Tak Ada Tanah dan Air untuk Perempuan

Oleh : Tia Istianah

 

“Fivi” adalah tetangga saya satu kos di Bekasi. Perempuan ramah yang selalu mengenakan rok panjang bermodel span dan kerudung yang menutupi dadanya—semuanya berwarna gelap.

Ia sering bercerita tentang kampungnya di lereng gunung, sekitar tiga jam perjalanan dari pusat kota Pacitan, Jawa Timur. Sebagian besar orang di kampungnya bertani, berkebun, dan beternak. Para laki-laki biasanya mengurus ternak dan kebun sementara para perempuan menanam dan menjual sayur. Namun, lima tahun belakangan, kampungnya mulai kesulitan air.

Ketika musim penghujan, listrik di kampung Fivi sering sekali mati, sehingga mereka tidak bisa menggunakan mesin air, padahal sumber mata air di desa sudah surut. Satu-satunya cara untuk mendapatkan air adalah dengan mesin pompa yang mengambil air dari sumur. Akhirnya, musim kemarau atau penghujan, desa Fivi tetap kekurangan air.

Hal ini membuat perempuan-perempuan yang biasanya menanam dan menjual sayur kesulitan melakukan pekerjaan mereka. Ditambah lagi, ketika sayur itu dijual di pasar desa, ternyata banyak sayur sudah lebih dulu datang dari kota.

Para ibu kemudian berhenti menanam sayur. Pekerjaan penting perempuan di desa Fivi pun hilang. Mereka terpaksa mencari pekerjaan di luar desa: Menjadi buruh pabrik atau asisten rumah tangga. Dari pekerjaan-pekerjaan itu mereka setidaknya bisa membawa pulang Rp1 juta-Rp2 juta per bulan. Jika tetap di rumah, mereka tak punya uang sama sekali.

Ketika para perempuan ini pergi bekerja di kota, suami-suami tetap tinggal di kampung karena harus mengurus kebun dan ternak. Pergeseran pekerjaan ini ternyata memicu perselingkuhan. Kehidupan keluarga akhirnya terpengaruh perubahan ekologis di kampung. Air semakin menyusut, sementara perselingkuhan semakin marak.

Fivi sendiri cukup beruntung karena ayahnya seorang guru dan ibunya bidan. Ia bisa berkuliah di kota, tempat ia menemukan cara pandang keagamaan yang baru, yang ia sebut “salafi.” Fivi bertemu banyak teman, dan ia aktif mendengarkan pengajian-pengajian  ustaz Salafi melalui kanal Youtube.

Fivi mengaku senang tidak lagi berada di lingkungan kampung, yang menurutnya banyak terdapat perilaku syirik (menduakan Tuhan). Mayoritas warga di kampungnya menjalankan praktik Kejawen, dan kerap menyuguhkan sesajen sehabis membangun rumah atau menggali sumur. Hampir tidak ada perempuan yang terus menerus memakai kerudung.

Saat ini, Fivi mengatakan ia ingin mengundurkan diri dari pekerjaan karena menurut ustaz di YouTube, karier terbaik perempuan adalah menjadi Ibu rumah tangga. Kata-kata ustaz tersebut menjadi pedoman Fivi sampai saat ini, dan ia sudah belajar kiat-kiat berbisnis.

Hilangnya Pekerjaan Perempuan Mengurus Tanah

Cerita Fivi itu mengingatkan saya pada penelitian saya di Cikarang, Jawa Barat, pada Februari dan Maret 2020. Sungai-sungai di daerah ini berbau menyengat—aroma comberan bercampur bahan kimia—dan warna airnya hitam kental. Menurut seorang warga, sungai-sungai itu menjadi tempat pembuangan limbah pabrik, meski ada peraturan yang melarang hal itu.

Di Pacitan, krisis air menghapus pekerjaan penting perempuan dan mendorong konflik rumah tangga. Di Cikarang, hilangnya tanah menyuburkan ajaran agama yang berbahaya bagi kemerdekaan perempuan.

Akibatnya, air sumur di daerah ini bau dan tidak sehat. Seorang pemilik kontrakan mengatakan ia sudah berhenti meminum air dari tanah Cikarang. Seorang ibu mengatakan ia memilih menjual tanahnya di Cikarang karena tanahnya menjadi tandus, akibat banyaknya bahan kimia dari pabrik yang masuk ke tanah. Karena tak ada lagi tanah garapan, perempuan itu kemudian menjadi buruh pabrik untuk membiayai kuliah anaknya.

Di Cikarang, sejak 1990-an, pertambahan penduduk memang berlangsung drastis karena ekspansi wilayah industri ke Bekasi. Ini terjadi setelah penerbitan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jabotabek. Pabrik bertambah setiap tahun.

Pada 2019, jumlah pabrik milik perusahaan-perusahaan besar mencapai sekitar 4.000, bertebaran di tujuh kawasan industri. Padahal sebelumnya, hamparan sawah memenuhi sepanjang jalan di Cikarang. Kini itu semua berubah menjadi bangunan-bangunan beton yang memproduksi berbagai jenis barang. Cikarang saat ini menjadi pusat kota industri terbesar di ASEAN.

Fenomena di Cikarang maupun Pacitan sama-sama menunjukkan hilangnya pekerjaan mengurus tanah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 menunjukkan hal ini terjadi di seluruh negeri, bagaimana lapangan kerja pertanian terus mengalami penurunan, yaitu sebesar 1,41 persen. Selain karena tanah garapan yang berkurang, ekonomi seorang petani di Indonesia juga semakin tidak menentu.

Data BPS lagi-lagi menyebutkan bahwa rata-rata pendapatan bersih pekerja bebas di bidang pertanian pada Februari 2020 adalah Rp1,07 juta saja, sedangkan gaji buruh/karyawan/pegawai mencapai Rp2,92 juta. Wajar jika kasus seperti sang ibu di Cikarang bertambah. Mereka menjual tanah dan menjadi buruh. Tidak ada lagi yang bisa mereka harapkan dari tanah.

Hilangnya Tanah Hapuskan Tradisi Keagamaan

Pacitan dan Cikarang mungkin berjarak ratusan kilometer, namun keduanya mengalami perubahan serupa. Kegagalan pengelolaan agraria membawa deretan masalah baru bagi manusia. Di Cikarang, sebagaimana hasil penelitian lembaga Rumah KitaB pada Januari-Maret 2020, hilangnya sawah juga menghapus tradisi yang dijalankan turun temurun, termasuk tradisi keagamaan.

Orang-orang dari berbagai penjuru daerah yang bekerja di Cikarang membutuhkan alternatif cara beragama yang baru. Mereka bukan lagi orang desa dengan waktu bekerja yang bisa mereka atur sendiri. Waktu bekerja mereka diatur oleh pabrik. Tidak ada lagi waktu untuk mendengarkan ceramah yang bertele-tele, sementara kebutuhan mereka akan spiritualitas tetap tinggi. Pengajian yang tersedia kemudian lebih banyak berupa pengajian kelompok Salafi yang marak di pabrik-pabrik dan sekitarnya.

Selama tinggal di Cikarang, saya jarang sekali menemukan pengajian Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah yang terbuka untuk umum dan dilaksanakan di akhir pekan. Padahal ketika saya mendatangi tokoh kiai, ia menyatakan bahwa Cikarang adalah basis NU. Sementara pengajian Salafi pada akhir pekan begitu berlimpah, terbuka untuk umum, mudah dijangkau, dan tersedia di berbagai platform media sosial.

Di pengajian-pengajian itu, saya menemui banyak sekali buruh yang berasal dari desa. Mereka awalnya juga secara kultural mengikuti praktik-praktik keagamaan khas NU. Pengajian yang mereka hadiri ketika tinggal di Cikarang mengubah mereka. Kerudung mereka semakin lebar dan panjang. Mereka semakin ingin cepat menikah. Bahkan ada yang mengkafirkan keluarga sendiri di kampung halaman karena masih suka mempersembahkan sesajen. Tidak jarang, mereka berdebat dengan orang tua yang masih sering melaksanakan praktik keagamaan yang mereka anggap menyimpang.

Narasi Keagamaan yang Menyudutkan Perempuan

Dampak kepada perempuan tentu lebih berbahaya. Seorang subyek penelitian yang saya temui harus mau berhubungan seks dengan suaminya meskipun belum yakin sudah selesai menstruasi. Narasi agama yang ia terima mengajarkan, “Jika perempuan menolak bersetubuh dengan suami ia akan dilaknat sampai pagi oleh malaikat”.

Dalam pengajian-pengajian yang saya ikuti itu banyak narasi yang menyudutkan perempuan. Misalnya, narasi bahwa sunat perempuan itu sunah Nabi, perempuan adalah sumber fitnah, perempuan banyak yang masuk neraka, perempuan boleh dipoligami, atau perempuan harus senantiasa taat pada suami. Mayoritas penceramahnya tentu saja laki-laki, hanya sekali dalam tiga bulan saya di lapangan saya berjumpa penceramah perempuan.

Narasi-narasi itu tentu berpengaruh pada kehidupan jamaah. Beberapa perempuan yang saya temui di pengajian memilih untuk tidak lagi bekerja menjadi buruh karena takut ikhtilat atau bercampur dengan lawan jenis. Seorang teman perempuan saya yang bercadar mengatakan bahwa dia tidak pernah menggunakan ojek online, juga karena takut bercampur dengan lawan jenis. Ia memilih menggunakan angkutan umum seperti angkot, meskipun harus menunggu lama. Padahal, di Cikarang, menunggu angkot yang menuju kawasan pabrik bukan pekerjaan mudah.

Fenomena-fenomena itu menggambarkan pola yang jelas, yaitu semakin hilangnya air dan tanah menghasilkan permasalahan-permasalahan manusia yang kompleks. Di Pacitan, hilangnya air mengakibatkan hilangnya pekerjaan penting perempuan dan tingginya angka perselingkuhan. Di Cikarang, hilangnya tanah menyuburkan ajaran agama yang berbahaya bagi kemerdekaan perempuan.

Tulisan ini diolah dari catatan  penelitian yang dilakukan oleh Rumah KitaB pada tahun 2020. Penulis mendapatkan pelatihan penulisan kreatif dari Rumah KitaB atas dukungan We Lead.

Sumber: https://magdalene.co/story/pencemaran-lingkungan-hidup-perempuan-pandangan-agama

rumah kitab

Merebut Tafsir: De-syariatisasi Jilbab?

Jilbab dalam konteks Islam di Indonesia merupakan fenomena sosial dan keagamaan baru. Mulai berkembang sebagai identitas politik di masa revolusi Iran di paruh tahun 70-an, jilbab kemudian mendapatkan pengentalan teologisnya bersama munculnya teks-teks keagamaan yang melegitimasi keharusan berjilbab. Belakangan bersama munculnya politik identitas Islam, jilbab dengan penanda-penanda sejenis diatur sebagai ketentuan syariat.

 

Ratusan tahun dalam berkembang Islam di Indonesia, penutup kepala yang dikenakan kaum perempuan, atau disebut kerudung, atau kudung (Jawa) atau tiung (Sunda) atau tengkuluk (Minang)  dianggap sebagai identitas Nusantara. Ibu Negara Fatmawati mengenakannya sebagai identitas kebangsaan Indonesia yang baru merdeka. Kerudung dikenakan Ibu Fat bersama kebaya dan kain batik dalam upacara atau acara resmi kenegaraan. Di era Orde Baru (paruh pertama), ketika Negara melakukan penjarakan terhadap Islam politik, kebaya dikenakan tanpa kerudung ala Ibu Fat. Bahkan kebaya menjadi citra kaum perempuan dalam politik identitas Orde Baru dengan makna sebagai istri pendamping suami. Selama bertahun-tahun, identitas perempuan Indonesia mengacu kepada dominasi budaya priyayi Jawa yang menggunakan kebaya tanpa kerudung kecuali pada keluarga santri. Bahkan ketika itu, perempuan muda dengan latar belakang NU dan Muhammadiyah tak selalu menggunakan kerudung kecuali bagi yang beranjak sepuh.

 

Lambat laun bentuk kerudung berubah menjadi jilbab yang lebih tertutup. Pengaruh revolusi Iran sangat tegas membekas di sana. Di Barat, jilbab tak hanya dimaknai sebagai identitas baru warga muslim minoritas tetapi juga simbol ketaatan kepada Islam. Dalam perkembangannya jilbab menjadi fenomena dunia sebagai identitas kultural sekaligus teologis. Bersama munculnya kajian-kajian baru tentang jilbab muncul pula pengentalan teologis yang menganggap jilbab sebagai hal yang diwajibkan mengikuti ketentuan syariat.

 

Di Indonesia, terinspirasi oleh revolusi Iran, gerakan Salafisme di Timur Tengah, serta gairah keagamaan di Barat plus bisnis garmen dan fashion, jilbab mewujud menjadi fenomena yang rumit: tidak hitam putih, tidak tunggal dan tidak bebas nilai. Namun muncul juga kecenderungan kearah ortodoksi yang ditekankan sebagai aturan keagamaan yang mengikat. Bersama munculnya otonomi daerah, jilbab di beberapa daerah diatur sebagai reguasi daripada sebagai identitas kultural atau pilihan keyakinan.

 

Hal ini menjadi semakin jelas ketika Aceh menerapkan syariat Islam. Jilbab kemudian menjadi salah satu ketentuan yang menjadi regulasi. Namun sebetulnya begitu menjadi regulasi atau qanun, maka jilbab telah melepaskan “keswadayaan iman” nya menjadi aturan yang memaksa. Dari sisi tata aturan hukum, maka saat itu pula jilbab tunduk pada aturan yang bersifat duniawi sebagaimana layaknya aturan Undang-Undang.

 

Ketika saya mengikuti kegiatan penguatan perempuan calon anggota parlemen tingkat daerah, saya tak heran bertemu perempuan non-Muslim dari wilayah perbatasan Aceh Singkil yang dengan sengaja menggunakan jilbab. Mereka mengaku merasa nyaman karena dengan memakai jilbab tak merasa dianggap sebagai orang lain dalam pertemuan-pertemuan yang berlangsung di wilayah Aceh.

 

Itu pula agaknya yang terjadi pada siswi non-muslim di wilayah lain yang menggunakan jilbab sebagai seragam sekolahnya. “Syariatisasi” jilbab secara otomatis gugur ketika jilbab ditetapkan sebagai aturan yang mengikat dalam bentuk regulasi. Hal ini pula yang berlaku pada siswi SMK Negeri 2 Padang sebagaimana pengakuan mereka yang mengenakan jilbab di sekolah. Mereka mengenakannya karena merasa menjadi bagian dari aturan, serta tak nyaman menjadi warga belajar yang berbeda. Siapapun tahu, menjadi berbeda itu tidak nyaman manakala perbedaan itu bukan hal yang dianggap anugerah melainkan rasa gerah.

 

Perkara jilbab dalam hubungannya dengan ruang publik seperti di lembaga pendidikan sudah berlangsung sejak era Ode Baru. Di bawah politik penyeragaman, sejumlah siswi SMA yang memilih memakai jilbab dipersoalkan secara serius di awal tahun 80-an. Semula – berbeda dengan stuasi sekarang, para siswi berjilbab itu didiskriminasi. Mereka didesak mencopot jilbabnya atau mundur dan pindah sekolah. Menyadari hak-hak mereka telah dilanggar sejumlah pegiat HAM membelanya dengan argumen kebebasan berkeyakinan sebagai hal yang prinsip dalam hak asasi manusia. Belakangan suasananya berbalik, siswi yang tak berjilbab, meskipun Muslim, telah dikondisikan – untuk tidak dikatakan diintimidasi, untuk memakai jilbab, tak terkecuali siswi non-Muslim.

 

Sebetulnya tata aturan pemakaian jilbab ini tak selalu jelas regulasinya. Bahkan terkadang sama sekali tidak ada aturan resmi. Paling jauh, ada aturan berupa SK dari Pimpinan Daerah setingkat Bupati atau Walikota. SK itu biasanya meminta siswi menggunakan jilbab sebagai bagian dari disiplin, meskipun pendisiplinan itu tak (selalu) berlaku untuk siswi non-muslim. Namun seperti telah dikemukakan, tanpa SK sekalipun, penggunaan jilbab niscaya akan dipilih oleh seorang siswi non- muslim jika jilbab digunakan sebagai penanda perbedaan atau bahkan dianggap bentuk pembangkangan bagi siswi yang kebetulan beragama Islam. Padahal, menjadi beda dalam situasi yang gampang membeda-bedakan itu sungguh tak nyaman. Karenanya sama sekali tak heran jika sejumlah siswi di sekolah negeri, seperti di SMK Negeri 2 Padang itu, bahkan yang muslim sekalipun mengaku dengan “sukarela” memakai jilbab.

 

Lalu bagaimana sebaiknya menyikapi hal ini? Di sini sebetulnya ada pilihan. Bila jilbab dianggap sebagai pilihan keimanan, maka jilbab tak seharusnya menjadi hal yang diwajibkan melainkan sebagai kesadaran pribadi. Namun sebaliknya jika kehendak mewajibkan jilbab diatur sebagai keputusan suatu lembaga seperti sekolah, maka status jilbab tak akan beda dengan seragam. Jilbab dengan sendirinya tak dikaitkan dengan aturan agama melainkan sebagai aturan tata tertib sekolah. Ini tak  ubahnya dengan siswa perawat yang pakai topi perawat, atau siswa perhotelan jurusan tata boga yang memakai topi pramusaji.

 

Dengan kata lain, jika jilbab ditetapkan sebagai kewajiban di sekolah maka pakaian penutup kepala itu harus mengalami desyariatisasi. Dengan demikian jilbab bukan lagi dianggap sebagai kewajiban agama (syar’i) melainkan kewajiban yang berlaku umum bagi semua siswi terlepas dari suku, ras, agama dan keyakinannya. Bahwa bagi siswi Muslim sendiri menganggap jilbab sebagai ketentuan agama , itu menjadi urusan personalnya. Kewajiban sekolah adalah mengatur seragam. Dan tatkala jilbab menjadi bagian dari seragam maka jilbab harus dijadikan aturan yang mengikat dan secara postitif atau memaksa. Ini sama halnya dengan para pejabat negara yang wajib memakai peci hitam di saat pelantikan atau upacara. Bahwa bagi pejabat yang muslim peci dianggap pakaian keagamaannya, nggih monggo, silahkan saja.

 

Sekolah, terutama sekolah umum seharusnya hanya memberlakukan aturan yang berlaku sama bagi semua siswa; memakai seragam upacara di hari upacara/ hari Senin, pakai baju olah raga di jadwal olah raga, pakai seragam Pramuka di hari wajib memakai baju Pramuka dan seterusnya. Tatkala diberlakukan desyariatisasi jilbab, maka jilbab tak lagi menjadi urusan agama melainkan sebagai urusan seragam sekolah. Namun sebaliknya jika jilbab dianggap sebagai keyakian yang berangkat dari pilihan individu, maka jilbab tak seharusnya menjadi aturan yang dipaksakan. Nah, mau pilih yang mana?

 

# Lies Marcoes, 25 Januari 2021.

Perkawinan Anak Dilarang, Tapi Kok Bisa Dispensasi?

Oleh:  Rofi Indar Parawansah

Pada tahun 2019 pemerintah mengesahkan perubahan pada UU Perkawinan no 1 Tahun 1974 mengenai batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan, yang disetarakan dengan batas minimal laki-laki 19 tahun. Kebijakan ini dibuat untuk mencegah perkawinan anak. Jadi sekarang sudah setara antara usia menikah bagi laki-laki dan perempuan, keduanya boleh menikah saat sudah berusia lebih dari 19 tahun.

Putusan tersebut mengacu pada putusan MK no 22 tahun 2017. Di mana pada UU sebelumnya, batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan adalah 16 tahun. Dan laki-laki 19 tahun. Kok ya gak adil gitu. Masa laki-laki harus namatin SMA baru boleh nikah. Sehingga rentan menjadi peluang terjadinya perkawinan anak.

Sedangkan perempuan baru lulus SMP sudah boleh menikah. Ini tidak adil buat keduanya. Karena baik anak laki-laki maupun anak perempuan, keduanya punya kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan dan mengejar cita-cita.

Tentu saja, hal ini menjadi angin segar bagi kita semua. Diharapkan dengan adanya perubahan aturan yang ada mampu mencegah praktik perkawinan anak yang masih marak di masyarakat. Supaya perempuan bisa lebih berkembang, bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan mengaktualisasikan potensi diri dengan maksimal, tanpa di pusingkan supaya buru-buru menikah oleh keluarga dan lingkungan sekitar.

Tapi, benarkah pada praktiknya demikian?

Rasanya tidak, karena faktanya dikutip dari BBC.com pada periode bulan Januari hingga Juni 2020, terdapat 34.000 permohonan dispensasi perkawinan anak (di bawah 19 tahun) yang diajukan, dimana 97% dari angka tersebut dikabulkan. Artinya terjadi 32.980 pernikahan pada anak dibawah usia 19 tahun pada waktu 6 bulan tersebut.

Lalu kalau dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2019) dimana terdapat 23.700 permohonan pada periode sepanjang tahun tersebut. Tentu hal ini bukan hal yang harus kita syukuri. Tapi menjadi tantangan kembali, artinya ada hal yang masih harus kita benahi. Karena pandemi ini selain menjadi masalah sosial ternyata juga menyeret masalah seksual.

Banyak yang buru-buru menikah bukan karena hamil duluan. Melainkan karena keinginan mereka dan lingkungan yang mendukung untuk segera menikah. Rasanya, apa yang dilakukan oleh pengadilan agama dengan “memudahkan” pasangan untuk mendapat kan izin dispensasi merupakan hal yang bertolak belakang dengan peraturan pemerintahan. Walaupun, hal ini di klaim sebagai bukti kesadaran proses hukum dengan menikah secara resmi.

Memang benar, jika kita tidak punya hak bahkan wewenang untuk mengatur hidup orang lain. Apalagi menikah adalah suatu kebaikan yang bahkan dianjurkan oleh agama. Hanya saja, pernikahan juga bukan ajang untuk trial and erorr alias ajang coba-coba yang kalau gagal bisa restart kembali kesemula.

Ada berbagai persoalan yang terkait dengan perkawinan anak. Diantaranya adalah kondisi finansial dan mental yang belum stabil. Bolehlah kalau memang perempuannya berusia 19 tahun dan laki-laki nya berusia 25 tahun lalu dalam kondisi sudah mapan, seperti Nia Ramadhani dan Ardie Bakrie dahulu. Hanya saja, bayangkan jika kedua nya masih berusia muda yang bahkan untuk jajan saja masih minta orang tua. Dan kebanyakan memang begitu.

Masa hanya karena ingin menikah dan menghindari zina, lalu berbekal surat izin orang tua, langsung boleh menikah dan mendapat dispensasi. Yang tentu saja untuk mendapatkan surat dispensasi ini tidaklah gratis. Ada sejumlah uang yang harus digelontorkan untuk mengikuti serangkaian persidangan yang sifatnya hanya formalitas, menurut saya. Tentu setiap pengadilan punya kebijakan masing-masing. Hanya saja melihat angka kejadian yang tinggi bisa dijadikan sebagai alat ukur kinerja kebanyakan.

Bukankah hal ini justru menambah persoalan baru?

Mental remaja berusia 19 tahun belumlah siap dengan sempurna, mereka masih cenderung labil dan belum bisa mengendalikan emosi. Apalagi jika dibenturkan dengan lemahnya ekonomi. Lengkap sudah beban biaya negara dalam menanggung warganya.

Banyak kejadian, teman-teman menjalani perkawinan anak, yang menikah di usia muda, tidak bisa mengatur emosi dan menumpahkan dengan curhat di sosial media. Yang akhirnya semua orang tahu kesulitan dia dalam menjalani rumah tangganya, ini menjadi pelajaran bagi kita semua kalau masalah rumah tangga sebaiknya jangan diobral di jagad maya.

Beberapa persoalan juga mengikuti sebagai bentuk akibat menikah di usia muda. Kekerasan fisik maupun verbal berpotensi terjadi karena mental yang belum siap. Apalagi masalah kesehatan reproduksi yang kerap menimpa pada mereka yang hamil di usia muda. Memang, anak muda ini tenaganya masih kuat. Tapi godaan dan cobaannya juga lebih kuat.

Menikah memang hal baik, tapi bukan solusi permasalahan. Karena itu, dispensasi untuk bisa menikah di bawah usia 19 tahun haruslah dikaji kembali. Bukan hanya karena ada uang, pasangan dan ridho orang tua, anak anak bisa bebas menikah begitu saja. Sekali lagi, menikah bukanlah satu-satunya solusi menghindari zina. Yang lebih solutif adalah sudahi pacarannya, lalu fokus kejar cita-cita.

Lebih baik mengikuti anjuran BKKBN dengan menikah di atas usia 21 tahun. Karena pada usia ini dianggap sebagai usia di mana mental dan fisik sudah mumpuni untuk diajak eksplorasi. Selain itu, pada usia ini kamu juga mungkin sudah lebih mapan dengan berbagai pengalaman yang sudah kamu temukan. Jadi stop jangan ada perkawinan anak dan nikah usia yang terlalu muda ya! []

Hanya Sepetak Ruang untuk Perempuan di Rumah Tuhan

Oleh: Qisty Haydari

 

Siang itu, dua orang perempuan berbincang santai di luar Masjid Salman di Bandung, menunggu waktu salat Jumat usai dan mereka bisa memasuki masjid. Pada waktunya, dengan riang mereka berjalan ke ruang salat utama setelah mengambil wudu.

Namun, mereka terenyak karena hanya dua saf salat tersedia bagi jemaah perempuan, dan selebihnya ruang lapang yang dibatasi sekat kayu setinggi tiga puluh sentimeter. Dua saf (deret salat) itulah yang tersedia bagi puluhan perempuan yang tengah berbaris dengan mukena di tangan.

Mereka pun terkejut melihat puluhan laki-laki masih memenuhi masjid. Ada yang berzikir, mengaji, berbicara lewat ponsel, berbaring, ada pula yang sudah lelap dan mengorok dengan keras.

Setelah lama menanti, para perempuan masih harus salat bergantian di area masjid yang sempit.

Beberapa minggu kemudian, pada suatu Rabu siang, satu dari dua perempuan itu—yang adalah saya—menyambangi masjid lain, juga di Bandung. Masjid Al-Lathiif menjadi tujuan saya karena aktris dan penceramah Oki Setiana Dewi akan berbicara dalam acara Ladies’ Day, satu acara rutin khusus untuk jemaah perempuan yang diselenggarakan Komunitas Hijrah Bandung.

Masjid dipenuhi perempuan saat itu, baik di ruang utama maupun di lantai dua. Di luar juga tersedia beberapa layar televisi untuk menonton acara.

Beberapa menit sebelum azan asar berkumandang, dua orang panitia perempuan yang mengenakan niqab hitam maju ke podium dan berteriak agar ibu-ibu keluar dari masjid. Sepertinya dibutuhkan 7/8 ruangan utama untuk sarana salat laki-laki yang setelah saya hitung hanya ada kurang lebih 20 orang saja.

Sekitar 500 perempuan pun kemudian harus berjubel hingga selasar masjid karena tak bisa masuk ke ruang utama, dan harus rela antre dan bergantian di saat sisa saf teramat banyak. Tampaknya perempuan diharamkan mengisi saf-saf kosong itu, entah oleh siapa.

Saya, yang mendapat kesempatan untuk salat asar berjemaah dipimpin oleh satu dari 20 laki-laki itu, jadi tak khusyuk. Mengapa hanya disediakan ruang sempit di masjid untuk perempuan? Bukankah beberapa baris di bagian salat laki-laki kosong? Mengapa para perempuan harus menunggu?

Rentetan pertanyaan muncul berkejaran saat saya seharusnya membaca surat Al-Fatihah dalam hati. Bagaimana bisa saya salat dengan khusyuk saat menyaksikan sendiri betapa tersisih perempuan di rumah Sang Pencipta?

Tata ruang masjid-masjid yang saya kunjungi, baik di Bandung maupun di kota-kota lain, kembali muncul dalam benak. Sebuah kesimpulan lantas mencuat: Betapa kecil, betapa sempit, betapa tak sebanding ruang salat perempuan dibanding dengan ruang salat laki-laki. Tak hanya ruangan kecil untuk beribadah, mukena, sajadah, dan karpet yang terhampar pun tak jarang berbau tengik.

Sekecil Itukah Ruang Perempuan di Rumah Tuhan?

Pertanyaan itu sebenarnya terbesit di pikiran sejak saya membaca artikel di Madgalene. Tulisan itu berangkat dari pengalaman pribadi penulisnya, Chairunisa W. Larasdewanti, yang tidak leluasa salat di masjid pada sebuah tempat peristirahatan karena area salat dan wudu perempuan terlalu sempit dan kotor.

Mendapat pengalaman serupa, saya langsung sepakat dengan apa yang ditulis oleh Chairunisa. Saat melakukan penelitian dengan Rumah KitaB dari Januari hingga Maret 2020, kami melihat fakta serupa di sejumlah masjid di Bandung.

Namun, di media sosial, sementara ratusan pembaca perempuan berbagi penderitaan yang sama di media sosial, komentar-komentar pembaca lain, terutama mereka yang menunjukkan bahwa mereka laki-laki, justru cenderung menyalahkan penulis.

Perempuan kembali didera cercaan sebagai makhluk yang “tak paham agama”.

Baiklah, barangkali yang diprioritaskan adalah ruang untuk laki-laki yang dihunjam lelah, bagi mereka yang ingin rehat dari kerasnya dunia fana. Barangkali yang utama adalah menyediakan ruang kosong agar masjid terkesan luas, tak apa jika harus dibayar dengan jemaah perempuan yang salat bergantian. Tetapi, menyakitkan bagaimana mereka yang bersuara lantas dibungkam, dijejal pendapat bahwa seharusnya mereka belajar agama lebih dalam. Memang ada dalil terkemuka yang berbunyi bahwa sebaiknya perempuan melaksanakan salat di rumah. Namun, bagaimana dengan perempuan yang mencari nafkah untuk keluarga? Bagaimana dengan mereka yang sedang menuntut ilmu di tanah rantau? Bagaimana dengan perempuan yang sedang dalam perjalanan? Haruskah perempuan-perempuan ini meninggalkan salat sebab lebih baik melaksanakannya di rumah?

Semua ini terasa lebih menyakitkan ketika menyaksikan sendiri bagaimana para perempuan merasa wajar saat diminta mengosongkan ruang utama masjid. Bagaimana mereka begitu pasrah mundur demi memberikan tempat untuk laki-laki yang kalah jumlah. Panitia maupun pengurus masjid yang hari itu mengadakan acara khusus perempuan tidak menyediakan ruang lebih banyak, sungguh amat disayangkan.

Bukankah semua sama di hadapan Tuhan? Lantas, rumah siapakah masjid itu? Tuhankah? Laki-lakikah?

Tulisan ini diolah dari catatan penelitian yang dilakukan oleh Rumah KitaB pada tahun 2020. Penulis mendapatkan pelatihan penulisan kreatif dari Rumah KitaB atas dukungan We Lead.

Sekecil itukah ruang perempuan di rumah Tuhan?

 

Sumber: https://magdalene.co/story/ruang-salat-perempuan-masjid-sempit

rumah kitab

Merebut Tafsir: Perjalanan Nani

Minggu lalu, dalam suasana gembira campur haru, mata basah dan tawa pasrah, suara getar dan tegar,  sedih dan syukur, murung dan pijar, kami melepas Nani Zulminarni dari PEKKA. Kami, para pengurus Yayasan: Nana Kamala, Mas Darno, Fauzi Rachman (Oji), Dewi Hutabarat, Lusi, Iyik, dan saya secara bergantian menerima pilihan Nani untuk melanjutkan perjalanannya. Tak mudah, sungguh.  Sebab siapapun yang kenal Nani dan PEKKA niscaya terkejut dengan keputusan itu. Rumusnya terlalu jelas: Nani adalah PEKKA, PEKKA adalah Nani. 

Dalam pidato pamitannya, Nani memutar ulang tonggak-tonggak penting sepanjang dua puluh tahun bersama PEKKA. Adalah Nana Kamala dan Scott Guggenhaim – dua penguak takdir, yang bertanya kemungkinannya mengembangkan sebuah wadah bagi para perempuan miskin kepala keluarga. Sejak itu selama 20 tahun, Nani memulai perjalanannya: mengandung, melahirkan, mengasuh dan membesarkan PEKKA hingga saat ini. Capaian kuantitatifnya yang gampang diukur dengan ukuran-ukuran standar berbilang sangat banyak. Saat ini PEKKA telah berada di 34 provinsi, dengan lebih dari 69,000 anggota yang terorganisasikan, memiliki tidak kurang dari 60 koperasi dengan perputaran uang milyaran rupiah, 42 pusat kegiatan komunitas, lebih dari 5,000 pemimpin perempuan, kader dan paralegal, beberapa perempuan terpilih secara demokratis menjadi Kepala Desa, anggota parlemen dari tingkat desa sampai pusat. Puncaknya adalah pengakuan negara atas status “Perempuan Kepala Keluarga”. Tak hanya ada dalam definisi statistik, tetapi juga definisi politik.      

Kini setelah 20 tahun, Nani telah menyiapkan organisasi menjadi sebuah lembaga yang tanpa Nani pun akan baik-baik saja. Tak ada kehebohan dalam alih kepemimpinannya. Ia dan staf inti PEKKA mempersiapkan perubahan ini agar berlangsung dengan wajar, dewasa, tenang dan benar-benar siap. Ini tak mudah. Sebab Nani tak menyiapkan para epigon agar meniru saja langkahnya, melainkan  mengembangkan caranya. Semuanya ia siapkan dalam beberapa tahun belakangan.  Ia, misalnya mengambil peran-peran jaringan di dunia internasional yang sesekali menarik Nani meninggalkan PEKKA. Tata kelola organisasi telah dipersiapkan sebagai sebuah kerja lembaga yang auto pilot. Kini, telah tiba bagi PEKKA untuk tumbuh bersama tiga penerus Nani yaitu Rom, Vila dan Yanto.

Saya, di mata Nani, bersama Dina Lumbantobing, Roem Topasimasang dan Jo Hann Tan, adalah di antara sedikit orang yang disebutnya sebagai saksi perjalanan dan penguat langkahnya. Banyak teman hati Nani di dalam dan di luar negeri tempat ia berbagi rasa dan pikiran dan membuatnya tegar. 

Bagi saya, Nani seperti pelaku jalan petualangan; ia telusuri jalan-jalan yang penuh gairah petualangan, penuh tantangan. Ia seperti Mark Twain dengan kacamata yang secara khusus dipakai untuk membaca perempuan, khususnya perempuan kepala keluarga. Karenanya, dengan PEKKA ia melihat bahwa keberhasilan kepemimpinan perempuan bukan diukur dengan cara lelaki mengukurnya. Bagi Nani, atau tepatnya PEKKA, mereka harus memulainya dengan membangun kepercayaan diri dan membangun keberanian bahwa mereka, suara mereka, kepentingan mereka adalah matters (baca: penting). Karenanya Nani terus menerus mengingatkan bahwa kepentingan mereka sebagai perempuan kepala keluarga berhak untuk diperjuangkan. Ini memang seperti slogan. Dalam prakteknya Nani harus membangun kepercayaan diri perempuan dengan terlebih dahulu si perempuan sendiri mengakui betapa penting mereka. Nani memulainya dengan cara agar perempuan mendengar suaranya sendiri terlebih dahulu. Maka diajarinya apa itu suara, bagaimana bersuara, bagaimana menggunakan pengeras suara dan cara mengangkat tangan agar mendapat giliran bersuara. Ini bukan langkah metafora melainkan sesuatu yang benar-benar harafiah. Janganlah dulu berpikir mereka bicara di depan umum, bahkan untuk bersuara di mana telinga mereka mendengar suaranya sendiri sudah terkaget-kaget. 

Akibat kemiskinan dan struktur relasi gender, banyak perempuan buta huruf. Mungkin mereka tahu aksara dan angka tapi tak mengenal maknanya. Maka yang dilakukan PEKKA adalah mengajak mereka menghubungkan kata dan makna, menulis huruf, angka, membunyikan angka dalam aksara agar mereka mengerti bagaimana menuliskannya dalam kwitansi, sampai mengajari membuat tanda tangan. Tak terbayangkan, tapi itulah yang dilakukan sebelum menyiapkan mereka menjadi bagian dari komunitas desa, menjadi bagian dari kekuatan yang diperhitungkan dalam musyawarah –  musyawarah desa hingga kabupaten, dan di dalam rumahnya sendiri.

PEKKA sangat menyadari kekuatan perempuan ada dalam perkumpulannya. Didorongnya mereka memahami apa itu berkumpul dan berkelompok dalam makna yang subtantif. Mereka berkelompok bukan sekedar hadir seperti dalam pertemuan – pertemuan seremonial keagamaan atau adat dan tradisi di mana kehadirannya kerap dianggap pelengkap acara. Untuk meretas hal-hal yang membuat perempuan enggan atau merasa rendah diri mengikuti pertemuan, aturan-aturan baru diciptakan; pertemuan tak harus di ruangan formal, tak harus pakai baju bagus, tak harus lenggang kangkung.  Para perempuan itu, seperti di NTT, dalam pertemuan-pertemuan PEKKA dianjurkan memakai kain tenun buatan mereka sendiri. Cara ini juga ditunjukkan oleh Nani dan staf PEKKA dalam setiap pertemuan dengan mengenakan kain tenun sebagaimana dikenakan oleh Ibu-ibu anggota PEKKA.  Dalam pertemuan itu, para perempuan itu boleh membawa anak atau cucu sambil memakan sirih, dan berbicara dengan bahasa Ibu mereka. Secara pelahan mereka diajak untuk berpikir tentang tata kerja sebuah organisasi; ada aturan main dan ada disiplin. Dengan cara itulah perempuan dilatih untuk bersuara dan suara mereka benar-benar mereka rasakan penting. Mereka pun didorong menabung membuat kelompok simpan pinjam yang bermuara menjadi koperasi.

Tapi langkah Nani tak hanya serupa Mark Twain, mengeksplorasi petualangan, membuka alas dan merambah jalan baru. Ia juga serupa Mushashi, pelaku jalan pedang; jalan perlawanan terhadap hal-hal yang membuat suara dan kehadiran perempuan tak dianggap. Ia melakukan perlawanan terhadap budaya yang membungkam suara perempuan. Karenanya hal pertama yang dilakukan adalah menekankan pentingnya persamaan di depan hukum. Dengan melibatkan perangkat desa, Dukcapil, Peradilan Agama, PEKKA menginisiasi pelaksanaan Sidang Keliling. Bersama PEKKA, ia  mengadvokasikan agar perempuan memiliki identitas hukum yang menjadi dasar persamaan hak di mata negara; KTP, KK, Surat Nikah, Surat Cerai dan identitas-identitas serupa ijasah yang dapat memperkuat identitas perempuan di depan hukum. Ketika lembaga pendidikan dan beban ekonomi, sosial, kultural menghalangi perempuan sekolah, PEKKA membuka sekolah bagi perempuan dengan menciptakan kurikulum-kurikulum yang relevan dan sebuah lembaga pendidikan bagi kaum perempuan di desa-desa dengan nama Akademi Paradigta.

Dan pada akhirnya yang Nani tempuh adalah laksana jalan sufi. Ia sendiri mencari hikmah dalam kehidupannya.  Mendampingi ibu-ibu PEKKA adalah jalan spiritualnya. Lahir dari keluarga Muslim di Pontianak, ia mengenang semasa kecilnya bagaimana ia berjalan kaki melintasi hutan-hutan perdu sejauh empat kilometer bersama kakak dan teman-temannya. Tiap malam mereka pergi ke rumah seorang perempuan yang mengajari anak-anak seusianya untuk mengaji dengan pembayaran sebotol minyak tanah untuk lampu penerang. Setelah lulus SD, dengan kecerdasan yang dia miliki ia memilih dan mendaftar sendiri masuk sekolah Katolik – SMP Suster khusus untuk putri yang sebagian besar muridnya dari etnis Tionghoa dan beragama Katolik. Di bawah asuhan para suster ia belajar disiplin dan menata cita-citanya setinggi mungkin. Kesenangannya dalam menyanyi ia salurkan dengan bergabung dalam kelompok musik keroncong yang mengisi acara rutin di RRI Pontianak. Uang honor menyanyi yang tak seberapa ia kumpulkan untuk membeli buku dan barang yang diinginkan agar tak meminta uang tambahan dari orang tuanya. 

Ketika SMA langkahnya terus melaju dengan mengikuti seleksi siswa teladan tingkat provinsi, dan terpilih mewakili Kalimantan Barat ke tingkat Nasional. Inilah kali pertama bagi Nani berpisah dengan keluarga dan melihat kemegahan Ibu Kota.  Ia bersama para teladan dari berbagai provinsi bertemu dengan Presiden, jajaran menteri dan petinggi negeri saat itu. Statusnya sebagai pelajar teladan membuka jalan bagi Nani terpilih masuk ke IPB sebagai siswa terundang tanpa test. Prestasi ini menjadi kebanggan orang tuanya dan memicu semangat belajar Nani.

Langkah perantauan Nani bermula disini. Masa Nani berkuliah di IPB merupakan masa awal  perubahan politik sebagai embrio perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Nani ikut dalam gerakan mahasiswa Islam yang memprotes kebijakan mengeluarkan siswi berjilbab di sebuah SMA di Jakarta. Iapun begitu bangga mulai menggunakan jilbab putih agar tampak seperti perempuan yang dikagumi, seniornya yang begitu lembut, pintar dan salehah. Nani pun terlibat dalam kelompok-kelompok kajian kampus yang meyakini jilbab adalah identitas keagamaan yang paling penting. Namun belakangan ia melihat bukan itu yang ia cari, ia membutuhkan cara beriman yang cerdas, bukan yang melawan akal sehat. Ia pun tak memilih jalan politik agama sebagai jalan juangnya.

Atas peluang yang diberikan Mbak Chamsiah Djamal dan Mas Dawam Raharjo, Nani diperkenalkan pada cara kerja dunia LSM. Oleh Mas Dawam, ia diberi bacaan pertama yang mengenalkannya kepada isu gender melalui buku Arief Budiman, “Pembagian Kerja Secara Seks”. Itulah buku, yang dalam pengakuan Nani telah membuka jalan pikirnya untuk memahami isu gender. Bersama Ibu Cham ia mulai mengenal pengorganisasian bagi kaum perempuan dan pemberdayaan. Perjalanan Nani  melangkah lebih jauh lagi, ia mendapatkan beasiswa pemerintah dan terbang ke Amerika untuk mengambil pendidikan Master bersama suami dan dua orang anaknya yang masih kecil.

Langkah spiritual Nani, Ibarat tarian Rumi. Dihayatinya penderitaan duniawi ketika pasangan hidupnya mengambil jalan sendiri mengkhianati janji perkawinannya. Tak tunduk pada teks yang membenarkan poligami ia tempuh jalur hukum dan mengambil hak asuh atas anak-anaknya. Di sanalah, dalam penghayatan sebagai perempuan kepala keluarga Nani mencari makna dalam laku kerja sehari-hari memimpin ribuan perempuan sebagai perempuan kepala keluarga.

Tiga model perjalanan Nani, bukanlah perjalanan yang maha sempurna. Ia berhadapan dengan dunia yang terus menerus menolak kehadiran perempuan dan menganggap kepemimpinan perempuan adalah ancaman. Ia harus melakukan jalan samurai, kapan langkahnya maju dan kapan mundur untuk mengambil jalan strategi membungkam patriarki. Dididiknya perempuan untuk bersuara, berargumen, menunjukan bukti-bukti bahwa perempuan layak diperhitungkan. Mereka bukan hanya sepandan dengan lelaki tetapi bisa lebih unggul dalam menawarkan kepemimpinan yang berangkat dari pengalaman mereka dalam merawat keluarga dan komunitas.  

Setelah 20 tahun membangun organisai PEKKA, ia telah memilih jalan untuk melanjutkan langkahnya yang lain. Melampaui tiga jalan yang telah ditempuhnya ia kini memikirkan ulang langkah lain untuk memperluas pengabdiannya kepada kehidupan. Ia melihat anak-anak, terutama anak perempuan sebagai jalan itu. 

Pada akhirnya kita bersetuju mengantarkan Nani melanjutnya perjalanannya. Sementara untuk yang telah dia tinggalkan, niscaya tak akan pernah ia lupakan.  Perjalanan Nani belum selesai, namun ia telah meninggalkan jejak yang bagai kata Mark Twain, “Kebaikan adalah hal yang bisa didengar oleh orang tuli, yang bisa dibaca oleh orang buta. Kebaikan Nani adalah cahaya bagi mata batin pencari makna kehidupan dari pengalaman perempuan. Sampai Jumpa Nani !

# Lies Marcoes, 17 Januari 2021.  

Catatan Gus Jamal: NAMBANG DAWA

NAMBANG DAWA [1]

Oleh: Jamaluddin Muhammad

Dalam sebuah obrolan ngopi malam, seorang kawan bercerita tentang kejadian di desanya. Seorang perempuan hamil di luar nikah. Untuk menutupi aib dan menjaga marwah keluarga, sebelum perutnya membesar ia segera dinikahkan secara siri dengan lelaki pilihan orang tuanya. Kabarnya, lelaki yang menghamili tak mau bertanggung jawab.

Dalam kehidupan kampung yang masih menjunjung tinggi norma-norma dan nilai-nilai komunal, peristiwa tersebut bukanlah peristiwa kecil yang hanya menimpa perempuan tersebut, melainkan sebuah “peristiwa sosial” yang beban dan dampaknya harus ditanggung bersana oleh keluarga. Hamil di luar nikah menciptakan stigma dan dosa sosial. Inilah kenapa banyak orang tua panik ketika mendapati anaknya hamil di luar nikah dan segera mengambil solusi cepat menikahkannya dengan atau tanpa orang yang menghamili.

Kembali pada cerita perempuan tadi. Tragisnya, tak lama setelah menikah, suaminya pergi menghilang tanpa kabar. Tujuh tahun ia menanti suaminya kembali. Hingga suatu ketika datang seorang lelaki melamarnya. Ia bingung dan tak bisa mengambil keputusan karena ia merasa masih terikat perkawinan dengan suaminya. Meski tak pernah mendapat nafkah, suaminya belum menceraikannya. Perempuan tersebut bertanya kepada kawan saya soal status perkawina yang menggantung ini.

Saya menyarankan utk diselesaikan di pengadilan. Namun, menurut kawan saya, karena perkawinannya tak dicatat negara (kawin siri) maka tak bisa diselesaikan lewat pengadilan. Inilah dampak kawin siri. Yang paling dirugikan dan korban pertamanya adalah perempuan. Hak dan kewajibannya terabaikan dan tak mendapat perlindungan negara.

Kawan saya meminta penyelesaian lewat fikih: bagaimana fikih menyikapi kasus seperti ini. Saya mencoba mencari ibarat (rujukan) dalam kitab-kitab yang dianggap otoritatif (mu’tabarah). Dalam beberapa kitab fikih disebutkan bahwa seorang istri yang ditinggal pergi suaminya (zaujatul mafkud) tak boleh menikah lagi sampai mendapat kepastian status suaminya, apakah ia sudah meninggal atau sudah menceraikannya. Selama masih belum ada kepastian, kadi/hakim tak boleh memutuskan status perkawinan tersebut. Juga tak boleh menikahkan dengan orang lain. Jika ia terpaksa menikah, kemudian suami pertama kembali lagi, maka pernikahan kedua batal dan ia harus kembali pada suami pertama. Karena “pernikahannya diketahui secara pasti dan hanya bisa dibatalkan dengan sesuatu yang pasti pula” (li ann al-nikah ma’lum biyaqin fala yazalu illa biyaqin). [2]

Al-Nawawi dalam Raudlatut Thalibin menyebut dua pendapat antara qaul qadim dan qaul jadid. Yang pertama senada dengan pendapat ulam di atas. Sementara menurut pendapat kedua, perempuan tersebut boleh menikah lagi setelah empat tahun masa penantian ditambah masa iddah (iddah ditinggal mati suami). [3]

Saya belum menemukan pendapat ulama yang bisa memenuhi rasa keadilan perempuan. Dari sekian banyak pendapat ulama, posisi perempuan (istri) tetap bergantung dan di bawah kekuasaan laki-laki (suami). “Remot” pernikahan (hak cerai) tetap dikendalikan laki-laki. Fikih seolah-olah memberikan otoritas tanpa batas kepada suami utk menceraikan istrinya kapan pun dan di manapun. Sementara istri melalui hak gugat cerai (khulu) tetap harus mendapat persetujuan suami dan harus melewati beberapa syarat.

Dalam banyak hal, fikih kita masih menyisahkan pelbagai persoalan. Dalam konteks keluarga (al-ahwal al-syahsiyyah), peran dan otoritas suami (qiwamah) sangat besar dan menentukan. Suami memiliki hak cerai (talak), hak ekonomi ( nafkah), hak poligami, hak pelayanan seksual, dll. Begitu pun peran dan relasi orang tua (ayah) terhadap anak perempuannya (walaya). Perempuan tak bisa menikah tanpa wali, wali boleh memaksa anak perempuannya menikah (hak ijbar), bagian waris perempuan setengah laki-laki, dan seterusnya. Jadi, sebelu menikah, anak perempuan adalah milik bapaknya (walaya). Dan setelah menikah milik suaminya (qiwamah). Dengan kata lain, perempuan adalah separuh laki-laki. Relasi yang timpang dan tidak seimbang ini (asimetris) menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan. [4]

Inilah problem pengambilan keputusan hukum (istinbat al-ahkam) berdasarkan “manhaj qauli” : mencari pendapat ulama masa lalu utk menghukumi kasus yang sama di masa sekarang. Sementara “alam pikir” ulama-ulama masa lalu belum tentu akseptabel dan kompatibel dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini.

Dalam konteks negara bangsa, kita berhadapan dengan institusi negara sebagai pemilik otoritas tertinggi. Negara memiliki norma-norma hukumnya sendiri yang harus dipatuhi dan merupakan konsensus bersama.
Kita tak bisa berjalan sendiri-sendiri, apalagi saling membelakangi. Dualisme hukum (hukum agama dan hukum negara) tak seharusnya terjadi karena berpotensi mengganggu ketertiban sosial dan melanggar kesepakatan bersama. Karena itu, dalam merumuskan hukum atau fatwa keagamaan, seorang ulama harus dibekali wawasan dan konteks kebangsaan. Wallahu alam bi sawab

[1] Nambang Dawa merupakan kata kiasan. Artinya, suami yang tidak mau mengurus isteri dan tidak pula menceraikarmya dalam waktu yang cukup lama.
[2]
اه (قوله: مهمة لو تزوجت زوجة المفقود الخ) هذه المهمة مختصرة من عبارة الروض وشرحه ونصهما. (فصل) زوجة المفقود المتوهم موته لا تتزوج غيره حتى يتحقق: أي يثبت بعدلين موته أو طلاقه وتعتد لانه لا يحكم بموته في قسمة ماله وعتق أم ولده فكذا في فراق زوجته ولان النكاح معلوم بيقين فلا يزال إلا بيقين، ولو حكم حاكم بنكاحها قبل تحقق الحكم بموته نقض لمخالفته للقياس الجلي
إعانة الطالبين – (ج 4 / ص 95)
( وَلَوْ نَكَحَتْ ) زَوْجَةُ الْمَفْقُودِ ( بَعْدَ التَّرَبُّصِ وَ ) بَعْدَ ( الْعِدَّةِ ) وَقَبْلَ ثُبُوتِ مَوْتِهِ أَوْ طَلَاقِهِ ( فَبَانَ ) الزَّوْجُ ( مَيِّتًا ) وَقْتَ الْحُكْمِ بِالْفُرْقَةِ ( صَحَّ ) نِكَاحُهَا ( عَلَى الْجَدِيدِ ) أَيْضًا ( فِي الْأَصَحِّ ) اعْتِبَارًا بِمَا فِي نَفْسِ
مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 14 / ص 313)
[3]
الْغَائِبُ عَنْ زَوْجِتِهِ إِنْ لَمْ يَنْقَطِعْ خَبَرُهُ فَنِكَاحُهُ مُسْتَمِرٌّ وَيُنْفِقُ عَلَيْهَا الْحَاكِمُ مِنْ مَالِهِ إِنْ كَانَ فِي بَلَدِ الزَّوْجَةِ مَالٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَتَبَ إِلَى حَاكِمِ بَلَدِهِ لِيُطَالِبَهُ بِحَقِّهَا وَإِنِ انْقَطَعَ خَبَرُهُ وَلَمْ يُوْقَفْ عَلَى حَالِهِ حَتَّى يُتَوَهَّمَ مَوْتُهُ فَقَوْلَانِ الْجَدِيْدُ الْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لَهَا أَنْ تَنْكِحَ غَيْرَهُ حَتَّى يَتَحَقَّقَ مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ ثُمَّ تَعْتَدُّ وَالْقَدِيْمُ أَنَّهَا تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ ثُمَّ تَنْكِحُ وَمِمَّا احْتَجُّوا بِهِ لِلْجَدِيْدِ أَنَّ أُمَّ وَلَدِهِ لَا تَعْتِقُ وَلَا يُقْسَمُ مَالُهُ وَالْأَصْلُ
روضة الطالبين وعمدة المفتين
[4] Untuk bacaan lebih lanjut tentang qiwamah dan walaya baca buku “Fikih Perwalian” terbitan Rumah KitaB

KESIMPULAN DAN CATATAN PENUTUP SEMINAR INTERNASIONAL: Hasil Penelitian Rumah KitaB Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Dari seminar ini ada beberapa catatan, kesimpulan, dan rekomendasi  terkait penelitian yang dilakukan Rumah KitaB. Berikut beberapa hasil catatan dari seminar ini:

  1. Hasil paling menonjol dari penelitian ini adalah tuntutan untuk mengkaji ulang tentang konsep kekerasan ekstrem. Konsep itu selama ini didominasi oleh cara pandang maskulin dan patriarki yang menguncinya dalam kekerasan fisik: bom bunuh diri, penyerangan aparat, money laundering, yang keseluruhannya berpusat pada gangguan keamanan negara terkait radikalisme dan terorisme. Cara kaji serupa itu, menurut penelitian ini, telah mengabaikan kekerasan ekstrem lain yang terjadi setiap hari yang dialami perempuan. Kekerasan itu mengancam keamanan insani berupa kematian jiwa dan kematian akal sehat yang merampas kebebasan berpikir dan berupaya.
  2. Penelitian ini mencatat kekerasan yang mengancam keamanan insani perempuan juga mengancam pada pilar-pilar yang selama ini menjadi kekuatan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran, yang peduli pada keragaman sebagai warisan dari Islam Indonesia.
  3. Berdasarkan empat pertanyaan penelitian, secara berturut-turut penelitian ini mencatat sejumlah temuan. Pertama, soal definisi perempuan. Melalui hegemoni ajaran, perempuan ditekankan sebagai sumber fitnah (keguncangan) di dunia. Kehadirannya, terutama di ruang publik, menjadi alasan instabilitas moral yang merusak tatanan sosial, bahkan ekonomi. Oleh karena itu, perempuan harus tunduk pada fitrahnya sebagai pihak yang harus dikontrol, diawasi, dicurigai, dan dibatasi di ruang publik, baik secara langsung maupun simbolik.
  4. Ajaran serupa itu disosialisasikan dan dinormalisasikan lewat ragam cara. Cara konvensional melalui ceramah dan cara lain seperti menggunakan sosial media serta ragam kampanye kreatif lainnya.
  5. Ajaran dan ujaran yang disampaikan terus menerus dapat melemahkan mental perempuan dan membentuk kekerasan non-fisik. Mereka cemas, takut, merasa tidak aman oleh sebuah hidden power yang terus menggedor kesadaran mereka sebagai sumber fitnah. Namun, pelanggengan ajaran dan ujaran ini tak terjadi tanpa peran modal dan pasar yang menawarkan barang dan jasa serba syar’i. Penelitian ini juga mencatat ragam perlawanan perempuan atas ajaran itu, meskipun tak membentuk agensi.
  6. Rekomendasi yang disampaikan dalam seminar ini mencakup: pertama, Perlunya mengisi ruang wacana: mendukung dan menyediakan lebih banyak ruang ulama-ulama progresif, termasuk ulama perempuan, dalam menyebarkan upaya moderasi dengan konten dampak fundamentalisme terhadap perempuan. Ini bisa dilakukan lewat banyak media online, baik yang berbasis kelompok keagamaan  maupun kelompok lain. Kontennya diusahakan sesederhana mungkin agar memudahkan ditangkap oleh masyarakat awam. 

Kedua, Produksi pengetahuan: (1) Melanjutkan penelitian dari apa yang sudah diketahui lewat penelitian ini dengan mengambil sejumlah pertanyaan yang diajukan Prof. Musdah sebagai titik berangkat untuk eksplorasi lebih jauh, misalnya, kenapa sebagian orang tergabung sebagian tidak, faktor apa saja yang paling berpengaruh? (2) Melakukan Participatory Action Research (PAR); mengorganisir warga biasa dalam siklus kegiatan kolektif sambil mempelajari isu-isu yang mereka hadapi. Ini akan menghasilkan sejumlah data pembuka mata, lalu membicarakan tindakan kolektif apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi isu-isu tersebut, lalu menjalankannya sembari mempelajarinya, sehingga menjadi bahan pembelajaran (pengetahuan) baru untuk tindakan kolektif selanjutnya yang lebih baik. Produksi pengetahuan ini juga bisa menyediakan konten untuk kampanya merebut kembali ruang wacana.

Catatan kesimpulan dan rekomendasi di atas menjadi sesi terakhir dan penutup dari seri ringkasan tiap sesi yang telah disebarluaskan oleh Rumah KitaB dari bulan November 2020 lalu.

Pahlawan Literasi dari Negeri Tertinggal

Oleh: Siti Syariah

Sumber: Tirta Buana Media

 

Melihatnya sekilas, ia tampak seperti perempuan biasa yang hidup di kampung pada umumnya. Tubuhnya berisi, tertutup gamis longgar dengan jilbab sedada. Wajahnya sederhana, sepi dari polesan make up. Namun senyum yang selalu mekar sempurna dan tatapan mata yang menyuguhkan kepedulian mendalam, cukup menjawab bahwa ia bukan perempuan biasa-biasa saja.

Perempuan itu bernama Nursyida Syam. Takdir telah memilihnya untuk terlahir di bumi Lombok Utara. Sebuah negeri yang minus dari peradaban. Angka putus sekolah dan buta aksara yang tinggi, budaya pernikahan dini yang merajalela, hingga kemiskinan dan keterbelakangan yang tergambar jelas dari wajah-wajah manusianya.

Tak ada yang menyangka, anak istimewa yang terlahir disleksia ini suatu saat namanya akan membumi di tengah-tengah masyarakat, karena ruhnya benar-benar ia berikan untuk dunia yang ia cintai, dunia literasi.

Warisan Sang Ayah

Nursyida kecil adalah anak yang beruntung. Meski terlahir dengan gangguan membaca, ayahnya yang seorang wartawan berhasil membuatnya jatuh cinta pada dunia membaca. Sang Ayah sering membuat kliping tokoh-tokoh terkenal dari koran-koran yang dibacanya sebagai bahan bacaan bagi Nursyida. Ayahnya yang bersahaja memilih mewariskan kecintaan membaca pada anaknya, karena itu jauh lebih berharga daripada mewariskan harta benda. Teruslah membaca, karena melalui membaca kau akan temukan keajaiban. Begitulah pesan sang ayah yang selalu membekas di benak Nursyida.

Maka Nursyida pun tumbuh menjadi pribadi yang haus membaca, tak peduli pada segala keterbatasan. Bahkan saat duduk di bangku kuliah di Fakultas Sastra Universitas Negeri Yogyakarta, seorang pemilik toko buku terpaksa mengusirnya secara halus. Karena ia datang ke toko buku berkali-kali hanya untuk menumpang membaca, namun tak mampu membeli buku.

Segala keterbatasan itu akhirnya menumbuhsuburkan cita-citanya untuk mendirikan taman baca yang bisa dijangkau oleh masyarakat. Cita-cita mulia itu kemudian menjadi sebuah syarat pranikah yang diajukannya pada Lalu Badrul—laki-laki yang datang meminangnya. Ia meminta agar laki-laki itu bersedia mendukung sepenuhnya cita-cita untuk mendirikan taman baca.

Nursyida dan Lalu Badrul akhirnya menikah bertepatan dengan Hari Buku Internasional, yaitu pada tanggal 23 April di tahun 2004 dengan mahar Al Qur’an dan sebuah buku Fikih Wanita.

Mendirikan Klub Baca Perempuan

Pada tahun 2006, Nursyida mulai meniti cita-cita membangun taman baca di tanah kelahiran suaminya di Lombok Timur bersama empat orang sahabat perempuan yang memiliki ketertarikan yang sama pada dunia membaca. Namun, tak banyak masyarakat yang tertarik dengan ajakan membaca dari seorang ibu rumah tangga biasa seperti dirinya. Akhirnya berbekal 200 buku yang dimiliki, ia memutuskan hijrah ke tanah kelahirannya di Lombok Utara untuk melanjutkan mimpinya membangun taman baca. Suami turut serta mendukung cita-cita mulia sang istri seperti janji pernikahan mereka.

Berawal dari rumah kontrakan sederhana, sepasang suami istri itu membuka usaha penatu yang terintegrasi dengan kegiatan literasi. Nursyida memajang buku-buku bacaan miliknya agar dapat dibaca dan dipinjam setiap pelanggan yang berkunjung. Tak hanya itu, ia juga membuka peluang bagi setiap pelanggan untuk berkontribusi. Karena setiap seribu rupiah dari pembayaran jasa satu kilogram cucian para pelanggan, ia sisihkan untuk mengembangkan kegiatan literasi yang dibangunnya.

Beberapa bulan kemudian, Nursyida mendirikan Klub Baca Perempuan dengan mengajak ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak di sekitar tempat tinggal untuk membaca buku di taman baca sederhana di rumah kontrakannya. Perhatian Nursyida begitu mendalam pada kaum perempuan. Ia meyakini, perempuan adalah kunci peradaban manusia. Karena perempuan adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Maka di tangan perempuanlah termungkinkan di rumah terbangun kebiasaan membaca. Jelaslah, untuk membangun generasi yang cerdas, cerdaskanlah dahulu para perempuannya.

Perjuangan Nursyida tentu bukan tanpa tantangan. Niat baik memang tak selalu diterima baik. Masyarakat masih menganggap membaca adalah kegiatan yang tak ada gunanya. Mereka merasa sudah sangat sibuk dengan urusan mencari nafkah, dan membaca bukanlah kegiatan yang dapat memberi rupiah untuk meringankan kesusahan hidup mereka.

Nursyida tak patah semangat dengan penolakan masyarakat. Ia kemudian memulai dengan memberi pemahaman tentang pentingnya membaca. Karena sejatinya membaca adalah perintah Allah yang tertulis jelas di dalam Al-Quran dan terulang sebanyak 82 kali untuk menunjukkan betapa pentingnya perintah ini. Membaca adalah pintu untuk menjawab berbagai permasalahan hidup yang tumbuh di sekitar. Karena ketika seseorang membaca, tak ada yang dapat membatasinya dengan mimpi-mimpinya, bahkan kemiskinan sekalipun. Maka baginya, menghadirkan dunia membaca di tengah-tengah masyarakatnya yang tertinggal adalah sesuatu yang pasti dan harus ia perjuangkan.

Penampilan Nursyida yang sederhana dan perangainya yang bersahaja membuatnya mudah membaur dengan masyarakat sekitar. Berkat kesabarannya, kampanye gemar membaca pelan-pelan mulai direspon positif oleh masyarakat. Para ibu dan anak-anak mulai tertarik untuk membaca dan memilih sendiri buku-buku yang mereka inginkan.

Nursyida bahagia melihat ibu-ibu dan anak-anak mulai melahap setiap bacaan yang ada. Ia akhirnya tersadar,

masyarakatnya tertinggal bukan karena tak memiliki keinginan membaca, namun karena kurang didekatkan dengan sumber bacaan. Ia bahkan tak percaya dengan hasil penelitian yang menunjukkan masyarakatnya memiliki tingkat literasi yang rendah. Karena nyatanya selama ini buku-buku hanya terkonsentrasi di kota-kota besar dan kurang tersalurkan ke daerah.

Nursyida kemudian memberdayakan ibu-ibu yang mulai cinta membaca ini untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan dari buku-buku yang mereka baca. Mulai dari membuat kue-kue yang resepnya didapat dari buku, hingga membuat kerajinan tangan yang memiliki nilai jual. Akhirnya pelan-pelan, kehidupan mereka pun mulai dipenuhi berbagai kegiatan positif.

Melihat dampak yang ditularkan Klub Baca Perempuan pada lingkungan, membuat gerakan ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Bantuan pun datang bertubi-tubi dalam bentuk ribuan buku dari berbagai sumber, hingga dana untuk mendukung perkembangan gerakan gemar membaca ini. Para relawan pun mulai berdatangan untuk turut serta mengambil peran. Hanya dalam waktu beberapa tahun saja, jumlah relawan di Klub Baca Perempuan telah mencapai lebih dari 150 orang. Mereka semua terinspirasi dan tergetar dengan semangat yang ditularkan Nursyida.

Melihat sambutan positif dari berbagai pihak, Nursyida dan para relawan Klub Baca Perempuan lainnya mulai memperluas gerakan kampanye membaca ke berbagai pelosok dusun di Lombok Utara. Mereka bekerjasama dengan Kepala Dusun membentuk Taman Baca Masyarakat yang terintegrasi dengan kegiatan PAUD, Posyandu, PKK dan kelompok ibu-ibu lainnya.

Berkat kegigihan dan semangat Nursyida dan juga rekan-rekan relawan Klub Baca Perempuan, dalam kurun waktu 10 tahun, telah berdiri 24 Taman Baca Masyarakat yang tersebar di berbagai dusun di Lombok Utara dengan buku yang telah tersalur lebih dari 17.000 eksemplar. Tugas selanjutnya adalah memastikan taman-taman baca tersebut tetap hidup dan menjadi pusat informasi dan kegiatan masyarakat.

Setiap bulan Nursyida dan para relawan berkeliling ke setiap dusun untuk menukar buku, agar masyarakat selalu mendapat buku baru untuk dibaca. Mereka pun tak luput memastikan buku-buku yang dibaca masyarakat sesuai dengan kebutuhan mereka dan memenuhi standar kualitas bacaan yang baik. Mereka menyediakan buku cerita anak bergambar, buku pelajaran, novel, ensiklopedia, hingga buku-buku resep masakan untuk para ibu.

Setiap hari Minggu, Nursyida dan para relawan juga menggelar lapak buku di tempat-tempat umum untuk lebih mendekatkan buku kepada masyarakat. Mereka meminjamkan buku kepada siapa saja yang tertarik untuk membaca, meski seringkali buku yang dipinjam tidak kembali. Namun bagi Nursyida, itu tidak pernah menjadi masalah. Ia justru senang memberi jalan bagi setiap orang untuk membaca tanpa proses administrasi pinjam meminjam buku yang mempersulit dan justru membuat orang-orang enggan membaca buku.

Gerakan Sekolah Literasi

Setelah berhasil membangun geliat literasi di tengah-tengah masyarakat, Nursyida bercita-cita menularkan kebiasaan baik ini melalui sekolah-sekolah formal di Lombok Utara. Karena ia meyakini, selain di rumah, hanya sekolah yang dapat memaksa anak-anak untuk membaca. Merespon niat baik Nursyida, pemerintah daerah memberi kepercayaan kepada Klub Baca Perempuan untuk mendampingi seluruh sekolah di Lombok Utara dalam rangka menuju Gerakan Sekolah Literasi, bahkan memfasilitasi dengan meminjamkan mobil yang dapat digunakan para relawan untuk hadir di sekolah-sekolah.

Mereka mengkampanyekan gerakan literasi melalui kegiatan Orientasi Sekolah, OSIS, IMTAQ atau kegiatan ekstrakurikuler lainnya, serta menyalurkan buku-buku untuk memperkaya bacaan siswa di perpustakaan sekolah.

Memiliki kesempatan hadir di sekolah-sekolah membuat Nursyida tersadar, ternyata literasi masih menjadi barang langka di lingkungan pendidikan sekalipun. Ia miris melihat fakta kebanyakan guru ternyata tidak suka membaca. Lalu bagaimana mereka dapat dipercaya untuk menularkan kebiasaan membaca pada siswa?

Akhirnya Nursyida pun mulai bekerja sama dengan para guru untuk membangun gerakan gemar membaca mulai dari diri sendiri agar layak menjadi contoh bagi para siswa. Ia berharap, meja guru tak hanya berisi daftar hadir dan hasil ujian siswa, namun juga diwarnai dengan kehadiran buku-buku yang bermanfaat untuk membangun kapasitas diri sebagai seorang pendidik yang layak mendapat gelar pahlawan tanpa tanda jasa.

Untuk mewujudkan kecintaannya pada dunia pendidikan, pada tahun 2011 Nursyida mendirikan sekolah alam bagi anak-anak yang ia beri nama Sekolah Alam “Anak Negeri” di kampung halamannya. Sekolah alam ini dibuka bagi anak-anak segala usia yang tidak memiliki kegiatan sepulang sekolah. Ia mengajak anak-anak mendongeng, membaca buku, hingga belajar menulis cerita sederhana. Sebagian relawan bahkan mengadakan kelas menari, kelas perkusi, dan kelas Bahasa Inggris.

Nursyida juga berupaya menjalin kerja sama dengan orang-orang dari berbagai profesi seperti pilot, dokter, peneliti dan seniman untuk mengisi kelas profesi di sekolah alam. Kelas ini bertujuan agar anak-anak memiliki perbendaharaan cita-cita yang luas, sehingga anak-anak berani bermimpi besar untuk menjadi apapun yang mereka inginkan di masa depan.

Semua kelas diberikan gratis, karena Nursyida dan para relawan menganggap semua anak-anak yang datang ke sekolah alam adalah anak-anak mereka sendiri yang wajib mereka berikan perhatian dengan tulus. Mereka bahkan dengan sukarela menyisihkan sebagian dana pribadi untuk membantu pembiayaan operasional sekolah alam. Nursyida berharap, dengan menyibukkan anak-anak dengan berbagai kegiatan positif, bisa menekan angka putus sekolah dan pernikahan dini di lingkungannya.

Literasi Paska Bencana

Bencana gempa bumi yang menyapa Lombok Utara di tahun 2018 berhasil melumpuhkan segala sendi kehidupan masyarakat, tak terkecuali dunia literasi yang telah susah payah terbangun di tengah-tengah masyarakat. Bangunan yang digunakan sebagai taman baca masyarakat semuanya telah rata dengan tanah bersamaan dengan rumah-rumah penduduk.

Tak mudah mengajak masyarakat membaca kembali saat mereka harus berjuang bertahan hidup di antara puing-puing reruntuhan. Mereka lebih membutuhkan makanan, air bersih dan tenda-tenda tempat berlindung.

Melihat fenomena yang menguras air mata ini, Klub Baca Perempuan bertransformasi menjadi gerakan kemanusiaan. Karena sejatinya literasi tidak melulu hanya tentang membaca buku, namun juga tentang bagaimana membaca dan merespon kondisi sosial di sekitar.

Nursyida akhirnya mulai mengumpulkan donasi dari berbagai mitra dan donatur Klub Baca Perempuan dan menyalurkannya kepada masyarakat terdampak gempa. Dalam waktu beberapa bulan saja, nominal bantuan yang tersalurkan mencapai 500 juta rupiah.

Tak hanya itu, Nursyida dan para relawan hadir di tengah-tengah reruntuhan gempa untuk memberikan trauma healing pada anak-anak. Mereka membawa buku-buku dan mengajak anak-anak untuk membaca, mendongeng dan bercerita. Semangat anak-anak untuk membaca harus tetap dihidupkan dalam segala kondisi. Mereka tak boleh dibiarkan larut dalam kesedihan akibat bencana.

Setelah sekolah kembali dibuka, Nursyida dan para relawan semakin gencar mengkampanyekan gerakan gemar membaca. Setidaknya, kegiatan literasi di sekolah harus tetap hidup meski kondisi kehidupan di Lombok Utara sedang berada di titik terberat paska bencana.

Menjelang tahun kedua paska gempa, pandemi pun datang menghantam negeri. Bencana seperti datang bertubi-tubi. Pendidikan tentu saja menjadi salah satu sektor yang paling berdampak karena sekolah diliburkan dalam jangka waktu yang tak dapat dipastikan. Anak-anak terpaksa harus belajar secara daring dari rumah dengan fasilitas yang kurang memadai. Hal itu tentu saja memicu kebosanan bagi anak-anak untuk terus tinggal di rumah. Akibatnya, kasus pernikahan dini di Lombok Utara melonjak drastis dalam kurun waktu beberapa bulan saja.

Nursyida tak punya pilihan selain terus menjalankan kegiatan gerakan gemar membaca ke berbagai pelosok dusun, meski kegiatanya dibatasi oleh protokol kesehatan. Ia tak bisa membiarkan para remaja putus sekolah dan memilih menikah dan melahirkan di usia dini.

Berkat ketekunan Nursyida dan para relawan, akhirnya pelan-pelan, kegiatan literasi pun kembali bermunculan di seluruh penjuru Lombok Utara seiring mulai pulihnya kembali kehidupan paska gempa, disertai situasi pandemi yang mulai terkontrol.

Hasil Akhir yang Indah

Begitu banyak pemerhati literasi yang melirik perjuangan Nursyida dan bersedia mengulurkan tangan untuk bersinergi. Bahkan kegiatan Klub Baca Perempuan kini telah menjadi sorotan bebagai media. Nursyida bahkan sering diundang ke berbagai talkshow dan seminar untuk memberi inspirasi ke seluruh negeri.

Kerja keras Nursyida membangun literasi di daerahnya yang tertinggal mendapat penghargaan yang tidak sedikit. Bahkan hadiah-hadiah yang diterimanya dalam jumlah yang cukup besar kembali ia pergunakan untuk mendukung gerakan Klub Baca Perempuan.

“Allah telah memberi saya begitu banyak kemudahan hidup. Saya tidak boleh rakus dengan menikmatinya sendiri.” tutur Nursyida.

Ketika ditanya harapannya untuk anak negeri di masa depan, Nursyida menjawab dengan mata berlinang.

“Mereka tak harus mengingat apa yang saya lakukan hari ini. Impian saya sederhana saja; anak-anak negeri bertumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, sehat jasmani dan rohani, percaya akan kuasa Tuhan, rendah hati, pengasih, cerdas, santun, dan mencintai negeri ini dengan seluruh jiwa raganya. Kemudian mengimplementasikan cinta itu dengan cara mereka sendiri. Dengan demikian kerja-kerja keras saya terbayarkan.”

Klub Baca Perempuan bisa jadi sebuah lembaga kecil yang dijalankan sekelompok ibu-ibu rumah tangga biasa. Namun Nursyida berharap, lembaga kecil ini dapat memberi dampak pada masalah-masalah sosial di sekitar. Karena mengajak orang lain membaca harus disertai dengan kesediaan memberi solusi untuk masalah apapun yang mereka hadapi. Karena sejatinya literasi erat hubungannya dengan kepekaan sosial dan kemanusiaan.

https://pixabay.com/photos/hands-pregnant-woman-heart-love-2568594/

Bagaimana Kita Bisa Melindungi Perempuan Hamil yang Bekerja saat Pandemi?

Oleh: Fadilla Putri

Baru-baru ini,  sahabat sejak masa kecil mengeluhkan betapa sulitnya harus pergi bekerja di masa pandemi ketika hamil. Saat ini ia memasuki kehamilan trimester keduanya. Keluhan itu bahkan telah ia utarakan sejak awal kehamilannya: tidak bisa makan karena seringkali berujung mual hebat hingga muntah, merasa tidak sehat tapi tak ada penyakit kecuali kehamilan itu, tidak nyaman atau sedih tapi sulit untuk diceritakan atau dikeluhkan karena hal itu dianggap hal yang biasa. Kejadian-kejadian itu  kerap ia alami bahkan ketika dekat dengan suaminya, atau di tengah keluarga, atau di kantor.

Pengalaman hamil tentu akan menjadi memori yang sangat lekat bagi perempuan. Ketika saya hamil tiga tahun lalu, saya mengalami masa-masa terberat karena gangguan kehamilan.  Saya tidak boleh turun dari tempat tidur karena cenderung mengalami pendarahan. Ketika itu saya masih belum berkantor di Rumah KitaB. Karena keluhan-keluhan itu sekitar tiga minggu saya absen dari kantor. Setelah merasa kuat dan kembali ke kantor, waktu bekerja sering saya habiskan berbaring di dalam ruang menyusui karena saya dilarang dokter duduk dalam jangka waktu lama. Beruntung  saat itu saya bekerja di sebuah kantor untuk perlindungan anak, sehingga hak saya sebagai perempuan bekerja yang sedang mengandung sangat dilindungi.

Dalam keadaan dunia yang “normal” pun, kehamilan itu berat.  Al-Qur’an surat Lukman ayat 14 disebutkan: “Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”

Al-Qur’an menyebutkan bahwa perempuan hamil berada dalam kondisi lemah yang bertambah-tambah. Ibu Lies Marcoes, Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), kerap kali menjelaskannya sebagai “berat di atas berat” dan “sulit di atas sulit” untuk menjelaskan betapa beratnya kehamilan itu. 

Sahabat saya ini bekerja di sebuah instansi di bilangan Jakarta. Setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan, setiap pekan ia wajib masuk kantor secara bergiliran; satu hari di rumah, satu hari di kantor, begitu seterusnya. Bahkan akhir tahun lalu, ia masuk kantor hampir setiap hari karena banyaknya deadline pekerjaan akhir tahun.

Sebuah riset yang dilakukan oleh dosen Universitas Indonesia, Kanti Pertiwi, pada 96 perempuan pekerja usia 20-50 tahun sepanjang Juni-Agustus 2020 menunjukkan bahwa informan perempuan merasakan tekanan dari kebijakan kantornya yang maskulin selama pandemi. Tolak ukur produktivitas dan beban kerja tidak mengalami penyesuaian meskipun pandemi.

Selain lansia, orang dengan penyakit penyerta, dan tenaga medis, perempuan hamil termasuk ke dalam kelompok rentan terhadap Covid-19. Kehamilan sendiri sudah mengandung risiko. Ditambah dengan adanya pandemi, seorang perempuan hamil menjadi semakin rentan terhadap Covid-19.

Kebijakan kantor yang tidak sensitif gender menganggap seolah-olah keadaan seorang perempuan hamil adalah sama dengan pekerja lainnya. Ketika perempuan mengalami hambatan bekerja karena kehamilannya, hambatan itu harus ditanggulangi sendiri karena tidak ada upaya untuk memperbaiki atau mengakomodasi kebutuhannya. Muncul juga anggapan perempuan hamil tidak bisa seproduktif kolega lainnya karena “kesalahannya” sendiri atas keadaannya. Perempuan sendirilah  yang harus menanggung risiko untuk bisa catch up dengan kolega lainnya. Cara pandang ini telah mengabaikan hak yang paling dasar yang dilindungi baik oleh agama maupun oleh Undang-Undang Kesehatan.

Padahal, adalah kewajiban perusahaan atau instansi terkait untuk melindungi, atau setidaknya mengakomodasi kebutuhan para perempuan hamil yang aktif bekerja.

Pertama, perusahaan bisa memberikan fleksibilitas kepada karyawan atau staf perempuan yang sedang hamil untuk mengurangi jadwal “piket”nya untuk masuk kantor guna meminimalisasi kontak dengan banyak orang tanpa harus mengurangi kewajibannya dalam bekerja. Ini berarti  perusahaan atau instansi mengeluarkan kebijakan bahwa perempuan hamil bisa bekerja dari rumah sepanjang kehamilannya. Terutama jika kantor berada pada gedung tertutup yang tidak memungkinkan protokol VDJ yang maksimal (ventilasi, durasi, dan jarak), karena risiko Covid-19 tidak hanya ada pada sang ibu, tetapi juga pada sang bayi. Dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jelas ditegaskan bahwa anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang, sementara definisi anak adalah seseorang di bawah 18 tahun, termasuk yang berada dalam kandungan. Ini artinya, perempuan hamil berhak mendapatkan perlindungan maksimal atas keselamatan janinnya, termasuk oleh perusahaan/instansi tempat ia bekerja, karena haknya dilindungi oleh negara. 

Kedua, mengakomodasi kebutuhan perempuan hamil jika ia tetap harus masuk kantor. Memang, tidak semua jenis pekerjaan dapat dikerjakan dari rumah. Beberapa pekerjaan, teruma yang berhubungan dengan sektor jasa, membutuhkan kehadiran fisik pekerja di tempat kerjanya. Akan tetapi, banyak cara yang dapat dilakukan untuk melindungi perempuan hamil selama ia bertugas. Misalnya, dengan memberikannya ia akses pada ruangan privat agar dapat beristirahat ketika lelah atau mengalami mual hebat. Dalam keadaan khusus, misalnya ketika kehamilan seorang perempuan mengalami risiko tinggi—entah risiko perdarahan dan lainnya—perusahaan dapat mengurangi beban atau jam kerjanya, atau menggunakan hak cuti sakitnya. 

Ketiga, hak perempuan dilindungi dalam pasal 82 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk mendapatkan paid maternity leave selama 3 bulan. Artinya, ia dibayar penuh selama cuti hamil dan melahirkan. Bahkan, beberapa perusahaan di Indonesia telah menerapkan cuti 6 bulan bagi perempuan yang melahirkan untuk mendukung ASI eksklusif.

Masalahnya, tidak semua perusahaan atau tempat kerja memiliki perspektif yang sama. Hasil analisis situasi perempuan bekerja yang dilakukan Rumah KitaB pada Agustus-September 2020 lalu di Bandung misalnya, menemukan sebuah perusahaan yang sama sekali tidak memberikan hak cuti bagi perempuan, baik cuti haid, hamil, maupun melahirkan. Sehingga, para pekerja perempuan yang hamil terpaksa harus mengundurkan diri sebelum melahirkan karena haknya untuk tetap bekerja pasca melahirkan tidak terpenuhi. 

Pada akhirnya tulisan ini ingin menekankan bahwa, dalam kondisi dunia yang “normal” pun, kehamilan sudah berat. Bisakah terbayangkah bagaimana beratnya hamil dalam kondisi krisis wabah global? Ini adalah kewajiban perusahaan, lembaga, dan negara untuk melindungi kelompok rentan Covid-19, tak terkecuali perempuan hamil yang bekerja. Kebijakan tempat kerja dan pemimpin perempuan yang memahami pengalaman unik perempuan adalah salah satu kunci untuk mendukung agar perempuan dapat terus berpartisipasi di ruang publik, apapun kondisinya [].

rumah kitab

Merebut Tafsir: Tahun Baru dan Survei Seksualitas (Edisi Revisi)

Jika tidak ada covid-19, saya berani bertaruh isu yang muncul di akhir tahun ini adalah seruan melarang pesta Tahun Baru. Bukan saja dianggap perbuatan sia-sia, atau meniru adat bejat “Barat”, Tahun Baru selalu dikaitkan dengan maksiat seks pra-nikah. Terlebih karena akhir tahun ini ditutup oleh berita hasil survei tentang praktik seksual aktif kaum remaja di Depok. (CNN 28/12/20)

Survei yang bersumber dari Komnas Perlindungan Anak ini menyebutkan 93% dari 4.700 siswi SMP/SMA di Depok mengaku pernah berhubungan seks. Sementara anggota Komisi VIII Fraksi PKS, Nur Azizah menyebut angka yang sedikit lebih rendah, 70%. Bagi Komnas Perempuan, survei ini membuktikan belaka bahwa pendidikan kesehatan reproduksi para remaja sudah tak bisa ditawar.

Telah berulang kali isu serupa muncul di negeri ini. Dan gonjang-ganjingnya tak pernah maju ke arah yang dapat menyelesaikan masalah. Anak remaja tetap menjadi sasaran stigma, tanpa solusi positif bagi mereka.

Sesungguhnya survei serupa itu bukan isu baru. Tahun 1983, sebuah kehebohan akibat hasil survei meledak di Yogyakarta. Sulistyo Eko secara kreatif melakukan survei di antara teman-temannya sendiri di lingkungan SMA di Yogyakarta. Hasilnya kemudian dimuat koran lokal pada 9 Januari 1983. Temuan survei ini – dibandingkan kasus Depok, tak ada apa-apanya. Hanya di bawah 10 % mengaku berpacaran dengan melakukan seks aktif. Angka yang sama menyatakan itu sebagai hal yang wajar, 31,6% mengaku berpacaraan sambil saling meraba wilayah sensitif dan pernah menonton film biru. 

Namun atas survei itu ributnya minta ampun. Ada yang menyoal kredibilitas survei atas 462 siswa itu, ada yang mempertanyakan teknik pengolahan datanya, ada yang menganggap Eko sedang cari sensasi karena tak lagi terpilih sebagai ketua OSIS. Lucu memang.  

Sayangnya, respon kepada Eko sangat tidak lucu. Pihak “berwajib” dari Dinas Pendidikan menganggap survei itu “tamparan yang memalukan Yogyakarta”. Untung sejumlah pegiat isu kesehatan reproduksi seperti Prof. Masri Singarimbun dari UGM  dan PKBI Jogja menganggap ini berita baik: lelaki muda peduli pada isu mereka sendiri dan berani melakukan penelitian mandiri. Eko menyusun pertanyaan berdasarkan bacaannya, lalu mengetik pertanyaan dan mencetaknya pakai stensil. Semuanya ia bayar pakai uang jajannya sendiri. 

Namun pihak lain yang lebih ketakutan atas hasil survei itu tak peduli. Kreativitas Eko dibrangus. Ia dipaksa pindah ke sekolah swasta. Karena telah kelas III, ia nyaris tak dapat ikut ujian akhir. Untung Pak Prof. Andi Hakim Nasition, Rektor IPB, yang memiliki ide-ide cemerlang dan inovatif dalam penjaringan siswa pintar, ikut turun tangan. Eko pun jadi mahasiswa terundang masuk ke IPB.

Isu seksualitas remaja, senantiasa membelah sikap orang dewasa. Ada yang menganggap sudah saatnya pendidikan kesehatan reproduksi diberikan kepada remaja, atau jika perlu membuka akses layanan kontrasepsi. Ini karena akses mereka untuk mendapatkan informasi dari jendela lain terbuka sudah. Sementara orang dewasa lain menganggap cara itu hanya akan menuntun remaja lebih aktif mencari tahu dan ingin coba-coba. Namun jika disilang dengan informasi lain seperti praktik perkawinan anak, penyebab utama perkawinan itu karena mereka telah aktif secara seksual, bahkan sebagiannya tak lagi dapat dilerai karena sudah terlanjur hamil. Mau apa? 

Pihak yang tak setuju soal pendidikan kesehatan reproduksi menawarkan pilihan lain. Ini mirip siput. Dapat tantang langsung mengkeret. Mereka memilih  cara yang lebih konservatif berbasis prasangka buruk kepada remaja. Tawarannya misalnya kampanye “Indonesia Tanpa Pacaran” atau “Siapa Takut Nikah Dini” atau bahkan dengan memisahkan ruang belajar siswa. 

Jadi alih-alih mencari jalan keluar cerdas, kelompok ini memilih jalan gampangan, kawinkan para remaja itu diusia yang jauh dari matang, atau batasi langkah anak perempuan. Apalagi untuk wilayah seperti Depok, yang siapapun tahu itu adalah wilayah partai yang getol mengusung isu moral. Padahal moral sih gampang, yang sulit bermoral secara subtantif dengan modal cerdas akal dan nurani. Untuk itu kasih mereka informasi, ajak mereka menganali tubuh dan hasratnya sebagai hal yang positif, karunia Allah yang sangat indah!

“Bergaul yes, seks aktif biarkan mereka yang memutuskan setelah diberi informasi yang benar dan lengkap, termasuk hubungan seks yang beresiko, dan cara negosiasi untuk mengatakan no!” SELAMAT TAHUN BARU 2021

# Lies Marcoes, 31 Desember 2020.