Al-Ghazali: tentang Intelektual-Istana  dan “Kasmaran”-nya dengan Amrun Samawiyyun

Juara khusus #Kuis Ngaji Ihya

 

يا أيها الإنسان إنك كادح إلى ربك كدحا فملاقيه (الإنشقاق ٦:٨٤)

الحمد لله الذي أصعد قوالب الأصفياء بالمجاهدة (الغزالي، كيمياء السعادة، ص ١)

وعقيدة الوحدانية عقيدة صعبة لايستطيعها إلا المجاهدون الراقون (أحمد أمين، يوم الإسلام، ص ١٣)

 

Dalam “statuta” keorganisasian NU, al-Ghazali adalah salah satu dari dua tokoh yang menjadi kompas dalam ber-tasawuf. Kalangan nahdliyyin niscaya sudah mafhum belaka. Dan akan tampak terlalu teknis jika hal itu dianggap sebagai motif. Saya mencoba menuliskan tulisan ini dengan niat (i) ikraman wa ta’zhiman kepada seluruh begawan moral besar –para rasul, anbiya’ syuhada’, auliya’, shalihin— yang menjadikan amrun samawiyyun (“urusan langit”)  sebagai kiblat hidup; tentu saja sosok al-Ghazali termasuk di dalamnya, dan –dengan pengharapan semoga– juga kita semua yang ber-halaqah mengitari al-Ghazali; qira’atan, wa sam’an, wa kitabatan, wa lasiyyama ‘amalan. Saya membayangkan saat mahallul qiyam dalam ritual barzanjian, dan kita semua berdiri sebagai bentuk penghormatan dan takzim atas nur nabi yang sedang sejenak singgah.

Juga (ii) sebagai “nostalgia-kecil” masa akhir tahun 1990-an (saat ramai teror ninja, dan sekarang era Covid-19, what a coincidence!). Kala itu saya mondok di Pesantren Fathul Ulum, asuhan Kiai Abdul Hannan Ma’shum, di Desa Kwagean, Kediri, Jawa Timur. Saya  “membacai” sendiri kata pengantar  cukup panjang atas kitab Ihya’ ‘Ulumiddin (bagian kata pengantar tidak ikut dibaca oleh kiai saat mengaji, dan memang sudah demikian lazimnya) yang ditulis oleh Badawi Thabbanah (saya lupa terbitan mana kitab yang saya pakai saat itu). Juga memori saat mencoba “membacai” sendiri kitab Manaqib al-Ghazali, yang disusun oleh Kiai Ahmad Yasin Asymuni, pengasuh Pesantren Petuk, Semen, Kediri, Jawa Timur. Dalam kitab manaqib kecil inilah saya menjumpai untuk pertama kali kutipan berikut:

طلبت العلم لغير الله فأبى أن يكون إلا لله

Pada mulanya aku, al-Ghazali mencari ilmu dengan motif selain Allah (motif duniawi), dan ternyata ilmu emoh dengan cara perlakuanku yang demikian itu, ilmu hanya mengizinkan satu-satunya motif: semata Allah”.  Ungkapan Ibn Sina sebetulnya lebih straight-to-the-point lagi, tipikal kejituan berpikir seorang filosof: fa man tajira bi al-din falaisa lahu dinun (yang memperdagangkan agamanya, sudah tak memiliki agama lagi).

 

Sebuah nazham/bait lain – masih dari kitab Manaqib al-Ghazali-  yang juga pertama kali saya baca saat itu, terus melekat dalam memori:

لوكلت ألفي رطل خمر لم تكن # لتصير نشوانا إذا لم تشرب

Dua ribu liter anggur tak akan berujung mabuk-kepayang, “kasmaran” (nasywanan) jika tak kunjung diminum, hanya ditimbang-timbang saja”. Ini  mengingatkan kita pada kemiripan nuansa makna dalam sepotong hadis Nabi yang cukup familiar di telinga santri: inna hadza wa ash-habahu yaqra’una al-qur’ana, la yujawizu hanajirahum (si fulan dan orang-orang yang sehaluan, membaca al-Qur’an, namun tak sampai melewati kerongkongannya [tak meresap ke dalam hati mereka]). Dari dua kutipan ini, tampak kecenderungan amrun samawiyyun sedemikian lekat dalam diri al-Ghazali.

Juga (iii) sebagai semacam self-reminder betapa riskannya jika kita berputus-sanad, kepaten-obor dari amrun samawiyyun. Bahwa amanah kemanusiaan mengharuskan kita meng-install-kan ke dalam diri, sejumlah dosis tertentu dari amrun samawiyyun ini.

Tarik-menarik yang demikian kuat dalam diri al-Ghazali antara amrun dun-yawiyyun (sebagai intelektual-istana) dengan amrun ukhrawiyyun inilah yang membuat kisah hidup al-Ghazali penuh dengan dinamika demikian intens, dan karena itu menarik untuk ditulis; menjadi semacam cermin bahwa demikianlah prototype otentik seorang manusia yang genuine, tidak palsu dalam kemanusiaannya.

Dalam bentuk lain, tarik-menarik ini dapat kita “baui” residu-jejaknya dalam perdebatan, misal, soal tegangan antara ashalah dan hadatsah, antara “yang-tradisional” dan “yang-modern” yang terus berlangsung hingga hari ini; antara akal dan wahyu; antara agama dan sains–topik yang, dalam badai pandemi Covid-19 sekarang, ramai diperbincangkan kembali. Jejak tarik-menarik yang demikian juga tercermin dalam “kaidah-sejuta-umat”-nya kaum nahdliyyin, yang sudah sering kita dengar bersama: al-muhafazhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (merawat hal lama yang baik, seraya mengadopsi hal baru yang lebih baik).

 

***

Amrun samawiyyun

Secara harafiah –dan sesuai siyaqul kalam atau konteks kemunculannya dalam kitab al-Munqidz– berarti “perkara langit”. Frasa ini muncul di al-Munqidz, saat al-Ghazali menceritakan fragmen terpenting dalam hidupnya saat hendak mengambil keputusan untuk meninggalkan kemapanan duniawi dan prestise akademiknya di Baghdad. Frasa ini tampak penting sekali untuk di-highlight dengan sorot pencahayaan penuh. Frasa inilah yang mencerminkan momen crucial-turning-point, sekaligus merupakan poros paling fundamental yang menggerakkan seluruh kisah hidup al-Ghazali yang demikian dramatis, hingga memutuskan uzlah dan melahirkan karya magnum-opusnya, Ihya’ ‘Ulumiddin.

Dalam pembacaan yang sedikit spekulatif, amrun samawiyyun ini jugalah yang membuat al-Ghazali menempati posisi sebagai al-mujaddid (selain sebagai hujjatul islam), pembaharu dalam Islam di awal abad kelima hijriah. Spekulasinya: andaikan al-Ghazali tidak men-turuti panggilan amrun samawiyyun ini, dan lebih memilih hidup nyaman menyusu pada kekuasaan (di sini teringat buku Romo Sindhunata, Menyusu Celeng, dan dhawuh Kiai Rifa’i Kalisalak, Batang, Jawa Tengah: luwih becik nandur jagung tinimbang ngawulo tumenggung), mungkin usia al-Ghazali bisa lebih panjang, dan, karena itu, beliau tidak meninggal di awal abad kelima hijriah (dalam salah satu ulasan tentang kisah hidup al-Ghazali, disebutkan al-Ghazali mengalami cukup kemerosotan fisik, salah satunya, akibat perjalanannya singgah di beberapa kota, pasca keputusannya meninggalkan Baghdad). Kita tahu bahwa salah satu syarat kelayakan disebut sebagai mujaddid adalah meninggal di awal abad, tidak melebihi tahun keduapuluh dari awal abad hijriah. Dan al-Ghazali dapat memenuhi syarat itu dengan meninggal pada tahun 505 hijriah.

Kalau kita lacak dalam bentangan sejarah, para begawan moral besar selalu punya “urusan” sekaligus irisan yang serius dengan amrun samawiyyun ini. Kadar kebegawanan diukur dari seberapa dosis kasmarannya dan sekaligus dinamikanya dengan amrun samawiyyun. Siddharta Gautama meninggalkan kenikmatan, kenyamanan hidup di istana kerajaan, melanglang sebagai pertapa merenungi tiga jenis penderitaan anak manusia: penyakit, usia tua, dan kematian. Nabi Ibrahim menghadapi penghukuman bakar, berdoa di tapal batas pengharapan: Allahumma anta al-wahid fi al-sama’ wa ana al-wahid fi al-ardli, laisa ahadun ya’buduka ghairi, hasbiyallah wa ni’ma al-wakil. Nabi Muhammad dengan benturan bertubi-tubi di tahun-tahun penuh marabahaya (‘aam al-huzn), dari pemboikotan kaum Quraisy atas Bani Hasyim selama tiga tahun, kematian sang paman (Abu Thalib), kematian Siti Khadijah, berhijrah ke Thaif, di Thaif mendapat penolakan dan perlakuan kasar, hingga terlunta-lunta, nabi menyingkir dan tiba di kebun anggur sambil memanjatkan “doa thaif”: Allahumma ilaika asyku dla’fa quwwati, anta rabbul mustadl’afin (kutipan dari versi lengkap yang lebih panjang).

Kiai Ahmad Mutamakkin –yang makamnya diziarahi  Gus Dur, dan merupakan perlawatan resmi pertama kali beliau, pasca terpilih sebagai presiden– oleh ayahnya, diminta memilih antara amrun dun-yawiyyun (dalam teks aslinya: keraton dunyo) dan amrun ukhrawiyyun/samawiyyun (dalam teks aslinya: keraton akherat); dan barang siapa sudah memilih yang pertama maka akan kehilangan yang kedua, demikian pula sebaliknya. Kiai Mutamakkin dengan tegas menjatuhkan pilihannya pada yang kedua: amrun ukhrawiyyun/samawiyyun. Catatan tambahan: Kiai Jazuli Utsman, pendiri pondok pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri, anak dari keluarga bangsawan di era kolonial saat itu, diminta keluar dari studinya di STOVIA (satu almamater dengan Bung Karno), oleh Kiai Ma’ruf, Kedunglo, Kediri –murid dari Kiai Kholil Bangkalan– untuk fokus belajar di pesantren (alhamdulillah, saya pernah mondok di Al-Falah ini, sebelum ke pesantren Kwagean). Kiai Bisri Mustofa, Rembang –ayahanda dari Gus Mus– diminta keluar dari HIS (Holland Indische School) dan belajar dengan Kiai Kholil, Kasingan, Rembang.

 

***

Intelektual-istana

Muhammad Abid al-Jabiri menulis kata pengantar panjang atas masing-masing dari tiga karya Ibn Rusyd (Averroes): Tahafut al-Tahafut, Kasyfu Manahij al-Adillah ‘an ‘Aqa-id al-Millah, dan Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal. Dalam kata pengantar-nya atas kitab Tahafut al-Tahafut, al-Jabiri mengutip “pengakuan” al-Ghazali dalam kitabnya, al-Munqidz min al-Dlalal. Dalam otobiografi intelektualnya, al-Munqidz, al-Ghazali mengatakan bahwa kosakata “al-madzhab” atau dalam istilah sekarang, “ideologi”, adalah kosakata yang mengandung tiga dimensi makna sekaligus. Dimensi pertama adalah “madzhab” atau pendapat  tertentu yang dipegangi kuat-kuat dalam rangka pertarungannya dengan “madzhab” lain demi membela “kepentingan” tertentu. Dimensi pertama ini jelas sangat kental muatan politisnya.

Dimensi kedua, adalah “madzhab” atau pendapat  tertentu yang dipegangi dalam lingkungan terbatas di mana seseorang melakukan tugas belajar-mengajar, atau pendapat yang dipegangi di hadapan para santri-santri “ideologis”-nya. Dimensi ketiga, “madzhab” atau pendapat  tertentu yang dipegangi dalam “ruang sunyi” lubuk hati-nya sendiri, yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali dirinya dan Tuhan. Dimensi ketiga ini sudah betul-betul steril dari “muatan politik”.

Setiap pendapat apapun yang dilontarkan oleh siapapun (dalam konteks seorang ideolog, intelektual istana) tidak lepas dari  –jika tidak sekaligus ketiga dimensi di atas– sekurang-kurangnya dua dimensi, yaitu dimensi “politis” dalam rangka pertarungannya dengan “madzhab” lain demi membela “kepentingan” tertentu, dan dimensi “non-politis” yang tersimpan dalam “ruang sunyi” lubuk hatinya sendiri yang tak seorang pun tahu kecuali diri yang bersangkutan dan Tuhan.

Tiga kata pengantar panjang al-Jabiri atas tiga karya Ibn Rusyd sejatinya ingin memberikan konteks dan duduk perkara yang sesungguhnya dari keruwetan seputar hubungan antara filsafat dengan agama. Dari tiga kata pengantarnya yang panjang itu al-Jabiri ingin mengatakan bahwa yang (masih) jujur dengan “pencarian intelektual”-nya adalah “agama” (tasawuf [?]) dan “filsafat”. Selebihnya, yakni ilmu kalam/teologi dan fikih, sudah sedemikian bercampur-baur dengan unsur politik (bahkan Ibn Rusyd dalam kitabnya, Fashl al-Maqal, melontarkan kritik lugas kepada ulama fikih: kam min faqihin kana al-fiqhu sababan li qillati tawarru’ihi wa khaudlihi fi al-dunya, banyak ulama fikih yang keilmuan fikihnya justru membuat mereka defisit moral dan masuk terlalu jauh dalam urusan duniawi). Dan, sebagaimana ditegaskan oleh Ahmad Amin dalam kitabnya, Yaum al-Islam, betapa berat untuk setia-bersiteguh dengan agama yang konsisten dan jujur dengan “pencarian intelektual” seperti ini (wa ‘aqidat al-wahdaniyyati ‘aqidatun sha’batun la yastathi’uha illa al-mujahidun al-raqun, [Ahmad Amin, Yaum al-Islam, hal.13]).

Dalam sepanjang sejarah pemikiran Islam, setiap penafsiran oleh para sarjana teologi Islam adalah tindakan politik untuk membela kepentingan politik tertentu. Hampir semua ulama klasik Islam yang kita kenal adalah seorang ideolog, atau “intelektual-istana”: al-Kindi, Ibnu Sina, Alghazali, al-Syahrastani, Ibn al-Khatib Fakhruddin al-Razi, al-Baidlawi, al-Jurjani, al-Baqillani, al-Juwainiy (Imam al-Haramain), Nashiruddin al-Thusi, dan juga Ibn Rusyd yang “bekerja” untuk Dinasti Muwahhidun di Andalusia dan Maghrib (dari deretan nama-nama ini, al-Farabi adalah salah satu pengecualian, ia tidak termasuk kategori “intelektual-istana”).

Bahkan Abid al-Jabiri dalam kata pengantarnya (madkhal) untuk Tahafut al-Tahafut  menyebutkan bahwa al-Ghazali dan al-Razi pada masa akhir hidupnya mengakui bahwa apa yang dilakukan pada masa mudanya adalah “memperalat” ilmu (tauzhif al-‘ilm) bukan untuk “kebenaran” (al-haqiqah), tapi untuk “sesuatu yang lain” (Muhammad Abid al-Jabiri, [Madkhal ila] Tahafut al-Tahafut, hal. 29).

Dan sejarah hidup para ulama-ideolog ini, karena pertautannya dengan dunia politik, harus dilalui dengan “dramatis”: al-Ghazali dengan “konflik batin”-nya yang berkepanjangan dan harus menderita “kelumpuhan akut” dan Nashiruddin al-Thusi, yang menurut salah satu versi sejarah, mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri (?).

 

***

“Rute kalijaga”

Demikian rute yang ditempuh oleh al-Ghazali. Saya ingin menyebutnya sebagai “rute kalijaga”. “Kali” berasal dari “qadli”: intelektual istana. “Jaga” berasal dari “zakka”: yang sudah membersihkan diri, menapaki jalan samawi (Achmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, hal.12). Kisah hidup al-Ghazali adalah kisah hidup dengan “rute kalijaga”, rute seorang qadli, intelektual istana yang telah mensucikan diri. Dan rute semacam inilah yang –pada ujungnya– hendaknya ditempuh oleh tiap seorang “mutadayyin tadayyunan haqiqiyyan“, seorang yang hendak mentabalkan dirinya ke dalam keluarga besar agama dengan menempuh rute kesejatian, bukan rute kepalsuan.

 

قد أفلح من زكاها، وقد خاب من دساها (الشمس، ٩:٩١-١٠)[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.