Empat Alasan Menyoal Sunat Perempuan

Wartawan Jakarta Globe Bastiaan Scherpen yang mengutip laporan UNICEF menyebutkan ada 14 juta anak perempuan di Indonesia pernah mengalami sunat perempuan. Seorang perempuan Jawa yang kini tinggal di luar negeri begitu terheran-heran dan menyimpulkan bahwa itu sebuah laporan yang ridiculous—menggelikan. Menurutnya, sebagai orang Jawa yang tinggal di Yogyakarta, ia belum pernah melihat peristiwa itu. Sementara 14 juta bukanlah jumlah yang sedikit.

Tanggapan perempuan itu tak mengada-ada. Peneliti dari Perancis Andree Feilard yang saya bantu di lapangan dan kemudian menuliskannya di jurnal The Arsipel Perancis menyimpulkan bahwa praktik sunat perempuan telah digunakan sebagai simbol “pengislaman” namun diperlakukan sebagai sesuatu yang biasa, bahkan tak dianggap penting dan cenderung dilaksanakan sebagai sesuatu yang hanya menjadi “rahasia” atau urusan perempuan semata (ibu dan paraji sunatnya). Karena ini merupakan tradisi yang tak memiliki ketentuan, bahkan aturan medis, praktik sunat perempuan cenderung menjadi kebiasaan yang tak seragam. Dalam tradisi di Sulawesi Selatan, sunat perempuan diperlakukan sebagai upacara inisiasi yang lebih meriah dan bergengsi. Demikian juga di Jawa Barat. Selebihnya adalah peristiwa yang adem ayem.

Kita baru heboh ketika wartawan CNN meliput ratusan anak perempuan mengikuti prosesi sunat massal di sebuah klinik “syariah” di Bandung. Dan dari laporan itu, jelas bahwa ini bukan praktik simbolik, tetapi melukai kelamin anak hingga tergambar anak yang menjerit-jerit, bahkan menangis kejang.

Praktik ini semestinya menjadi sesuatu yang tak “dipersoalkan” sebagaimana perlakuan pada anak perempuan yang ditindik agar bisa menggunakan perhiasan anting-anting. Tak sedikit juga tindikan itu yang membuat telinga anak bisa infeksi dan atau membuat anak jadi trauma. Lalu di mana persoalannya dengan sunat perempuan?

Setidaknya ada empat persoalan sebagaimana dibahas dalam seminar internasional Seminar Internasional “Female Genital Mutilation/Cutting: Discussions from Social-Cultural and Health Perspectives” yang digagas oleh UNFPA Indonesia pada 17 September 2015 lalu di Jakarta:

Pertama, sunat perempuan terkait dengan anatomi yang ada dalam tubuh perempuan, yaitu vagina dan clitoris-nya. Itu merupakan sumber syaraf yang berpengaruh pada penikmatan seksualnya. Juga terkait dengan alat dan fungsi reproduksinya. Jika terjadi infeksi—berbeda dari infeksi daun telinga—pada vagina akan berpengaruh pada alat dan funsgi reproduksinya.

Kedua, sunat perempuan merupakan tradisi. Namun tradisi itu mengalami proses “pengagamaan” di mana argumentasi keagamaan digunakan sebagai dasar praktik sunat itu. Seluruh debat antara setuju dan tidak setuju, antara mempraktikkan dan tidak mempraktikkan sunat itu mengambil rujukan teks keagamaan, dan karenanya menjadi sulit “dibicarakan”. Terlebih ketika agama menjadi acuan dan tolok ukur “kesalehan” dan tradisi tak gampang disaring dari praktik keagamaan. Makin besar gairah beragama di masyarakat, makin besar kemungkinan praktik sunat di-“Islamisasikan”.

Ketiga, karena terkait dengan anatomi tubuh manusia, praktik sunat perempuan mau tidak mau harus menjadi bagian dari persoalan kesehatan. Masalahnya, di dalam ilmu anatomi dan kedokteran, apa yang disebut dengan “kulit ari penutup clitoris” sama sekali tak dikenal dan tak mewujud. Ini berbeda dengan daun telinga yang wujudnya ada. Jadi, meskipun menindik adalah bagian dari tradisi, namun anatomi yang hendak ditindik memang ada, yaitu ujung bawah daun telinga. Pada sunat perempuan, dunia medis modern sama sekali tak menemukan “benda” itu. Kulit ari tipis yang menutupi klitoris hanyalah imaginasi tradisi dan agama dan karenanya pihak medis harus cari akal untuk “mengakui” keberadaannya mengingat kebenaran agama dalam waktu dan konteks dianggap harus lebih unggul dari kebenaran science.

Keempat, dan yang paling rumit adalah soal pemaknaan. Meskipun sunat itu seringkali dilakukan dalam bentuk simbolik seperti dengan mengusapkan kunyit yang dibentuk runcing atau betadin, namun gagasan soal mengapa sunat perempuan dilakukan berasal dari cara pandang yang menganggap nafsu perempuan syahwat liar dan perlu dikontrol. Anggapan itulah yang lebih berbahaya dari praktik sunat itu sendiri. Sebab kontrol atas tubuh, seksualitas, pikiran, dan kehendak perempuan diawali dari praktik sunat perempuan itu.

Karenanya sangatlah menarik pernyataan Ibu Sinta Nuriyah dalam keynote speech-nya bahwa seluruh perempuan dalam keluarga Hasyim Asy’ari, kakek KH. Abdurrahman Wahid, tidak pernah disunat. Bukan saja karena itu tak punya dalil teksnya, tapi karena praktik itu dianggap merendahkan apa yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia. []

Ilustrasi dari StockVault.

Puasa dan Yatim Piatu Sosial

Dimuat di kolom Opini Harian Kompas edisi 19 Juni 2015

Setiap Ramadhan, tak terbilang kata terucap tentang puasa dan kewajiban menyantuni yatim-piatu. Bahkan bagi yang tak sanggup, dan tak bisa menggantinya di bulan lain, memberi makan yatim dan fakir miskin adalah amalan yang setimpal. Dalam Al Qur’an sangat banyak ayat menyebutkan perintah menjalankan shalat dan puasa yang dilanjutkan dengan kewajiban sosial menyantuni kaum fakir miskin, “Dirikanlah shalat, bayarlah zakat.”

Tapi tidakkah kita merasa perlu untuk kembali bertanya, siapakah “yatim-piatu” itu? Jamak diketahui sebutan itu dinisbatkan kepada anak-anak yang tak berayah, tak beribu, atau tak ada salah satu di antara keduanya. Masalahnya, pemaknaan itu mengandaikan ayah-ibu adalah sumber kehidupan sekaligus perlindungan. Padahal stuktur masyarakat dan faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi ”yatim- piatu” kini telah berubah bersama perubahan ruang hidup dan relas-ralasi kuasa yang mempengaruhinya. Di masa perintah itu diwahyukan, orang tua merupakan sumber perlindungan yang juga mendapatkan dukungan serta proteksi dari puak atau kaumnya. Dalam stuktur masyarakat tradisional agraris, fungsi perlindungan dan daya dukung sosial, daya dukung alam, serta mekanisme-mekanisme perlindungannya yang kemudian didokumentasikan sebagai pedoman moral dalam Al Qur’an, cukup jitu untuk menjalankan fungsi proteksi dan dukungan terhadap yatim piatu dan kaum miskin itu.

Dalam stuktur masyarakat Mekah dan Madinah, fungsi itu tumbuh dan bergerak dalam masyarakat komunal yang mengandalkan kekuatan perkauman atau puak di mana para kepala-kepala kabilah menjalankan fungsi perlindungan itu. Islam kemudian membangun aturan yang tak hanya di sisi aturan normatif ideal saja, melainkan juga tata cara pelaksanaan pada tingkatan yang lebih praktik menyangkut pengaturan dalam tata cara perlindungan itu. Al Qur’an menggambarkan dengan sangat detail bagaimana mekanisme-mekanisme perlindungan itu diatur, seperti kewajiban membayar zakat fitrah dengan ukuran-ukuran tertentu yang dalam masanya dianggap memadai untuk memenuhi santunan fakir miskin dan yatim piatu itu.

Masalahnya, dalam stuktur-sturuktur sosial ekonomi modern, predikat “yatim-piatu” ternyata tak melulu karena tak berayah-ibu melainkan juga tak berayah-ibu secara sosial. Ini misalnya dihadapi anak-anak dan kaum remaja yang ayah-ibunya merantau sebagai TKI/TKW dan atau sebagai pekerja sirkuler. Dalam waktu yang bersamaan, fungsi sosial perkauman tak lagi bisa diandalkan akibat campur tangan korporasi, negara dan globalisasi ekonomi, serta aturan negara yang tak sensitif pada perubahan situasi itu. Fungsi proteksi orang tua dan kaum tergerus habis oleh perubahan-perubahan sosial yang menyebabkan munculnya yatim piatu yang tak melulu dialami anak yang tak berayah-ibu, tetapi juga anak-anak yang berayah ibu namun kehilangan seluruh daya dukung sosialnya sebagai ayah dan ibu.

Lihat misalnya di daerah-daerah di mana orang-orang tua menjadi pekerja migran seperti di NTB, Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Barat dan Selatan. Angka perkawinan anak luar biasa tinggi. Penyebabnya sangat jelas, karena anak-anak tumbuh tanpa orang tua pengganti yang memiliki kemampuan untuk memproteksi tumbuh kembang mereka. Perubahan-perubahan ruang hidup telah mengubah struktur kekerabatan di desa karena sumber ekonomi mereka juga musnah. Sementara sumber ekonomi pengganti seperti industri perkebunan kelapa sawit, tambang, minyak, semen tak mengenal peran-peran perlindungan sosio komunal itu. Celakanya, fungsi adat sebagai ciri adanya kaum yang kini tersisa tak juga sanggup menjadi penolong melainkan menjadi kekuatan penekan demi menjaga satu-satunya benteng pertahanan mereka: harga diri perkauman. Jadilah anak-anak remaja benar-benar mengalami yatim piatu secara sosial; tak berayah-ibu ketika mereka absen, dan tak mendapat perlindungan perkauman karena kekuatan mereka juga hilang, satu-satunya yang tersisa adalah “martabat kaum” yang terus digusur oleh perubahan ruang hidup akibat globalisasi ekonomi.

Kita dapat melanjutkan pembacaan peta ini dengan membuka statistik lain. Angka putus sekolah, angka kematian ibu, kematian anak semuanya terjadi pada warga di wilayah-wilayah yang secara nyata mengalami perubahan ruang hidup, dari hutan rimba menjadi perkebunan sawit, dari pertanian huma dan sawah menjadi tambang batu bara, minyak dan gas, dari pertanian sawah menjadi indutri pariwisata, dari pantai dan pesisir tempat hidup nelayan menjadi arena tambang pasir besi, dan seterusnya.
Lalu siapa lagikah yang tak menjadi yatim piatu sosial dalam perubahkan stuktur masyarakat, relasi-relasi kuasa dan ruang hidup seperti ini? Sangat jelas, yatim-piatu itu ternyata tak hanya mereka yang tak berayah ibu dan hanya anak-anak, tetapi juga mereka yang kehilangan sumber-sumber perlindungan, penghidupan dan dukungan sosial.

Dalam masyarakat yang mengglobal, perubahan dan pergeseran ruang hidup berlangsung dahsyat dan menyebabkan munculnya warga yang secara langsung mengalami yatim piatu seperti pada zaman Nabi; tak mandiri, bergantung pada bantuan orang lain, rentan, dan fakir miskin.

Perubahan ruang hidup telah menghasilkan kekayaan melimpah di satu pihak dan ekspolitasi raksasa dengan pesebaran masif di pihak lain. Perubahan itu secara nyata juga telah mengubah hubungan-hubungan sosial kearah hubungan eksploitatif dan menindas. Dalam stuktur masyarakat yang berubah itu, tentu predikat “yatim piatu” telah pula berubah dan meluas.

Dalam perubahan seperti ini, perlindungan yatim piatu jelas membutuhkan cara pandang baru, bukan saja pada definisi siapa itu yatim piatu tetapi juga pada cara untuk mengatasinya. Rumah yatim piatu dan santunannya pasilah tak dapat diandalkan sebagai jawaban jitu. Kita menanti lahirnya pemikiran sosial keagamaan yang dapat menangkap gejala yatim piatu sosial dan mencari jawabannya dengan mengambil inti sari perintah menjalankan puasa dan menyantuni yakin piatu dan fakir miskin. Selamat Menjalankan Ibadah Puasa []

Lies Marcoes merupakan alumni IAIN Jakarta dan Direktur Rumah Kitab

Menggali Data, Menghitung Usia

Untuk menemukan data kawin anak di kantor pemerintahan seperti Pengadilan Agama sangat sulit. Mereka biasanya mengatakan dalam dokumen yang dipunya, angka kawin anak sangat rendah. Angka resminya biasanya sama dengan angka permohonan dispensasi nikah. Sementara di PA, angka itu bisa dilihat dari permohonan isbath nikah. Namun, ada berbagai cara untuk melakukan penggalian data dalam rangka mencari tahu angka kawin anak. Misalnya, menelusuri angka yang mencatat umur perempuan ketika melahirkan pertama kali. Itu bisa ditelusuri di Puskesmas. Atau lakukan penelusuran terbalik, misalnya tahun berapa lulus SD, tahun berapa kawin, dan berapa umur anak yang sulung. Dari sana dapat ditelusuri apakah terjadi perkawinan anak.

Peneliti juga bisa datang ke PA, seperti yang kami lakukan di PA Makassar. Kami bertemu dengan Subaedah yang hendak gugat cerai. Di surat nikahnya tercatat kelahiran 11-08-1995. Data yang tertera menunjukkan bahwa saat ini umurnya 20 tahun. Menurutnya ia telah punya 2 anak, yang sulung 2 tahun lebih. Jika ditambah masa hamil 9 bulan maka perkawinannya telah berlangsung lebih dari 3,5 tahun. Itu berarti perkawinanya pastilah ketika ia berumur 16 tahunan. Ketika dicek dengan pendidikannya, ia menikah setelah lulus SMP. Menurut Ibu Harijah, Wakil ketua PA Makassar, tiap bulan tercatat 200 kasus perceraian, 70% cerai gugat dan 25- 30% disebabkan perkawinan di usia muda yang sebagiannya menggunakan permohonan dispensasi nikah karena perkawinanya ditolak KUA.

Catatan lapangan Lies Marcoes dan Fadilla, Makassar, Sulawesi Selatan

Hak Pendidikan Anak Perempuan

Kelembagaan seperti pesantren berperan besar dalam menghentikan praktik perkawinan anak. Ini menunjukkan institusi agama memiliki otoritas tinggi yang bisa melebihi otoritas aparat negara. Kyai dapat menjadi mitra dalam advokasi menurunkan praktik perkawinan anak dengan otoritasnya.

Sebuah pesantren di Batu Putih, Sumenep yang memiliki lembaga formal setingkat Tsanawiyah (SMP) asuhan Kyai Syafi’i mengizinkan murid perempuannya yang telah menikah untuk tetap meneruskan pendidikan, meskipun secara fomal hal itu tidak dibenarkan.

Bagi sang Kyai, sepanjang praktik kawin anak masih kuat berlaku di masyarakat, sementara negara tidak sanggup memberantasnya karena terkait dengan budaya, maka yang wajib dilakukannya adalah mengikuti kaidah hukum fiqh “mengurangi sebanyak mungkin mudharat yang ditimbulkannya”.

Karena tidak dapat mencegah praktik kawin anak, yang ia usahakan adalah tidak mengurangi hak pendidikan anak perempuan.

Catatan lapangan Roland Gunawan, diolah oleh Lies Marcoes

Patokan Kewarasan Beragama

Globalisasi tak hanya mendekatkan jarak fisik dan merelatifkan batas ruang pribadi dan publik, tetapi juga menumbuhkan kegamangan, kekhawatiran, dan rasa tak berdaya dari kalangan pegiat agama dalam menghadapi berbagai perubahan sosial yang dahsyat dan celakanya melahirkan sikap fundamentalis.

Hal itu karena ajaran agama (Islam) berisi pedoman hidup agar tak tersesat dalam arus perubahan sosial. Agama dianggap sebagai pegangan dan jalan untuk kembali, dan karena itu dalam agama terdapat semangat konservasi yang bisa naik turun sesuai kebutuhan.

Pada kenyataannya, perkembangan sosial-ekonomi dalam era gobalisasi seolah menjungkirbalikkan hal-hal yang semula dianggap sebagai pegangan dan telah selesai di atur dalam agama, termasuk urusan relasi gender. Dalam bidang fikih (ilmu hukum tentang Islam, salah satu elemen penting dalam Islam), rumusan tentang peran, kedudukan, hak kewajiban lelaki dan perempuan telah diuraikan sangat terperinci dan dianggap sebagai hukum mutlak yang tak boleh berubah atau diperbarui.

Relasi gender dalam Islam berangkat dari prinsip relasi yang memang tidak setara. Lelaki adalah pemimpin, sedangkan perempuan adalah yang dipimpin. Lelaki menempati kedudukan sebagai kepala keluarga dan pemilik/penguasa atas perempuan/istrinya. Berdasarkan hukum fikih, hak itu diperoleh melalui perkawinan, di mana lelaki membayar mahar serta peran normatifnya sebagai pencari nafkah. Sementara, bila (anak) perempuan belum menikah, dia ini adalah hak milik sang ayah atau klan dari pihak ayah; merekalah yang berhak mengawinkannya. Intinya, seluruh aturan tentang relasi gender dalam fikih Islam berangkat dari konsep kepemilikan mutlak lelaki atas perempuan dan bukan hubungan yang resiprokal.

Konservasi agama membutuhkan arena untuk mengimplementasikan aturan-aturan seperti itu. Peran tradisional perempuan sebagai makhluk domestik sangat selaras dengan tuntutan konservasi agama. Perempuan diharap berperan sebagai penjaga moral serta mengawal kemurnian dan martabat agama. Pandangan itu sangat kukuh diyakini dan dipraktikkan, terutama untuk hal-hal menyangkut kewajiban kaum perempuan.

Di satu sisi, kolonialisme Barat terhadap negara-negara Islam, dan industrialisasi serta perkembangan pemikiran modernis Islam di sisi lain, berdampak luas pada situasi perempuan Islam di berbagai belahan dunia. Mereka ditarik untuk tetap berada di ranah domestik untuk mengemban tugas sebagai penjaga moral dan keluarga, sedangkan di sisi lain—berkat pendidikan dan tafsiran kaum modernis yang berusaha mendudukkan status perempuan setara dengan lelaki—perempuan didorong atau diminta aktif bergerak di dunia publik.

Namun, pada dasarnya, pandangan Islam modernis tentang kesetaraan gender itu tak pernah menjadi mainstream. Di belahan dunia Islam, tafsiran modernis yang memperjuangkan kesetaraan lelaki dan perempuan menjadi wacana marginal. Bahkan, pandangan itu dianggap sebagai ancaman yang kian memperkuat sikap ektrem kalangan fundamentalis dalam memaknai peran perempuan. Kajian Rumah Kita Bersama tentang wacana mutakhir tentang kawin-anak (usia dini) menunjukkan hasil yang semakin mengkhawatirkan.

Berbeda dari perkembangan di belahan dunia Islam umumnya, perkembangan wacana Islam dan kesetaraan gender di Indonesia sesungguhnya jauh lebih baik. Hal itu diakui oleh para pemikir dan aktivis feminis Islam dari Malaysia, Iran, dan Mesir yang tergabung dalam Musawah Movement. Namun, mengubah tataran wacana menjadi aksi nyata adalah dua hal yang berbeda. Aktivis feminis muslim Indonesia berulang kali menghadapi benturan dengan mayoritas umat Islam yang menolak gagasan pembaruan yang mereka cetuskan. Sebagai contoh dalam kasus upaya revisi atas Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dipimpin oleh feminis terkemuka Prof Musdah Mulia. KHI adalah kompilasi hukum keluarga khas Indonesia yang isinya merupakan perpaduan berbagai cara pandang dan mazhab tentang fikih perkawinan dan keluarga.

Menyadari bahwa aturan dalam KHI belum menggambarkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender, maka dirumuskanlah Cunter Legal Draft (CLD)-KHI. Namun, gagasan itu ternyata memunculkan kontroversi dan penolakan luas serta dianggap sebagai upaya intervensi pihak asing untuk mengganggu rumah tangga keluarga Islam. Penolakan itu tidak hanya datang dari kalangan fundamentalis, tetapi juga dari institusi negara seperti Kementerian Agama. Demikian pula halnya dengan upaya kaum feminis Islam Indonesia dalam menolak sunat perempuan, meningkatkan usia kawin anak perempuan, atau mendiskusikan isu-isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dengan Irshad Manji di Salihara dan LKiS Yogyakarta. Gagasan-gagasan tersebut ditentang bahkan di sebagian kalangan NU yang dikenal sebagai organisasi Islam moderat di Indonesia.

Seiring dengan meluasnya sikap konservatif, mereka juga memandang globalisasi ekonomi telah memorakporandakan bangunan tentang pembagian peran gender tradisional yang diyakini sebagai sesuatu yang sakral dan kehendak Tuhan. Perubahan tersebut membuat kaum konservatif kehilangan otoritas. Mereka geram menyaksikan perempuan berangkat ke kota atau terbang ke negeri lain untuk mengambil peran sebagai pencari nafkah utama. Mereka gerah melihat perempuan masuk ke ruang-ruang publik dan menganggap ini menyalahi ketentuan Tuhan karena merebut posisi yang seharusnya ditempati lelaki. Mereka putus asa ketika melihat agama tak sanggup mencegah globalisasi ekonomi yang bisa mengubah pembagian peran gender yang selama ini mereka yakini sebagai sesuatu yang permanen.

Perubahan sosial yang berdampak pada pembagian peran gender dan perubahan kedudukan perempuan dan lelaki itu tentu mengejutkan kalangan konservatif agama, terlebih bagi lelaki di dunia Islam Timur Tengah dan Asia Selatan yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kedudukan sosialnya sebagai patriak. Kasus-kasus pembunuhan atas nama agama terhadap perempuan oleh kelompok garis keras seperti Taliban di Afganistan, ISIS di Suriah dan Irak, dan Boko Haram di Nigeria, tak sekadar penanda menguatnya fundamentalisme generasi terbaru, tetapi juga pesan kepada dunia bahwa mereka tak menghendaki perempuan keluar dari peran tradisionalnya sebagaimana mereka bayangkan. Mereka terusik oleh perubahan sosial-ekonomi yang mengubah peran dan relasi gender.

Disebut “kaum fundamentalis generasi terbaru” karena pertama, gagasan fudamentalisme mereka tak hanya bersumber dari salah satu mazhab seperti Wahabi, kedua, gerakan mereka ditopang oleh ideologi politik garis keras radikal yang membenarkan tindakan kekerasan. Di atas semua itu, mereka memiliki sumber daya ekonomi melimpah yang diperoleh dari sumber minyak dan gas bumi.

Kelompok-kelompok tersebut umumnya menentang sangat keras upaya-upaya perempuan untuk mendapatkan hak bebas dari kungkungan konservatisme. Pendidikan dan partisipasi perempuan dalam politik serta upaya afirmatif lain yang memungkinkan perempuan mendapatkan hak-haknya dianggap sebagai ancaman bagi agama. Semakin kuat dorongan perubahan akibat globalisasi ekonomi akan semakin kuat pulamenarik tali kekang perempuan untuk kembai ke titik paling statis. Dengan kata lain, perempuan adalah arena kontestasi agama dan globalisasi; perempuan dipertaruhkan demi eksistensi agama yang tak boleh berubah.

Perebutan atas eksistensi perempuan tersebut menjadi persoalan, terutama bagi komunitas muslim berasal dari masyarakat majemuk dan dinamis seperti Indonesia. Situasi perempuan di Indonesia memang tidak sempurna, tetapi jelas sangat berbeda dibanding gambaran perempuan di negara-negara muslim di Asia Selatan, Asia Tengah atau Timur Tengah. Namun demikian, globalisasi telah membuka hubungan yang memungkinkan masuknya aneka pandangan keagamaan dari negara-negara itu (melalui jaringan transnasional) dan menganggap ajaran mereka lebih autentik. Dalam kaitan dengan isu perempuan dan peran gender, situasi demikian tentunya menumbuhkan ketegangan baru.

Paham konservatif Wahabisme sangat jauh dari kebiasaan budaya lokal Nusantara dalam memandang kedudukan dan peran perempuan. Namun, di sisi lain, pandangan tersebut dianggap lebih baik dan sempurna karena sesuai dengan tradisi Islam yang mereka klaim lebih autentik. Sikap rendah diri warga muslim periferal seperti Indonesia tentu sangat berbahaya bila berhadapan dengan kekuatan fundamentalisme Islam yang menyerbu dari Timur Tengah melalui berbagai gerakan puritanisme dan Wahabi yang membawa ayunan pendulum Islam Indonesia semakin ke kanan.

Menyadari bahwa arena kontestasi perebutan cara pandang dalam agama beroperasi pada tubuh dan eksistensi perempuan, maka benteng kewarasan beragama seharusnya bertumpu pada seberapa jauh gerakan Islam di Indonesia mampu menunjukkan kesejatiannya melalui perjuangan dalam menempatkan kaum perempuan.

Juga dimuat di Prisma Indonesia.