Pos

AL-MUNQIDZ DAN PROBLEM KEBERAGAMAAN KITA

Juara Umum #Kuis Ngaji Ihya

Oleh: Dzul Fahmi

Mahasiswa program S2 UIN Jakarta, Santri Pesantren Luhur Ash- Shaqafah Jakarta

 

 

Adakah tema spesifik dalam kitab al-Munqidz min ad-Dlalāl karya Imam al-Ghazali yang penting untuk kita hadirkan hari ini ?

 

Saya tak bisa menjawabnya. Setiap tema dalam kitab itu memiliki urgensi dan relevansinya masing-masing. Namun yang menarik perhatian saya, al-Munqidz tak sekedar buku yang memuat autobiografi perjalanan hidup tokoh pada umumnya. Lebih dari itu, al-Munqidz adalah kitab “sakti”, sebab meski ditulis di abad pertengahan, al-Munqidz mengurai sejumlah problem keberagamaan yang kita hadapi di era kontemporer.

 

Siapapun yang membaca al-Munqidz dengan seksama, ia akan mendapati Imam al-Ghazali sebagai sosok yang hadir di hadapan kita, berdialog secara komunikatif, dan hendak memecah kebuntuan problem beragama kita di abad 21.

 

Ulama kelahiran Thus itu mengungkap sejumlah gejala, yang sepertinya telah, sedang, dan akan terus ada dalam setiap kehidupan beragama, meski dengan pakaian yang berbeda-beda.  Fenomena itu menjadi semacam siklus yang terus menerus terulang.

 

Jika dibiarkan, gejala tadi pada gilirannya akan merugikan eksistensi agama itu sendiri. Karenanya, dalam al-Munqidz, al-Ghazali dengan cermat menganalisanya, serta memberi obat penawarnya. Inilah alasan terkuat kenapa al-Munqidz masih terus relevan dibaca sampai kapanpun.

 

Apa saja gejala sosial beragama yang dideteksi oleh al-Ghazali dalam al-Munqidz ? Mari kita ikuti secara seksama, sembari melakukan refleksi atas kehidupan beragama kita hari ini.

 

Pertama, mimpi buruk yang kita saksikan dalam kehidupan nyata hari ini adalah tercerabutnya otoritas segala sesuatu dari para pakar di bidangnya. Revolusi internet mengubah segalanya. Kita memasuki sebuah era yang disebut Tom Nichols dalam judul bukunya dengan istilah “The Death of Expertise”, matinya kepakaran.

 

Inilah zaman dimana setiap orang bisa “merasa” menjadi pakar dalam hal apa saja. Posisi pakar digantikan dengan mesin pencari informasi. Untuk mengetahui hakikat virus misalnya, manusia tak mau bersusah payah merujuk pada pakar virologi. Segala informasi yang berseliweran di dunia maya, asal sesuai dengan hasrat pribadi, dianggap sebagai kebenaran.

 

Hal itu menjadi musibah ketika merembet ke bidang agama. Kita menyaksikan fenomena yang miris di negeri ini : dimana para ulama yang menimba ilmu puluhan tahun kehilangan taringnya. Sosok ulama dengan mudah dicaci maki bahkan oleh mereka yang belum fasih melafalkan huruf hijaiyah. Sebaliknya, rujukan agama diambil alih oleh para ustadz muda yang menguasai retorika media sosial, meski ilmunya tak seberapa. Belum lagi, fenomena ustadz yang membuka sesi tanya jawab dengan menjawab pertanyaan apa saja yang diajukan kepadanya, dari agama, ekonomi, konspirasi, budaya, hingga politik.

 

Fenomena ini yang sedari dulu diwanti-wanti oleh Imam al-Ghazali. Ia menyebutnya sebagai bencana dahsyat (afatun ‘adzimah). Penyakit semacam ini hanya bisa dihilangkan dengan beragama secara cerdas, dimana segala sesuatu dikembalikan kepada pakar di bidangnya. Al-Ghazali memberikan kaidah emas sebagai berikut :

 

الحاذق في  صناعة واحدة ليس يلزم أن يكون حاذقا في كل صناعة

 

“Kepakaran seseorang dalam satu bidang tertentu, tidak meniscayakan ia menjadi pakar di segala bidang”

 

Kaidah ini sungguh amat mudah diterima akal sehat. Seorang profesor di bidang pertanian misalnya, bisa jadi awam di bidang kedokteran. Guru besar ilmu kedokteran, bisa jadi awam di bidang ilmu ekonomi. Dan begitu seterusnya. Sebuah prinsip yang juga mendapat legitimasi dari hadis Nabi, “Ketika sebuah urusan diserahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”.

 

Kedua, al-Ghazali dalam al-Munqidz mendeteksi gejala kronis yang bisa menghinggapi setiap umat beragama tanpa terkecuali. Apa itu ? Yaitu penyakit tidak adil (‘adam al-inshaf) dalam menilai seorang yang berada di luar madzhab atau golongannya. Gejala yang ditimbulkan dari penyakit ini adalah menggeneralisir benar dan salah sebuah pendapat melalui identitas pengucapnya. Jika dari kelompok kita, pasti benar. Jika dari luar golongan kita, pasti salah.

 

Al-Ghazali memberikan ilustrasi menarik : adalah sebuah kebodohan, jika ada seorang Nasrani berkata “Nabi Isa adalah Utusan Allah”, lantas kita secara membabi buta menolak pernyataan tersebut, hanya gara-gara yang mengucapkan adalah seorang Nasrani.

 

Al-Ghazali menyebut pengidap penyakit ini sebagai dhuafa al-‘uqul (orang-orang yang lemah nalarnya). Bagi al-Ghazali, kebenaran tetaplah kebenaran, meski diucapkan oleh orang yang kita pandang sesat sekalipun. Sebaliknya, kesalahan tetaplah kesalahan, meski diucapkan oleh tokoh besar yang kita puji dan kagumi. Beliau berkata :

 

العاقل يعرف الحق ثم ينظر في نفس القول : فإن كان حقا قبله سواء كان قائله مبطلا أو محقا

 

“Orang bernalar sehat selalu menilai sebuah pendapat dari substansinya, jika benar, maka pasti diambil, terlepas siapapun pengucapnya”

 

Orang yang cerdas, lanjut al-Ghazali, akan berusaha mencari kepingan emas yang tersembunyi di sela-sela lipatan tanah yang kotor dan menjijikkan.

 

Wasiat Imam Al-Ghazali ini tak akan pernah usang sampai kapanpun. Saya berani mengatakan bahwa ucapan al-Ghazali berabad-abad yang lalu itu adalah kunci yang membuka sekian banyak problem beragama kita hari ini.

 

Mengapa umat Islam hari ini terpuruk dalam perpecahan yang menyedihkan, sehingga kita kalah di segala bidang ? Salah satunya  karena kita merasa kebenaran kerap dimonopoli oleh orang-orang di kelompok kita. Pengikut kelompok lain seakan salah semua, tak mengandung kebenaran sedikitpun.

 

Hal yang sama juga bisa kita terapkan dalam konteks kehidupan antar-agama dan keyakinan. Prinsip al-Ghazali harusnya menjadikan kita sebagai penganut agama yang inklusif : bergenggaman tangan bersama-sama menuju kemajuan peradaban, dengan tanpa memandang sekat agama dan ideologi.

 

Lagi-lagi, prinsip Imam al-Ghazali tersebut mendapat preseden yang kuat dari sabda Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya :

 

شهدت في دار عبد الله بن جذعان حلفا لو دعيت به في الإسلام لأجبت

 

“Aku telah menyaksikan di rumah Abdillah Bin Judz’an sebuah akad perjanjian, yang andai hari ini aku diajak (sebagai delegasi Islam), pasti aku akan menyambutnya”

 

Sabda tersebut diucapkan Baginda Nabi sebagai apresiasi terhadap perjanjian bersejarah yang pernah terjadi antara kaum musyrikin Mekkah, untuk bergotong-royong menolak kezaliman dan menghentikan peperangan. Seakan Nabi ingin menegaskan : “Aku sungguh siap menyambut ajakan kebaikan dari siapapun, selagi membawa misi kemanusiaan yang universal”.

 

Persis di titik inilah,  saya mendapati kitab al-Munqidz min ad-Dlalāl sesuai dengan judulnya, yaitu penyelamat kita dari kesesatan cara beragama yang salah.

 

Wallohu a’lam bis shawab.

 

 

Al-Ghazali: tentang Intelektual-Istana  dan “Kasmaran”-nya dengan Amrun Samawiyyun

Juara khusus #Kuis Ngaji Ihya

 

يا أيها الإنسان إنك كادح إلى ربك كدحا فملاقيه (الإنشقاق ٦:٨٤)

الحمد لله الذي أصعد قوالب الأصفياء بالمجاهدة (الغزالي، كيمياء السعادة، ص ١)

وعقيدة الوحدانية عقيدة صعبة لايستطيعها إلا المجاهدون الراقون (أحمد أمين، يوم الإسلام، ص ١٣)

 

Dalam “statuta” keorganisasian NU, al-Ghazali adalah salah satu dari dua tokoh yang menjadi kompas dalam ber-tasawuf. Kalangan nahdliyyin niscaya sudah mafhum belaka. Dan akan tampak terlalu teknis jika hal itu dianggap sebagai motif. Saya mencoba menuliskan tulisan ini dengan niat (i) ikraman wa ta’zhiman kepada seluruh begawan moral besar –para rasul, anbiya’ syuhada’, auliya’, shalihin— yang menjadikan amrun samawiyyun (“urusan langit”)  sebagai kiblat hidup; tentu saja sosok al-Ghazali termasuk di dalamnya, dan –dengan pengharapan semoga– juga kita semua yang ber-halaqah mengitari al-Ghazali; qira’atan, wa sam’an, wa kitabatan, wa lasiyyama ‘amalan. Saya membayangkan saat mahallul qiyam dalam ritual barzanjian, dan kita semua berdiri sebagai bentuk penghormatan dan takzim atas nur nabi yang sedang sejenak singgah.

Juga (ii) sebagai “nostalgia-kecil” masa akhir tahun 1990-an (saat ramai teror ninja, dan sekarang era Covid-19, what a coincidence!). Kala itu saya mondok di Pesantren Fathul Ulum, asuhan Kiai Abdul Hannan Ma’shum, di Desa Kwagean, Kediri, Jawa Timur. Saya  “membacai” sendiri kata pengantar  cukup panjang atas kitab Ihya’ ‘Ulumiddin (bagian kata pengantar tidak ikut dibaca oleh kiai saat mengaji, dan memang sudah demikian lazimnya) yang ditulis oleh Badawi Thabbanah (saya lupa terbitan mana kitab yang saya pakai saat itu). Juga memori saat mencoba “membacai” sendiri kitab Manaqib al-Ghazali, yang disusun oleh Kiai Ahmad Yasin Asymuni, pengasuh Pesantren Petuk, Semen, Kediri, Jawa Timur. Dalam kitab manaqib kecil inilah saya menjumpai untuk pertama kali kutipan berikut:

طلبت العلم لغير الله فأبى أن يكون إلا لله

Pada mulanya aku, al-Ghazali mencari ilmu dengan motif selain Allah (motif duniawi), dan ternyata ilmu emoh dengan cara perlakuanku yang demikian itu, ilmu hanya mengizinkan satu-satunya motif: semata Allah”.  Ungkapan Ibn Sina sebetulnya lebih straight-to-the-point lagi, tipikal kejituan berpikir seorang filosof: fa man tajira bi al-din falaisa lahu dinun (yang memperdagangkan agamanya, sudah tak memiliki agama lagi).

 

Sebuah nazham/bait lain – masih dari kitab Manaqib al-Ghazali-  yang juga pertama kali saya baca saat itu, terus melekat dalam memori:

لوكلت ألفي رطل خمر لم تكن # لتصير نشوانا إذا لم تشرب

Dua ribu liter anggur tak akan berujung mabuk-kepayang, “kasmaran” (nasywanan) jika tak kunjung diminum, hanya ditimbang-timbang saja”. Ini  mengingatkan kita pada kemiripan nuansa makna dalam sepotong hadis Nabi yang cukup familiar di telinga santri: inna hadza wa ash-habahu yaqra’una al-qur’ana, la yujawizu hanajirahum (si fulan dan orang-orang yang sehaluan, membaca al-Qur’an, namun tak sampai melewati kerongkongannya [tak meresap ke dalam hati mereka]). Dari dua kutipan ini, tampak kecenderungan amrun samawiyyun sedemikian lekat dalam diri al-Ghazali.

Juga (iii) sebagai semacam self-reminder betapa riskannya jika kita berputus-sanad, kepaten-obor dari amrun samawiyyun. Bahwa amanah kemanusiaan mengharuskan kita meng-install-kan ke dalam diri, sejumlah dosis tertentu dari amrun samawiyyun ini.

Tarik-menarik yang demikian kuat dalam diri al-Ghazali antara amrun dun-yawiyyun (sebagai intelektual-istana) dengan amrun ukhrawiyyun inilah yang membuat kisah hidup al-Ghazali penuh dengan dinamika demikian intens, dan karena itu menarik untuk ditulis; menjadi semacam cermin bahwa demikianlah prototype otentik seorang manusia yang genuine, tidak palsu dalam kemanusiaannya.

Dalam bentuk lain, tarik-menarik ini dapat kita “baui” residu-jejaknya dalam perdebatan, misal, soal tegangan antara ashalah dan hadatsah, antara “yang-tradisional” dan “yang-modern” yang terus berlangsung hingga hari ini; antara akal dan wahyu; antara agama dan sains–topik yang, dalam badai pandemi Covid-19 sekarang, ramai diperbincangkan kembali. Jejak tarik-menarik yang demikian juga tercermin dalam “kaidah-sejuta-umat”-nya kaum nahdliyyin, yang sudah sering kita dengar bersama: al-muhafazhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (merawat hal lama yang baik, seraya mengadopsi hal baru yang lebih baik).

 

***

Amrun samawiyyun

Secara harafiah –dan sesuai siyaqul kalam atau konteks kemunculannya dalam kitab al-Munqidz– berarti “perkara langit”. Frasa ini muncul di al-Munqidz, saat al-Ghazali menceritakan fragmen terpenting dalam hidupnya saat hendak mengambil keputusan untuk meninggalkan kemapanan duniawi dan prestise akademiknya di Baghdad. Frasa ini tampak penting sekali untuk di-highlight dengan sorot pencahayaan penuh. Frasa inilah yang mencerminkan momen crucial-turning-point, sekaligus merupakan poros paling fundamental yang menggerakkan seluruh kisah hidup al-Ghazali yang demikian dramatis, hingga memutuskan uzlah dan melahirkan karya magnum-opusnya, Ihya’ ‘Ulumiddin.

Dalam pembacaan yang sedikit spekulatif, amrun samawiyyun ini jugalah yang membuat al-Ghazali menempati posisi sebagai al-mujaddid (selain sebagai hujjatul islam), pembaharu dalam Islam di awal abad kelima hijriah. Spekulasinya: andaikan al-Ghazali tidak men-turuti panggilan amrun samawiyyun ini, dan lebih memilih hidup nyaman menyusu pada kekuasaan (di sini teringat buku Romo Sindhunata, Menyusu Celeng, dan dhawuh Kiai Rifa’i Kalisalak, Batang, Jawa Tengah: luwih becik nandur jagung tinimbang ngawulo tumenggung), mungkin usia al-Ghazali bisa lebih panjang, dan, karena itu, beliau tidak meninggal di awal abad kelima hijriah (dalam salah satu ulasan tentang kisah hidup al-Ghazali, disebutkan al-Ghazali mengalami cukup kemerosotan fisik, salah satunya, akibat perjalanannya singgah di beberapa kota, pasca keputusannya meninggalkan Baghdad). Kita tahu bahwa salah satu syarat kelayakan disebut sebagai mujaddid adalah meninggal di awal abad, tidak melebihi tahun keduapuluh dari awal abad hijriah. Dan al-Ghazali dapat memenuhi syarat itu dengan meninggal pada tahun 505 hijriah.

Kalau kita lacak dalam bentangan sejarah, para begawan moral besar selalu punya “urusan” sekaligus irisan yang serius dengan amrun samawiyyun ini. Kadar kebegawanan diukur dari seberapa dosis kasmarannya dan sekaligus dinamikanya dengan amrun samawiyyun. Siddharta Gautama meninggalkan kenikmatan, kenyamanan hidup di istana kerajaan, melanglang sebagai pertapa merenungi tiga jenis penderitaan anak manusia: penyakit, usia tua, dan kematian. Nabi Ibrahim menghadapi penghukuman bakar, berdoa di tapal batas pengharapan: Allahumma anta al-wahid fi al-sama’ wa ana al-wahid fi al-ardli, laisa ahadun ya’buduka ghairi, hasbiyallah wa ni’ma al-wakil. Nabi Muhammad dengan benturan bertubi-tubi di tahun-tahun penuh marabahaya (‘aam al-huzn), dari pemboikotan kaum Quraisy atas Bani Hasyim selama tiga tahun, kematian sang paman (Abu Thalib), kematian Siti Khadijah, berhijrah ke Thaif, di Thaif mendapat penolakan dan perlakuan kasar, hingga terlunta-lunta, nabi menyingkir dan tiba di kebun anggur sambil memanjatkan “doa thaif”: Allahumma ilaika asyku dla’fa quwwati, anta rabbul mustadl’afin (kutipan dari versi lengkap yang lebih panjang).

Kiai Ahmad Mutamakkin –yang makamnya diziarahi  Gus Dur, dan merupakan perlawatan resmi pertama kali beliau, pasca terpilih sebagai presiden– oleh ayahnya, diminta memilih antara amrun dun-yawiyyun (dalam teks aslinya: keraton dunyo) dan amrun ukhrawiyyun/samawiyyun (dalam teks aslinya: keraton akherat); dan barang siapa sudah memilih yang pertama maka akan kehilangan yang kedua, demikian pula sebaliknya. Kiai Mutamakkin dengan tegas menjatuhkan pilihannya pada yang kedua: amrun ukhrawiyyun/samawiyyun. Catatan tambahan: Kiai Jazuli Utsman, pendiri pondok pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri, anak dari keluarga bangsawan di era kolonial saat itu, diminta keluar dari studinya di STOVIA (satu almamater dengan Bung Karno), oleh Kiai Ma’ruf, Kedunglo, Kediri –murid dari Kiai Kholil Bangkalan– untuk fokus belajar di pesantren (alhamdulillah, saya pernah mondok di Al-Falah ini, sebelum ke pesantren Kwagean). Kiai Bisri Mustofa, Rembang –ayahanda dari Gus Mus– diminta keluar dari HIS (Holland Indische School) dan belajar dengan Kiai Kholil, Kasingan, Rembang.

 

***

Intelektual-istana

Muhammad Abid al-Jabiri menulis kata pengantar panjang atas masing-masing dari tiga karya Ibn Rusyd (Averroes): Tahafut al-Tahafut, Kasyfu Manahij al-Adillah ‘an ‘Aqa-id al-Millah, dan Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal. Dalam kata pengantar-nya atas kitab Tahafut al-Tahafut, al-Jabiri mengutip “pengakuan” al-Ghazali dalam kitabnya, al-Munqidz min al-Dlalal. Dalam otobiografi intelektualnya, al-Munqidz, al-Ghazali mengatakan bahwa kosakata “al-madzhab” atau dalam istilah sekarang, “ideologi”, adalah kosakata yang mengandung tiga dimensi makna sekaligus. Dimensi pertama adalah “madzhab” atau pendapat  tertentu yang dipegangi kuat-kuat dalam rangka pertarungannya dengan “madzhab” lain demi membela “kepentingan” tertentu. Dimensi pertama ini jelas sangat kental muatan politisnya.

Dimensi kedua, adalah “madzhab” atau pendapat  tertentu yang dipegangi dalam lingkungan terbatas di mana seseorang melakukan tugas belajar-mengajar, atau pendapat yang dipegangi di hadapan para santri-santri “ideologis”-nya. Dimensi ketiga, “madzhab” atau pendapat  tertentu yang dipegangi dalam “ruang sunyi” lubuk hati-nya sendiri, yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali dirinya dan Tuhan. Dimensi ketiga ini sudah betul-betul steril dari “muatan politik”.

Setiap pendapat apapun yang dilontarkan oleh siapapun (dalam konteks seorang ideolog, intelektual istana) tidak lepas dari  –jika tidak sekaligus ketiga dimensi di atas– sekurang-kurangnya dua dimensi, yaitu dimensi “politis” dalam rangka pertarungannya dengan “madzhab” lain demi membela “kepentingan” tertentu, dan dimensi “non-politis” yang tersimpan dalam “ruang sunyi” lubuk hatinya sendiri yang tak seorang pun tahu kecuali diri yang bersangkutan dan Tuhan.

Tiga kata pengantar panjang al-Jabiri atas tiga karya Ibn Rusyd sejatinya ingin memberikan konteks dan duduk perkara yang sesungguhnya dari keruwetan seputar hubungan antara filsafat dengan agama. Dari tiga kata pengantarnya yang panjang itu al-Jabiri ingin mengatakan bahwa yang (masih) jujur dengan “pencarian intelektual”-nya adalah “agama” (tasawuf [?]) dan “filsafat”. Selebihnya, yakni ilmu kalam/teologi dan fikih, sudah sedemikian bercampur-baur dengan unsur politik (bahkan Ibn Rusyd dalam kitabnya, Fashl al-Maqal, melontarkan kritik lugas kepada ulama fikih: kam min faqihin kana al-fiqhu sababan li qillati tawarru’ihi wa khaudlihi fi al-dunya, banyak ulama fikih yang keilmuan fikihnya justru membuat mereka defisit moral dan masuk terlalu jauh dalam urusan duniawi). Dan, sebagaimana ditegaskan oleh Ahmad Amin dalam kitabnya, Yaum al-Islam, betapa berat untuk setia-bersiteguh dengan agama yang konsisten dan jujur dengan “pencarian intelektual” seperti ini (wa ‘aqidat al-wahdaniyyati ‘aqidatun sha’batun la yastathi’uha illa al-mujahidun al-raqun, [Ahmad Amin, Yaum al-Islam, hal.13]).

Dalam sepanjang sejarah pemikiran Islam, setiap penafsiran oleh para sarjana teologi Islam adalah tindakan politik untuk membela kepentingan politik tertentu. Hampir semua ulama klasik Islam yang kita kenal adalah seorang ideolog, atau “intelektual-istana”: al-Kindi, Ibnu Sina, Alghazali, al-Syahrastani, Ibn al-Khatib Fakhruddin al-Razi, al-Baidlawi, al-Jurjani, al-Baqillani, al-Juwainiy (Imam al-Haramain), Nashiruddin al-Thusi, dan juga Ibn Rusyd yang “bekerja” untuk Dinasti Muwahhidun di Andalusia dan Maghrib (dari deretan nama-nama ini, al-Farabi adalah salah satu pengecualian, ia tidak termasuk kategori “intelektual-istana”).

Bahkan Abid al-Jabiri dalam kata pengantarnya (madkhal) untuk Tahafut al-Tahafut  menyebutkan bahwa al-Ghazali dan al-Razi pada masa akhir hidupnya mengakui bahwa apa yang dilakukan pada masa mudanya adalah “memperalat” ilmu (tauzhif al-‘ilm) bukan untuk “kebenaran” (al-haqiqah), tapi untuk “sesuatu yang lain” (Muhammad Abid al-Jabiri, [Madkhal ila] Tahafut al-Tahafut, hal. 29).

Dan sejarah hidup para ulama-ideolog ini, karena pertautannya dengan dunia politik, harus dilalui dengan “dramatis”: al-Ghazali dengan “konflik batin”-nya yang berkepanjangan dan harus menderita “kelumpuhan akut” dan Nashiruddin al-Thusi, yang menurut salah satu versi sejarah, mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri (?).

 

***

“Rute kalijaga”

Demikian rute yang ditempuh oleh al-Ghazali. Saya ingin menyebutnya sebagai “rute kalijaga”. “Kali” berasal dari “qadli”: intelektual istana. “Jaga” berasal dari “zakka”: yang sudah membersihkan diri, menapaki jalan samawi (Achmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, hal.12). Kisah hidup al-Ghazali adalah kisah hidup dengan “rute kalijaga”, rute seorang qadli, intelektual istana yang telah mensucikan diri. Dan rute semacam inilah yang –pada ujungnya– hendaknya ditempuh oleh tiap seorang “mutadayyin tadayyunan haqiqiyyan“, seorang yang hendak mentabalkan dirinya ke dalam keluarga besar agama dengan menempuh rute kesejatian, bukan rute kepalsuan.

 

قد أفلح من زكاها، وقد خاب من دساها (الشمس، ٩:٩١-١٠)[]

Gus Ulil, Sang Pionir Pesantren Virtual

Pemenang Juara 1 Lomba “ Ngaji Ihya”

Kategori: Kesan Santri Online.

 

Nyai Uswatun Hasanah,

Aktivis Perempuan Membaca- Mojokerto

 

Dulu, santri tidak begitu dikenal di jejaring sosial. Kalaupun ada santri yang bermain sosial media umumnya postingan yang dibagikan adalah jauh dari yang berbau santri. Jarang sekali ditemukan santri yang posting tentang hukum-hukum Islam, posting foto saat mendaras Alquran atau Alfiyah, bahkan tidak ada santri yang tiba-tiba berpakaian Islami kemudian ceramah agama lalu upload videonya sendiri di sosmed dan dengan percaya diri melabeli dirinya Ustadz.

 

Tidak heran, karena memang gemblengan santri di pesantren adalah  rendah hati, mengamalkan ilmu “khumul”, sebagaimana syair yang memukau dari Ibnu Athaillah As-Sakandari “idfin wujudaka fi ardlil khumul, famaa nabata mimma lam yudfan laa yatimmu nataajuhu”, yang artinya “simpanlah hasratmu akan popularitas, karena hasrat yang demikian tak akan membuat dirimu tumbuh dan berkembang sempurna”. Begitulah kehidupan santri yang tidak mengenal apa itu pencitraan atau “dzuhur”.

 

Namun di beberapa periode ini mulai muncul gerakan Islam garis keras, yang awalnya minoritas tiba-tiba menjadi pesat lajunya, menciptakan gerakan yang begitu masif di berbagai platform sosial media. Pada saat sowan ke guru saya Mbah Kiai Jamaluddin Tambakberas, beliau dawuh “Suwe-suwe NU bakalan tenggelam nek santri-santrine gak melu berperan, aku mbukak internet bab hukum Islam kok dikebek’i tulisane wong-wong sing Islame kaku”. Kira-kira artinya “Lama-lama NU akan tenggelam kalau santrinya tidak ikut [ main media] , saya membuka internet bab hukum Islam, kok isinya dipenuhi tulisan orang-orang Islam yang kaku itu”.

 

Saya menyadari keadaan ini, internet dikuasai oleh pengusung jargon kembali kepada Alquran dan Hadis tanpa metodologi. Ketika kami para santri mengenalkan kitab kuning yang identik dengan cara memahami Islam dengan metode/ manhaj ala pesantren sebagai jawaban dari cara pencarian hukum, mereka mengejek  “buku yellow pages jangan dijadikan panutan karena yang bikin manusia, itu bisa saja salah, kalau Alquran dan Hadis tidak mungkin salah.”

 

Pada titik inilah para santri mulai resah, dan santri-santri pun mulai berani unjuk gigi. Dalam dawuhnya Mbah Mustafa Bisri “sing waras ojo ngalah”, para santri beraksi di sosial media menjadi pendekar Aswaja, meluruskan gerakan-gerakan Islam yang keras atau kaku dengan mengenalkan kembali sejatinya Islam adalah agama yang lembut, moderat dan berkasih sayang, Islam adalah Rahmatan Lil ‘Alamin.

Hukum-hukum dalam Islam tidak sekadar kembali kepada Alquran dan Hadis.

 

Pesantren pun mulai bangkit di dunia maya. Kini para santri baik putra maupun putri tidak lagi sungkan menunjukkan identitasnya sebagai alumni pondok pesantren, dan berkat itu  santri  disegani kehadirannya. Munculnya tokoh-tokoh santri cendekiawan muslim yang berani bersuara di sosial media memperluas khazanah keilmuan Islam yang siap diakses oleh seluruh masyarakat sebagai alternatif belajar agama. Mereka mampu mengimbangi atau bahkan meng-counter ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan asas-asas Ahlus Sunnah wal Jamaah yakni tawassuth (moderat/tengah-tengah,memilih yang baik dan adil) tawazun,(Seimbang) i’tidal (keseimbangan/ tertib/teratur) dan tasamuh (toleran/berakhak baik dalam pergaulan).

 

Pada pertengahan tahun 2017 tepatnya Bulan Ramadhan, mulai bermunculan siaran langsung kajian kitab kuning di sosial media. Ada yang diampu oleh Kiai Said Aqil, Simbah Kiai Mustafa Bisri, Gus Ulil Abshar Abdalla, Ndoro Habib Luthfi dan pengajian dari beberapa santri secara online. Kalau zaman mondok dulu istilahnya ngaji pasan atau kilatan.

 

Sejak itu saya memilih istiqomah mengikuti pengajian Ihya’ Ulumiddinnya Gus Ulil Abshar Abdalla. Saya mengenal nama Ulil Abshar Abdalla dari beberapa diskusi di perguruan tinggi. Namanya selalu disebut-sebut digandengkan dengan Cak Nur (Prof. Nurcholish Madjid). Saya pun mulai membaca buku-bukunya dan tulisan-tulisannya yang secara rutin muncul di akun yang beliau kelola sendiri. Saya benar-benar haus ngangsu kawruh pada Gus Ulil. Saya mengikuti pengajian virtual beliau berupa tulisan saat menjelaskan isi kitab “Hikam “karya Syaikh Ibnu Athaillah di fanpagenya. Sebelumnya saya juga sering membaca tulisan Gus Ulil di laman islamlib. Lalu melalui “Ngaji Ihya” saya mendengarkan sendiri bagaimana beliau menjabarkan Kitab Ihya’ dengan pembahasan yang begitu luas. Baru kali ini saya merasakan ngaji kitab tasawwuf rasa filsafat. Bahkan saya ingat pada saat Ramadhan 2017 awal mula Gus Ulil mengaji Ihya’, Bapak mertua saya sering ikut mendengarkan siaran langsung ngaji Ihya’ dan komentar beliau “orang alimnya kayak gitu kok dibilang liberal sama orang-orang!” Tentu yang dimaskud mertua saya adalah liberal sebagai sesuatu yang dianggap negatif dalam beragama.

 

Ngaji Ihya’ Gus Ulil langsung dimulai pada bagian ke-3 yakni ‘Ajaib al-Qalb. Sebagai santri pondok pesantren, dulu pernah dengar desas-desus yang beredar di kalangan santri bahwa ngaji Ihya’ tidak boleh berurutan dari juz 1 – juz 4. Ngaji Ihya harus acak. Konon jika ngajinya berurutan kitab itu tidak akan tamat. Ada lagi yang mengatakan pembacanya akan mengalami hal-hal yang ghaib bahkan ada yang langsung wafat begitu mengkhatamkannya berurutan. Namanya juga mitos saya juga tidak tahu kebenarannya, tapi dulu di pesantren memang guru saya tidak mengajarkan Ihya’ dimulai dari juz 1, tapi langsung juz 2 tanpa penjelasan sebabnya.

 

Dalam menerangkan kitab Ihya’ Gus Ulil tidak hanya membahas yang tersurat dalam kitab, meliankan  juga yang tersirat. Pembahasan ditarik ke beberapa disiplin ilmu seperti ‘nguliti’ ilmu alat (gramatikal bahasa Arab) pada tiap-tiap kata, tasawwuf, tauhid, fiqh, mantiq, perspektif gender, konsep mubadalah, dan yang paling berkesan: filsafat. Penjabaran beliau bak magnet yang menarik perhatian santri-santri virtual baik yang memiliki latar belakang pesantren atau tidak, santri non-muslim, santri dari berbagai daerah di Indonesia hingga luar negeri. Peserta siaran langsung ngaji Ihya tembus 300 hingga 500 peserta yang kemudian menyebut diri sebagai “santri online”, belum lagi yang menyimak siaran ulangnya.

 

Mungkin ada yang lebih dulu mengawali ngaji kitab kuning online sebelum Gus Ulil. Namun tapi saya merasa bahwa Gus Ulil merupakan Pionir Pesantren Virtual sehingga menginspirasi para alumni pesantren yang ‘lanyah’ kitab kuning membuka pengajian-pengajian kitab klasik para ulama secara online. Dahsyatnya “Ihya’ Effect” ini membuat saya makin kuwalahan dengan banyaknya teman yang juga ikut andil meramaikan jagat sosmed dengan ngaji kitab kuning. Dan tak terbatas pada para kyai atau gus, melainkan juga ibu nyai. Inilah wajah Islam khususnya pesantren, kaya akan literasi, ijtihad para ulama yang beragam dan konsisten dalam menggunakan metodologi, sekali lagi bukan sekedar asal kembali kepada Alquran dan Hadis. Saya benar-benar bahagia dan terharu sampai-sampai mau kirim fatihah pada “Om Mark” atas jasanya membuat platform facebook.

 

Ngaji Ihya’ tidak hanya berlangsung saat Ramadhan. Setelah Ramadhan usai ngaji Ihya’ dilanjutkan dengan jadwal teratur seminggu sekali. Awal 2018 Gus Ulil mengumumkan akan mengaji materi kitab Fiqh dalam kitab Bidayah al-Mujtahid, tentu saja para santri Ihya’ bahagia mendapatkan pengumuman ini. Ngaji Bidayah waktunya diselang-seling dengan ngaji Ihya’. Hingga sampai bertemu pada Ramadhan tahun 2018 Gus Ulil tidak hanya mengaji Ihya’ dan Bidayah, tetapi nambah dengan mengaji Kitab Himayah al-Kanais fi al-Islam. Pada saat itu Gus Ulil merasa perlu mengkaji kitab tersebut setelah kejadian pengeboman tiga gereja di Surabaya. Setelah Ramadhan 2018 usai, Gus Ulil tetap konsisten mengampu pengajian Ihya’. Hal yang membuatnya berbeda adalah adanya Kopdar Ihya’ pengajian langsung dengan tetap disiarkan secara on-line. Gus Ulil dan “Mbak Admin” Ning Ienas Tsuroiya melakukan safari Ngaji Ihya yang tidak hanya dilaksanakan di berbagai daerah di NUsantara, namun sampai di luar negeri.

 

Saya berkesempatan untuk mengikuti Kopdar Ihya’ dua kali, di Jombang dan Mojokerto. Saya benar-benar bahagia, bahagia yang tak terlukiskan dengan kalimat bisa tabarrukan (berjumpa) secara langsung dengan Gus Ulil dan Ning Ienas yang saya kagumi dan idolakan sejak dulu. Kopdar Ihya’ berlangsung hingga kini dan semoga akan berlanjut ketika pandemi covid 19 ini berakhir. Ramadhan tahun ini Gus Ulil tidak hanya mengaji Ihya’, tapi juga mengaji kitab Al-Munqidz min al-Dlalal yang juga merupakan karya Imam Al-Ghazali.

 

Saya teringat entah ngaji Ihya’ episode ke berapa, Gus Ulil akan ngaji kitab khusus parenting ala Imam Al-Ghozali, kalau tidak salah beliau juga akan mengaji kitab Ayyuhal Walad. Semoga suatu saat akan terealisasi ☺️

 

Berhasilnya ngaji kitab Ihya’ yang tersebar di seluruh penjuru ini tidak luput dari perjuangan istri Gus Ulil tercinta, Ning Ienas Tsuroiya , putri dari ulama panutan saya KH. Mustafa Bisri, yang senantiasa membersamai Gus Ulil dalam berjuang. Peran vital Ning Ienas dalam ngaji Ihya’ sebagai “Mbak Admin” mengingatkan saya pada pepatah Arab “waroa kulli adzimin, adzimatun”. Di balik lelaki yang agung, pasti terdapat perempuan yang agung pula. Terima kasih Ning Ienas Tsuroiya, semoga selalu dikaruniai keberkahan bagi Panjenengan, senantiasa menjadi tauladan juga inspirasi bagi kami.

 

Ngaji Ihya’ Gus Ulil dan berbagai kitab yang beliau ajarkan bagi saya merupakan oase keilmuan dalam bidang tasawwuf di dunia online yang tandus. Saya yang sudah tidak mungkin mondok lagi di pesantren merasa terberkati dengan adanya ngaji Gus Ulil. Ngaji Ihla benar-benar  mengobati kerinduan pada ‘ngesahi’ kitab, taftis kitab, sorogan, weton dan bandonganistilah yang digunakan di dunia pesantren menunjuk pada jenis grup ngaji kitab di Pesantren . Mencari ilmu (memang harus) sampai liang lahat. Terima kasih, Gus !

Semoga Gusti Allah senantiasa merahmati guru-guru kami, orang tua beserta dzurriah guru-guru kami, baik guru-guru offline ataupun guru-guru online yang sanad keilmuannya sampai hingga Kanjeng Nabi. Aamiin []*

 

(* Naskah ini diedit oleh redaksi Rumah KitaB tanpa mengubah isinya. Ini untuk memenuhi kebutuhan pembaca umum Rumah KitaB yang tidak semuanya berlatar belakang dunia Pesantren)

 

 

Serba Serbi Acara Halal Bihalal Ngaji Ihya: Responsif Gender dalam HBH Ngaji Ihya

Oleh Maghfiroh Abdullah Malik

Aku gak akan nulis serius terkait judul di atas, ojo kecelek atau jangan terjebak.

Cuma mau ngasih saran tema menarik bagi kelian yang suka nulis.

Etapi beneran deh, acara kemarin bagi aku sangat responsif gender banget. Misal, dari awal lomba #KuisNgajiIhya (inikan bagian dari rangakain HBH yah) Mbak Admin Ienas Tsuroiya sangat gusar karena peserta perempuan dalam keikutsertaan kuis sangat minim, walhasil santri ubres perempuan angkatan muhajirat dipepet terus oleh Mbak admin untuk ikutan kuis, akhirnya beneran kepepet, dan menulislah dalam keadaan kepepet, makanya wajar kalau gak ada yang menang… *ngelesnya masoook .

Demikianpun ketika proses persiapan HBH di group panitia, tidak hanya panitia ‘dikuasai’ perempuan dalam hal jumlah, tapi dalam hal perspektif, kami juga menguasai. Seolah-olah sedang praktik analisis gender melalui poster, poster awal yang disodorkan CM aka Masykurudin Hafidz yang notabene laki-laki, langsung dibantai oleh master notulensi pelatihan gender pada masanya, Mbak Jannet Nur Jannah . “Cak bisa gak karikaturnya jangan santri laki-laki semua, ada santri perempuannya…”, tanpa ba-bi-bu, CM langsung ngibrit, meresponnya dengan cepat, “Siap…”. Dan ini yang aku bilang salah satu bentuk responsif gender ; karena si kritikus ini tidak hanya mengidentifikasi isu gender, tapi langsung menawarkan jalan ke luar. Sreeet, kemudian foto santri-santri perempuan sedang mengajipun terkirim. Foto santri-santri perempuan dianggap masih kurang mewakili gambaran ngaji online, diapun mengirimkan lagi foto teks kitab ihya dalam gadget. Dan Menurutku foto-foto tersebut belum mewakili adil gender, maka aku langsung sigap, mengirimkan foto laki-laki dengan tampang urban tetapi solih sedang fokus ngaji ihya di gadetnya. “Biar ada santri putranya…” tambahku singkat.

Perdebatan isu gender belum selesai sampai di sini. CM kemudian mengirim poster alternatif dengan desain yang berbeda. Semuanya memukau, WALAUPUN di mata para perempuan yang mengimajinasikan diri sebagai analist gender selalu ada saja yang kurang. “Cak kenapa fotonya krop-kropan, yang sudah bersatu jangan dipisahkan, kalau mau misah dengan foto lainnya…”, “Cak, kenapa Mbak Admin di urutan terbawah? Jangan lupa Mbak Admin itu memegang peran penting dalam Ngaji Ihya ONLINE ini, bisa gak dipindah posisi biar juga tidak membelakangi suami?”, untung gak diteruskan komentar, ‘nanti dilaknat malaikat sampai pagi’… (Itupun ternyata dilematis karena ternyata pas terpasang di tengah membelakangi Abah, padahal kalau turun lagi ke bawah enggak deh) *alah Mrs. Walaupun.

Perdebatan, lebih tepatnya ‘propaganda’ sih, tentang gender semakin memanas bercampur isu lainnya, entah isu ‘kecemburuan’ atau etika pesantren, “Cak, aku sepakat yang santri putra dipisah, sudah duduk gak pake satir, tampak ndusel-ndusel di santri putri pula…!!!”

Beruntung CM sangat responsif mengakomodir suara kami. Duh, CM ini sudah minoritas memiliki daya tawar tinggi tetapi sangat hormat dan melayani kebutuhan eh keinginan mayoritas. Sungguh akhlak terpuji, Gusti Allah ingkang ngajeni.

Kentalnya pengaruh responsif gender dalam HBH #NgajiIhya tidak hanya tergambar melalui berdebatan poster, melainkan dari berimbangnya laki-laki dan perempuan pengisi acara, kecuali special guests penyedia teks kitab Ihya, yang memang dari sononya laki-laki semua.

Pemberi testimoni perwakilan SO dari 12 peserta terdiri dari 6 perempuan dan 6 laki-laki. Padahal kalau mau memakai representasi SO NgajiIhya yang kalau dilihat dari tayangan FB, sebenarnya SO putri hanya kurang dari 13%. Itu seenggaknya dari hitungan kasar yang ngasih emoticon love di salah satu tayangan NgajiIhya, dari 253 pemberi tanda love hanya 29 yang disinyalir akun milik perempuan. Padahal itu sudah mengandaikan pemberi emoticon love biasanya perempuan.

Sebenarnya angka 12% keikutsertaan perempuan dalam #NgajiIhya online sangat menggembirakan. Mengingat di dunia pesantren, kitab ihya merupakan kitab yang sangat ‘maskulin’. Kitab yang biasanya diajarkan kepada santri putra, pun yang sudah level atas. Makanya keberadaan #NgajiIhya online ini benar-benar memberikan ruang bagi perempuan (santri) untuk menikmati kitab klasik karya laki-laki istimewa, Imam Ghazali.

Oleh karenanya tidak salah, jika perempuan diberi kesempatan yang sama persis secara angka (50:50) dalam memberi testimoni mewakili SO pada HBH kemarin. Karena toh ternyata pengalaman perempuan dalam mengikuti #NgajiIhya lebih beragam; dari urusan sinyal (Helli – Landak Kalbar), domestik (Luluk, Sidoarjo), pekerjaan profesional (Icha), spiritual (Uswah),sampai keingin tahuan perempuan dalam meluaskan cakrawala pengetahuan (Dahlia). Pengalaman – pengalamn tersebut memiliki kekhasannya tersendiri yang mungkin hanya dirasakan oleh perempuan.

Yang paling menyenangkan dari HBH NgajiIhya yang diselenggarakan secara online adalah memungkinkan siapa saja bisa ‘duduk’ di tempat yang sama. Kalau biasanya Ngaji offline perempuan duduk di belakang, atau di samping tapi dibalik satir dan tidak bisa melihat dengan gamblang para pembicara, di Ngaji Ihya online kita semua sama ; bahkan sama posisinya dengan para pembicara ketika beliau-beliau sedang tidak berbicara.

Pun, kita semua merasa diperlakukan sama oleh Poro Alim, mereka menyampaikan ekspresi yang sama memasuki rumah-rumah kita bahkan kamar kita, entah rumah kontrakan, maupun kamar kos-kosan, semuanya mendapatkan keberkahan yang sama.

Wait, ini aku lagi ngomongin apaan sih?kan di atas janjinya cuma kasih saran yak, kok jadi nulis ngalor ngidul gak karuan. Maafkan hamba yang belum bisa moveon dari HBH NgajiIhya. Juga ini disambi menikmati acara HBH lain yang banyak kendala.

rumah kitab

Merebut Tafsir: Ketika Membaca “Iyyaka nasta’iin” 11 kali

Oleh Lies Marcoes

Kemarin malam ( 5 Juni 2020) saya mengikuti acara Halal Bihalal “Ngaji Ihya” yang diampu sahabat hati saya, Gus Ulil Abshar Abdalla dan Mbak “admin” Ienas Tsuroiya. Acara ini sangat meriah, hampir 300 orang hadir. Acara diisi sejumlah testimoni baik dalam bentuk video maupun kesaksian langsung para terundang. Kesaksian-kesaksian yang sangat jujur betapa berartinya acara Ngaji Ihya itu bagi mereka. Sejak pembukaan, saya terus terang menikmatinya sambil berefleksi diri.

Minggu lalu saya menulis sebuah artikel panjang didasarkan review buku Gendered Morality karya seorang Muslim feminis keturunan India Amerika, Prof. Zahra Ayubi. (Lihat: Mengapa Perempuan (Masih) Bertahan dalam (Epistimologi) Islam, Islami.co 29 Mei 2019). Tulisan itu , saya akui merupakan sebuah bentuk keheranan, jika tidak hendak dikatakan gugatan, atas tidak diperhitungkannya kehadiran perempuan dalam bangunan -bangunan epistimologi Islam, termasuk tasawuf !.

Inti tulisan itu menjelaskan bahwa seluruh subyek bangunan epistimologi Islam itu lelaki, untuk lelaki. Ini bukan berarti perempuan tidak dibahas namun mereka diletakkan sebagai obyek untuk mengatur bagaimana seharusnya lelaki bersikap dan bertingkah laku kepada sang obyek. Maka secara kritis kita dapat melihat bagaimana perempuan diposisikan sejak lahir sampai ia mati semuanya demi kehadiran dan kesempurnaan akhlak lelaki. Bagaimana cara lelaki mau mengawini perempuan, misalnya? Bagaimana jika bapaknya tidak ada akibat perceraian. Hukum perkawinan Islam menetapkan sang bapak harus dicari dulu jika perlu sampai ke liang semut sampai terbukti ia tak diketahui rimba dan kuburnya. Dan manakala dinyataan “gaib” kayak dedemit, alih-alih meminta sang ibu jadi walinya, yang jelas-jelas mengandung, melahirkan, mengurusnya hingga sang anak siap dinikahkan, hukum Islam meminta siapa saja lelaki dari pihak bapak, atau bahkan sembarang lelaki asal telah ditunjuk negara, dapat bertindak sebagai wali sang anak perempuan, padahal kenal pun belum tentu, kebanyakan malah tak kenal sama sekali !.

Bangunan epistimologi Islam mengatur dengan sangat rinci bagaimana cara lelaki membangun ahlak/etikanya dalam cara mendekati, menggauli, memberi nafkah, memberi pakaian, bersikap, memerintahkan, mewakili, mau menceraikan, mau mempoligaminya, membagi warisnya, dan seterusnya. Tawaran etika Islam adalah lelaki harus berbuat baik, harus memperlakukan perempuan secara adil, harus maslahah. Namun karena pengalaman perempuan tak dikenali oleh sang subyek, karenanya konsep maslahah sebagai tujuan itu hanya didasarkan pada standar dan parameter yang membangunnya (lelaki). Dan itu terjadi untuk semua tema dalam bangunan epistimologi Islam sejak fiqih, kalam, politik sampai tasawuf yang semula dianggap sebagai the last resort tempat bersemayamnya konsep tentang sifat feminin Tuhan disajikan tanpa malu-malu. Itu pun toh sama saja.

Namun anehnya, sebegitu rupa (pengalaman) perempuan tak dianggap dalam bangunan epistimologi Islam, pada kenyataannya mereka tetap bertahan di dalamnya. Agaknya epistimologi Islam yang basisnya rasionalitas tak mengenali magma yang secara inheren ada dalam agama, yaitu soal rasa. Unsur afeksi, kehangatan, kepasrahan yang muncul dalam pengalaman beragama merupakan tali yang diikatkan pada tubuh dan pengalaman perempuan sehingga mereka teguh kukuh bertahan di dalam dan bersama Islam.

Malam kemarin, dalam acara Halal Bihalal Ngaji Ihya itu, unsur rasa itulah yang menyelimuti keseluruhan acara. Saya menyaksikan para peserta berulang kali mengusap (air) mata dan pipi. Dan saya merasakan puncaknya ketika Gus Mus memimpin doa. Gus Mus meminta agar ketika membaca Fatihah, pada frasa “Iyyaka nasta’iin” (kepadaMulah hamba memohon pertolongan) diulang 11 kali dan masing- masing menyampaikan “kereteg” hatinya sendiri-sendiri.

Itu adalah rahasia masing-masing dengan Tuhan. Tapi di sini saya ingin membuka rahasia. Dalam 11 kali mengulang “iyya kanasta’iin” itu saya ternyata hanya berdoa bagi perempuan-perempuan dalam hidupku: Ibuku yang mungkin ibadahnya tidak sempurna karena begitu banyak beban lahiriahnya sebagai ibu, istri, pengusaha, matriakh dalam keluarga besar; ibu angkatku yang mengajari cinta dan kasih sayang, kakak-kakak dan adik -adik perempuanku, para guru feminisku yang mengajari untuk “wani”, para pengasuh- pembantu ibuku yang “ nunut urip” namun mungkin banyak hak-haknya sebagai manusia terlanggar oleh ibuku; anak perempuanku Tasya Nadyana sahabat rasa, hati dan keluhan; menantu perempuanku Fadilla Dwianti Putri dan Thalita Nafitia Hiramsyah yang telah dan akan melahirkan cucu-cucuku dan akan menjadi tiang gatungan harapan; ibu mertuaku yang telah mengizinkan anak kesayangannya membagi kasih kepadaku, para ART rumah tanggaku sejak berkeluarga hingga kini yang benar-benar telah memungkinkan aku “menjadi” hingga sejauh ini. Tak lupa aku memohon kesehatan keselamatan bagi diriku sendiri dan Ienas Mbak Admin yang memungkinan Ngaji Ihya bisa berjalan dan telah mengisi relung-relung batin para santrinya yang mungkin tak terpuaskan oleh bangunan Epistimologi Islam di luar tasawuf. Kepada merekalah terselip doa dalam 11 kali mengulang kata “iyaaka nasta’iin”itu. Dan karena hanya 11, tak ada sisa untuk para lelaki dalam kehidupan saya, namun biarlah karena bukankah mereka telah dibela Tuhan? Al Fatihah

#Lies Marcoes, 7 Juni 2020.