dikawinkan, tapi juga tak ditakuti-takuti dalam cara bergaul.”

Asmi juga memahami bahwa faktor tradisi dan adat sangat besar pengaruhnya pada praktik kawin anak. Menurutnya, di wilayahnya banyak alasan orang  tua mengawinkan anaknya meskipun belum cukup umur. Menikahkan anak perempuan lebih cepat untuk mengurangi beban keluarga merupakan alasan yang sering ia dengar. Namun selain itu Asmi juga melihat perkawinan dilakukan karena orang tua ingin menjauhkan anak dari pergaulan yang dianggap tidak bermoral dan orang tua tergiur uang panaik.

Alasan terakhir diakui Asmi sebagai tradisi yang sulit dibicarakan. Meskipun malu-malu, pada kenyataanya, tak sedikit orangtua“membandrol”anak perempuan mereka dengan nilai uang panaik. Besaran nilainya, bergantung pada, nama besar keluarga, tingkat pendidikan, dan pekerjaan sang anak.  Untuk sekedar diketahui, uang panaik merupakan syarat yang ditetapkan oleh pihak keluarga calon pengantin perempuan terhadap calon pengantin laki-laki dalam bentuk uang dan barang berharga.

Sebelum mengalami pergeseran nilai dan fungsinya, uang panaik ini pada prinsipnya bertujuan mengamankan posisi perempuan dari guncangan ekonomi jika sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat dalam pernikahannya. Oleh sebab itu, biasanya syarat ini dalam bentuk aset tidak bergerak. Pada keluarga dengan pendapatan ekonomi rendah, uang panaik ini menjadi semacam transaksi jual beli. Ini menjadi salah satu target yang disasar oleh para kelompok agama yang masuk ke wilayah ini. Mereka mengupayakan terjadinya kesadaran warga untuk mempermudah proses pernikahan sesuai ajaran Islam. Tapi, sisi buruknya, penyadaran itu dibarengi dengan anjuran menikah muda, walaupun tidak semua kelompok Islam berlaku demikian.

Menyadari situasi dan perubahan-perubahan di wilayahnya yang serupa itu, pada tahun 2016, Asmi berinisiatif mengumpulkan ibu-ibu dan remaja perempuan untuk terlibat dalam sebuah proyek festival merajut bersama komunitas merajut, Qui-Qui yang dikembangkan oleh aktivis merajut untuk komunitas Fitriani A. Dalay. Sebagian besar ibu-ibu kemudian belajar kepada Asmi dan umumnya mereka belajar merajut dari nol.  Ini menantang Asmi untuk mengembangkan teknik-teknik mengajar merajut mengingat sebagain ibu-ibu yang menjadi muridnya, buta huruf.

Sambil mencari cara untuk menjual barang-barang karyanya dan anggota perkumpulannya, Asmi bekerjasama dengan timBerdaya menyosialisasikan pencegahan kawin anak sejak 2017. Dia menghadiri pertemuan-pertemuan dan diskusi yang menyangkut masalah perempuan dan anak. Dari sana,hubungan pertemanan Asmi makin luas. Asmi beberapa kali ikut pelatihan pararegal mengenai hak-hak perempuan dan anak. Perkenalan dengan orang-orang baru itu dia manfaatkan untuk mengenalkan barang-barang hasil merajutnya.

“Asmi cukup aktif dan bisa mengajak ibu-ibu muda lainnya untuk berkumpul dan meningkatkan pengetahuan,” ujar Sumarni, aktivis di Shelter Warga Tammamaung yang menjadi pusat pemberdayaan perempuan dan anak di wilayahitu. Sumarni bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat untuk mencegah dan mengatasi kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga  (KDRT)

“Awalnya saya tidak tahu dampak buruk perkawinan anak. Setelah mengenalnya dari LBH APIK kemudian diperdalam  melalui kegiatan program BERDAYA Rumah KitaB saya jadi paham bahaya kawin anak, dan saya tidak ingin ada lagi kawin anak di lingkungan rumah dan keluarga saya,” kata Asmi. Setidaknya ibu-ibu yang berada di kelompok-kelompok dimana Asmi berada, mulai paham dan ikut mencegah perkawinan anak. Paling tidak, mereka tidak menikahkan anak-anak sebelum mencapai usia dewasa.

“Kerugian ada di pihak perempuan,” kata Asmi.

Sejauh ini tidak ada kesulitan dalam menerangkan pentingnya mencegah kawin anak kepada warga setempat. Apalagi para ibu-ibu mengetahui angka kematin ibu akibat menikah di usia anak-anak. Walaupun demikian, sebagian orang yang patuh pada tradisi dan doktrin agama  tidak bisa menolak perkawinan anak. Ini biasanya terjadi pada orangtua yang tidak memiliki akses pada sumber-sumber pengetahuan dan tidak teroganisisasi dalam sebuah kelompok atau komunitas dimana pertukaran informasi berlangsung.

Belum lama ini, tetangga Asmi baru saja membatalkan rencana perjodohan antara anaknya yang masih 15 tahun dengan kerabatnya. Entahapa yang membua tpernikahan itu batal, tapi yang pasti, si anak perempuan dengan keras menolak rencana itu.

Kesulitan ekonomi jadi salah satu pemicu para orangtua di lingkungan tersebut lebih cepat menikahkan anak-anak mereka. Tapi, kepatuhan terhadap tradisi juga kuat mendorong kawin anak. Ada tradisi yang melarang keluarga perempuan menolak lamaran seorang laki-laki yang ingin menikahi putrinya. Kalau menolak, bakal terjadi tregedi pada keluarga perempuan. Sebagian masyarakat masih percaya dan patuh terhadap tradisi itu. Inilah yang sedang dilawan oleh Asmi dan teman-temannya. Saat ini, mereka berencana membuat sebuah forum bagi remaja perempuan untuk bergerak aktif mencegah kawin anak. []

 

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses