Gus Ulil, Sang Pionir Pesantren Virtual

Pemenang Juara 1 Lomba “ Ngaji Ihya”

Kategori: Kesan Santri Online.

 

Nyai Uswatun Hasanah,

Aktivis Perempuan Membaca- Mojokerto

 

Dulu, santri tidak begitu dikenal di jejaring sosial. Kalaupun ada santri yang bermain sosial media umumnya postingan yang dibagikan adalah jauh dari yang berbau santri. Jarang sekali ditemukan santri yang posting tentang hukum-hukum Islam, posting foto saat mendaras Alquran atau Alfiyah, bahkan tidak ada santri yang tiba-tiba berpakaian Islami kemudian ceramah agama lalu upload videonya sendiri di sosmed dan dengan percaya diri melabeli dirinya Ustadz.

 

Tidak heran, karena memang gemblengan santri di pesantren adalah  rendah hati, mengamalkan ilmu “khumul”, sebagaimana syair yang memukau dari Ibnu Athaillah As-Sakandari “idfin wujudaka fi ardlil khumul, famaa nabata mimma lam yudfan laa yatimmu nataajuhu”, yang artinya “simpanlah hasratmu akan popularitas, karena hasrat yang demikian tak akan membuat dirimu tumbuh dan berkembang sempurna”. Begitulah kehidupan santri yang tidak mengenal apa itu pencitraan atau “dzuhur”.

 

Namun di beberapa periode ini mulai muncul gerakan Islam garis keras, yang awalnya minoritas tiba-tiba menjadi pesat lajunya, menciptakan gerakan yang begitu masif di berbagai platform sosial media. Pada saat sowan ke guru saya Mbah Kiai Jamaluddin Tambakberas, beliau dawuh “Suwe-suwe NU bakalan tenggelam nek santri-santrine gak melu berperan, aku mbukak internet bab hukum Islam kok dikebek’i tulisane wong-wong sing Islame kaku”. Kira-kira artinya “Lama-lama NU akan tenggelam kalau santrinya tidak ikut [ main media] , saya membuka internet bab hukum Islam, kok isinya dipenuhi tulisan orang-orang Islam yang kaku itu”.

 

Saya menyadari keadaan ini, internet dikuasai oleh pengusung jargon kembali kepada Alquran dan Hadis tanpa metodologi. Ketika kami para santri mengenalkan kitab kuning yang identik dengan cara memahami Islam dengan metode/ manhaj ala pesantren sebagai jawaban dari cara pencarian hukum, mereka mengejek  “buku yellow pages jangan dijadikan panutan karena yang bikin manusia, itu bisa saja salah, kalau Alquran dan Hadis tidak mungkin salah.”

 

Pada titik inilah para santri mulai resah, dan santri-santri pun mulai berani unjuk gigi. Dalam dawuhnya Mbah Mustafa Bisri “sing waras ojo ngalah”, para santri beraksi di sosial media menjadi pendekar Aswaja, meluruskan gerakan-gerakan Islam yang keras atau kaku dengan mengenalkan kembali sejatinya Islam adalah agama yang lembut, moderat dan berkasih sayang, Islam adalah Rahmatan Lil ‘Alamin.

Hukum-hukum dalam Islam tidak sekadar kembali kepada Alquran dan Hadis.

 

Pesantren pun mulai bangkit di dunia maya. Kini para santri baik putra maupun putri tidak lagi sungkan menunjukkan identitasnya sebagai alumni pondok pesantren, dan berkat itu  santri  disegani kehadirannya. Munculnya tokoh-tokoh santri cendekiawan muslim yang berani bersuara di sosial media memperluas khazanah keilmuan Islam yang siap diakses oleh seluruh masyarakat sebagai alternatif belajar agama. Mereka mampu mengimbangi atau bahkan meng-counter ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan asas-asas Ahlus Sunnah wal Jamaah yakni tawassuth (moderat/tengah-tengah,memilih yang baik dan adil) tawazun,(Seimbang) i’tidal (keseimbangan/ tertib/teratur) dan tasamuh (toleran/berakhak baik dalam pergaulan).

 

Pada pertengahan tahun 2017 tepatnya Bulan Ramadhan, mulai bermunculan siaran langsung kajian kitab kuning di sosial media. Ada yang diampu oleh Kiai Said Aqil, Simbah Kiai Mustafa Bisri, Gus Ulil Abshar Abdalla, Ndoro Habib Luthfi dan pengajian dari beberapa santri secara online. Kalau zaman mondok dulu istilahnya ngaji pasan atau kilatan.

 

Sejak itu saya memilih istiqomah mengikuti pengajian Ihya’ Ulumiddinnya Gus Ulil Abshar Abdalla. Saya mengenal nama Ulil Abshar Abdalla dari beberapa diskusi di perguruan tinggi. Namanya selalu disebut-sebut digandengkan dengan Cak Nur (Prof. Nurcholish Madjid). Saya pun mulai membaca buku-bukunya dan tulisan-tulisannya yang secara rutin muncul di akun yang beliau kelola sendiri. Saya benar-benar haus ngangsu kawruh pada Gus Ulil. Saya mengikuti pengajian virtual beliau berupa tulisan saat menjelaskan isi kitab “Hikam “karya Syaikh Ibnu Athaillah di fanpagenya. Sebelumnya saya juga sering membaca tulisan Gus Ulil di laman islamlib. Lalu melalui “Ngaji Ihya” saya mendengarkan sendiri bagaimana beliau menjabarkan Kitab Ihya’ dengan pembahasan yang begitu luas. Baru kali ini saya merasakan ngaji kitab tasawwuf rasa filsafat. Bahkan saya ingat pada saat Ramadhan 2017 awal mula Gus Ulil mengaji Ihya’, Bapak mertua saya sering ikut mendengarkan siaran langsung ngaji Ihya’ dan komentar beliau “orang alimnya kayak gitu kok dibilang liberal sama orang-orang!” Tentu yang dimaskud mertua saya adalah liberal sebagai sesuatu yang dianggap negatif dalam beragama.

 

Ngaji Ihya’ Gus Ulil langsung dimulai pada bagian ke-3 yakni ‘Ajaib al-Qalb. Sebagai santri pondok pesantren, dulu pernah dengar desas-desus yang beredar di kalangan santri bahwa ngaji Ihya’ tidak boleh berurutan dari juz 1 – juz 4. Ngaji Ihya harus acak. Konon jika ngajinya berurutan kitab itu tidak akan tamat. Ada lagi yang mengatakan pembacanya akan mengalami hal-hal yang ghaib bahkan ada yang langsung wafat begitu mengkhatamkannya berurutan. Namanya juga mitos saya juga tidak tahu kebenarannya, tapi dulu di pesantren memang guru saya tidak mengajarkan Ihya’ dimulai dari juz 1, tapi langsung juz 2 tanpa penjelasan sebabnya.

 

Dalam menerangkan kitab Ihya’ Gus Ulil tidak hanya membahas yang tersurat dalam kitab, meliankan  juga yang tersirat. Pembahasan ditarik ke beberapa disiplin ilmu seperti ‘nguliti’ ilmu alat (gramatikal bahasa Arab) pada tiap-tiap kata, tasawwuf, tauhid, fiqh, mantiq, perspektif gender, konsep mubadalah, dan yang paling berkesan: filsafat. Penjabaran beliau bak magnet yang menarik perhatian santri-santri virtual baik yang memiliki latar belakang pesantren atau tidak, santri non-muslim, santri dari berbagai daerah di Indonesia hingga luar negeri. Peserta siaran langsung ngaji Ihya tembus 300 hingga 500 peserta yang kemudian menyebut diri sebagai “santri online”, belum lagi yang menyimak siaran ulangnya.

 

Mungkin ada yang lebih dulu mengawali ngaji kitab kuning online sebelum Gus Ulil. Namun tapi saya merasa bahwa Gus Ulil merupakan Pionir Pesantren Virtual sehingga menginspirasi para alumni pesantren yang ‘lanyah’ kitab kuning membuka pengajian-pengajian kitab klasik para ulama secara online. Dahsyatnya “Ihya’ Effect” ini membuat saya makin kuwalahan dengan banyaknya teman yang juga ikut andil meramaikan jagat sosmed dengan ngaji kitab kuning. Dan tak terbatas pada para kyai atau gus, melainkan juga ibu nyai. Inilah wajah Islam khususnya pesantren, kaya akan literasi, ijtihad para ulama yang beragam dan konsisten dalam menggunakan metodologi, sekali lagi bukan sekedar asal kembali kepada Alquran dan Hadis. Saya benar-benar bahagia dan terharu sampai-sampai mau kirim fatihah pada “Om Mark” atas jasanya membuat platform facebook.

 

Ngaji Ihya’ tidak hanya berlangsung saat Ramadhan. Setelah Ramadhan usai ngaji Ihya’ dilanjutkan dengan jadwal teratur seminggu sekali. Awal 2018 Gus Ulil mengumumkan akan mengaji materi kitab Fiqh dalam kitab Bidayah al-Mujtahid, tentu saja para santri Ihya’ bahagia mendapatkan pengumuman ini. Ngaji Bidayah waktunya diselang-seling dengan ngaji Ihya’. Hingga sampai bertemu pada Ramadhan tahun 2018 Gus Ulil tidak hanya mengaji Ihya’ dan Bidayah, tetapi nambah dengan mengaji Kitab Himayah al-Kanais fi al-Islam. Pada saat itu Gus Ulil merasa perlu mengkaji kitab tersebut setelah kejadian pengeboman tiga gereja di Surabaya. Setelah Ramadhan 2018 usai, Gus Ulil tetap konsisten mengampu pengajian Ihya’. Hal yang membuatnya berbeda adalah adanya Kopdar Ihya’ pengajian langsung dengan tetap disiarkan secara on-line. Gus Ulil dan “Mbak Admin” Ning Ienas Tsuroiya melakukan safari Ngaji Ihya yang tidak hanya dilaksanakan di berbagai daerah di NUsantara, namun sampai di luar negeri.

 

Saya berkesempatan untuk mengikuti Kopdar Ihya’ dua kali, di Jombang dan Mojokerto. Saya benar-benar bahagia, bahagia yang tak terlukiskan dengan kalimat bisa tabarrukan (berjumpa) secara langsung dengan Gus Ulil dan Ning Ienas yang saya kagumi dan idolakan sejak dulu. Kopdar Ihya’ berlangsung hingga kini dan semoga akan berlanjut ketika pandemi covid 19 ini berakhir. Ramadhan tahun ini Gus Ulil tidak hanya mengaji Ihya’, tapi juga mengaji kitab Al-Munqidz min al-Dlalal yang juga merupakan karya Imam Al-Ghazali.

 

Saya teringat entah ngaji Ihya’ episode ke berapa, Gus Ulil akan ngaji kitab khusus parenting ala Imam Al-Ghozali, kalau tidak salah beliau juga akan mengaji kitab Ayyuhal Walad. Semoga suatu saat akan terealisasi ☺️

 

Berhasilnya ngaji kitab Ihya’ yang tersebar di seluruh penjuru ini tidak luput dari perjuangan istri Gus Ulil tercinta, Ning Ienas Tsuroiya , putri dari ulama panutan saya KH. Mustafa Bisri, yang senantiasa membersamai Gus Ulil dalam berjuang. Peran vital Ning Ienas dalam ngaji Ihya’ sebagai “Mbak Admin” mengingatkan saya pada pepatah Arab “waroa kulli adzimin, adzimatun”. Di balik lelaki yang agung, pasti terdapat perempuan yang agung pula. Terima kasih Ning Ienas Tsuroiya, semoga selalu dikaruniai keberkahan bagi Panjenengan, senantiasa menjadi tauladan juga inspirasi bagi kami.

 

Ngaji Ihya’ Gus Ulil dan berbagai kitab yang beliau ajarkan bagi saya merupakan oase keilmuan dalam bidang tasawwuf di dunia online yang tandus. Saya yang sudah tidak mungkin mondok lagi di pesantren merasa terberkati dengan adanya ngaji Gus Ulil. Ngaji Ihla benar-benar  mengobati kerinduan pada ‘ngesahi’ kitab, taftis kitab, sorogan, weton dan bandonganistilah yang digunakan di dunia pesantren menunjuk pada jenis grup ngaji kitab di Pesantren . Mencari ilmu (memang harus) sampai liang lahat. Terima kasih, Gus !

Semoga Gusti Allah senantiasa merahmati guru-guru kami, orang tua beserta dzurriah guru-guru kami, baik guru-guru offline ataupun guru-guru online yang sanad keilmuannya sampai hingga Kanjeng Nabi. Aamiin []*

 

(* Naskah ini diedit oleh redaksi Rumah KitaB tanpa mengubah isinya. Ini untuk memenuhi kebutuhan pembaca umum Rumah KitaB yang tidak semuanya berlatar belakang dunia Pesantren)

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.