Buraq, Spiritualitas Perempuan dan Pembebasan

Oleh: Listia Suprobo

 

SAAT masa kanak-kanak, saya sering merasa aneh setiap melihat gambar buraq, karena hobi saya menggambar secara natural. Gambaran mahluk berupa kuda bersayap dengan kepala perempuan, yang menjadi kendaraan Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra’ Mi’raj’ yang aneh menurut saya ketika itu, menimbulkan rasa tidak suka.

Setelah kelas 2 Aliyah, Pak Mahfudz guru fisika mengenalkan tafsir dengan logika fisika, perasaan saya pada gambar buraq berubah. Ketika membahas bab tentang cahaya. Pak Mahfud menyinggung buraq. “Kata al-buraq dekat dengan kata barqun, kilat. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari disebutan, … ‘lompatannya sejauh mata memandang…’ Bila buraq dimaknai cahaya, berapa kecepatan cahaya? C = 299.792.458 atau 300.000.000 meter per detik. Berapa jarak dari Makkah ke Al-Aqsa? Sekitar 1.500 km. Jadi dengan ‘buraq’ ini, kira-kira dibutuhkan waktu sekitar 1/200 detik untuk menempuh jarak itu,” kata Pak Mahfudz sambil menulis dengan sangat cepat di papan tulis. Tidak sampai setengah kedipan mata antara Makkah dan Yerussalem!? Tentu memancing pertanyaan lain; tentang hubungan materi (tubuh Nabi yang menempuh perjalanan) dengan kecepatan dan seterusnya. Yang jelas perkenalan dengan tafsiran ini menghadirkan pemahaman yang lebih luas, bahwa perjalanan ini bukan perjalanan biasa sebagaimana dibayangkan atau dipahami orang.

Penjelasan Pak Mahfudz ini adalah perkenalan awal saya pada ruang-ruang tafsir interdisipliner yang sangat memesona untuk masa remaja kala itu. Sekurang-kurangnya membuka jembatan yang memberi berbagai alternatif pemahaman bagi saya dan teman-teman saat itu, untuk tidak tersesat pada paham bumi datar, misalnya.

Pada Jum’at  malam 11 Maret 2022, Ngaji Keadilan Gender dalam Islam mengangkat tema “Memecah Bias pemaknaan Isra’ Mi’raj”. Melalui dua tokoh yang tampil secara tandem, Mbak Lies Marcoes dan Mbak Nur Rofiah, perbincangan tentang tema ini telah menggelembungkan ruang tafsir interdisipliner yang indah dengan pengayaan perspektif antropologi.

Sosok buraq yang gambarannya tersebar di beberapa wilayah Asia tengah, Persia, India dan nusantara ini adalah simbolisasi dari suatu pemahaman tentang peristiwa Isra’ Mi’raj yang dihasilkan oleh beberapa kebudayaan. Suatu peristiwa yang terjadi sangat cepat namun membawa banyak sekali wawasan, hikmah dan ketentuan Allah yang sangat penting dalam keberislaman yaitu ibadah shalat, sangat mungkin tidak mudah dipahami umat pada masanya.

Simbolisasi melalui gambaran ini mewadahi pemaknaan yang sangat mendalam yang barangkali tidak mudah diartikulasi dalam tuturan. Pada masa itu untuk mengantar pada pengertian dan makna perjalanan, referensi yang ada dalam alam pikir  adalah kendaraan semacam kuda  (dan tentu belum ditemukan ukuran kecepatan cahaya).

Tetapi mengapa menggunakan kepala perempuan? Gambaran ini tidak muncul di dunia Arab, demikian menurut Mba Lies, wilayah Asia tengah, Persia, India menyediakan khazanah budaya yang sangat kaya, di mana keperempuanan menjadi simbolisasi kerahiman, cinta kasih dan pemeliharaan atau secara umum menjadi simbolisasi spiritualitas.

Namun dalam kacamata seseorang atau masyarakat yang tidak menghargai keperempuanan, misalnya ketika persepsi  atas perempuan adalah sebatas ‘manusia dengan jenis kelamin tertentu’, gambar wajah perempuan pada kepala buraq ini akan dipahami secara berbeda.

Mbak Lies mengokohkan penafsiran bahwa wajah perempuan dalam buraq dapat dimaknai sebagai simbolisasi perjalanan spiritualitas manusia dalam memurnikan diri. Isra’ secara horizontal mengandung makna menanggalkan penuhanan pada sesama ciptaan, dan Mi’raj sebagai perjalanan spiritual bersifat vertikal yang mengokohkan kesadaran hanya mempertuhan Allah.

Untuk dapat hanya mempertuhan Allah, manusia harus membebaskan diri dari tuhan-tuhan yang ada diantara ciptaan (perjalanan spiritual horizontal), misalnya membebaskan diri dari mempertuhan suami (bagi perempuan), mempertuhan atasan, harta beda, gelar, dsb. Dengan pembebasan ini memungkinkan manusia dapat sungguh-sungguh menyembah Allah. Di sinilah manusia muslim dapat melakukan shalat. Inna shalati, wanusuki, wamahyaya wa mamaati lillahi rabbil ‘alamin…

Mbak Nur Rofiah selaku pengampu KGI mengapresiasi tafsir dengan perspektif antropologis yang dilakukan Mbak Lies sebagai bagian dari ‘tafsir ayat-ayat kauniyah’, kemudian melanjutkan pembahasan dengan pemaparan pandangan berdasarkan tafsir atas ayat-ayat al-Qur’an.

Sebagaimana disampaikan dalam berbagai kesempatan, Mbak Nur mengingatkan, ayat-ayat al-Qur’an harus dibaca secara utuh (tidak sepotong-sepotong sehingga seolah ada kontradiski antarayat). Bila al-Qur’an dibaca secara utuh oleh umat (yang hidup pada masa ini atau masa setelah Nabi wafat), maka akan ditemukan bahwa dalam seluruh ayatnya terdapat pesan yang menggambarkan proses, ketika berbicara tentang syariat. Dengan pembacaan yang utuh, seorang pembaca akan menemukan adanya ayat-ayat yang berkenaan dengan titik berangkat yang–masih merekam kondisi awal masyarakat, ayat-ayat yang berada titik antara dalam proses, dan ayat-ayat yang menjelaskan tujuan akhir dari misi Islam, yaitu rahmat bagi semesta.

Gambaran proses yang umumnya sudah dikenali oleh umat Muslim adalah ayat-ayat tentang khamr (minuman/makanan yang memabukkan) yang dalam ayat titik berangkat, awalnya melarang umat Muslim mengkonsumsi saat shalat, hingga akhirnya diharamkan sama sekali.

Dalam pembacaan Mbak Nur, gambaran proses ini sangat nyata dalam ayat-ayat al-Qur’an ketika berbicara tentang eksistensi perempuan. Sebagaimana diketahui, al-Qur’an diterima Nabi Muhammad dalam situasi masyarakat yang menguburkan bayi perempuan hidup-hidup sebagai kebanggaan, yang memuji laki-laki beristri puluhan bila perlu mewariskan ibunya sebagai istri salah satu anak laki-laki.

Alam pikir masyarakat yang tidak memanusiakan manusia ini disapa al-Qur’an dalam ayat-ayat pada titik awal, sehingga ditemukan ayat [dan hadits] yang memberi kesan seakan kurang memanusiakan perempuan, karena pada masa awal ini terdapat penggunaan bahasa-logika yang dimiliki masyarakat ketika itu. Oleh ajaran tauhid yang makin dapat diserap umat, perlahan-lahan umat didorong untuk lebih menghargai kemanusiaan perempuan.

Selanjutnya, pada tahap antara ini terdapat ayat-ayat yang memberi kesan perempuan sebagai manusia kelas dua, misalnya dalam ayat-ayat poligami atau saksi perempuan. Dengan makin matangnya keimanan umat, sehingga mampu membebaskan diri dari belenggu penuhanan sesama mahluk dan hanya tunduk pada Allah, hadirlah ayat …”almu’minuna wal mu’minatu ba’dhuhum awliyau ba’dh…,” yang hakikatnya mendeklarasikan eksistensi perempuan dan laki-laki setara di hadapan Allah; tidak ada yang dapat merajai dan berhak dipertuhan kecuali Allah. Ketauhidan ini sebagai pembebasan dari penindasan oleh patriarkhi, feodalisme maupun berbagai bentuk penjajahan oleh sesama manusia.

Mbak Nur menambahkan, melalui pembacaan yang utuh, pembaca akan memahami bahwa al-Qur’an menyediakan peta jalan bagi manusia, yaitu adanya visi rahmatan lil alamin, prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan dan cara-cara yang sangat kontekstual agar prinsip dapat ditegakkan sehingga visi tercapai. Namun pada segi cara seringkali menjebak, terutama karena adanya perdebatan yang disebabkan oleh keragaman perspektif dan kepentingan.

Di sinilah peran penting spiritualitas dalam memandang dan menyikapi pilihan cara. Perspektif yang bias kepentingan dominasi, sangat berpotensi menghasilkan pilihan cara yang menindas. Maka keadilan menurut Mbak Nur harus dimulai sejak dalam pikiran.

Pikiran yang diwarnai bias kepentingan, dalam hal ini dominasi patriarkhi, akan memunculkan perspektif atau kerangka berpikir yang merendahkan perempuan, sebagaimana ada dalam beberapa pandangan terhadap wajah perempuan pada kepala buraq yang dianggap melecehkan Nabi, –karena perempuan di sini hanya dilihat sebatas mahluk seksual. Padahal ketika perspektif dalam melihat perempuan adalah juga sebagai mahluk spiritual dan keperempuan dapat menjadi simbol spiritualitas sebagaimana diperlihatkan dalam beberapa kebudayaan, maka peristiwa Isra mi’raj sendiri adalah sebuah peristiiwa yang mendorong manusia melakukan revoluasi kesadaran yang menuntun pada proses pembebasan dari mempertuhan mahluk, menuju kondisi kesadaran yang hanya tunduk pada Allah.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

*Tulisan ini diantarkan oleh pagi yang cerah usai mengikuti KIT#7, di antara kicauan burung dan suara serangga tongleret yang sangat nyaring dan ramai, mengabarkan musim kemarau hampir tiba.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.