Empat Alasan Menyoal Sunat Perempuan
Wartawan Jakarta Globe Bastiaan Scherpen yang mengutip laporan UNICEF menyebutkan ada 14 juta anak perempuan di Indonesia pernah mengalami sunat perempuan. Seorang perempuan Jawa yang kini tinggal di luar negeri begitu terheran-heran dan menyimpulkan bahwa itu sebuah laporan yang ridiculous—menggelikan. Menurutnya, sebagai orang Jawa yang tinggal di Yogyakarta, ia belum pernah melihat peristiwa itu. Sementara 14 juta bukanlah jumlah yang sedikit.
Tanggapan perempuan itu tak mengada-ada. Peneliti dari Perancis Andree Feilard yang saya bantu di lapangan dan kemudian menuliskannya di jurnal The Arsipel Perancis menyimpulkan bahwa praktik sunat perempuan telah digunakan sebagai simbol “pengislaman” namun diperlakukan sebagai sesuatu yang biasa, bahkan tak dianggap penting dan cenderung dilaksanakan sebagai sesuatu yang hanya menjadi “rahasia” atau urusan perempuan semata (ibu dan paraji sunatnya). Karena ini merupakan tradisi yang tak memiliki ketentuan, bahkan aturan medis, praktik sunat perempuan cenderung menjadi kebiasaan yang tak seragam. Dalam tradisi di Sulawesi Selatan, sunat perempuan diperlakukan sebagai upacara inisiasi yang lebih meriah dan bergengsi. Demikian juga di Jawa Barat. Selebihnya adalah peristiwa yang adem ayem.
Kita baru heboh ketika wartawan CNN meliput ratusan anak perempuan mengikuti prosesi sunat massal di sebuah klinik “syariah” di Bandung. Dan dari laporan itu, jelas bahwa ini bukan praktik simbolik, tetapi melukai kelamin anak hingga tergambar anak yang menjerit-jerit, bahkan menangis kejang.
Praktik ini semestinya menjadi sesuatu yang tak “dipersoalkan” sebagaimana perlakuan pada anak perempuan yang ditindik agar bisa menggunakan perhiasan anting-anting. Tak sedikit juga tindikan itu yang membuat telinga anak bisa infeksi dan atau membuat anak jadi trauma. Lalu di mana persoalannya dengan sunat perempuan?
Setidaknya ada empat persoalan sebagaimana dibahas dalam seminar internasional Seminar Internasional “Female Genital Mutilation/Cutting: Discussions from Social-Cultural and Health Perspectives” yang digagas oleh UNFPA Indonesia pada 17 September 2015 lalu di Jakarta:
Pertama, sunat perempuan terkait dengan anatomi yang ada dalam tubuh perempuan, yaitu vagina dan clitoris-nya. Itu merupakan sumber syaraf yang berpengaruh pada penikmatan seksualnya. Juga terkait dengan alat dan fungsi reproduksinya. Jika terjadi infeksi—berbeda dari infeksi daun telinga—pada vagina akan berpengaruh pada alat dan funsgi reproduksinya.
Kedua, sunat perempuan merupakan tradisi. Namun tradisi itu mengalami proses “pengagamaan” di mana argumentasi keagamaan digunakan sebagai dasar praktik sunat itu. Seluruh debat antara setuju dan tidak setuju, antara mempraktikkan dan tidak mempraktikkan sunat itu mengambil rujukan teks keagamaan, dan karenanya menjadi sulit “dibicarakan”. Terlebih ketika agama menjadi acuan dan tolok ukur “kesalehan” dan tradisi tak gampang disaring dari praktik keagamaan. Makin besar gairah beragama di masyarakat, makin besar kemungkinan praktik sunat di-“Islamisasikan”.
Ketiga, karena terkait dengan anatomi tubuh manusia, praktik sunat perempuan mau tidak mau harus menjadi bagian dari persoalan kesehatan. Masalahnya, di dalam ilmu anatomi dan kedokteran, apa yang disebut dengan “kulit ari penutup clitoris” sama sekali tak dikenal dan tak mewujud. Ini berbeda dengan daun telinga yang wujudnya ada. Jadi, meskipun menindik adalah bagian dari tradisi, namun anatomi yang hendak ditindik memang ada, yaitu ujung bawah daun telinga. Pada sunat perempuan, dunia medis modern sama sekali tak menemukan “benda” itu. Kulit ari tipis yang menutupi klitoris hanyalah imaginasi tradisi dan agama dan karenanya pihak medis harus cari akal untuk “mengakui” keberadaannya mengingat kebenaran agama dalam waktu dan konteks dianggap harus lebih unggul dari kebenaran science.
Keempat, dan yang paling rumit adalah soal pemaknaan. Meskipun sunat itu seringkali dilakukan dalam bentuk simbolik seperti dengan mengusapkan kunyit yang dibentuk runcing atau betadin, namun gagasan soal mengapa sunat perempuan dilakukan berasal dari cara pandang yang menganggap nafsu perempuan syahwat liar dan perlu dikontrol. Anggapan itulah yang lebih berbahaya dari praktik sunat itu sendiri. Sebab kontrol atas tubuh, seksualitas, pikiran, dan kehendak perempuan diawali dari praktik sunat perempuan itu.
Karenanya sangatlah menarik pernyataan Ibu Sinta Nuriyah dalam keynote speech-nya bahwa seluruh perempuan dalam keluarga Hasyim Asy’ari, kakek KH. Abdurrahman Wahid, tidak pernah disunat. Bukan saja karena itu tak punya dalil teksnya, tapi karena praktik itu dianggap merendahkan apa yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia. []
Ilustrasi dari StockVault.