Pos

Buraq, Spiritualitas Perempuan dan Pembebasan

Oleh: Listia Suprobo

 

SAAT masa kanak-kanak, saya sering merasa aneh setiap melihat gambar buraq, karena hobi saya menggambar secara natural. Gambaran mahluk berupa kuda bersayap dengan kepala perempuan, yang menjadi kendaraan Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra’ Mi’raj’ yang aneh menurut saya ketika itu, menimbulkan rasa tidak suka.

Setelah kelas 2 Aliyah, Pak Mahfudz guru fisika mengenalkan tafsir dengan logika fisika, perasaan saya pada gambar buraq berubah. Ketika membahas bab tentang cahaya. Pak Mahfud menyinggung buraq. “Kata al-buraq dekat dengan kata barqun, kilat. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari disebutan, … ‘lompatannya sejauh mata memandang…’ Bila buraq dimaknai cahaya, berapa kecepatan cahaya? C = 299.792.458 atau 300.000.000 meter per detik. Berapa jarak dari Makkah ke Al-Aqsa? Sekitar 1.500 km. Jadi dengan ‘buraq’ ini, kira-kira dibutuhkan waktu sekitar 1/200 detik untuk menempuh jarak itu,” kata Pak Mahfudz sambil menulis dengan sangat cepat di papan tulis. Tidak sampai setengah kedipan mata antara Makkah dan Yerussalem!? Tentu memancing pertanyaan lain; tentang hubungan materi (tubuh Nabi yang menempuh perjalanan) dengan kecepatan dan seterusnya. Yang jelas perkenalan dengan tafsiran ini menghadirkan pemahaman yang lebih luas, bahwa perjalanan ini bukan perjalanan biasa sebagaimana dibayangkan atau dipahami orang.

Penjelasan Pak Mahfudz ini adalah perkenalan awal saya pada ruang-ruang tafsir interdisipliner yang sangat memesona untuk masa remaja kala itu. Sekurang-kurangnya membuka jembatan yang memberi berbagai alternatif pemahaman bagi saya dan teman-teman saat itu, untuk tidak tersesat pada paham bumi datar, misalnya.

Pada Jum’at  malam 11 Maret 2022, Ngaji Keadilan Gender dalam Islam mengangkat tema “Memecah Bias pemaknaan Isra’ Mi’raj”. Melalui dua tokoh yang tampil secara tandem, Mbak Lies Marcoes dan Mbak Nur Rofiah, perbincangan tentang tema ini telah menggelembungkan ruang tafsir interdisipliner yang indah dengan pengayaan perspektif antropologi.

Sosok buraq yang gambarannya tersebar di beberapa wilayah Asia tengah, Persia, India dan nusantara ini adalah simbolisasi dari suatu pemahaman tentang peristiwa Isra’ Mi’raj yang dihasilkan oleh beberapa kebudayaan. Suatu peristiwa yang terjadi sangat cepat namun membawa banyak sekali wawasan, hikmah dan ketentuan Allah yang sangat penting dalam keberislaman yaitu ibadah shalat, sangat mungkin tidak mudah dipahami umat pada masanya.

Simbolisasi melalui gambaran ini mewadahi pemaknaan yang sangat mendalam yang barangkali tidak mudah diartikulasi dalam tuturan. Pada masa itu untuk mengantar pada pengertian dan makna perjalanan, referensi yang ada dalam alam pikir  adalah kendaraan semacam kuda  (dan tentu belum ditemukan ukuran kecepatan cahaya).

Tetapi mengapa menggunakan kepala perempuan? Gambaran ini tidak muncul di dunia Arab, demikian menurut Mba Lies, wilayah Asia tengah, Persia, India menyediakan khazanah budaya yang sangat kaya, di mana keperempuanan menjadi simbolisasi kerahiman, cinta kasih dan pemeliharaan atau secara umum menjadi simbolisasi spiritualitas.

Namun dalam kacamata seseorang atau masyarakat yang tidak menghargai keperempuanan, misalnya ketika persepsi  atas perempuan adalah sebatas ‘manusia dengan jenis kelamin tertentu’, gambar wajah perempuan pada kepala buraq ini akan dipahami secara berbeda.

Mbak Lies mengokohkan penafsiran bahwa wajah perempuan dalam buraq dapat dimaknai sebagai simbolisasi perjalanan spiritualitas manusia dalam memurnikan diri. Isra’ secara horizontal mengandung makna menanggalkan penuhanan pada sesama ciptaan, dan Mi’raj sebagai perjalanan spiritual bersifat vertikal yang mengokohkan kesadaran hanya mempertuhan Allah.

Untuk dapat hanya mempertuhan Allah, manusia harus membebaskan diri dari tuhan-tuhan yang ada diantara ciptaan (perjalanan spiritual horizontal), misalnya membebaskan diri dari mempertuhan suami (bagi perempuan), mempertuhan atasan, harta beda, gelar, dsb. Dengan pembebasan ini memungkinkan manusia dapat sungguh-sungguh menyembah Allah. Di sinilah manusia muslim dapat melakukan shalat. Inna shalati, wanusuki, wamahyaya wa mamaati lillahi rabbil ‘alamin…

Mbak Nur Rofiah selaku pengampu KGI mengapresiasi tafsir dengan perspektif antropologis yang dilakukan Mbak Lies sebagai bagian dari ‘tafsir ayat-ayat kauniyah’, kemudian melanjutkan pembahasan dengan pemaparan pandangan berdasarkan tafsir atas ayat-ayat al-Qur’an.

Sebagaimana disampaikan dalam berbagai kesempatan, Mbak Nur mengingatkan, ayat-ayat al-Qur’an harus dibaca secara utuh (tidak sepotong-sepotong sehingga seolah ada kontradiski antarayat). Bila al-Qur’an dibaca secara utuh oleh umat (yang hidup pada masa ini atau masa setelah Nabi wafat), maka akan ditemukan bahwa dalam seluruh ayatnya terdapat pesan yang menggambarkan proses, ketika berbicara tentang syariat. Dengan pembacaan yang utuh, seorang pembaca akan menemukan adanya ayat-ayat yang berkenaan dengan titik berangkat yang–masih merekam kondisi awal masyarakat, ayat-ayat yang berada titik antara dalam proses, dan ayat-ayat yang menjelaskan tujuan akhir dari misi Islam, yaitu rahmat bagi semesta.

Gambaran proses yang umumnya sudah dikenali oleh umat Muslim adalah ayat-ayat tentang khamr (minuman/makanan yang memabukkan) yang dalam ayat titik berangkat, awalnya melarang umat Muslim mengkonsumsi saat shalat, hingga akhirnya diharamkan sama sekali.

Dalam pembacaan Mbak Nur, gambaran proses ini sangat nyata dalam ayat-ayat al-Qur’an ketika berbicara tentang eksistensi perempuan. Sebagaimana diketahui, al-Qur’an diterima Nabi Muhammad dalam situasi masyarakat yang menguburkan bayi perempuan hidup-hidup sebagai kebanggaan, yang memuji laki-laki beristri puluhan bila perlu mewariskan ibunya sebagai istri salah satu anak laki-laki.

Alam pikir masyarakat yang tidak memanusiakan manusia ini disapa al-Qur’an dalam ayat-ayat pada titik awal, sehingga ditemukan ayat [dan hadits] yang memberi kesan seakan kurang memanusiakan perempuan, karena pada masa awal ini terdapat penggunaan bahasa-logika yang dimiliki masyarakat ketika itu. Oleh ajaran tauhid yang makin dapat diserap umat, perlahan-lahan umat didorong untuk lebih menghargai kemanusiaan perempuan.

Selanjutnya, pada tahap antara ini terdapat ayat-ayat yang memberi kesan perempuan sebagai manusia kelas dua, misalnya dalam ayat-ayat poligami atau saksi perempuan. Dengan makin matangnya keimanan umat, sehingga mampu membebaskan diri dari belenggu penuhanan sesama mahluk dan hanya tunduk pada Allah, hadirlah ayat …”almu’minuna wal mu’minatu ba’dhuhum awliyau ba’dh…,” yang hakikatnya mendeklarasikan eksistensi perempuan dan laki-laki setara di hadapan Allah; tidak ada yang dapat merajai dan berhak dipertuhan kecuali Allah. Ketauhidan ini sebagai pembebasan dari penindasan oleh patriarkhi, feodalisme maupun berbagai bentuk penjajahan oleh sesama manusia.

Mbak Nur menambahkan, melalui pembacaan yang utuh, pembaca akan memahami bahwa al-Qur’an menyediakan peta jalan bagi manusia, yaitu adanya visi rahmatan lil alamin, prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan dan cara-cara yang sangat kontekstual agar prinsip dapat ditegakkan sehingga visi tercapai. Namun pada segi cara seringkali menjebak, terutama karena adanya perdebatan yang disebabkan oleh keragaman perspektif dan kepentingan.

Di sinilah peran penting spiritualitas dalam memandang dan menyikapi pilihan cara. Perspektif yang bias kepentingan dominasi, sangat berpotensi menghasilkan pilihan cara yang menindas. Maka keadilan menurut Mbak Nur harus dimulai sejak dalam pikiran.

Pikiran yang diwarnai bias kepentingan, dalam hal ini dominasi patriarkhi, akan memunculkan perspektif atau kerangka berpikir yang merendahkan perempuan, sebagaimana ada dalam beberapa pandangan terhadap wajah perempuan pada kepala buraq yang dianggap melecehkan Nabi, –karena perempuan di sini hanya dilihat sebatas mahluk seksual. Padahal ketika perspektif dalam melihat perempuan adalah juga sebagai mahluk spiritual dan keperempuan dapat menjadi simbol spiritualitas sebagaimana diperlihatkan dalam beberapa kebudayaan, maka peristiwa Isra mi’raj sendiri adalah sebuah peristiiwa yang mendorong manusia melakukan revoluasi kesadaran yang menuntun pada proses pembebasan dari mempertuhan mahluk, menuju kondisi kesadaran yang hanya tunduk pada Allah.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

*Tulisan ini diantarkan oleh pagi yang cerah usai mengikuti KIT#7, di antara kicauan burung dan suara serangga tongleret yang sangat nyaring dan ramai, mengabarkan musim kemarau hampir tiba.

Menalar Choose to Challenge Dengan Spirit Isra’ Mi’raj: Catatan Reflektif Feminis Sufistik

Tahun 2021 ini International Women Day (IWD) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret berdekatan dengan peringatan Isra’ Mi’raj yang jatuh pada tanggal 11 Maret, tiga hari setelahnya. Bagi masyarakat muslim yang perhatian dengan isu perempuan dan keagamaan tentu menarik untuk menggali makna keduanya.

Tema IWD kali ini adalah Choose to challenge, memilih untuk melawan, menggelorakan keberanian perempuan untuk bangkit dari ketidaksetaraan, bias dan stereotipe serta mewujudkan dunia yang inklusif. Kampanye yang diharapkan mampu mengajak semua pihak untuk turut serta menciptakan kehidupan yang ramah.

Isra’ Mi’raj selalu diperingati karena dianggap sebagai tonggak utama ajaran Islam. Mengenang perjalanan Nabi Muhammad pada malam 27 Rajab dari Masjidil Haram di Mekah menuju Masjidil Aqsha di Palestina yang berjarak sekitar 1.500 Km, pada zaman itu bisa ditempuh selama 40 hari dengan menunggang unta.

Dari Palestina perjalanan masih berlanjut menembus langit ke Sidratil Muntaha. Wajar jika kemudian kaum kafir Quraish menganggap perjalanan Isra’ dan Mi’raj hanyalah bualan, karena secara empiris bahkan sampai hari ini memang irasional.

Peristiwa Isra’ Mi’raj umum dimaknai sebagai urgensi sholat bagi umat Islam karena instruksi pelaksanaannya disampaikan sendiri oleh Allah, tidak lagi melalui Jibril sebagaimana risalah-risalah lain. Dalam kajian ilmu kalam, Isra’ Mi’raj menjadi polemik pada soal apakah perjalanan Rasulullah tersebut bersifat materi atau spirit. Hanya ruh atau wadag beliau juga turut menyapa nabi-nabi terdahulu pada tiap langit yang disinggahi, lantas berdialog dengan Allah di Sidratil Muntaha.

Keajaiaban Isra’ Mi’raj tersebut menjadi dalil kehebatan Islam sebagai agama futuristik. Capaian teknologi lambat laun membuktikan rasionalitas Isra’ secara kosmologis, meski demikian mamahami Mi’raj tetap membutuhkan pelibatan intuisi karena sifatnya yang mistik. Dalam cakrawala supra rasional demikian, muncul pertanyaan mungkinkah menemukan benang merah spiritualitas antara ujaran untuk bangkit melawan ketidak adilan yang diusung IWD dan hikmah peristiwa Isra’ Mi’raj?

Memaknai Isra’ Mi’raj dalam narasi keperempuanan adalah hal langka.  Setidaknya baru Lies Marcus yang dalam acara Ngaji Keadilan Gender Islam bersama Nur Rofi’ah pada malam 12 Maret lalu yang secara tegas menyampaikan bahwa, sebagai Feminis peristiwa Isra’ Mi’raj baginya bermakna pembebasan bagi perempuan.

Kalimat ini memantik refleksi lebih mendalam terkait perjalanan kemanusiaan perempuan sebagai hamba Allah yang ternyata masih sangat memprihatinkan. Rentan terpinggirkan dari ketauhidan, mudah tersesat dalam belantara penghambaan dan menuhankan berbagai hal selain Allah.

Kehidupan perempuan lekat dengan status yang menuntut perhatian besar, sebagai istri, ibu, anak atau pekerja sering melalaikan bahwa dirinya adalah hamba Allah semata, bukan yang lain. Terlebih jika hidup tanpa pemahaman keagamaan yang mumpuni tak jarang perempuan dengan mudah menjadi pengabdi bagi penindasnya.

Tidak sedikit perempuan yang patuh secara mutlak kepada suami atau tradisi yang telah berlaku tidak adil padanya karena mengira begitulah takdir menggariskan. Menghempasnya dari hakikat eksistensial manusia, bahwa keberadaanya di dunia ini seluruhnya hanyalah untuk menyembah Allah Yang Esa.

Rasulullah di-Isra’Mi’raj-kan ketika mengalami penistaan dan penindasan dari kaum Qurays yang tidak lain adalah kerabatnya sendiri. Saat sedang berada di puncak duka karena kematian istrinya Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib, orang-orang tercinta yang selalu melindungi dan membela.

Kepedihan berlapis-lapis yang hanya bisa diluruhkan oleh pengalaman maha dahsyat, bertemu dengan Allah. Hal ini dianalogikan dengan kondisi pilu perempuan yang termarjinalkan dan hanya bisa diatasi dengan memutus rantai kedzaliman penghambaan dengan mendekatkan perempuan hanya kepada Allah Tuan sejatinya.

Isra’ dalam cakrawala feminis sufistik melambangkan perjalanan melawan kedzaliman dan penindasan di ruang historis. Usaha membenahi sifat hubungan di wilayah praktis horizontal yang sebelumnya timpang. Jika diperlakukan tidak adil, perempuan harus berani mengambil sikap dan melawan. Meminta bantuan, berjuang menghadapi dan bekerja sama merubah sistem yang tidak manusiawi.

Perempuan harus mampu melihat dirinya sebagai manusia utuh. Hidup setara dan adil dalam keragaman semesta, dengan laki-laki, anak-anak, difabel dan kelompok rentan lain sebagai sesama hamba Allah. Relasi horizontal ini harus diperbaiki karena menjadi jembatan penghubung dengan relasi vertikal antara perempuan dengan Tuhan. Bercermin pada peristiwa Isra’ yang dianggap mustahil tapi harus diimani, maka merombak sistem patriarki yang seolah tidak mungkin jika beriman niscaya bisa tercapai. Toh tidak ada yang sulit dalam Kemahakuasaan Allah.

Memaknai Isra’ Mi’raj dengan spirit IWD adalah upaya mengejawantahkan cinta dan kasih sayang Allah kepada perempuan.  Memerdekakannya dari segala bentuk penghambaan dan penindasan yang selama berabad-abad disahkan oleh kuasa negara, budaya dan agama. Sholat adalah perintah bagi perempuan untuk meletakkan peran-peran kesementaraan, hadir dengan bersih di hadapan Allah dari watak kemelekatan dunia. Mengingat bahwa sesungguhnya dirinya adalah hak dan milik Allah semata.

Lebih jauh, dalam nalar Feminis sufistik Mi’raj merupakan visi bahwa keintiman perempuan dengan Sang Pencipta adalah mungkin. Pembaruan sifat relasi vertikal antara perempuan sebagai hamba dengan Allah sebagai satu-satunya Ilah (Tauhid) yang patut disembah. Perempuan harus melepaskan diri dari segala unsur penyekutuan yang merupakan dosa besar dan menodai kesucian hubungannya dengan Allah. Saat dia telah terbebas, maka dia sebagai dirinya sendiri yang murni hadir menjumpai kekasih sejati, dia Mi’raj menyingkap hijab antara dirinya dengan Allah. Wallahu a’lam bishawab.

Daftar rujukan

Etin Anwar, 2017, Jati Diri Perempuan dalam Islam, Bandung: Mizan.

Faqihudin Abdul Kodir, 2017, 60 hadis Hak-hak Perempuan dalam Islam, Cirebon: Umah Sinau Mubadalah & Aman Indonesia.

Haedar Bagir, 2019, Mengenal Tasawuf Spiritualisme dalam Islam, Bandung: Mizan.

Baca Juga  Konglomerat Itu Bernama “Muhammadiyah”

https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/08/151500165/hari-perempuan-sedunia-2021-ini-tema-dan-sejarahnya?page=all diakses 17 Maret 2021

https://www.republika.co.id/berita/qpsc11366/kapankah-peristiwa-isra-dan-miraj-terjadi-part1 diakses 17 Maret 2021

rumah kitab

Merebut Tafsir: Cara Perempuan Memaknai Isra’ dan Mi’raj

Bagi banyak orang Isra’ Mi’raj adalah kisah mistis. Al- Qur’an mencatatnya dalam  surat Al Isra’ (surat ke 17) ayat 1, yang dalam Tafsirnya diartikan tentang perjalanan hambaNya (Nabi Muhmmad) dari Masjidil Haram ke Masjdil Aqsa, lalu naik ke Sidratul Muntaha. Umat Islam memperingatinya sebagai sejarah turunnya perintah shalat.

 

Nyatanya di seluruh dunia Isra’ Mi’raj dirayakan dengan rupa-rupa cara dan upacara. Di Jawa, misalnya, ini diperingati dengan ritus “selametan”. Di Keraton Yogyakarta ada kirab Rajeban, menggotong Paksi Buraq (burung Buraq) keluar dari keraton. Di  Jawa Barat ada pawai obor atau hajatan Mapag Rajab (menjemput Rajab). Di Temanggung ada tradisi Kataman Kitab Arya karya KH Ahmad Rifai Al Jawi yang didalamnya terdapat kisah Isra’ Mi’raj dalam versi keyakinan Islam Jawa.

 

Di luar Jawa terutama di Sumatera seperti Aceh, Melayu Riau ada “Kenduri Apam”. Kaum perempuan memasak dan membawa kue apam di mesjid atau ke balai rakyat. Sejenis kenduri kue juga dilakukan warga pesisir Pariaman Sumatera Barat yang menyebutnya Mendoa Sambareh. Di Takalar Sulawesi Selatan, upacara bulan Rajab disebut  Sangkobala untuk tolak bala.  Puncak perayaan  Isra Mi’raj  di Indonesia biasanya diisi dengan ceramah agama di mesjid-mesjid kaum/ besar. Di Istana Negara, peringatan Isra Mi’raj telah berlangsung sejak tahun 1951  sebagai upacara keagamaan resmi yang masuk ke dalam kalender Istana. Di masa Soekarno, pidato Isra’ Mi’raj presiden termasuk yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam Indonesia.

 

Jelaslah, peringatan Isra Mi’raj adalah tafsir. Isra’ Mi’raj diperingati sebagai peristiwa sosial keagamaan yang penting.  Lalu, apa artinya bagi kita sekarang? Menanyakan hal itu penting, sebab dalam Isra’ Mi’raj terkandung ajaran yang sangat fundamental tentang nilai-nilai monoteisme Islam.  Dalam Isra’ Mi’raj terdapat  “historical background” tentang perjanjian pembebasan manusia dari tuhan-tuhan lain selain Allah.  Ini adalah ikrar  totalitas ketundukkan manusia yang mungkin melampaui deklarasi hak asasi manusia karena hanya kepada  Allah-lah  manusia bergantung dan berserah diri!

 

Pada malam Sabtu  12 Maret 2021 lalu, saya mengajukan pertanyaan ini sebagai pemantik diskusi  Kajian Gender dan Islam (KGI) yang diasuh Nyai Dr. Nur Rofiah, dosen PTIQ dan salah seorang penggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).  Dalam tafsiran saya,  Isra’ Mi’raj  menggambarkan dua “etape” perjalanan yang patut diteladani. Pertama, etape horizontal,  menggambarkan perjumpaan-perjumpaan manusia dengan manusia lain; dan etape kedua, perjalanan vertikal untuk mengangkat kemulian manusia melalui pembebasannya dari penghambaan kepada manusia lain.

 

Melalui Nabi Muhammad, Umat Islam  telah menerima ikrar tauhid itu. Demikian pentingnya perjanjian itu, hingga umat Islam melafalkannya  berulang kali dalam ritual shalat : “ Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah semata, Tuhan Semesta Alam yang tidak ada sekutu bagi-Nya.      

 

Dalam renungan feminis saya, peristiwa Isra’ Mi’raj ini menuntun kita untuk mengevaluasi diri seberapa jauh ketundukkan total manusia hanya kepada Allah. Seberapa jauh ketundukan perempuan untuk tidak menyekutukan yang lain dan hanya tunduk kepada Allah. Ini karena  dalam kehidupan sehari-hari  manusia berhadapan dengan relasi-relasi kuasa yang potensial menindas yang menjadikan manusia kehilangan kesanggupannya untuk hanya menyembah  dan bergantung kepada Allah.

 

Dalam perjalanan horizontal manusia, terjadi perjumpaan-perjumpaan yang melahirkan sistem dan struktur sosial yang seharusnya linier – horizonal berubah menjadi bertingkat/  berkelas/ berstruktur. Disanalah muncul kemungkinan  terjadinya hubungan-hubungan sosial yang tidak setara dan bahkan menindas. Terutama karena sistem sosial itu telah menciptakan kesenjangan yang genjang dan membentuk hirarki: kaya-miskin, kuat-lemah, maksulin (dominan)-feminin (subrdinat), mayoritas – minoritas, dan seterusnya. Tanpa kesadaran kritis tentang adanya relasi dan ketergantungan yang dapat merampas kebebasan manusia, orang akan menerima sesenjangan itu sebagai  hal yang alamiah dan wajar.

 

Pada kenyataannya sejarah manusia telah memperlihatkan bagaimana kesenjangan itu  menjadi basis penindasan berdasarkan ras , suku, kelas sosial, umur, agama, gender, keadaan fisik dan pembeda-pembeda lain yang dikonstruksikan manusia demi kepentingan kekuasaannya.

 

Dalam struktur sosial yang timpang serupa itu, perempuan, sebagaimana anak-anak, kaum miskin, orang dengan disabilitas,  kelompok minoritas berada di satu posisi, berhadap-hadapan dengan kelompok lain yang berpotensi menjadi penguasa dan penindasnya:  lelaki/ patriarki, orang dewasa, orang dengan sumber daya lebih, kaum non- disabilitas, dan mayoritas.

 

Dalam struktur yang timpang serupa itu perempuan menjadi lebih rentan. Antara lain karena dalam ragam identitas itu terdapat irisan interseksional. Sudahlah  perempuan, miskin, minoritas, powerless lagi.  Kenyataannya, begitu banyak hal yang membuat perempuan menjadi tergantung atau mengikatkan diri dan takut kehilangan  ikatan-ikatan itu: perkawinannya, status perkawinannya, anak dan suaminya, sumber ekonominya, jabatan suaminya dan seterusnya. Dalam kadar tertentu  hal itu  sedemikian rupa membuatnya begitu tergantung dan menganggapnya sebagai  tuhan-tuhan kecil mereka tempat mereka bergantung dan berlindung, bahkan untuk perkawinan yang memunculkan penderitaan seperti perkawinan poligami dan perkawinan dengan kekerasan.

 

Situasi itu dapat menjebak mereka masuk ke dalam penghambaan-penghambaan sosial baru yang sistemik. Apalagi jika penghambaan itu dilegitimasi oleh pandangan keagamaan yang patriark imaskulin. Selesai sudah!

 

Hal yang lebih mengerikan adalah  karena yang terjebak ke dalam sistem penghambaan itu bukan hanya mereka yang  kehilangan kebebasannya sebagai manusia, melainkan juga mereka yang memperhambakan  manusia lain dalam relasi-relasi timpang  yang terus dibangun dan  diglorifikasikan. Mereka menjadi tuhan-tuhan baru dalam kehidupan manusia terutama bagi  mereka yang dilemahkan dalam stuktur sosial seperti perempuan, anak-anak dan kaum miskin. Tak sedikit perempuan diajari tentang kewajiban menyembah, patuh, tunduk dan pasrah kepada suaminya laksana menyembah Tuhannya.  Dalam relasi itu sang suami juga  menikmati konstruk budaya, agama, dan politik, yang memposisikannya sebagai  pelindung (untuk tidak dikatakan penguasa) atas istri dan anak-anaknya.

 

Tanpa ada kesadaran kritis, kedua pihak masuk ke dalam  sistem pengahambaan di mana manusia yang satu  menciptakan ketergantungan  eksploitatif kepada manusia lain.  Dalam relasi serupa itu  kedua  pihak telah membangun dan mempercayai berhala-berhala baru  tempat manusia memuja dan dipuja, bergantung dan berlindung. Dengan demikian, kedua pihak– baik korban eksploitasi maupun pelakunya, telah terjebak dalam cengkeraman relasi hamba dan tuan yang sekaligus menghapus  esensi dari  deklarasi manusia untuk mengakhiri sistem penghambaan sebagaimana diikrarkan Nabi Muhammad melalu perjalanan spiritual Isra’dan Mi’raj.

 

Di titik ini renungan Isra’ Mi’raj dengan memperbaharui deklarasi untuk membebaskan diri dari penghambaan  manusia atas manusia lain, perempuan kepada lelaki, buruh kepada majikan, minoritas kepada mayoritas, adalah cara untuk memperingati hakekat Isra’ dan Mi’raj. # Lies Marcoes, 15 Maret 2021

 

NU, PALESTINA, DAN YAMAN

NU lahir merespon sekurang-kurangnya atas tiga hal, yaitu: kolonialisme, gerakan puritanisme Wahabi yang akan meratakan makam Rasulullah dan situs-situs bersejarah, dan identitas keislaman dan keindonesiaan.

NU sebagai gerakan anti-kolonialisme, ditandai dengan sikap patriotisme para kiyai dan santri dalam menghadapi kolonialisme. Dan klimaksnya adalah dikeluarkannya “Resolusi Jihad” oleh Hadzratu Syekh Hasyim Asy’ari.

Di saat makam Rasulullah dan situs-situs Islam akan diratakan rezim Wahabi Saudi, NU mengutus Romo KH. A. Wahab Chasbullah ke Saudi menyampaikan protes keras atas rencana tersebut dan menuai hasil: sampai sekarang makam Rasulullah masih terjaga.

Dan bagaimana hubungan NU, Palestina, dan Yaman? Perlu dijelaskan satu persatu hubungan NU dengan Palestina dan NU dengan Yaman.

NU DAN PALESTINA
Sebagaimana pada umumnya umat Islam dari berbagai mazhab, NU sangat memuliakan Masjidil Aqsha Palestina. Kemuliaan Palestina berdasarkan keyakinan akan Kisah Isra-Mi’raj Rasulullah dari Masjidil Aqsha yang diimani, dan pada masa Islam awal umat Islam menghadap kiblatnya ke Masjidil Aqsha yg kemudian direvisi kiblatnya ke Masjidil Haram.

Pasca pendudukan Israel atas tanah Palestina, NU adalah ormas yang dengan lantang memprotes tindakan Israel dan menggalang solidritas untuk Palestina. Tepat pada 12-15 Juli 1938 M/13 Rabiuts Tsani 1357 H dalam Muktamar NU ke-13 di Menes-Pandeglang Banten, Romo KH. A. Wahab Chasbullah secara resmi menyampaikan sikap NU atas penderitaan Palestina dengan mengatakan, “Pertolongan-pertolongan yang telah diberikan oleh beberapa komite di tanah Indonesia ini berhubung dengan masalah Palestina, tidaklah begitu memuaskan adanya. Kemudian guna dapat mencukupi akan adanya beberapa keperluan yang tak mungkin tentu menjadi syarat yang akan dipakai untuk turut menyatakan merasakan duka cita, sebagi perhatin dari pihak umat Islam di tanah ini. Atas nasib orang malang yang diderita oleh umat Islam di Palestina itu, maka sebaiknyalah NU dijadikan Badan Perantara dan Penolong Kesengsaraan umat Islam di Palestina. Maka pengurus atau anggota NU seharusnyalah atas namanya sendiri-sendiri mengikhtiarkan pengumpulan uang yang pendapatannya itu terus diserahkan kepada NU untuk diurus dan dibereskan sebagaimana mestinya”.

Pada tahun 80-an, Gus Dur bersama Gus Mus dan para seniman/budayawan mengadakan pembacaan puisi Doa untuk Palestina, sebagai penggalangan solidaritas untuk Palestina melalui strategi kebudayaan dan kultural. Dan pada tahun ini, 2017, Gus Mus mengadakan acara yang sama berama budayawan Taufik Ismail, Sutarji, Habib Quraisy Shiab, Adul Abdul Hadi, KH. Ulil Abshar Abdalla, Fatin Hamama, dan lain lain., pada saat Palestina memanas.

Pada tahun 90-an, Gus Dur yang dipercaya sebagai presiden gama-agama dunia melakukan komunikasi dan pergaulan di tingkat internasional untuk perdamaian Palestina.

Pada tahun 2017, KH. Makruf Amin selaku RAIS AM PBNU, mengajak umat Islam untuk bersama sama menggalang solidaritas untuk Palestina.

Jadi NU dalam sejarah sangat peduli dengan nasib Palestina. Karena Palestina adalah saudara. Palestina terluka, kita pun merasakan sakit.

NU DAN YAMAN
Hubungan NU dan Yaman sudah berlangsung lama. Secara tradisi keberagamaan NU dan Yaman memiliki banyak kesamaan: sama-sama pecinta bid’ah hasanah. Belakangan, banyak kader pesantren NU yang dikirim belajar di pesantren yang da di Hadramaut-Yaman.

NU juga menjadikan kitab Bughyatul Mustaryidin, anggitan Syekh Abdurrahman Ba’alwi, Mufti Yaman Pada abad 19, sebagai kitab yang absah dirujuk/mu’tabarah. Dalam kitab itu ada fatwa bahwa ardhun Jawa (baca; Indonesia) adalah dar al-Islam. Dan di kitab itu juga terdapat konsep waliyul amri dharuri bisy syaukah–juga di kitab-kitab yang lain–dan konsep ini dijadikan argumentasi keagamaan NU untuk Presiden Soekarno pada Muktamar NU di Purwokerto 26-29 Maret 1946.

Saat ini Yaman sedang diserang Arab Saudi (AS) dan sekutunya. AS lahir karena mendapatan dukungan kolonial Inggris. Sudah besar menjadi negara kolonial dengan memberikan pangkalan militer USA, mendukung invansi USA pada Irak dengan dalih adanya Senjata Pemusnah Massal (yang ternyata yang ada pembohong massal) dan belakangan menyerang Yaman. Krisis Timur Tengah pun tak lepas dari peran AS.

NU lahir dan besar sebagai kekuatan anti-kolonialisme. Tentu saja tidak setuju dan bahkan mengutuk upaya penjajahan melalui kekerasan dan peperangan yang sedang dipertontonkan AS.

Penderitaan Yaman adalah derita kita. [Mukti Ali Qusyairi]