Pos

Merebut Tafsir: Meluaskan Ruang Jumpa

Oleh Lies Marcoes

Kamis, 4 April 2019,  Rumah KitaB menyelenggarakan acara RW Layak Anak di Kelurahan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Ini menandai berakhirnya program pendampingan secara “formal” sesuai durasi program pencegahan kawin anak ” BERDAYA” di wilayah urban Jakarta. (Dua wilayah lain di Cirebon dan kota Makassar).
Program BERDAYA tak jatuh dari langit yang tanpa data. Program ini berangkat dari riset RK 2014-2015 bahwa kawin anak di perkotaan merupakan limpahan krisis ekonomi akibat perubahan ekologi dan hilangnya kuasa rakyat atas (kelola dan kepemilikan) tanah di perdesaan. Jadi, selain berdampak langsung di tempat/ di desa dan kepada warga desa, perubahan ruang hidup, politik agraria yang menyempitkan akses dan kuasa warga atas tanah di perdesaan, juga membuncah dan merembes ke kota. Banyak orang tua yang tak lagi sanggup bertahan di desa mencoba peruntungan nasib di kota. Mereka memboyong keluarga berikut anak-anak dan tinggal di wilayah pinggiran, tersembunyi di lipatan-lipatan gedung tinggi dan gemerlap kota. Salah satu wilayah lemparan kegagalan di desa itu adalah Jakarta Utara.

Acara hari ini di selenggarakan persis di mulut gang yang dulu dikenal dengan nama “gang sempit” dekat “gang macan”. Gang sempit terletak sepelemparan batu dari pelabuhan bongkar muat dan pelelangan ikan. Gang sempit pernah dikenal sebagai daerah prostitusi kelas teri, tempat para lelaki pekerja dan anak buah kapal antar pulau membuang hajat birahinya.

Kini, dengan usaha persuasi dari banyak pihak, wilayah itu telah menjadi hunian keluarga daripada lokalisasi. Hari itu, Kamis, 4 April 2019, gang itu akan mengubah peta DKI dengan perubahan nama dari nama “Gang Sempit” menjadi “Gang Berkah”. Meskipun bernuansa agama, saya tak mencium aroma “Islamisasi” sebagai cara untuk menekan wilayah prostitusi itu melainkan adanya kehendak warga, tokoh masyarakat, orang tua terutama ibu, pemerintah dan lembaga-lembaga penghubung antara pemerintah dan warga termasuk RT RW untuk membuat wilayah itu aman bagi tumbuh kembang anak. Mereka telah menentukan pilihan bagi lingkungannya yaitu pilihan untuk membebaskan anak-anak mereka dari praktik-praktik yang mengancam masa depannya yaitu perkawinan “terpaksa” dan narkoba.

Pendampingan selama dua tahun intensif tiap minggu dengan melakukan pengorganisasian yang tidak datang dari ruang hampa melainkan berdasakan pemetaan potensi untuk berubah adalah kunci.
Secara sosiologis ini adalah wilayah yang benar-benar bineka menampakkan wajah Indonesia sejati. Segala suku bisa ditemukan di sini dengan gembolan budayanya masing-masing. Lapangan pekerjaan informal paling mendominasi mengingat latar belakang pendidikan bawaan dari kampung halaman. Demikian juga segala aliran dan organisasai keagamaan ada disini. Di sini pula segala lambang partai berbaris berjejer di tepi jalan sempit penguji kesabaran berlalu lintas agar tetap bisa melaju bersaing dengan meja-meja penjual panganan atau kandang burung dan macam-macam gerobak dorong. Beberapa gambar habib tertempel di rumah-rumah melebihi gambar simbol-simbol negara. Namun hal yang tak ditemukan cukup kuat adalah ruang bersama tanpa sekat. Sekat-sekat labirin yang gampang memunculkan gesekan akibat keragaman itu membutuhkan ruang jumpa.

Strategi Rumah KitaB adalah memperkuat “engagement”, menciptakan ruang perjumpaan yang lebih luas tempat di mana macam-macam orang bisa bertemu. Pertemuan-pertemuan informal dilakukan tanpa mengganggu ruang yang telah ada. Kami “menghindari” pemanfaatan ruang sosial komunitas yang secara nyata telah menciptakan sekat dengan sendirinya seperti majelis taklim. Meski itu juga di ‘masuki’ namun itu tak diutamakan. Hal yang dilakukan dalam kaitannya dengan ruang jumpa internal agama (Islam) adalah mempertemukan tokoh-tokohnya dengan latar belakang NU, Muhammadiyah dan ormas lain untuk berjumpa di isu pencegahan kawin anak.

Ruang jumpa lain ditemukan dalam kegiatan remaja berupa seni tradisional Lenong. Seni drama tradisional yang interaktif antara pemain dan penonton ini, secara simbolik membaurkan sekat-sekat warga. Upaya pencegahan perkawinan anak menemukan bentuk engagement itu di sana.

Siang itu, selain pertunjukan Lenong, disajikan tarian Ronggeng/Cokek Betawi yang syarat simbol percampuran budaya Cina, Betawi, Arab, Bali dan Sunda. Tari Cokek itu menjadi perekat yang kuat yang secara simbolis menggambarkan keragaman itu. Hal yang saya suka, tarian itu tak mereka ubah untuk “tunduk” pada ketentuan yang kini menjangkiti tiap ‘performance” yang berupaya memodifikasi pertunjukkan itu agar tampak lebih santun atau bermoral. Tarian cokek ya cokek, gerakannya bebas, lembut sekaligus bertenaga, sensual tapi tak vulgar.

Hari itu, di bawah tenda merah putih, lebih dari 500 warga tumpah ruah ikut tergelak-gelak menyaksikan drama lenong yang memvisualisasikan pengalaman setempat bagaimana perkawinan anak terjadi dan cara memutus rantai kawin anak itu. Pesannya adalah pelibatan dan kepedulian para pihak dengan menciptakan ruang jumpa. Sebuah ruang imajinasi yang dapat mendesak sekat- sekat pemisahnya yang mematikan sikap peduli dan membangun kepedulian dengan cara baca baru- kawin anak bukan hal yang wajar, karenanya perlu ditawar/dinegosiasikan.[]

 

 

Koalisi Perempuan Desak Perubahan UU Perkawinan Sebelum DPR Periode Sekarang Berakhir

Koalisi Perempuan mendesak perubahan mengenai batas usia minimal untuk menikah dalam UU Perkawinan diubah sebelum DPR periode 2014-2019 berakhir.

Mahkamah Konstitusi bulan lalu memutuskan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun. Putusan itu dianggap sebagai kemenangan perjuangan pencegahan perkawinan dini di kalangan anak-anak Indonesia.

Namun, revisi Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu dikhawatirkan tidak akan selesai dalam waktu dekat karena pemerintah dan DPR kini lebih memusatkan perhatian pada pemilu 2019. Darurat kawin anak dinilai tetap mengancam Indonesia.

Oleh karena itu dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (9/1), Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengatakan sebagai salah satu pemohon uji materi undang-undang perkawinan, pihaknya berkepentingan untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi. Dia menilai revisi undang-undang tersebut tidak perlu menunggu sampai tiga tahun, dan revisi UU Perkawinan No.1/1974 – pasal 7 tentang batas usia minimal untuk menikah – diubah sebelum DPR periode 2014-2019 berakhir.

“Kami percaya bahwa suara perempuan di parlemen itu sangat menentukan. Dari beberapa kali perjuangan Koalisi Perempuan untuk mengubah beberapa undang-undang, itu adalah kerja keras Kaukus Perempuan Parlemen yang ada di dalam DPR ini,” ujar Dian.

Diskusi oleh Perempuan Parlemen soal tindaklanjut putusan Mahkamah Konstitusi untuk pencegahan dan penghentian perkawinan anak di Gedung DPR/MPR, Senayan, Rabu (9/1). (VOA/Fathiyah)

Diskusi oleh Perempuan Parlemen soal tindaklanjut putusan Mahkamah Konstitusi untuk pencegahan dan penghentian perkawinan anak di Gedung DPR/MPR, Senayan, Rabu (9/1). (VOA/Fathiyah)

Irma Suryani Chaniago, Sekretaris Jenderal KPPRI sekaligus Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Nasional Demokrat membenarkan praktik perkawinan anak atau usia dini memang marak di berbagai daerah. Di daerah pemilihannya, Sumatera Selatan, Irma mengatakan banyak anak SMP menikah dengan alasan untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Namun parahnya, calon suami kerap anak-anak remaja. Dan banyak pasangan muda yang menikah ini kemudian menyerahkan perawatan anak mereka kepada orang tua, atau kakek-nenek anak tersebut, karena mereka belum bekerja atau bekerja serabutan.

Anggota Komisi IX DPR ini mengatakan syarat usia minimal bagi perempuan untuk berumah tangga sedianya 21 tahun karena pada usia itu alat reproduksi perempuan sudah matang dan secara psikologis mereka sudah siap menjadi ibu. Sedangkan bagi lelaki umur minimal 25 tahun.

Kedua syarat umur minimal untuk menikah itu, menurut Irma, sesuai dengan program yang dikampanyekan oleh Badan Koordinasi keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

“Saya mewakili Komisi IX, sebagai Sekjen KPPRI, kami bersepakat dengan mitra di Koalisi Perempuan untuk bisa melegalkan perkawinan anak perempuan dan laki-kali di usia yang memang pantas untuk menikah dan tidak membawa dampak-dampak negatif di kemudian hari, dan bisa membuat pasangan ini mempertanggungjawabkan kehidupannya kepada orang tua, negara, dan anak yang akan dilahirkan,” tukas Irma.

Korban perkawinan anak Rasminah (tengah) dan Endang Warsinah (kanan) usai mendengarkan putusan MK atas uji materi UU perkawinan yang diajukannya hari Kamis, 13 Desember 2018 lalu. (Foto: ilustrasi)

Korban perkawinan anak Rasminah (tengah) dan Endang Warsinah (kanan) usai mendengarkan putusan MK atas uji materi UU perkawinan yang diajukannya hari Kamis, 13 Desember 2018 lalu. (Foto: ilustrasi)

 

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menyepakati batas usia minimal buat menikah yang ditetapkan oleh BKKBN. Ia gembira dengan terobosan yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, yang setuju untuk menaikkan batas usia minimal untuk menikah bagi laki-laki dan perempuan. Hanya saja yang mengganjal, katanya, adalah kenapa harus menunggu sampai tiga tahun.

Anggara menyatakan ICJR tidak ingin ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam batasan usia minimal buat menikah versi undang-undang terbaru.

Ia juga mendesak pemerintah untuk memperketat pemberian dispensasi, sebagaimana diperkenankan dalam pasal 7a UU Perkawinan.

“Ini (pemberian dispensasi) adalah cara legal bagi para pedofilia untuk mengawini, berhubungan seksual dengan anak-anak. Kalau ini tidak diperketat, maka kita akan menghadapi hantu pedofilia dengan menggunakan instrumen hukum,” kata Anggara.

 

Di sisi lain anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Diah Pitaloka khawatir setelah batas usia minimal menikah dinaikkan, akan terjadi peningkatan nikah siri atau menikah tanpa dicatat oleh Kantor urusan Agama (KUA). Oleh karena itu ia mengusulkan keseragaman untuk menentukan usia orang yang disebut dewasa. Sebab ada perbedaan standar dalam aturan berlaku. Menurut undang-undang pemilu, orang disebut dewasa berusia di atas 17 tahun. Sedangkan dalam beleid perlindungan anak, yang disebut anak adalah yang berusia 18 tahun ke bawah.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan makin banyaknya legislator perempuan akan kian mempermudah mengartikulasikan kepentingan perempuan dalam berbagai undang-undang atau kebijakan yang akan dirumuskan oleh DPR.

“Ternyata memang isu-isu perempuan akan lebih mudah dipahami dan diartikulasikan ketika itu dibicarakan oleh perempuan itu sendiri. Jadi kehadiran fisik perenmpuan di parlemen memang tidak bisa digantikan oleh keberpihakan sekalipun,” ujar Titi.

Menurutnya, ketika advokasi dalam penyusunan undang-undang pemilu, Perludem mengajukan batas usia minimal pemilih adalah 18 tahun di tahun pemilihan, bukan 17 tahun. Ditambahkannya, hanya sedikit negara yang mensyaratkan usia minimal pemilih 17 tahun; yakni Yunani, Indonesia, israel, Korea Utara, Sudan, dan Timor Leste.

 

Termasuk syarat perkawinan untuk memiliki hak pilih juga hanya dianut oleh tiga negara, yaitu Republik Dominika, Indonesia, dan Hungaria.

Perludem, lanjut Titi, juga mengusulkan agar syarat sudah menikah dihapus dalam pembahasan rancangan undang-undang pemilihan umum. Alasannya ada kesan kalau menikah muda, akan ada insentif untuk ikut memilih dalam pemilihan umum.

 

Anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Nihayatul Wafiroh mengungkapkan di sejumlah daerah di Jawa Timur, seperti Bondowoso, peran ulama atau kiai sangat penting untuk mengurangi angka perkawinan anak. Ada budaya di Indonesia yang memicu tingginya angka pernikahan anak. Dia mencontohkan di daerah kelahirannya, Banyuwangi; dimana terdapat suku Using yang memiliki budaya membawa lari anak perempuan dan harus dinikahkan. Karenanya revisi UU Perkawinan merupakan suatu keniscayaan, ujarnya.

Permohonan uji materi ini diajukan tiga penyintas perkawinan anak: Endang Wasrinah, Maryanti dan Rasminah. Dalam putusannya, hakim konstitusi menyebut ada ketimpangan hak pendidikan dasar akibat batas minimal usia perkawinan perempuan yang terlalu rendah, yakni 16 tahun.

 

Acara Perkawinan Anak di Indonesia (foto: ilustrasi). Batas usia perkawinan bagi perempuan dinilai terlalu rendah, yakni 16 tahun.

Acara Perkawinan Anak di Indonesia (foto: ilustrasi). Batas usia perkawinan bagi perempuan dinilai terlalu rendah, yakni 16 tahun.

 

Berbeda dengan perempuan, batas usia minimal laki-laki untuk melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun. Mahkamah Konstitusi menyatakan aturan itu membuat anak perempuan berpotensi kehilangan hak pendidikan dasar selama 12 tahun.

Pada 2015, Mahkamah Konstitusi pernah menolak menaikkan batas usia minimal perempuan untuk menikah dari 16 tahun ke 18 tahun. Ketika itu Mahkamah Konstitusi menilai tidak ada jaminan peningkatan batas usia menikah dari 16 tahun ke 18 tahun untuk perempuan dapat mengurangi masalah perceraian, kesehatan, serta masalah sosial.

Ketika uji materi atas UU perkawinan kembali dilakukan pada Desember 2018, Mahkamah Agung memutuskan bahwa lembaga itu memberikan tenggat paling lama tiga tahun bagi DPR untuk mengubah ketentuan batas usia dalam Undang-undang perkawinan. Lembaga itu juga menyatakan bahwa Indonesia sudah masuk dalam kondisi Darurat Perkawinan Anak. (fw/em)

 

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/koalisi-perempuan-desak-perubahan-uu-perkawinan-sebelum-dpr-periode-sekarang-berakhir/4736734.html

Yang juga Patut Disorot Soal Pemuda Indonesia: Program KB!

Rayakan Sumpah Pemuda dengan memperbaiki usia perkawinan penduduk Indonesia.

tirto.id – Pemuda selalu jadi bahan pembicaraan rutin menjelang peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober. Dari sisi negara, kategori pemuda kerap dibicarakan dalam bingkai tema kependudukan, khususnya dengan frasa “bonus demografi” atau jumlah angkatan pemuda yang besar. Tak lupa, juga soal bagaimana partisipasi mereka dalam kehidupan politik dan ekonomi.

Memang benar, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa seperempat penduduk Indonesia adalah golongan pemuda. Artinya, segala potensi dan dampak yang terjadi dari pemuda signifikan bagi perkembangan negara. Bahkan, dalam pendekatan optimis, orang-orang sering percaya bahwa masa depan suatu negara ada di golongan pemuda itu.

Pemuda dalam UU No.40 Tahun 2009 adalah warga negara Indonesia berusia 16 sampai 30 tahun. Kelompok penduduk dengan rentang umur itu juga disebut sedang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan. Pemuda, dalam pemahaman ini, mencakup semua gender.

Data Statistik Pemuda Indonesia 2017 dari Badan Pusat Statistik (BPS) memberi bahan optimisme. Dalam hal capaian pendidikan, misalnya, hampir tidak ada pemuda yang tidak bisa membaca dan menulis. Angka partisipasi sekolah pada kelompok umur 16-18 tahun juga telah mencapai 71,42 persen. Lebih dari separuh pemuda di Indonesia juga telah mengakses internet dalam tiga bulan terakhir (saat survei BPS berlangsung).

Namun, apakah data-data itu beriringan dengan perbaikan dalam urusan kesehatan reproduksi seperti perkawinan dini, kerentanan kehamilan pertama, hingga penerimaan terhadap program keluarga berencana (KB)?

Statistik Pemuda Indonesia 2017 mencatat persentase pemuda yang menikah dari kelompok umur 15 tahun atau di bawahnya secara nasional hanya mencapai 2,66 persen. Umumnya, pemuda Indonesia melangsungkan perkawinan pertamanya pada usia 19-21 tahun (34,03 persen). Artinya, secara statistik, problem perkawinan dini kini bukanlah masalah struktural. Kalaupun ada persoalan tersebut di beberapa wilayah, kemungkinan ia terkait dengan konteks lokal, tradisi maupun praktik budaya tertentu.

Kalimantan dan Sulawesi Patut Diperhatikan

Meski demikian, sebanyak 21 provinsi di Indonesia masih memiliki persentase tinggi untuk pernikahan dini (dari kelompok umur 15 tahun atau di bawahnya).

Masalah ini ada di satu wilayah Pulau Jawa, beberapa wilayah di bagian selatan Pulau Sumatera, dan merata untuk wilayah Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Di bagian Indonesia timur seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara juga masuk ke dalam kelompok itu. Secara khusus, lima wilayah dengan persentase teratas adalah: Kalimantan Tengah (5,96%), Sulawesi Barat (5,78%), Sulawesi Tengah (5,75%) dan Sulawesi Tenggara (5,42%) serta Papua (4,63).

Infografik Periksa Data Program Kesehatan KB

Patut diperhatikan pula, 21 provinsi di Indonesia masih memiliki nilai rataan di atas nasional untuk kategori pemuda yang menikah pada umur 16-18 tahun. Beberapa wilayah di pulau Sulawesi dan Kalimantan tercatat masuk dalam situasi itu.
Kalimantan Selatan (28,98%), Sulawesi Tenggara (28,28%), Kalimantan Tengah (27,69%), Nusa Tenggara Barat (27,53%) dan Sulawesi Barat (26,60%) adalah lima wilayah dengan persentase teratas.

Kerentanan di Wilayah Perdesaan

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah soal kehamilan pertama. Kehamilan pertama dari kelompok pemuda yang menikah dalam umur 15 tahun atau di bawahnya terjadi lebih banyak di perdesaan daripada perkotaan. Di wilayah perdesaan, persentasenya sebesar 1,51 persen, lebih besar dari angka rata-rata nasional: 1,09 persen.

Infografik Periksa Data Program Kesehatan KB

Kehamilan pertama dari kelompok pemuda yang menikah dalam umur 15 tahun atau di bawahnya di perdesaan cenderung muncul pada 40 persen rumah tangga ekonomi terbawah. Pada kelompok 20 persen rumah tangga ekonomi teratas, kehamilan pertama justru terjadi pada usia teratas, 25-30 tahun.

Berbagai problem kesehatan mendasar terkait kehamilan pertama bisa menjadi efek domino. Kelangsungan generasi yang sehat dan ideal pada masyarakat kelas ekonomi terbawah di perdesaan cenderung sukar terwujud. Artinya, berbagai kebijakan mendatang perlu memperhatikan kelompok rumah tangga itu.

Partisipasi KB

Pada konteks lain, kualitas kependudukan pemuda tidak hanya bersumber dari persoalan perkawinan dini ataupun kehamilan pertama. Kependudukan yang sehat tentu sejalan dengan capaian partisipasi program keluarga berencana (KB).

Infografik Periksa Data Program Kesehatan KB

Data Statistik Pemuda Indonesia 2017 sendiri memperlihatkan bahwa partisipasi pemuda dalam program KB tidak begitu berbeda. Survei menemukan 52,67 persen pemuda perkotaan sedang dalam program KB. Sementara itu, di wilayah perdesaan capaiannya mencapai 56,68 persen.

Berdasarkan demografi kelompok pengeluaran rumah tangga, kelompok 40 persen rumah tangga ekonomi terbawah adalah peserta program KB utama. Sebaliknya, kelompok 20 persen rumah tangga ekonomi teratas tercatat tidak dalam program KB.

Infografik Periksa Data Program Kesehatan KB

Stigma soal KB juga semakin terlihat jika melihat pandangan alasan pemuda ikut dalam program. Alasan fertilitas (29,57 persen) menjadi alasan utama dari kelompok demografi wilayah perdesaan. Menariknya, pemuda dari wilayah perkotaan punya persentase yang besar dalam soal urusan takut efek samping (13,61 persen) dari program KB.

Gambaran soal perkawinan dini, kerentanan kehamilan pertama hingga resepsi terhadap program KB atas pemuda di atas menunjukkan bahwa situasi pemuda Indonesia semestinya tidak hanya dilihat dalam hal bonus demografi. Jumlah pemuda yang besar itu tak hanya perlu dirayakan, tetapi juga disambut dengan perangkat kebijakan yang bisa menjamin kualitas pemuda, termasuk program Keluarga Berencana.

Sumber: https://tirto.id/yang-juga-patut-disorot-soal-pemuda-indonesia-program-kb-c8uj

 

Program BERPIHAK: Program Penguatan Kapasitas Tokoh Formal dan Non-formal untuk Advokasi Pencegahan Perkawinan Anak

Fenomena perkawinan anak di Indonesia sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang mengkhawatirkan. Praktik ini terjadi hampir merata di berbagai wilayah di negeri ini dengan beragam faktor penyebab dan pemicu. Berdasarkan data dari UNICEF tahun 2016, Indonesia menempati peringkat ke 7 di dunia sebagi negara dengan angka perkawinan anak tertinggi dan peringkat ke 2 di Asia Tenggara. Sementara itu, data dari KPPPA yang bersumber dari Susenas menunjukkan bahwa 24.17% anak di Indonesia mengalami perkawinan di bawah umur 18 tahun di tahun 2013 dan di tahun 2015 menurun sedikit menjadi sejumlah 22,82%. Data yang dikumpulkan BAPPENAS menunjukkan bahwa 1 dari 4 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun, dan rata-rata 375 anak perempuan menikah setiap harinya.

 

Hasil kajian dan penelitian Rumah KitaB menunjukkan bahwa tingginya jumlah kasus perkawinan anak di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keberadaan kelembagaan, baik formal, non formal maupun tersamar. Kelembagaan formal mewakili institusi dan aktor yang bekerja di ranah formal, yaitu yang mengampu otoritas dari negara dan pemerintahan, seperti pejabat dan staf di instansi pemerintahan; kelembagaan non formal mencakup institusi dan tokoh yang mempunyai pengaruh di masyarakat meskipun tidak memiliki dan tidak mewakili otoritas dari negara dan pemerintah, misalnya tokoh agama, pemuka adat serta tokoh masyarakat lainnya; dan kelembagaan tersamar merujuk pada pranata sosial, norma budaya dan tradisi, ajaran dan praktik agama serta faktor-faktor ekonomi maupun politik lainnya yang mempengaruhi sikap, tindakan dan keputusan yang diambil oleh masyarakat. Yang termasuk dalam kategori terakhir ini bisa bermacam-macam, dari rasa malu, tekanan sosial, sanksi adat, sampai dengan masalah kemiskinan, struktur relasi yang masih timpang antara perempuan dan laki-laki, maupun ajaran dan praktik agama.

 

Memahami betapa kompleksnya permasalahan kawin anak, serta sangat banyaknya aktor-aktor yang mesti digandeng untuk dapat mengatasi permasalahan yang ada secara efektif dan berkelanjutan, maka Rumah KitaB memandang penting akan adanya satu program yang menyasar para aktor formal dan non formal dengan tujuan untuk memperoleh dukungan bagi kerja-kerja advokasi pencegahan kawin anak ke depan. Dukungan ini mutlak diperlukan karena di sebagian besar kasus kawin anak yang terjadi, para aktor ini berperan penting dan berpengaruh besar dalam memfasilitasi terjadinya praktik tersebut. Dengan mendorong perubahan pandangan, sikap dan keberpihakan para aktor di atas, dari semula melakukan fasilitasi atau pembiaran atas praktik kawin anak menjadi aktif untuk mencegah perkawinan anak, diharapkan upaya penghentian dan pencegahan kawin anak menjadi lebih efektif dan tajam hasilnya.

 

Atas dukungan dan kerjasama dengan Ford Foundation, pada akhirnya Rumah KitaB berkesempatan untuk menyusun dan melaksanakan sebuah program di tema perkawinan anak dengan tajuk Program BERPIHAK. BERPIHAK adalah program pencegahan perkawinan anak yang akan dilaksanakan oleh Rumah KitaB di tiga wilayah di Indonesia, yaitu di Cianjur-Jawa Barat, Madura-Jawa Timur, dan Lombok Utara-NTB, dalam kurun waktu 2018-2020. Program dukungan Ford Foundation ini bertujuan untuk turut mengurangi praktik kawin anak di wilayah kerja program melalui penguatan kapasitas aktor formal dan non-formal untuk advokasi pencegahan perkawinan anak. Ketiga wilayah kerja program sebagaimana disebutkan di atas dipilih karena daerah-daerah tersebut merupakan salah satu kantong penyumbang angka perkawinan anak terbesar di Indonesia.

Krisis Agraria di Indonesia Picu Perkawinan Anak

Angka perkawinan anak di Indonesia saat ini masih terbilang tinggi. Belakangan, krisis agraria disinyalir sebagai salah satu faktor penyebabnya.

 

tirto.id – Perkawinan anak masih menjadi momok di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan catatan UNICEF, 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun, dan 0,5% anak perempuan menikah sebelum berusia 15 tahun (PDF). Kesimpulan tersebut berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2017 yang mencatat bahwa 14,18% perempuan yang telah menikah di Indonesia berusia di bawah 16 tahun, dengan persentase tertinggi di Provinsi Kalimantan Selatan.

Artikel berjudul “Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya” yang ditulis oleh Eddy Fadlyana dan Sinta Larasaty (PDF) memaparkan beragam risiko perkawinan anak seperti permasalahan pendidikan, kesehatan reproduksi, kesehatan anak yang dilahirkan, serta komplikasi psikososial akibat pernikahan dan kehamilan usia dini.

Semakin muda usia menikah, tulis Fadlyana dan Larasaty, bahwa maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai oleh sang anak.

“Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri dan calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang diharapkan berperan lebih banyak mengurus rumah tangga maupun menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah,” ujar Fadlyana dan Larasati.

Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) Lies Marcoes mengatakan bahwa perkawinan anak membawa berbagai macam dampak buruk di bidang ekonmi, kesehatan, pendidikan, hukum, kependudukan, dan pengajaran.

“Ngomongin soal dampak, pasti DO, tidak ada sekolah yang menerima anak hamil. Kemiskinan, berdampak pada ekonomi Indonesia yang turun karena perkawinan anak. Menghadapi persoalan hukum, ajaran keagamaan atau moral yang lebih berat mengatasi,” ujar Lies ketika dihubungi Tirto.

Krisis Agraria dan Pernikahan Dini

Ada banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan anak, di antaranya krisis agraria.

“Faktornya banyak sekali antara lain politik ekonomi yang tidak memihak kepada kaum miskin lah sederhananya. Misalnya gini, kalau melihat bentangan di Indonesia, kalau perkawinan anak paling banyak terjadi di daerah dimana krisis ekologi, krisis ekonomi yang terkait dengan perubahan fungsi tanah itu terjadi,” ungkap Lies.

Hampir seluruh provinsi di Kalimantan, misalnya, mengalami krisis agraria akibat sawit. Selain itu, krisis agraria di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dipicu oleh peralihan fungsi tanah untuk bisnis pariwisata. Tempat-tempat tersebut memiliki angka perkawinan anak yang tinggi. Provinsi lain dengan angka perkawinan anak yang tinggi adalah Jawa Timur dan Jawa Barat.

“Ketika tanah diambil oleh industri ekstraktif, industri sawit, dan lain sebagainya, banyak lelaki kehilangan pekerjaannya. Lalu secara otomatis kehilangan ‘martabat’ sebagai lelaki karena tidak bisa mengakses tanah,” tutur Lies.

Ketiadaan pengganti pekerjaan bagi para lelaki, jelas Lies, membuat mereka lebih konservatif. Saat lahan diambil, laki-laki sudah tak bisa mengontrol ekonomi. Di sisi lain, mereka ingin tetap berkuasa dalam urusan moral.

Hilangnya pekerjaan bagi laki-laki memaksa mereka berpindah ke tempat lain, atau menjadikan anak mereka tulang punggung keluarga.

“Di mata ibu, si anak menjadi tidak aman tinggal di desa. Makanya dia sendiri yang mendorong agar anaknya menikah. Keputusan itu dibenarkan oleh bapaknya. Hanya dengan cara itu, kekuasaan si laki-laki masih bisa bekerja,” kata Lies kepada Tirto.

Pernyataan Lies tersebut oleh kajian berjudul Mendobrak Kawin Anak: Membangun Kesadaran Kritis Pencegahan Kawin Anak yang ditulis oleh Achmat Hilmi dkk (2018:12). Buku itu mendedah sejumlah temuan pokok tentang perkawinan anak, yakni praktik perubahan ruang hidup dan sosio-ekologis lingkungan.

Menurut Hilmi dkk, perubahan kepemilikan atau alih fungsi tanah “mempersempit lapangan pekerjaan di desa”. Daerah-daerah yang mengalami “perubahan-perubahan relasi gender di dalam keluarga” dapat dipastikan memiliki kecenderungan kawin anak yang tinggi. Hilmi dkk juga menyatakan bahwa hilangnya tanah dan sumber-sumber daya ekonomi di desa “mendorong orangtua merantau baik tetap atau sirkuler atau bermigrasi”.

Migrasi inilah yang mengubah pembagian kerja dan peran gender di dalam keluarga; perempuan menjadi pencari nafkah utama, sementara laki-laki absen di ruang domestik. Walhasil, anak perempuan mengambil alih peran ibu sehingga putus sekolah.

Infografik Penyebab Pernikahan Dini

Mendobrak Kawin Anak juga menuturkan sebuah kasus yang terjadi di Desa Bialo, Kabupaten Bulukumba (2018:62), di mana hampir separuh lahan pertanian berpindah tangan ke investor, peralihan ini menyebabkan petani kehilangan lahan, beralih profesi menjadi buruh tani, atau bermigrasi ke Makassar dan Malaysia untuk bekerja sebagai buruh perkebunan sawit.

Selama dua tahun terakhir di Desa Bialo, ada enam anak perempuan di bawah 15 tahun yang telah dikawinkan untuk mengurangi beban, atau menambah tenaga kerja baru untuk menghasilkan pendapatan.

Angka perkawinan anak juga tinggi di Bogor, Jawa Barat. Menurut buku berjudul Kawan & Lawan Kawin Anak: Catatan Asesmen Program Berdaya di Empat Daerah yang ditulis oleh Mukti Ali, dkk, sebelum terjamah pembangunan, penduduk Babakan Madang, Bogor, bekerja di sektor pertanian, khususnya perkebunan. Namun, setelah pembangunan besar-besaran, khususnya pasca-sirkuit Sentul, daerah tersebut mengalami proses urbanisasi yang berdampak pada perubahan signifikan di kalangan muda.

Seks pranikah tanpa pengaman pun marak sehingga memicu kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Hal ini membuat orangtua gelisah memikirkan anak perempuan mereka, sampai-sampai perkawinan di usia remaja dianggap sebagai solusi yang masuk akal. Pada 2017, usia perkawinan di bawah 20 tahun baik laki-laki maupun perempuan di wilayah itu berkisar antara 30-35%.

Aktivis Aliansi Remaja Independen Almira Andriana menyampaikan bahwa pernikahan dini dapat dicegah dengan informasi yang memadai tentang kesehatan reproduksi.

“Di Jakarta ada metode yang salah. Remaja belum terpapar informasi tentang penyakit menular seksual,” ungkap Andriana kepada Tirto.

Hingga kini, tambah Almira, banyak remaja yang tak nyaman ketika mengakses layanan informasi kesehatan. Pasalnya, mereka masih menganggap bahwa seksualitas merupakan urusan pribadi; mereka malu ketika harus membicarakan problem kesehatan alat reproduksi seperti keputihan atau sakit kelamin.

“Penyedia layanan kesehatan reproduksi juga tak bisa dipilih sesuai dengan jenis kelamin si pengakses,” pungkas Almira.

Sumber: https://tirto.id/krisis-agraria-di-indonesia-picu-perkawinan-anak-c5ay

Sumber buku Rumah KitaB:

Dilema Pendidikan Seksual, Makin Ditutupi Makin Terbuka Aksesnya

Jakarta – Zaman boleh berganti namun tidak demikian dengan persepsi pada pendidikan seksual. Terlepas dari latar belakang pendidikan dan ekonomi, pendidikan seksual masih jadi sesuatu yang tabu. Meski sudah ingin membuka aksesnya, pendidikan seksual masih menjadi hal yang sulit diungkapkan di masyarakat.

Berlawanan dengan tabu, informasi seputar reproduksi dan seksual kini makin mudah diperoleh dari berbagai sumber. Akibatnya, Anak dan remaja berisiko tersesat karena tidak tahu sumber informasi yang bisa dipercaya.

“Yang ideal memang sediakan pengetahuan dan layanan, namun jika tidak bisa minimal ada informasinya,” kata Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) Lies Marcoes, Rabu (26/9/2018).

Menurut Lies, pendidikan seksual sebetulnya telah diajarkan sedini mungkin dalam agama. Misalnya ajaran terkait bersuci sebelum melakukan ibadah, misal wudhu. Ibadah dikatakan tidak sah bila wudhu batal, salah satunya dengan menyentuh alat kelamin tanpa pelapis. Dubur dan kemaluan juga diajarkan untuk selalu bersih demi kesehatan tubuh.

Pemenuhan informasi bisa menjadi jalan keluar beberapa masalah terkait seksual dan reproduksi. Misal pernikahan dini, yang ditempuh dengan pertimbangan lebih baik daripada zina. Masalah lainnya adalah kehamilan tidak diinginkan, yang seolah hanya menyediakan jalan keluar menikah secepatnya.

Informasi tentunya harus disampaikan dengan gaya khas remaja, bukan menimbulkan rasa takut atau bertentangan dengan logika. Kecukupan informasi diharapkan bisa membantu remaja mengenal diri, serta mempertimbangkan keputusan terkait seksual dan reproduksi. Hasilnya remaja tak perlu lagi mempercayai iklan obat penggugur kandungan, praktik aborsi ilegal, dan info sesat lainnya.

Sumber: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4230263/dilema-pendidikan-seksual-makin-ditutupi-makin-terbuka-aksesnya

Menyikapi Hamil ‘Tekdung’, Haruskah Indonesia Meniru Belanda?

Jakarta – Hamil ‘tekdung’ alias hamil sebelum menikah, merupakan realita yang kerap melatarbelakangi Married by Accident (MBA). Hal ini terjadi seiring masih tingginya angka pernikahan usia dini di Indonesia. Data BPS 2017 menyatakan, sebaran nikah dini di 23 propinsi di Indonesia mencapai lebih dari 25 persen.

Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) Lies Marcoes mengatakan, remaja yang hamil tekdung umumnya mendapat diskriminasi dari lingkungan sekitar. Remaja dan keluarganya seolah tak punya pilihan lain kecuali segera menikah, tanpa mempertimbangkan kehidupan rumah tangganya kelak.

“Remaja seharusnya bisa memilih dengan difasilitasi negara,” katanya, Rabu (26/9/2018).

Pilihan tersebut tak mengecualikan aborsi jika remaja merasa keberatan atau belum siap menjadi orangtua. Tentunya, remaja harus tahu konsekuensi medis dan psikologis atas pengguguran kandungan. Hal ini untuk mencegah remaja menjadi korban malpraktik atau mengalami dampak buruk lainnya dari praktik aborsi ilegal. Beberapa negara yang membolehkan aborsi adalah Belanda, Singapura, Cina, Korea Utara, dan Vietnam.

Solusi lainnya adalah membuka akses seluasnya pada remaja yang memutuskan ingin menjadi orangtua. Hal ini meliputi boleh melanjutkan sekolah dan mengikuti ujian meski tengah berbadan dua. Layanan medis juga terbuka bagi calon ibu yang ingin memeriksakan kandungan atau melahirkan, tanpa memandang sebelah mata. Ibu yang masih remaja juga bisa mengusahakan kehidupan yang lebih baik bagi diri dan janinnya.

Selain paska kehamilan, Lies mengingatkan pentingnya solusi untuk mencegah kehamilan remaja. Salah satunya kecukupan informasi terkait reproduksi, seksual, dan kontrasepsi sebelum anak beranjak remaja. Selain bisa memilih dan membentengi diri, remaja tak perlu lagi terjebak info yang sumber kebenarannya diragukan terkait reproduksi.

Sumber: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4230020/menyikapi-hamil-tekdung-haruskah-indonesia-meniru-belanda

Hindari Zina, 1 dari 4 Anak Perempuan Menikah Sebelum Umur 18 Tahun

Jakarta – Pernikahan dini ternyata masih banyak ditemukan dalam kehidupan mayarakat awam. Hal ini sangat memprihatinkan, karena praktik ini sejatinya tidak diperbolehkan hukum negara. Aturan menyaratkan usia calon mempelai minimal 18 tahun untuk laki-laki dan perempuan.

Alasan ‘menghindari zina’ banyak melatarbelakangi perkawinan di bawah umur. Orangtua lebih memilih menikahkan anak secepatnya, tanpa memberi tahu terlebih dulu seputar konsekuensi, kesehatan reproduksi, dan perencanaan keluarga.

“Agama memang bisa menjadi inspirasi namun seharusnya tidak seperti itu,” kata Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) Lies Marcoes.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 menunjukkan, ada 23 propinsi dengan sebaran angka perkawinan anak lebih dari 25 persen. Reponden dalam data ini adalah perempuan berusia 18-24 tahun dengan usia saat perkawinan pertama kurang dari 18 tahun. Riset Rumah KitaB menunjukkan perkawinan anak tertinggi terjadi pada usia 14 tahun, sementara total remaja berusia 15-19 tahun di Indonesia diperkirakan mencapai 22.242.900 jiwa.

Aturan agama jelas tidak bisa diubah karena sifatnya yang kekal. Namun, Lies mengkritisi sikap pemerintah yang kurang tegas menyikapi pernikahan anak. Akibatnya, masih ada dualisme di masyarakat menghadapi isu ini. Aturan agama menjadi jalan keluar, karena aturan negara tak membolehkan pernikahan anak.

Lies mengatakan, pemerintah seharusnya bisa mengambil jalan tengah demi perlindungan anak Indonesia. Selain aturan agama, pemerintah bisa menggunakan pertimbangan dari sudut pandang lain misal medis dan psikologi anak. Hasilnya anak yang beranjak remaja mendapat cukup info terkait kesehatan reproduksi, kematangan usia pernikahan, dan hidup berkeluarga. Negara juga bisa menyediakan perlindungan bila remaja memutuskan menikah.

Sumber:https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4229956/hindari-zina-1-dari-4-anak-perempuan-menikah-sebelum-umur-18-tahun

Kegiatan Kreasi Kerang Hijau untuk Kampanye Pencegahan Perkawinan Anak di Kalibaru

Rumah Kita Bersama memberikan pendampingan kepada TIM Remaja Cegah KANAK (Kelompok Remaja Alumni Pelatihan Berdaya Rumah KitaB dan AIPJ2 2018) di Kalibaru, melalui kegiatan kreasi Kerang Hijau untuk Kampanye Pencegahan Perkawinan Anak di Kalibaru, pada hari Minggu, 23 September 2018, berlokasi di Pendopo Pak Haji Abdul Karim-Ketua RW 06 Kelurahan Kalibaru. Kegiatan ini melibatkan 27 orang remaja yang belum ikut pelatihan BERDAYA Rumah Kita Bersama-AIPJ2, berasal dari 6 RW di kelurahan Kalibaru.

Panitia kegiatan ini di antaranya, Robby, Wahyu, Kadmi, Andri, dan Jumadi, mereka didampingi oleh Hilmi dari Rumah Kita Bersama didukung oleh Ketua RW 06 kelurahan Kalibaru. Robby, remaja yang sudah dua tahun putus sekolah, mengetuai kegiatan ini. Robby menuturkan bahwa dirinya sangat bangga mampu menyelenggarakan kegiatan ini melibatkan partisipasi banyak remaja di Kelurahan Kalibaru untuk membangun pengetahuan pentingnya pencegahan perkawinan anak yang saat ini marak di Kalibaru.

Tujuan dari kegiatan ini adalah berubahnya pengetahuan para remaja dari tidak tahu menjadi tahu tentang bahaya perkawinan anak. Bahkan, remaja bernama Nuni, sangat antusias dan berkomitmen untuk menyebarkan pengetahuan ini kepada lingkungan sekitarnya, terutama teman-teman sebaya.

Kegiatan ini menghasilkan 5 buah karya remaja Kalibaru, sebuah kreasi seni untuk kampanye pencegahan perkawinan anak di Kalibaru. Kelima hasil kerajinan ini akan dipamerkan di sekolah-sekolah saat momen kampanye pencegahan perkawinan anak berikutnya, dan juga akan dipamerkan di kelurahan Kalibaru untuk kegiatan sosialisasi pencegahan perkawinan anak yang akan dilaksanakan oleh gabungan para tokoh formal dan non formal, orang tua dan remaja.

Ketua TIM Cegah Kanak, Robby, sudah 2 tahun dia putus sekolah, berkat kegiatan yang diselenggarakannya ini dia berkomitmen untuk berusaha lanjut sekolah meski orang tuanya tidak mampu, dia sedang mencari peluang untuk mengejar paket C, agar dirinya bisa mendapat pekerjaan untuk mendapatkan biaya kuliah. [Hilmi]