Pos

Al-Ghazali: tentang Intelektual-Istana  dan “Kasmaran”-nya dengan Amrun Samawiyyun

Juara khusus #Kuis Ngaji Ihya

 

يا أيها الإنسان إنك كادح إلى ربك كدحا فملاقيه (الإنشقاق ٦:٨٤)

الحمد لله الذي أصعد قوالب الأصفياء بالمجاهدة (الغزالي، كيمياء السعادة، ص ١)

وعقيدة الوحدانية عقيدة صعبة لايستطيعها إلا المجاهدون الراقون (أحمد أمين، يوم الإسلام، ص ١٣)

 

Dalam “statuta” keorganisasian NU, al-Ghazali adalah salah satu dari dua tokoh yang menjadi kompas dalam ber-tasawuf. Kalangan nahdliyyin niscaya sudah mafhum belaka. Dan akan tampak terlalu teknis jika hal itu dianggap sebagai motif. Saya mencoba menuliskan tulisan ini dengan niat (i) ikraman wa ta’zhiman kepada seluruh begawan moral besar –para rasul, anbiya’ syuhada’, auliya’, shalihin— yang menjadikan amrun samawiyyun (“urusan langit”)  sebagai kiblat hidup; tentu saja sosok al-Ghazali termasuk di dalamnya, dan –dengan pengharapan semoga– juga kita semua yang ber-halaqah mengitari al-Ghazali; qira’atan, wa sam’an, wa kitabatan, wa lasiyyama ‘amalan. Saya membayangkan saat mahallul qiyam dalam ritual barzanjian, dan kita semua berdiri sebagai bentuk penghormatan dan takzim atas nur nabi yang sedang sejenak singgah.

Juga (ii) sebagai “nostalgia-kecil” masa akhir tahun 1990-an (saat ramai teror ninja, dan sekarang era Covid-19, what a coincidence!). Kala itu saya mondok di Pesantren Fathul Ulum, asuhan Kiai Abdul Hannan Ma’shum, di Desa Kwagean, Kediri, Jawa Timur. Saya  “membacai” sendiri kata pengantar  cukup panjang atas kitab Ihya’ ‘Ulumiddin (bagian kata pengantar tidak ikut dibaca oleh kiai saat mengaji, dan memang sudah demikian lazimnya) yang ditulis oleh Badawi Thabbanah (saya lupa terbitan mana kitab yang saya pakai saat itu). Juga memori saat mencoba “membacai” sendiri kitab Manaqib al-Ghazali, yang disusun oleh Kiai Ahmad Yasin Asymuni, pengasuh Pesantren Petuk, Semen, Kediri, Jawa Timur. Dalam kitab manaqib kecil inilah saya menjumpai untuk pertama kali kutipan berikut:

طلبت العلم لغير الله فأبى أن يكون إلا لله

Pada mulanya aku, al-Ghazali mencari ilmu dengan motif selain Allah (motif duniawi), dan ternyata ilmu emoh dengan cara perlakuanku yang demikian itu, ilmu hanya mengizinkan satu-satunya motif: semata Allah”.  Ungkapan Ibn Sina sebetulnya lebih straight-to-the-point lagi, tipikal kejituan berpikir seorang filosof: fa man tajira bi al-din falaisa lahu dinun (yang memperdagangkan agamanya, sudah tak memiliki agama lagi).

 

Sebuah nazham/bait lain – masih dari kitab Manaqib al-Ghazali-  yang juga pertama kali saya baca saat itu, terus melekat dalam memori:

لوكلت ألفي رطل خمر لم تكن # لتصير نشوانا إذا لم تشرب

Dua ribu liter anggur tak akan berujung mabuk-kepayang, “kasmaran” (nasywanan) jika tak kunjung diminum, hanya ditimbang-timbang saja”. Ini  mengingatkan kita pada kemiripan nuansa makna dalam sepotong hadis Nabi yang cukup familiar di telinga santri: inna hadza wa ash-habahu yaqra’una al-qur’ana, la yujawizu hanajirahum (si fulan dan orang-orang yang sehaluan, membaca al-Qur’an, namun tak sampai melewati kerongkongannya [tak meresap ke dalam hati mereka]). Dari dua kutipan ini, tampak kecenderungan amrun samawiyyun sedemikian lekat dalam diri al-Ghazali.

Juga (iii) sebagai semacam self-reminder betapa riskannya jika kita berputus-sanad, kepaten-obor dari amrun samawiyyun. Bahwa amanah kemanusiaan mengharuskan kita meng-install-kan ke dalam diri, sejumlah dosis tertentu dari amrun samawiyyun ini.

Tarik-menarik yang demikian kuat dalam diri al-Ghazali antara amrun dun-yawiyyun (sebagai intelektual-istana) dengan amrun ukhrawiyyun inilah yang membuat kisah hidup al-Ghazali penuh dengan dinamika demikian intens, dan karena itu menarik untuk ditulis; menjadi semacam cermin bahwa demikianlah prototype otentik seorang manusia yang genuine, tidak palsu dalam kemanusiaannya.

Dalam bentuk lain, tarik-menarik ini dapat kita “baui” residu-jejaknya dalam perdebatan, misal, soal tegangan antara ashalah dan hadatsah, antara “yang-tradisional” dan “yang-modern” yang terus berlangsung hingga hari ini; antara akal dan wahyu; antara agama dan sains–topik yang, dalam badai pandemi Covid-19 sekarang, ramai diperbincangkan kembali. Jejak tarik-menarik yang demikian juga tercermin dalam “kaidah-sejuta-umat”-nya kaum nahdliyyin, yang sudah sering kita dengar bersama: al-muhafazhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (merawat hal lama yang baik, seraya mengadopsi hal baru yang lebih baik).

 

***

Amrun samawiyyun

Secara harafiah –dan sesuai siyaqul kalam atau konteks kemunculannya dalam kitab al-Munqidz– berarti “perkara langit”. Frasa ini muncul di al-Munqidz, saat al-Ghazali menceritakan fragmen terpenting dalam hidupnya saat hendak mengambil keputusan untuk meninggalkan kemapanan duniawi dan prestise akademiknya di Baghdad. Frasa ini tampak penting sekali untuk di-highlight dengan sorot pencahayaan penuh. Frasa inilah yang mencerminkan momen crucial-turning-point, sekaligus merupakan poros paling fundamental yang menggerakkan seluruh kisah hidup al-Ghazali yang demikian dramatis, hingga memutuskan uzlah dan melahirkan karya magnum-opusnya, Ihya’ ‘Ulumiddin.

Dalam pembacaan yang sedikit spekulatif, amrun samawiyyun ini jugalah yang membuat al-Ghazali menempati posisi sebagai al-mujaddid (selain sebagai hujjatul islam), pembaharu dalam Islam di awal abad kelima hijriah. Spekulasinya: andaikan al-Ghazali tidak men-turuti panggilan amrun samawiyyun ini, dan lebih memilih hidup nyaman menyusu pada kekuasaan (di sini teringat buku Romo Sindhunata, Menyusu Celeng, dan dhawuh Kiai Rifa’i Kalisalak, Batang, Jawa Tengah: luwih becik nandur jagung tinimbang ngawulo tumenggung), mungkin usia al-Ghazali bisa lebih panjang, dan, karena itu, beliau tidak meninggal di awal abad kelima hijriah (dalam salah satu ulasan tentang kisah hidup al-Ghazali, disebutkan al-Ghazali mengalami cukup kemerosotan fisik, salah satunya, akibat perjalanannya singgah di beberapa kota, pasca keputusannya meninggalkan Baghdad). Kita tahu bahwa salah satu syarat kelayakan disebut sebagai mujaddid adalah meninggal di awal abad, tidak melebihi tahun keduapuluh dari awal abad hijriah. Dan al-Ghazali dapat memenuhi syarat itu dengan meninggal pada tahun 505 hijriah.

Kalau kita lacak dalam bentangan sejarah, para begawan moral besar selalu punya “urusan” sekaligus irisan yang serius dengan amrun samawiyyun ini. Kadar kebegawanan diukur dari seberapa dosis kasmarannya dan sekaligus dinamikanya dengan amrun samawiyyun. Siddharta Gautama meninggalkan kenikmatan, kenyamanan hidup di istana kerajaan, melanglang sebagai pertapa merenungi tiga jenis penderitaan anak manusia: penyakit, usia tua, dan kematian. Nabi Ibrahim menghadapi penghukuman bakar, berdoa di tapal batas pengharapan: Allahumma anta al-wahid fi al-sama’ wa ana al-wahid fi al-ardli, laisa ahadun ya’buduka ghairi, hasbiyallah wa ni’ma al-wakil. Nabi Muhammad dengan benturan bertubi-tubi di tahun-tahun penuh marabahaya (‘aam al-huzn), dari pemboikotan kaum Quraisy atas Bani Hasyim selama tiga tahun, kematian sang paman (Abu Thalib), kematian Siti Khadijah, berhijrah ke Thaif, di Thaif mendapat penolakan dan perlakuan kasar, hingga terlunta-lunta, nabi menyingkir dan tiba di kebun anggur sambil memanjatkan “doa thaif”: Allahumma ilaika asyku dla’fa quwwati, anta rabbul mustadl’afin (kutipan dari versi lengkap yang lebih panjang).

Kiai Ahmad Mutamakkin –yang makamnya diziarahi  Gus Dur, dan merupakan perlawatan resmi pertama kali beliau, pasca terpilih sebagai presiden– oleh ayahnya, diminta memilih antara amrun dun-yawiyyun (dalam teks aslinya: keraton dunyo) dan amrun ukhrawiyyun/samawiyyun (dalam teks aslinya: keraton akherat); dan barang siapa sudah memilih yang pertama maka akan kehilangan yang kedua, demikian pula sebaliknya. Kiai Mutamakkin dengan tegas menjatuhkan pilihannya pada yang kedua: amrun ukhrawiyyun/samawiyyun. Catatan tambahan: Kiai Jazuli Utsman, pendiri pondok pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri, anak dari keluarga bangsawan di era kolonial saat itu, diminta keluar dari studinya di STOVIA (satu almamater dengan Bung Karno), oleh Kiai Ma’ruf, Kedunglo, Kediri –murid dari Kiai Kholil Bangkalan– untuk fokus belajar di pesantren (alhamdulillah, saya pernah mondok di Al-Falah ini, sebelum ke pesantren Kwagean). Kiai Bisri Mustofa, Rembang –ayahanda dari Gus Mus– diminta keluar dari HIS (Holland Indische School) dan belajar dengan Kiai Kholil, Kasingan, Rembang.

 

***

Intelektual-istana

Muhammad Abid al-Jabiri menulis kata pengantar panjang atas masing-masing dari tiga karya Ibn Rusyd (Averroes): Tahafut al-Tahafut, Kasyfu Manahij al-Adillah ‘an ‘Aqa-id al-Millah, dan Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal. Dalam kata pengantar-nya atas kitab Tahafut al-Tahafut, al-Jabiri mengutip “pengakuan” al-Ghazali dalam kitabnya, al-Munqidz min al-Dlalal. Dalam otobiografi intelektualnya, al-Munqidz, al-Ghazali mengatakan bahwa kosakata “al-madzhab” atau dalam istilah sekarang, “ideologi”, adalah kosakata yang mengandung tiga dimensi makna sekaligus. Dimensi pertama adalah “madzhab” atau pendapat  tertentu yang dipegangi kuat-kuat dalam rangka pertarungannya dengan “madzhab” lain demi membela “kepentingan” tertentu. Dimensi pertama ini jelas sangat kental muatan politisnya.

Dimensi kedua, adalah “madzhab” atau pendapat  tertentu yang dipegangi dalam lingkungan terbatas di mana seseorang melakukan tugas belajar-mengajar, atau pendapat yang dipegangi di hadapan para santri-santri “ideologis”-nya. Dimensi ketiga, “madzhab” atau pendapat  tertentu yang dipegangi dalam “ruang sunyi” lubuk hati-nya sendiri, yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali dirinya dan Tuhan. Dimensi ketiga ini sudah betul-betul steril dari “muatan politik”.

Setiap pendapat apapun yang dilontarkan oleh siapapun (dalam konteks seorang ideolog, intelektual istana) tidak lepas dari  –jika tidak sekaligus ketiga dimensi di atas– sekurang-kurangnya dua dimensi, yaitu dimensi “politis” dalam rangka pertarungannya dengan “madzhab” lain demi membela “kepentingan” tertentu, dan dimensi “non-politis” yang tersimpan dalam “ruang sunyi” lubuk hatinya sendiri yang tak seorang pun tahu kecuali diri yang bersangkutan dan Tuhan.

Tiga kata pengantar panjang al-Jabiri atas tiga karya Ibn Rusyd sejatinya ingin memberikan konteks dan duduk perkara yang sesungguhnya dari keruwetan seputar hubungan antara filsafat dengan agama. Dari tiga kata pengantarnya yang panjang itu al-Jabiri ingin mengatakan bahwa yang (masih) jujur dengan “pencarian intelektual”-nya adalah “agama” (tasawuf [?]) dan “filsafat”. Selebihnya, yakni ilmu kalam/teologi dan fikih, sudah sedemikian bercampur-baur dengan unsur politik (bahkan Ibn Rusyd dalam kitabnya, Fashl al-Maqal, melontarkan kritik lugas kepada ulama fikih: kam min faqihin kana al-fiqhu sababan li qillati tawarru’ihi wa khaudlihi fi al-dunya, banyak ulama fikih yang keilmuan fikihnya justru membuat mereka defisit moral dan masuk terlalu jauh dalam urusan duniawi). Dan, sebagaimana ditegaskan oleh Ahmad Amin dalam kitabnya, Yaum al-Islam, betapa berat untuk setia-bersiteguh dengan agama yang konsisten dan jujur dengan “pencarian intelektual” seperti ini (wa ‘aqidat al-wahdaniyyati ‘aqidatun sha’batun la yastathi’uha illa al-mujahidun al-raqun, [Ahmad Amin, Yaum al-Islam, hal.13]).

Dalam sepanjang sejarah pemikiran Islam, setiap penafsiran oleh para sarjana teologi Islam adalah tindakan politik untuk membela kepentingan politik tertentu. Hampir semua ulama klasik Islam yang kita kenal adalah seorang ideolog, atau “intelektual-istana”: al-Kindi, Ibnu Sina, Alghazali, al-Syahrastani, Ibn al-Khatib Fakhruddin al-Razi, al-Baidlawi, al-Jurjani, al-Baqillani, al-Juwainiy (Imam al-Haramain), Nashiruddin al-Thusi, dan juga Ibn Rusyd yang “bekerja” untuk Dinasti Muwahhidun di Andalusia dan Maghrib (dari deretan nama-nama ini, al-Farabi adalah salah satu pengecualian, ia tidak termasuk kategori “intelektual-istana”).

Bahkan Abid al-Jabiri dalam kata pengantarnya (madkhal) untuk Tahafut al-Tahafut  menyebutkan bahwa al-Ghazali dan al-Razi pada masa akhir hidupnya mengakui bahwa apa yang dilakukan pada masa mudanya adalah “memperalat” ilmu (tauzhif al-‘ilm) bukan untuk “kebenaran” (al-haqiqah), tapi untuk “sesuatu yang lain” (Muhammad Abid al-Jabiri, [Madkhal ila] Tahafut al-Tahafut, hal. 29).

Dan sejarah hidup para ulama-ideolog ini, karena pertautannya dengan dunia politik, harus dilalui dengan “dramatis”: al-Ghazali dengan “konflik batin”-nya yang berkepanjangan dan harus menderita “kelumpuhan akut” dan Nashiruddin al-Thusi, yang menurut salah satu versi sejarah, mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri (?).

 

***

“Rute kalijaga”

Demikian rute yang ditempuh oleh al-Ghazali. Saya ingin menyebutnya sebagai “rute kalijaga”. “Kali” berasal dari “qadli”: intelektual istana. “Jaga” berasal dari “zakka”: yang sudah membersihkan diri, menapaki jalan samawi (Achmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, hal.12). Kisah hidup al-Ghazali adalah kisah hidup dengan “rute kalijaga”, rute seorang qadli, intelektual istana yang telah mensucikan diri. Dan rute semacam inilah yang –pada ujungnya– hendaknya ditempuh oleh tiap seorang “mutadayyin tadayyunan haqiqiyyan“, seorang yang hendak mentabalkan dirinya ke dalam keluarga besar agama dengan menempuh rute kesejatian, bukan rute kepalsuan.

 

قد أفلح من زكاها، وقد خاب من دساها (الشمس، ٩:٩١-١٠)[]

Gus Ulil, Sang Pionir Pesantren Virtual

Pemenang Juara 1 Lomba “ Ngaji Ihya”

Kategori: Kesan Santri Online.

 

Nyai Uswatun Hasanah,

Aktivis Perempuan Membaca- Mojokerto

 

Dulu, santri tidak begitu dikenal di jejaring sosial. Kalaupun ada santri yang bermain sosial media umumnya postingan yang dibagikan adalah jauh dari yang berbau santri. Jarang sekali ditemukan santri yang posting tentang hukum-hukum Islam, posting foto saat mendaras Alquran atau Alfiyah, bahkan tidak ada santri yang tiba-tiba berpakaian Islami kemudian ceramah agama lalu upload videonya sendiri di sosmed dan dengan percaya diri melabeli dirinya Ustadz.

 

Tidak heran, karena memang gemblengan santri di pesantren adalah  rendah hati, mengamalkan ilmu “khumul”, sebagaimana syair yang memukau dari Ibnu Athaillah As-Sakandari “idfin wujudaka fi ardlil khumul, famaa nabata mimma lam yudfan laa yatimmu nataajuhu”, yang artinya “simpanlah hasratmu akan popularitas, karena hasrat yang demikian tak akan membuat dirimu tumbuh dan berkembang sempurna”. Begitulah kehidupan santri yang tidak mengenal apa itu pencitraan atau “dzuhur”.

 

Namun di beberapa periode ini mulai muncul gerakan Islam garis keras, yang awalnya minoritas tiba-tiba menjadi pesat lajunya, menciptakan gerakan yang begitu masif di berbagai platform sosial media. Pada saat sowan ke guru saya Mbah Kiai Jamaluddin Tambakberas, beliau dawuh “Suwe-suwe NU bakalan tenggelam nek santri-santrine gak melu berperan, aku mbukak internet bab hukum Islam kok dikebek’i tulisane wong-wong sing Islame kaku”. Kira-kira artinya “Lama-lama NU akan tenggelam kalau santrinya tidak ikut [ main media] , saya membuka internet bab hukum Islam, kok isinya dipenuhi tulisan orang-orang Islam yang kaku itu”.

 

Saya menyadari keadaan ini, internet dikuasai oleh pengusung jargon kembali kepada Alquran dan Hadis tanpa metodologi. Ketika kami para santri mengenalkan kitab kuning yang identik dengan cara memahami Islam dengan metode/ manhaj ala pesantren sebagai jawaban dari cara pencarian hukum, mereka mengejek  “buku yellow pages jangan dijadikan panutan karena yang bikin manusia, itu bisa saja salah, kalau Alquran dan Hadis tidak mungkin salah.”

 

Pada titik inilah para santri mulai resah, dan santri-santri pun mulai berani unjuk gigi. Dalam dawuhnya Mbah Mustafa Bisri “sing waras ojo ngalah”, para santri beraksi di sosial media menjadi pendekar Aswaja, meluruskan gerakan-gerakan Islam yang keras atau kaku dengan mengenalkan kembali sejatinya Islam adalah agama yang lembut, moderat dan berkasih sayang, Islam adalah Rahmatan Lil ‘Alamin.

Hukum-hukum dalam Islam tidak sekadar kembali kepada Alquran dan Hadis.

 

Pesantren pun mulai bangkit di dunia maya. Kini para santri baik putra maupun putri tidak lagi sungkan menunjukkan identitasnya sebagai alumni pondok pesantren, dan berkat itu  santri  disegani kehadirannya. Munculnya tokoh-tokoh santri cendekiawan muslim yang berani bersuara di sosial media memperluas khazanah keilmuan Islam yang siap diakses oleh seluruh masyarakat sebagai alternatif belajar agama. Mereka mampu mengimbangi atau bahkan meng-counter ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan asas-asas Ahlus Sunnah wal Jamaah yakni tawassuth (moderat/tengah-tengah,memilih yang baik dan adil) tawazun,(Seimbang) i’tidal (keseimbangan/ tertib/teratur) dan tasamuh (toleran/berakhak baik dalam pergaulan).

 

Pada pertengahan tahun 2017 tepatnya Bulan Ramadhan, mulai bermunculan siaran langsung kajian kitab kuning di sosial media. Ada yang diampu oleh Kiai Said Aqil, Simbah Kiai Mustafa Bisri, Gus Ulil Abshar Abdalla, Ndoro Habib Luthfi dan pengajian dari beberapa santri secara online. Kalau zaman mondok dulu istilahnya ngaji pasan atau kilatan.

 

Sejak itu saya memilih istiqomah mengikuti pengajian Ihya’ Ulumiddinnya Gus Ulil Abshar Abdalla. Saya mengenal nama Ulil Abshar Abdalla dari beberapa diskusi di perguruan tinggi. Namanya selalu disebut-sebut digandengkan dengan Cak Nur (Prof. Nurcholish Madjid). Saya pun mulai membaca buku-bukunya dan tulisan-tulisannya yang secara rutin muncul di akun yang beliau kelola sendiri. Saya benar-benar haus ngangsu kawruh pada Gus Ulil. Saya mengikuti pengajian virtual beliau berupa tulisan saat menjelaskan isi kitab “Hikam “karya Syaikh Ibnu Athaillah di fanpagenya. Sebelumnya saya juga sering membaca tulisan Gus Ulil di laman islamlib. Lalu melalui “Ngaji Ihya” saya mendengarkan sendiri bagaimana beliau menjabarkan Kitab Ihya’ dengan pembahasan yang begitu luas. Baru kali ini saya merasakan ngaji kitab tasawwuf rasa filsafat. Bahkan saya ingat pada saat Ramadhan 2017 awal mula Gus Ulil mengaji Ihya’, Bapak mertua saya sering ikut mendengarkan siaran langsung ngaji Ihya’ dan komentar beliau “orang alimnya kayak gitu kok dibilang liberal sama orang-orang!” Tentu yang dimaskud mertua saya adalah liberal sebagai sesuatu yang dianggap negatif dalam beragama.

 

Ngaji Ihya’ Gus Ulil langsung dimulai pada bagian ke-3 yakni ‘Ajaib al-Qalb. Sebagai santri pondok pesantren, dulu pernah dengar desas-desus yang beredar di kalangan santri bahwa ngaji Ihya’ tidak boleh berurutan dari juz 1 – juz 4. Ngaji Ihya harus acak. Konon jika ngajinya berurutan kitab itu tidak akan tamat. Ada lagi yang mengatakan pembacanya akan mengalami hal-hal yang ghaib bahkan ada yang langsung wafat begitu mengkhatamkannya berurutan. Namanya juga mitos saya juga tidak tahu kebenarannya, tapi dulu di pesantren memang guru saya tidak mengajarkan Ihya’ dimulai dari juz 1, tapi langsung juz 2 tanpa penjelasan sebabnya.

 

Dalam menerangkan kitab Ihya’ Gus Ulil tidak hanya membahas yang tersurat dalam kitab, meliankan  juga yang tersirat. Pembahasan ditarik ke beberapa disiplin ilmu seperti ‘nguliti’ ilmu alat (gramatikal bahasa Arab) pada tiap-tiap kata, tasawwuf, tauhid, fiqh, mantiq, perspektif gender, konsep mubadalah, dan yang paling berkesan: filsafat. Penjabaran beliau bak magnet yang menarik perhatian santri-santri virtual baik yang memiliki latar belakang pesantren atau tidak, santri non-muslim, santri dari berbagai daerah di Indonesia hingga luar negeri. Peserta siaran langsung ngaji Ihya tembus 300 hingga 500 peserta yang kemudian menyebut diri sebagai “santri online”, belum lagi yang menyimak siaran ulangnya.

 

Mungkin ada yang lebih dulu mengawali ngaji kitab kuning online sebelum Gus Ulil. Namun tapi saya merasa bahwa Gus Ulil merupakan Pionir Pesantren Virtual sehingga menginspirasi para alumni pesantren yang ‘lanyah’ kitab kuning membuka pengajian-pengajian kitab klasik para ulama secara online. Dahsyatnya “Ihya’ Effect” ini membuat saya makin kuwalahan dengan banyaknya teman yang juga ikut andil meramaikan jagat sosmed dengan ngaji kitab kuning. Dan tak terbatas pada para kyai atau gus, melainkan juga ibu nyai. Inilah wajah Islam khususnya pesantren, kaya akan literasi, ijtihad para ulama yang beragam dan konsisten dalam menggunakan metodologi, sekali lagi bukan sekedar asal kembali kepada Alquran dan Hadis. Saya benar-benar bahagia dan terharu sampai-sampai mau kirim fatihah pada “Om Mark” atas jasanya membuat platform facebook.

 

Ngaji Ihya’ tidak hanya berlangsung saat Ramadhan. Setelah Ramadhan usai ngaji Ihya’ dilanjutkan dengan jadwal teratur seminggu sekali. Awal 2018 Gus Ulil mengumumkan akan mengaji materi kitab Fiqh dalam kitab Bidayah al-Mujtahid, tentu saja para santri Ihya’ bahagia mendapatkan pengumuman ini. Ngaji Bidayah waktunya diselang-seling dengan ngaji Ihya’. Hingga sampai bertemu pada Ramadhan tahun 2018 Gus Ulil tidak hanya mengaji Ihya’ dan Bidayah, tetapi nambah dengan mengaji Kitab Himayah al-Kanais fi al-Islam. Pada saat itu Gus Ulil merasa perlu mengkaji kitab tersebut setelah kejadian pengeboman tiga gereja di Surabaya. Setelah Ramadhan 2018 usai, Gus Ulil tetap konsisten mengampu pengajian Ihya’. Hal yang membuatnya berbeda adalah adanya Kopdar Ihya’ pengajian langsung dengan tetap disiarkan secara on-line. Gus Ulil dan “Mbak Admin” Ning Ienas Tsuroiya melakukan safari Ngaji Ihya yang tidak hanya dilaksanakan di berbagai daerah di NUsantara, namun sampai di luar negeri.

 

Saya berkesempatan untuk mengikuti Kopdar Ihya’ dua kali, di Jombang dan Mojokerto. Saya benar-benar bahagia, bahagia yang tak terlukiskan dengan kalimat bisa tabarrukan (berjumpa) secara langsung dengan Gus Ulil dan Ning Ienas yang saya kagumi dan idolakan sejak dulu. Kopdar Ihya’ berlangsung hingga kini dan semoga akan berlanjut ketika pandemi covid 19 ini berakhir. Ramadhan tahun ini Gus Ulil tidak hanya mengaji Ihya’, tapi juga mengaji kitab Al-Munqidz min al-Dlalal yang juga merupakan karya Imam Al-Ghazali.

 

Saya teringat entah ngaji Ihya’ episode ke berapa, Gus Ulil akan ngaji kitab khusus parenting ala Imam Al-Ghozali, kalau tidak salah beliau juga akan mengaji kitab Ayyuhal Walad. Semoga suatu saat akan terealisasi ☺️

 

Berhasilnya ngaji kitab Ihya’ yang tersebar di seluruh penjuru ini tidak luput dari perjuangan istri Gus Ulil tercinta, Ning Ienas Tsuroiya , putri dari ulama panutan saya KH. Mustafa Bisri, yang senantiasa membersamai Gus Ulil dalam berjuang. Peran vital Ning Ienas dalam ngaji Ihya’ sebagai “Mbak Admin” mengingatkan saya pada pepatah Arab “waroa kulli adzimin, adzimatun”. Di balik lelaki yang agung, pasti terdapat perempuan yang agung pula. Terima kasih Ning Ienas Tsuroiya, semoga selalu dikaruniai keberkahan bagi Panjenengan, senantiasa menjadi tauladan juga inspirasi bagi kami.

 

Ngaji Ihya’ Gus Ulil dan berbagai kitab yang beliau ajarkan bagi saya merupakan oase keilmuan dalam bidang tasawwuf di dunia online yang tandus. Saya yang sudah tidak mungkin mondok lagi di pesantren merasa terberkati dengan adanya ngaji Gus Ulil. Ngaji Ihla benar-benar  mengobati kerinduan pada ‘ngesahi’ kitab, taftis kitab, sorogan, weton dan bandonganistilah yang digunakan di dunia pesantren menunjuk pada jenis grup ngaji kitab di Pesantren . Mencari ilmu (memang harus) sampai liang lahat. Terima kasih, Gus !

Semoga Gusti Allah senantiasa merahmati guru-guru kami, orang tua beserta dzurriah guru-guru kami, baik guru-guru offline ataupun guru-guru online yang sanad keilmuannya sampai hingga Kanjeng Nabi. Aamiin []*

 

(* Naskah ini diedit oleh redaksi Rumah KitaB tanpa mengubah isinya. Ini untuk memenuhi kebutuhan pembaca umum Rumah KitaB yang tidak semuanya berlatar belakang dunia Pesantren)

 

 

rumah kitab

Merebut Tafsir: Ketika Membaca “Iyyaka nasta’iin” 11 kali

Oleh Lies Marcoes

Kemarin malam ( 5 Juni 2020) saya mengikuti acara Halal Bihalal “Ngaji Ihya” yang diampu sahabat hati saya, Gus Ulil Abshar Abdalla dan Mbak “admin” Ienas Tsuroiya. Acara ini sangat meriah, hampir 300 orang hadir. Acara diisi sejumlah testimoni baik dalam bentuk video maupun kesaksian langsung para terundang. Kesaksian-kesaksian yang sangat jujur betapa berartinya acara Ngaji Ihya itu bagi mereka. Sejak pembukaan, saya terus terang menikmatinya sambil berefleksi diri.

Minggu lalu saya menulis sebuah artikel panjang didasarkan review buku Gendered Morality karya seorang Muslim feminis keturunan India Amerika, Prof. Zahra Ayubi. (Lihat: Mengapa Perempuan (Masih) Bertahan dalam (Epistimologi) Islam, Islami.co 29 Mei 2019). Tulisan itu , saya akui merupakan sebuah bentuk keheranan, jika tidak hendak dikatakan gugatan, atas tidak diperhitungkannya kehadiran perempuan dalam bangunan -bangunan epistimologi Islam, termasuk tasawuf !.

Inti tulisan itu menjelaskan bahwa seluruh subyek bangunan epistimologi Islam itu lelaki, untuk lelaki. Ini bukan berarti perempuan tidak dibahas namun mereka diletakkan sebagai obyek untuk mengatur bagaimana seharusnya lelaki bersikap dan bertingkah laku kepada sang obyek. Maka secara kritis kita dapat melihat bagaimana perempuan diposisikan sejak lahir sampai ia mati semuanya demi kehadiran dan kesempurnaan akhlak lelaki. Bagaimana cara lelaki mau mengawini perempuan, misalnya? Bagaimana jika bapaknya tidak ada akibat perceraian. Hukum perkawinan Islam menetapkan sang bapak harus dicari dulu jika perlu sampai ke liang semut sampai terbukti ia tak diketahui rimba dan kuburnya. Dan manakala dinyataan “gaib” kayak dedemit, alih-alih meminta sang ibu jadi walinya, yang jelas-jelas mengandung, melahirkan, mengurusnya hingga sang anak siap dinikahkan, hukum Islam meminta siapa saja lelaki dari pihak bapak, atau bahkan sembarang lelaki asal telah ditunjuk negara, dapat bertindak sebagai wali sang anak perempuan, padahal kenal pun belum tentu, kebanyakan malah tak kenal sama sekali !.

Bangunan epistimologi Islam mengatur dengan sangat rinci bagaimana cara lelaki membangun ahlak/etikanya dalam cara mendekati, menggauli, memberi nafkah, memberi pakaian, bersikap, memerintahkan, mewakili, mau menceraikan, mau mempoligaminya, membagi warisnya, dan seterusnya. Tawaran etika Islam adalah lelaki harus berbuat baik, harus memperlakukan perempuan secara adil, harus maslahah. Namun karena pengalaman perempuan tak dikenali oleh sang subyek, karenanya konsep maslahah sebagai tujuan itu hanya didasarkan pada standar dan parameter yang membangunnya (lelaki). Dan itu terjadi untuk semua tema dalam bangunan epistimologi Islam sejak fiqih, kalam, politik sampai tasawuf yang semula dianggap sebagai the last resort tempat bersemayamnya konsep tentang sifat feminin Tuhan disajikan tanpa malu-malu. Itu pun toh sama saja.

Namun anehnya, sebegitu rupa (pengalaman) perempuan tak dianggap dalam bangunan epistimologi Islam, pada kenyataannya mereka tetap bertahan di dalamnya. Agaknya epistimologi Islam yang basisnya rasionalitas tak mengenali magma yang secara inheren ada dalam agama, yaitu soal rasa. Unsur afeksi, kehangatan, kepasrahan yang muncul dalam pengalaman beragama merupakan tali yang diikatkan pada tubuh dan pengalaman perempuan sehingga mereka teguh kukuh bertahan di dalam dan bersama Islam.

Malam kemarin, dalam acara Halal Bihalal Ngaji Ihya itu, unsur rasa itulah yang menyelimuti keseluruhan acara. Saya menyaksikan para peserta berulang kali mengusap (air) mata dan pipi. Dan saya merasakan puncaknya ketika Gus Mus memimpin doa. Gus Mus meminta agar ketika membaca Fatihah, pada frasa “Iyyaka nasta’iin” (kepadaMulah hamba memohon pertolongan) diulang 11 kali dan masing- masing menyampaikan “kereteg” hatinya sendiri-sendiri.

Itu adalah rahasia masing-masing dengan Tuhan. Tapi di sini saya ingin membuka rahasia. Dalam 11 kali mengulang “iyya kanasta’iin” itu saya ternyata hanya berdoa bagi perempuan-perempuan dalam hidupku: Ibuku yang mungkin ibadahnya tidak sempurna karena begitu banyak beban lahiriahnya sebagai ibu, istri, pengusaha, matriakh dalam keluarga besar; ibu angkatku yang mengajari cinta dan kasih sayang, kakak-kakak dan adik -adik perempuanku, para guru feminisku yang mengajari untuk “wani”, para pengasuh- pembantu ibuku yang “ nunut urip” namun mungkin banyak hak-haknya sebagai manusia terlanggar oleh ibuku; anak perempuanku Tasya Nadyana sahabat rasa, hati dan keluhan; menantu perempuanku Fadilla Dwianti Putri dan Thalita Nafitia Hiramsyah yang telah dan akan melahirkan cucu-cucuku dan akan menjadi tiang gatungan harapan; ibu mertuaku yang telah mengizinkan anak kesayangannya membagi kasih kepadaku, para ART rumah tanggaku sejak berkeluarga hingga kini yang benar-benar telah memungkinkan aku “menjadi” hingga sejauh ini. Tak lupa aku memohon kesehatan keselamatan bagi diriku sendiri dan Ienas Mbak Admin yang memungkinan Ngaji Ihya bisa berjalan dan telah mengisi relung-relung batin para santrinya yang mungkin tak terpuaskan oleh bangunan Epistimologi Islam di luar tasawuf. Kepada merekalah terselip doa dalam 11 kali mengulang kata “iyaaka nasta’iin”itu. Dan karena hanya 11, tak ada sisa untuk para lelaki dalam kehidupan saya, namun biarlah karena bukankah mereka telah dibela Tuhan? Al Fatihah

#Lies Marcoes, 7 Juni 2020.

Doktrin Politik Sunni yang ‘Quietist’

MOJOK.CO – Keadaan politik pasca-wafatnya Kanjeng Nabi pada abad-abad pertama Hijriyah meninggalkan trauma yang mendalam bagi ulama Sunni.

 

Meski bukan bagian dari doktrin pokok dalam Islam, ulama Sunni tidak abai pada politik: mereka merumuskan sejumlah doktrin politik berdasarkan pengalaman sejarah yang mereka alami. Pengaruh doktrin ini masih bertahan sampai sekarang, meskipun artikulasinya dalam konteks kehidupan modern bisa mengalami sedikit modifikasi dan variasi.

Secara umum, doktrin politik Sunni bisa dirumuskan dalam istilah sederhana ini: “realisme pragmatis”, bukan “radikal-idealis”. Apa yang saya maksud dengan “realisme pragmatis” adalah sikap yang ditandai, antara lain, dengan kesediaan untuk menerima “status quo” politik, meskipun itu berupa kekuasaan yang otoriter dan lalim.

Memberontak terhadap kekuasaan yang ada (dalam literatur fikih politik disebut: al-sulthan al-mutaghallib, penguasa yang secara de facto menang dan berkuasa), dikecam dengan keras. Tindakan memberontak semacam ini disebut sebagai: al-baghyu, dan pelakunya adalah bughat, para pemberontak.

Sejarah konsolidasi politik kekuasaan pasca-wafatnya Kanjeng Nabi pada abad-abad pertama Hijriyah meninggalkan trauma politik yang mendalam bagi ulama Sunni.

Belajar dari pengalaman sejarah ini, mereka sampai pada kesimpulan yang sudah mantap: sezalim apa pun sebuah kekuasaan, ia lebih baik ketimbang keadaan “vacuum” politik yang menimbulkan “fitnah” atau kekacauan. Ada semacam “unen-unen” (political wisdom) dari para ulama salaf (generasi pertama Islam) bahwa: enam puluh tahun di bawah penguasa yang zalim dan otoriter, lebih baik dari pada satu malam saja tanpa penguasa.

Keadaan yang paling ditakuti oleh ulama Sunni adalah apa yang disebut dengan “fitnah,” yaitu kekacauan politik karena adanya pemberontakan. Konsolidasi kekuasaan di awal-awal sejarah Islam membutuhkan kekuasaan tangan-besi yang berdarah-darah.

Pemberontakan hampir muncul dalam setiap faset sejarah Islam awal, dan setiap kali itu pula puluhan ribu nyawa dikorbankan; darah tumpah sia-sia. Kekuasaan yang brutal bukan monopoli sejarah Islam; ini hampir menjadi ciri khas kekuasaan tradisional di manapun pada masa pra-modern.

Teknik berkuasa dan alat-alat untuk mengontrol kekuasaan belum berkembang dengan canggih pada masa itu. Kekejaman dan kebrutalan dalam menghadapi lawan-lawan politik adalah teknik yang dipakai oleh penguasa tradisional untuk “menanamkan” rasa takut dan teror kepada penduduk agar mereka tidak coba-coba melawan.

Negara modern tidak terlalu membutuhkan kebrutalan dalam skala yang sama yang dipraktekkan penguasa tradisional, karena teknik-teknik kontrol telah berkembang pesat sekarang. Ini, antara lain, difasilitasi oleh perkembangan teknologi komunikasi, surveillance dan penyadapan yang canggih.

Bayangkan keadaan berikut itu: penguasa tradisional mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, sebelum menyadari bahwa pemberontakan terjadi di sebuah kawasan yang jauh sekali dari pusat kerajaannya.

Negara modern hanya membutuhkan waktu sekian detik saja untuk mendeteksi pemberontakan semacam ini. Perbedaan teknik kontrol dalam kekuasaan inilah yang, saya kira, “memaksa” penguasa-penguasa tradisional memakai teknik penyiksaan yang brutal terhadap lawan-lawannya. Hanya dengan begitu mereka bisa menjamin “ketundukan” rakyat.

Situasi politik semacam inilah yang, saya kira, mendorong para ulama Sunni dalam fase awal sejarah Islam merumuskan sikap politik yang cenderung “quietist,” diam, patuh, tunduk pada penguasa, baik penguasa yang adil atau zalim. Sebab alternatif lain adalah: memberontak yang justru menimbulkan “fitnah” dan kekacauan yang lebih berbahaya.

Dalam konteks kekuasaan tradisional, bahkan tanda-tanda oposisi yang sederhana sekalipun (bukan pemberontakan!) akan dihadapi dengan penindasan yang kejam.

Kemaslahatan agama terganggu saat berlangsung fitnah atau kekacauan politik: orang-orang tidak bisa dengan aman menjalankan ibadah, ngaji, mencari nafkah, dll. Keamanan, dan bukan kebebasan, adalah “komoditi politik” yang amat berharga dalam masyarakat tradisional sebagaimana dihadapi oleh ulama Sunni zaman lampau. Ide kebebasan politik masih terlalu jauh dari “imajinasi politik” ulama di masa itu.

Kita tak bisa menyalahkan ulama Sunni pada zaman itu. Rumusan sikap politik realis-pragmatis adalah sikap yang paling masuk akal dalam situasi politik seperti yang saya gambarkan di atas. Ini sama sekali bukan berarti bahwa ulama Sunni tidak melakukan “opisisi politik”. Resistensi terhadap penguasa yang zalim dilakukan oleh banyak ulama pada zaman itu, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang “aman”.

Inilah yang oleh al-Ghazali dalam disebut sebagai “siyasat al-‘ulama’,” politik para ulama dan kiai. Politik ideal untuk para kiai, dalam pandangan al-Ghazali, adalah al-wa‘dzu wa-l-irshad, memberikan masukan kepada penguasa yang zalim melalui “kritik lisan”: memberi nasehat.

Model politik “radikal-idealis,” dengan cara menentang terang-terangan penguasa, bukanlah jalan yang disukai oleh ulama Sunni. Mereka lebih memilih jalan yang lebih membawa maslahat: menerima kekuasaan yang ada, apapun keadaanya, meskipun dengan “nggrundel”. Itu lebih baik daripada kekacauan yang timbul karena tindakan menentang penguasa.

Apakah sikap politik seperti ini masih relevan sekarang? Ini akan tema pembicaraan saya dalam tulisan berikutnya.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/doktrin-politik-sunni-yang-quietist/

Masih Relevankah Doktrin Politik Sunni pada Masa Ini?

MOJOK.CO – Seperti saya jelaskan di tulisan sebelumya, kita tidak bisa menyalahkan ulama Sunni yang merumuskan doktrin yang “mau main aman”.

 

Seperti saya jelaskan dalam bagian sebelumnya, ciri pokok doktrin politik Sunni adalah “realisme-pragmatis” yang ditandai oleh penerimaan yang “legawa” terhadap status quo kekuasaan, walau ia zalim dan otoriter.

Sebab oposisi terhadap kekuasaan yang zalim, meski secara moral-politik sangat absah, bisa menimbulkan akibat yang lebih buruk: fitnah, kekacauan politik.

Seperti saya jelaskan kemarin, kita tidak bisa menyalahkan ulama Sunni yang merumuskan doktrin yang “mau main aman” seperti ini. Kelahiran doktrin ini terkait dengan corak kekuasaan tradisional yang cenderung brutal, tidak menerima oposisi dalam bentuk apapun, dan “ketegaan” raja-raja tradisional dulu untuk menghukum musuh-musuh politik secara kejam (silahkan baca Tarikh al-Tabari mengenai sejarah politik yang brutal di zaman kerajaan-kerajaan Islam awal dulu).

Penguasa tradisional juga tak punya banyak pilihan kecuali menjalankan politik yang kejam seperti ini, karena hanya dengan cara demikianlah mereka bisa memastikan ketaatan rakyat. Praktek “rule by fear” (berkuasa dengan cara menanamkan ketakutan) semacam ini adalah hal yang lazim pada zaman lampau.

Biasanya model kekuasaan semacam ini akan terpaksa ditempuh oleh raja-raja tradisional ketika mereka sudah kehilangan kegitimasi di mata rakyat. Inilah yang terjadi pada era dinasti Umawiyyah pada masa awal Islam. Pada masa inilah doktrin Sunni yang “quietist,” tunduk pada kekuasaan itu mula-mula dirumuskan.

Pertanyaannya: Apakah doktrin ini masih relevan sekarang, ketika konteks politik sudah berubah secara total? Apa yang saya maksud dengan “perubahan konteks” di sini adalah munculnya negara modern yang umumnya menganut sistem politik yang demokratis.

Dalam sistem seperti ini, oposisi dan kritik terhadap penguasa bukan hal yang “tabu”. Tidak ada “political reprisal” atau balas dendam politik yang kejam dari penguasa dalam negara modern yang demokratis terhadap para pengkritiknya seperti di zaman dulu.

 

Saya cenderung menjawab: bahwa doktrin politik Sunni ini secara umum masih relevan hingga sekarang. Dalam pandangan saya, ada beberapa dampak positif dari doktrin Sunni yang quietist itu dalam kehidupan kenegaraan modern. Salah satunya adalah hal berikut ini.

Pada umumnya, ulama Sunni cenderung lebih fleksibel secara politik dan mudah menerima negara modern dalam bentuk negara bangsa, nation state (model negara yang tak pernah dikenal di masa lampau!). Fleksibiltas ini, saya duga, ada kaitannya dengan doktrin politik Sunni yang “realis-pragmatis” itu.

Para ulama NU di Indonesia, sebagai penerus sah ideologi politik Sunni di negeri ini, sebagai contoh kasus yang kongkrit, tidak pernah berjuang untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Mereka tidak setuju dengan Kartosuwirjo yang hendak mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dulu.

Ini juga yang menjelaskan kenapa ulama dan kiai NU dengan tegas menolak ide negara khilafah yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir (HT), karena di mata para mereka, perjuangan semacam ini tak ada bedanya dengan pemberontakan Kartosuwirjo dulu. Bagi mereka, memberontak pemerintah yang sah (al-sulthan al-mutaghallib) adalah tindakan bughat yang tidak bisa disahkan dalam agama—meskipun pemberontakan itu atas nama “memperjuangkan Islam”.

Mereka paham betul betapa banyak pemberontakan dalam sejarah awal Islam dulu juga dilakukan atas nama Islam, seperti dalam kasus kaum Khawarij (kelompok pemberontak yang muncul pada masa khalifah keempat setelah wafatnya Kanjeng Nabi, Ali bin Abi Talib). Memberontak ya tetap memberontak. Titik.

Kelompok Sunni sangat mudah beradaptasi dengam sistem politik manapun, walaupun sistem itu dipandang “sekular” di mata sebagian kalangan Islam lain (biasanya kelompok yang mengikuti doktrin politik “radikal-idealis”).

 

Bagi umat Sunni, lebih baik hidup dalam sistem politik yang tidak atau kurang ideal daripada memberontak yang malah berujung pada “fitnah,” kekacauan politik yang amat berbahaya. Adaptabilitas politik kaum Sunni semacam ini, bagi saya, juga sangat membantu konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Jalan politik “radikal-idealis” seperti yang ditempuh oleh sebagian kelompok-kelompok politik dalam Islam, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, sangat tidak bisa diterima oleh mayoritas ulama Sunni. Bagi mereka, jalan radikal-idealis ini “ndak Sunni banget.” Politik semacam ini selalu menimbulkan reaksi penolakan dari ulama Sunni pada umumnya.

Ini bukan berarti bahwa ulama Sunni menerima dengan penuh “tawakkal” terhadap kekuasaan yang otoriter. Para ulama dan tokoh-tokoh Sunni tidak segan-segan melakukan kritik atas penguasa.

Hanya saja, mereka mengkritik dalam koridor doktrinal seperti yang digariskan oleh al-Ghazali dalam al-Tibr al-Masbuk: yaitu memberikan nasehat, kritik (bisa dalam bentuk kritik keras!) kepada penguasa. Inilah jalan yang oleh al-Ghazali disebut sebagai siyasat al-‘ulama’ (politik para ulama/kiai) yang melanjutkan siyasat al-anbiya’ (politik para nabi).

Jalan inilah yang dulu ditempuh oleh Gus Dur di masa Orde Baru, saat dia melakukan kritik dan oposisi politik terhadap rezim Suharto saat itu. Gus Dur menjalankan “siyasat al-ulama’” ala al-Ghazali: yakni, memberi “nasehat/kritik” kepada penguasa. Tetapi ya hanya sebatas itu. Gus Dur tidak akan mau melangkah lebih jauh: melakukan “macht vorming,” menyusun kekuatan untuk melawan pemerintah. Itu jelas ndak Sunni banget!


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/masih-relevankah-doktrin-politik-sunni-pada-masa-ini/

Apakah Kita Perlu Negara?

MOJOK.CO – Jika dimungkinkan bisa hidup tanpa kekuasaan negara, manusia tentu akan memilihnya, ketimbang hidup di bawah kekuasaan negara.

 

Sejak dahulu, masalah politik selalu menimbulkan diskusi panas; tak jarang melibatkan emosi yang mendalam. Di antara seluruh bidang-bidang kehidupan manusia yang beragam, mungkin politiklah yang paling sarat dengan muatan emosi.

Penyebabnya boleh jadi karena karakter politik yang berhubungan dengan “kehendak untuk mendominasi” pihak lain; mendominasi dalam bentuknya yang sempurna: berkuasa. Dominasi ini biasanya dilembagakan dalam institusi bernama “negara.”

Setiap klaim atas kekuasaan sudah pasti akan menimbulkan resistensi dari pihak lain. Sebab manusia, secara naluriah, ingin hidup lepas dari “dominasi” orang lain. Dalam diri manusia ada dorongan-dorongan alamiah ke arah “anarkisme” dalam pengertiannya yang luas—yaitu, dorongan untuk hidup “bebas” dari dominasi/kekuasaan oleh pihak lain.

Dorongan ini dengan amat baik pernah dikatakan oleh khalifah kedua, Umar bin Khattab, dalam ungkapan yang masyhur: “Mata ista‘badtum al-nasa wa-qad waladathum ummahatuhum ahraran”—sejak kapan kalian memperbudak orang-orang, padahal mereka dilahirkan sebagai orang merdeka.

Merdeka adalah kondisi ideal yang diinginkan oleh semua orang. Andai (sekali lagi: andai!) ada keadaan “ideal” di mana dimungkinkan manusia hidup tanpa kekuasaan negara, dia tentu akan memilihnya, ketimbang hidup di bawah kekuasaan negara.

Keberadaan institusi negara secara otomatis akan berujung pada keadaan tak ideal: ada sekelompok orang yang berkuasa, dan orang-orang lain yang dikuasai. “Tunduk” pada kekuasaan orang lain adalah keadaan yang secara naluriah tidak disukai manusia.

Impian tentang hilangnya institusi negara ini bukan barang baru yang muncul setelah Karl Marx. Ini adalah utopia lama sejak zaman Yunani, dan kita jumpai dalam tradisi-tradisi komunitas lain. Masyarakar Samin di Jawa adalah salah satu contoh komunitas yang tidak “nyaman” dengan institusi negara.

 

Dalam tradisi pemikiran politik Islam klasik, suara-suara “anarkis” sudah muncul sejak abad-abad pertama Hijriyah. Ada dua nama yang bisa disebut: Hisyam al-Fuwathi (w. 833) dan Abu Bakr al-Asham (w. 892), keduanya pemikir Mu’tazilah yang “emoh” alias kurang suka pada lembaga negara, sebagaimana direkam dalam karya besar al-Mawardi (w. 1058), al-Ahkam al-Sulthaniyyah (salah satu karya paling awal mengenai teori politik Islam).

Bagaimana posisi akidah Asy‘ariyyah dalam perkara ini?

Ada semacam konsensus (ijma‘) di kalangan para teolog Sunni, baik Asy‘ariyyah atau bukan, bahwa negara harus ada. Istilah yang dipakai dalam literatur klasik Islam adalah: ‘aqdu-l-imamah, memilih seorang kepala negara. Maksudnya tentu bukan sekadar memilih kepala negara, melainkan mendirikan negara itu sendiri.

Inilah posisi mayoritas ulama Islam. Ini, saya kira, sangat alamiah. Demi kebutuhan praktis hidup sehari-hari, secara naluriah manusia tentu memilih adanya lembaga negara. Tanpa “leviathan” bernama negara, kehidupan mungkin akan kacau balau.

Apakah dengan demikian politik merupakan bagian dari “pokok doktrin” agama? Orang-orang mungkin bisa berbeda pendapat tentang isu ini. Tetapi dalam interpretasi saya: politik bukan bagian dari doktrin pokok Islam.

Dalam pandangan Sunni, institusi negara dipandang amat penting (al-Ghazali menegaskan bahwa agama dan kekuasaan negara adalah dua saudara kembar—tau’aman), dan karena itu mengangkat kepala negara adalah “wajib” secara hukum agama. Meski demikian, ulama Sunni umumnya berpandangan bahwa politik bukanlah bagian dari pokok doktrin agama (al-siyasah laisat min ashl al-din).

Dalam al-Tibr al-Masbuk, al-Ghazali menegaskan: dalam konteks kehidupan kolektif, secara garis besar manusia terbagi atas dua golongan—al-anbiya’, para nabi yang tugas pokoknya adalah menjadi penguasa atas “dunia batin” manusia, dan menjadi penunjuk jalan menuju Allah.

 

Golongan kedua adalah al-muluk, para raja-raja yang tugasnya adalah menjadi penguasa atas “tubuh luar” manusia, dan mencegah supaya mereka tidak saling melukai dan menyerang yang lain.

Dalam Ihya’, al-Ghazali membagi politik kepada dua jenis: siyasat al-anbiya’, yaitu politik para nabi yang berwenang untuk mengurus manusia baik secara lahir (fisik) atau batin (hati). Yang kedua adalah siyasatu-l-muluk wa al-salatin, politik para raja dan sultan yang hanya berwenang mengurus dunia lahiriah manusia, yakni aspek tubuh mereka.

Dengan pemahaman semacam ini, para ulama Sunni dengan amat sadar mengakui adanya dua “ruang politik” yang harus dibedakan, meskipun tidak bisa dipisahkan.

Pertama adalah ruang lahiriah (public sphere) yang berkenaan dengan kemaslahatan umum. Inilah ruang di mana institusi negara beroperasi.

Kedua, ruang batiniah (private sphere) yang menyangkut hati dan jiwa manusia, dan di sinilah para nabi dan ulama berperan besar. “Natuur” atau watak politik para nabi lebih berhubungan dengan dunia batin manusia. Politik duniawi yang terealisasi dalam lembaga negara adalah hal yang sifatnya sekunder dalam siyasat al-anbiya’. Politik duniawi adalah wilayahnya para raja dan sultan!

Inilah yang menjelaskan kenapa mayoritas para ulama di Indonesia, dan juga di dunia Islam yang lain, tidak setuju terhadap ide mendirikan negara Islam secara formal.

Basis pemikiran teologisnya adalah seperti saya jelaskan tadi: yaitu karakter politik para nabi yang lebih berhubungan sengan “siyasat al-arwah” (politik yang mengurus jiwa dan rohani manusia), bukan siyasat al-abdan (politik yang mengurus badan manusia) yang lebih merupakan wilayah para raja.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/apakah-kita-perlu-negara/

Cara Pandang Keagamaan yang “Unitive”

MOJOK.CO – Percekcokan mengenai “mana jalan yang paling benar,” menurut saya, bisa sedikit diminimalisir dengan kesadaran unitive.

 

Uraian saya dalam serial tulisan lalu tentang sifat-sifat Tuhan memang sengaja menggabungkan antara dua hal sekaligus: teologi (cara pandang terhadap Tuhan) dan tasawwuf. Saya sengaja mengawinkan dua aspek ini karena, dalam evaluasi saya (dan saya bisa keliru!), akidah Asy‘ariyyah memiliki fokus yang agak berlebihan pada aspek tanzih (menjauhkan Tuhan dari segala kemungkinan kemiripan dengan manusia).

Padahal, sebagaimana saya jelaskan dalam beberapa seri tulisan yang lalu, “kemiripan” antara Tuhan dan manusia itu tak terhindarkan, karena dalam diri manusia ada unsur-unsur ilahiah yang sangat kuat. Manusia, karena itu, juga digambarkan sebagai “imago Dei,” semacam “titisan” (kalau mau memakai bahasa yang netral: khalifah!) Tuhan di bumi.

Tentu saja, Tuhan adalah Maha Agung yang memiliki sifat mukhalafat li-l-hawadits—berbeda secara total dari makhluk-Nya. Ini tidak kita tolak sama sekali. Tetapi terlalu menekankan aspek tanzih, menyebabkan Tuhan menjadi “jauh” dari manusia, karena kemiripan ditolak sama sekali.

Aspek “perbedaan dengan makhluk” ini sebaiknya agak sedikit dikurangi. Visi Ibn ‘Arabi yang menyodorkan pemahaman yang seimbang antara “tanzih” dan “tasybih” layak dijadikan sebagai basis pemahaman ketauhidan yang baru.

Tasawwuf, menurut saya, bisa menyempurnakan “kelemahan” dalam teologi ini dengan menghadirkan Tuhan sebagai “Tuhan yang sangat dekat” dengan manusia. Dalam tasawwuf, ditanamkan suatu kesadaran rohaniah yang amat kuat tentang dunia sebagai arena tempat seluruh tindakan Tuhan tergelar (the unfolding of divine attributes).

Dunia adalah arena di mana Tuhan menyingkapkan diri kepada manusia—apa yang oleh para sufi disebut sebagai proses tajalli.

Dengan mengawinkan antara teologi dan tasawwuf ini, seorang beriman akan memiliki kesadaran “unitive” (bersifat tunggal—kesadaran bahwa segala hal di alam raya ini merupakan wujud yang satu, walaupun bentuk dan manifestasinya beragam.

 

Dengan kesadaran seperti ini, misalnya, kita akan memandang seluruh perkembangan pengetahuan dan sains sekarang sebagai bagian dari “tajalli”-nya Tuhan. Kita tak memilah-milah secara diskriminatif antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu “umum.” Keduanya adalah ilmu yang sama-sama bersumber dari Tuhan yang memiliki sifat “mengetahui” (al-‘ilmkawnuhu ‘aliman).

Dengan mengawinkan teologi dan tasawwuf kita juga akan melihat semua agama sebagai medium melalui mana Tuhan menyingkapkan kebenaran-Nya kepada manusia. Jalan menuju kepada Tuhan tidaklah satu, melainkan beragam dan banyak.

Percekcokan dalam sejarah karena perbedaan yang tajam mengenai “mana jalan yang paling benar,” menurut saya, bisa sedikit diminimalisir dengan kesadaran semacam ini. Dalam kerangka hidup berbangsa dan bernegara di dalam wadah politik bernama “Indonesia,” kesadaran itu jelas sangat penting; ia akan memperkuat ikatan persaudaraan kemanusiaan dan kebangsaan tanpa melihat perbedaan agama.

Di tengah-tengah meruyaknya politik identitas akhir-akhir ini, di mana perbedaan identitas (terutama identitas agama) rentan dimobilisir, sehingga potensial menimbulkan permusuhan antar-kelompok identitas yang beda, jelas kesadaran unitive itu penting untuk dihayati oleh seorang Muslim, dan pemeluk agama manapun.

Dalam gambar besar kehidupan (the grand scheme of things), kemunculan konflik memang merupakan bagian dari iradah Tuhan. Dan apapun yang keluar dari iradah-Nya, pastilah baik dan adil, sesuai dengan ajaran keadilan Tuhan dalam akidah Asy‘ariyyah.

Tetapi ini adalah pemahaman pada level wujudiyah atau ontologi. Kehidupan sebagai arena besar memang tak mungkin berlangsung tanpa ada unsur-unsur yang berbeda di dalamnya, tanpa adanya konflik yang kadang muncul di antara unsur-unsur yang berbeda.

 

Tetapi pada level moral-etis (bukan ontologi), kita diharapkan oleh agama untuk membangun kehidupan yang damai, saling menghargai, dengan dilandasi persaudaraan yang bertingkat-tingkat, mulai dari persaudaraan pada lingkar terdekat (sesama Muslim), hingga persaudaraan pada lingkar yang terjauh, yaitu persaudaraan kemanusiaan. Islam sendiri sacara asal-usul kata berasal dari al-silm yang berarti perdamaian.

Kesadaran “unitive” bisa mendorong seorang Muslim untuk melihat semua manusia sebagai sesama makhluk yang merupakan “tajalli” atau manifestasi Tuhan. Semua manusia terikat dalam “the fellowship of truth seeking”,persahabatan sebagai sesama pencari kebenaran.

Dengan kesadaran seperti ini, seorang Muslim yang bersungguh-sungguh dengan imannya akan bersedia membuka diri terhadap kebenaran-kebenaran yang datang dari pihak lain yang berbeda. Dalam diri orang lain yang berbeda dengan saya, saya melihat tajalli Tuhan di sana. Kehadiran orang lain itu adalah cara Tuhan untuk mendewasakan diri saya sebagai manusia.

Sudah saatnya umat Islam membangun pandangan ketauhidan dan kesadaran spiritual yang melihat agama bukan sebagai “tembok” yang memisahkan. Umat Islam sudah semestinya menjadi partisipan yang aktif dalam mendorong peradaban manusia menuju kepada peradaban persaudaraan yang melintasi segala sekat.

Agama dan doktrin-doktrin teologis harus “di-rekalibrasi”, distel ulang sehingga tidak lagi menjadi pemecah, melainkan sebagai landasan bagi lahirnya kesadaran yang “unitive” yang menyatukan!


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/cara-pandang-keagamaan-yang-unitive/

Husnuzan pada Tuhan

MOJOK.CO – Kita kadang harus “percaya total” bahwa apa yang terjadi dan kita hadapi adalah untuk sebuah “tujuan besar” yang baik. Husnuzan terhadap itu.

 

Demi kepraktisan kehidupan sehari-hari, kita kerap-kali dipaksa untuk melakukan “penundaan” atas skeptisisme, keragu-raguan, dan kecurigaan pada semua hal. Kehidupan seringkali hanya bisa dijalani secara normal jika kita menerima semacam “realisme pragmatis”: yaitu, menerima apa yang ada agar kehidupan bisa berjalan dengan relatif mulus.

Segala bentuk pertanyaan, untuk sementara, ditaruh di antara dua tanda kutip; ditunda dahulu. Sebab, jika tidak, ritme kehidupan akan terganggu, dan, secara psikologis, kita tak nyaman.

Contoh sederhana adalah sebagai berikut: saat naik pesawat, kita biasanya menaruh “kepercayaan total” kepada sang pilot: bahwa ia akan benar-benar membawa kita ke tujuan.

Inilah yang saya sebut sebagai realisme-pragmatis. Kita bisa saja mengambil sikap skeptis. Kita bisa meragukan bahwa pilot akan benar-benar membawa pesawat ke tujuan yang kita kehendaki. Kita lalu “rempong” menginterogasi pilot untuk memastikan apakah dia benar-benar akan menerbangkan pesawat ke tujuan kita. Jika benar-benar melakukan ini, kemungkinan besar kita akan diamankan oleh petugas!

Betapa tidak praktisnya kehidupan jika setiap hendak melakukan sesuatu, seseorang bersikap curiga dahulu. Ada situasi-situasi yang memang mengharuskan kita untuk mencurigai, bertanya-tanya, skeptis. Tetapi sikap ini tidak bisa kita pakai dalam semua keadaan; hanya bisa kita lakukan dalam keadaan khusus. Agar kehidupan berjalan dengan normal, dia harus “percaya total” bahwa orang lain akan melakukan sesuatu sesuai dengan yang ia harapkan.

 

Harapan ini bisa saja meleset. Pesawat yang kita tumpangi bisa saja membelot, tidak meluncur ke tujuan yang kita kehendaki. Tak ada jaminan bahwa “realisme pragmatis” yang kita pakai itu menjamin kesuksesan, dan sesuatu akan berjalan sesuai dengan harapan kita. Tetapi ini hanya terjadi dalam situasi yang spesial, ketika disrupsi atau gangguan atas kenormalan hidup berlangsung.

Apa kaitan ini semua dengan pembahasan mengenai sifat iradah Tuhan?

Dalam skala kehidupan yang lebih besar, sikap “realisme-pragmatis” ini juga amat relevan. Agar tak risau, kita kadang harus “percaya total” bahwa apa yang terjadi dan kita hadapi adalah untuk sebuah “tujuan besar” yang baik. Segala yang terjadi adalah manifesti iradah Tuhan. Sikap husnuzan ini membantu kita untuk “letting go of things,” melepaskan diri dari ikatan yang berlebihan kepada sesuatu.

Ini bukan berarti kita tak boleh mempertanyakan, bahkan memprotes: kenapa hal-hal tertentu terjadi. Dalam situasi-situasi yang bersifat “liminal,”ß artinya sudah mencapai batas terjauh yang tidak mungkin lagi dipikul bebannya oleh manusia, seseorang akan sangat wajar untuk bertanya, mungkin dengan nada protes: Kenapa Tuhan berbuat demikian?

Inilah momen yang disebut “the dark night of soul”—malam kelam bagi jiwa seseorang. Momen-momen semacam ini biasanya terjadi ketika seseorang berhadapan dengan “momen liminal” yang menguji batas kesabaran. Inilah “momen Ayub,” merujuk kepada kisah Ayub yang menerima cobaan begitu berat.

Ketika terjadi bencana besar yang menimbulkan kesengsaraan massal, pertanyaan ini biasanya menyeruak ke permukaan. Pada momen seperti ini manusia bisa saja merasa bahwa ia seperti “ditinggalkan” oleh Tuhan.

 

Ujian seorang beriman terjadi pada momen-momen seperti ini. Inilah keadaan yang dialami oleh ribuan, bahkan jutaan pengungsi di berbagai belahan dunia yang harus menderita selama bertahun-tahun, menghadapi masa depan yang sama sekali muram; keadaan yang dialami oleh, misalnya, para pengungsi Rohingya, Syria, atau warga Palestina.

Pada momen seperti ini, manusia bisa menempuh dua kemungkinan: ia menyangkal keberadaan Tuhan sama sekali, sebab, jika Tuhan benar-benar ada, tentulah Ia akan segera menolong; atau ia menaruh husnuzan dan kepercayaan total pada “kebaikan iradah” Tuhan. Sebab segala yang terjadi, terjadi karena memenuhi “rencana besar” yang hanya diketahui oleh-Nya.

Pada sikap yang kedua itu, kita menghentikan segala pertanyaan, menerima kenyataan sebagai manifestasi dari iradah besar Tuhan yang kita percaya secara total akan berujung kepada sesuatu yang baik.

Setelah mengambil sikap ini, seseorang bisa “move on”, bergerak ke etape hidup berikutnya dengan perasaan yang mungkin sedikit lebih legawa. Di sini, ia menjalani sikap seorang penumpang pesawat yang menaruh husnuzan penuh pada sang pilot yang akan membawanya ke tujuan akhir.

Inilah sikap orang beriman—orang yang menaruh “total confidence” kepada arus peristiwa, karena ia melihat iradah Tuhan sedang menjelma di sana.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/husnuzan-pada-tuhan/

Rumah KitaB Luncurkan Buku Fikih Perwalian, Bahas Qiwamah

Jakarta, Gatra.com – Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) meluncurkan buku bertajuk “Fikih Perwalian” yang didukung oleh Oslo Coalition. Buku ini merupakan hasil dari kajian teks selama 10 bulan dengan 8 kali putaran diskusi mengenai wilayah (Perwalian) dan qiwamah (Perlindungan perempuan dan anak).

“Saya sangat senang berada disini, dan saya juga ingin menyampaikan bahwa isu ini sangat menarik untuk dikaji. Kajian yang dilakukan berdasarkan realita sosial, dan berkesinambungan dengan kondisi di Indonesia,” jelas Dr. Lena Larsen sebagai perwakilan dari Oslo Coalition saat Launching dan Diskusi Buku “Fikih Perwalian” di Aula The Wahid Institute, Jakarta, Selasa (25/6).

Buku ini berusaha mendudukkan pemahaman umat muslim terhadap tujuan kemaslahatan syariat terkait masalah hak ijbar orangtua (ayah) atau wali mujbir dalam perkawinan, serta meluruskan pemahaman-pemahaman subyektif bias gender yang tidak mempertimbangkan kepentingan masa depan anak-anak perempuan.

Nursyahbani Katjasungkana dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik serta Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, Muhammad Noor juga hadir dalam peluncuran buku. Menurut Nursyahban, buku Fikih Perwalian membahas juga Undang-Undang Perkawinan serta implementasinya di Indonesia.

“Perwalian dalam hukum Islam, sangat berbeda dengan konsep perwalian yang ada di dalam kitab UU Hukum Perdata dan juga UU Perkawinan. UU perkawinan itu sendiri tidak mengacu pada hukum internasional,” jelasnya dalam

Menurut Muhammad Noor, buku ini mampu memberikan gambaran metodologis mengenai penafsiran yang dilakukan. Kajian dalam buku bisa digunakan untuk argumentasi dalam membuat pertimbangan putusan.

“Saya harap kedepannya kajian atau penafsiran yang dilakukan dapat lebih mencakup pada tataran sistematis, meskipun penafsiran yang dilakukan saat ini masih di tingkat gramatikal, namun isi dari buku ini sangat membantu dalam membuat pertimbangan putusan,” ujar dia.


Reporter: Anjasmara Rianto
Editor: Wem Fernandez
Sumber: https://www.gatra.com/detail/news/424145/millennials/rumah-kitab-luncurkan-buku-fikih-perwalian-bahas-qiwamah

Menjadi Muslim yang Kullîy dan Juz’îy

Oleh Ulil Abshar Abdalla

 

TUBUH manusia itu bersifat “juzîy”, partikular. Sebagai tubuh, manusia hanya bisa berada di sebuah tempat yang terbatas, misalnya, di Jakarta. Sebagai tubuh, manusia tidak bisa berada di beberapa tempat secara bersamaan. Itulah makna bahwa manusia adalah makhluk “juzîy” dari segi tubuh dan jasadnya.

Tetapi sebagai ruh dan spirit, manusia adalah makhluk “kullîy”, universal. Melalui pikirannya, manusia bisa menjangkau hal-hal yang paling jauh, bahkan bisa membayangkan hal-hal yang “madûm”, hal-hal yang tak atau belum ada. Bayangan ini punya akibat yang ajaib. Melalui bayangan dan fantasinya, manusia bisa mengubah hal-hal yang “madûm”, tak ada, menjadi “mawjûd”, ada. Inovasi-inovasi besar dalam sejarah manusia berlangsung melalui mekanisme ini.

Dengan kata lain, manusia adalah makhluk juzîy dan kullîy sekaligus, makhluk yang terbatas, tetapi juga sekaligus tidak terbatas. Kebahagiaan manusia akan terbit jika ia menyadari natur atau wataknya yang ganda seperti itu.

Saya ingin terapkan wawasan ini dalam contoh yang kongkrit. Kemusliman kita (ini bisa berlaku untuk agama-agama lain juga!) akan membawa rahmat jika kita bisa menjadi Muslim yang juzîy dan kullîy sekaligus.

Apa maknanya ini? Menjadi Muslim yang “kullîy” artinya adalah mengikuti ajaran-ajaran Islam yang berlaku universal, yang dipraktekkan di mana-mana secara seragam: dari yang sifatnya ‘ubûdîyyah, ritual, seperti salat, hingga yang doktrinal seperti ajaran tauhid, atau yang bersifat normatif, seperti nilai-nilai keadilan, kedamaian, persaudaraan, kesetaraan, dll.

Tetapi menjadi Muslim yang kulli tok tidak cukup. Kita juga harus menjadi Muslim yang “juz’îy”, yakni menjadi Muslim yang kongkrit dan riil, berjejak di bumi atau tempat yang “juz’îy”, di ruang yang jelas.

Menjadi Muslim yang “juz’îy” maknanya ialah melaksanakan Islam dalam konteks kebudayaan lokal yang menghidupi kita. Islam yang kullîy harus diberikan tubuh dan jasad yang jelas, yaitu kebudayaan dan adat-istiadat setempat.

Islam yang dilaksanakan dengan wasasan seperti ini, Insyaallah, akan membawa rahmat. Yaitu Islam yang juz’îy dan kullîy sekaligus. Jika seorang Muslim hanya menekankan aspek-aspek kullîy saja, mengabaikan yang juz’îy, maka akan timbul masalah besar. Sebab, akhirnya Islam dibenturkan dengan kebudayaan-kebudayaan lokal.

Tetapi menjadi Muslim yang juzîy saja juga tidak memadai. Sebab, jika kita hanya menekankan aspek-apsek keislaman yang juzîy saja, kita akan kehilangan perspektif tentang universalitas Islam.

Karena manusia adalah makhluk juz’îy dan kullîy sekaligus, maka cara menerjemahkan Islam (atau agama apapun) juga tak bisa mengabaikan aspek kegandaan dalam diri manusia ini.[Roland]