Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Sumenep *)

Oleh: Dr. KH. A. Busyro Karim, M.Si., Bupati Sumenep

 

SAYA melihat sampai sekarang ada dua kutub besar yang saling bertolak belakang mengenai perkawinan anak di bawah usia 18 tahun. Kutub pertama mendukung perkawinan anak dengan argumentasi dari al-Qur`an, hadits, dan lain-lain. Kutub kedua menolak perkawinan anak dengan argumentasinya sendiri. Keduanya sama-sama mempunyai dasar teologis, sosiologis, budaya, dan seterusnya. Tetapi saya tidak mau terjebak dalam perdebatan dua kutub besar ini. Dan saya sepakat bahwa perkawinan anak memang harus dicegah karena melihat mudarat dan mafsadat yang ditimbulkannya bagi generasi bangsa ini pada masa-masa mendatang.

Saya katakan bahwa kami di Kabubaten Sumenep ini sudah melakukan upaya-upaya agar masyarakat Sumenep tidak melakukan praktik perkawinan anak. Pertama, karena di antara faktor terjadinya perkawinan anak adalah kemiskinan, maka yang kami lakukan adalah langkah-langkah memperkuat pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan menyeleksi anak-anak muda untuk mencetak para wirausaha muda. Untuk kepentingan itu Pemerintah Kabupaten Sumenep telah mengeluarkan dana sebesar 15 Milyar. Upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sumenep ini mungkin merupakan satu-satunya dari seluruh kabupaten yang ada di Jawa Timur, atau bahkan di Indonesia. Sampai saat ini yang mendaftar ada sekitar 1600-an anak muda. Mereka dididik dan dilatih untuk menjadi wirausaha muda.

Selain untuk mengurangi angka pengangguran, upaya tersebut juga dimaksudkan untuk mencegah perkawinan anak. Ketika anak-anak muda itu disibukkan dengan aktivitas memperbaiki taraf hidup dan ekonomi kreatif, misalnya, maka potensi untuk menghindari perkawinan anak tentu sangat besar.

Di Sumenep ini biasanya kalau ada anak perempuan yang tidak bekerja, sementara orangtuanya miskin, dan tentu saja ia menjadi beban bagi keluarga, maka untuk mengurangi beban keluarganya ia dinikahkan, sehingga kemudian ia akan menjadi tanggung jawab suaminya setelah menikah. Ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan dapat mendorong terjadinya perkawinan anak.

Kedua, masalah SDM dan pendidikan. Sampai sekarang sekitar 60% dari penduduk Sumenep ini hanya berijazah SD atau bahkan tak punya ijazah karena tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah. Ini tentu sangat memprihatikankan, tetapi kami tidak tinggal diam dan berpangku tangan. Di Kabupaten Sumenep ini kami terus-menerus melakukan program-program peningkatan SDM, di antaranya dengan menggalakkan program wajib belajar 12 tahun. Usia maksimal 7 tahun anak-anak harus sudah mulai memasuki dunia pendidikan di sekolah, sehingga ketika nanti lulus SMA atau SLTA atau MA (Madrasah Aliyah), mereka sudah berusia di atas 18 tahun. Bahkan diharapkan mereka bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Sangat menggembirakan bahwa sekarang ini di desa-desa di Sumenep sudah mulai banyak anak-anak yang lulus SLTA dan sekolah sederajat, bahkan sebagian dari mereka mempunyai semangat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Anak-anak yang lulus SLTA tentu lebih banyak mempunyai pertimbangan untuk menikah daripada anak-anak yang tidak berpendidikan.

Anak-anak yang berhenti di kelas II SLTP atau MTs untuk menikah, itu pasti karena desakan orangtuanya, sehingga mereka tidak mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang lain kecuali mengikuti saja. Apalagi memang ada dasarnya di dalam fikih yang dikenal dengan konsep wali mujbir, bahwa orangtua boleh memaksa anaknya, suka atau tidak suka, untuk menikah. Oleh sebagian ulama pemaksaan orangtua terhadap anaknya untuk menikah dipandang sah dan dibenarkan di dalam agama.

Pandangan seperti itu diikuti oleh banyak orangtua di masyarakat, dan kita tidak menafikan keberadaannya. Tetapi kita harus melakukan terobosan-terobosan baru untuk menghapuskan perkawinan anak, di antaranya adalah menaikkan usia perkawinan dengan terus menggalakkan program-program pendidikan. Karena semakin tinggi pendidikan anak-anak, maka perkawinan anak semakin bisa dihindari.

Sebagai informasi, sekarang banyak pondok pesantren di Kabupaten Sumenep yang mendirikan perguruan tinggi, selain tentunya perguruan-perguruan tinggi di luar pesantren. Maka sudah biasa kalau kita mendapati anak-anak yang “nangis-nangis” tidak mau dinikahkan oleh orangtuanya karena masih mau sekolah.

Ketiga, Pemerintah Kabupaten Sumenep melalui Dinas Pendidikan juga melakukan sosialisasi ke desa-desa dari sisi kesehatan mengenai dampak buruk dan bahaya perkawinan anak. Karena banyak ditemukan anak-anak perempuan yang sudah menikah mengalami kesulitan saat hendak melahirkan, sebab usia mereka masih kecil, dan secara fisik mereka belum siap. Bahkan ada di antara mereka yang meninggal saat melahirkan, ada juga yang melahirkan anak cacat, dan dampak-dampak buruk lainnya.

Jadi, perkawinan anak sangat mengganggu dari sisi kesehatan, sangat mengganggu pertumbuhan anak yang akan dilahirkan. Makanya al-Qur`an mengingatkan tidak boleh meninggalkan keturunan atau generasi yang lemah, “Walyakhsyâ alladzîna law tarakû min khalfihim dzurrîyyatan dhi’âfan khâfû ‘alayhim,” (Dan hendaknya orang-orang takut kepada Allah bila seandainya mereka meninggalkan anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan terhadap kebaikan mereka [di masa mendatang]). Dan perkawinan anak berpotensi besar melahirkan anak-anak yang lemah; lemah imannya, lemah ilmunya, lemah fisiknya, lemah ekonominya, lemah kesehatannya, dan seterusnya.

Untuk itu, terkait perkawinan, apa yang disebut “mampu” harus benar-benar dilihat dari banyak sisi. Bukan hanya mampu melakukan hubungan badan, tetapi juga mampu dari segi ekonomi, pemikiran dan mental. Mungkin ada anak yang mapan dari sisi ekonomi karena orangtuanya kaya, tetapi apakah fisik, pikiran, dan mentalnya juga sudah mapan? Nabi Saw. mengatakan, “Man istathâ’a minkum al-bâ`ata falyatazawwaj,” (Barangsiapa yang di antara kalian yang punya kemampuan, hendaknya ia kawin). Hadits ini menganjurkan para pemuda yang sudah punya kemampuan untuk kawin. Kemampuan di sini maksudnya bukan hanya kemampuan seksual, tetapi juga ekonomi, pemikiran dan mental sebagai suami dan istri.[]

 

*) Disampaikan dalam Pelatihan Program Berpihak, Penguatan Kapasitas Tokoh Formal & Non Formal dan CSO untuk Advokasi Pencegahan Perkawinan Anak, Hotel C1 Sumenep, Senin, 25 Februari 2019

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.