Pos

Seksualitas Itu Cair

Jika mendengar kata seksualitas yang cair, apa yang ada di pikiran? Sejujurnya, saya tak pernah benar-benar mengetahui maknanya sampai saya bertemu dengan tulisan Ester Pandiangan. Ada satu artikel di buku terbarunya yang membuat saya memahami apa makna cair dari seksualitas itu.

Dualitas Jenis Kelamin

Setiap manusia dilahirkan di dunia ini hanya dengan dua kemungkinan: menjadi laki-laki atau perempuan. Sebab, hanya ada dua alat vital (vagina dan penis) yang merujuk pada penyebutan jenis kelamin.

Proses Menjadi Perempuan atau Laki-Laki

Proses menjadi perempuan atau laki-laki inilah yang—menurut pemahaman saya—membuat seksualitas itu cair. Dalam perjalanan menjadi perempuan atau laki-laki, ruang (bukan hanya soal bangunan tembok persegi empat, tetapi juga soal budaya) dan waktu (bukan hanya durasi, tetapi juga terkait dengan kesempatan) sangat menentukan bagaimana seseorang menghayati diri dan tubuhnya.

Masyarakat dan Penentuan Seksualitas

Selama ini, kebanyakan dari kita merasa menjadi perempuan atau laki-laki karena masyarakat menduga kita sebagai laki-laki atau perempuan berdasarkan alat vital yang kita miliki. Padahal, alat vital bukanlah jaminan bahwa itu menunjukkan seksualitas manusia yang sesungguhnya.

Seksualitas yang Berubah

Dalam ruang-ruang yang agak gelap dan tersamar, kita sering menemui seksualitas seseorang berubah. Misalnya, seorang waria yang tiba-tiba kembali pada “stelan pabrik”, atau seseorang yang awalnya hetero tiba-tiba mencintai sesama jenis dengan dalam. Kasus pertama bukan karena ia sedang bertobat, dan kasus kedua bukan karena ia dikerubungi setan.

Kedua contoh itu memperlihatkan bahwa ruang dan waktu mempengaruhi proses kita menjadi laki-laki atau perempuan. Pertemuan dengan realitas yang berbeda masuk ke dalam kesadaran manusia dan membentuk identitasnya sendiri. Jika ia berani, bisa jadi ia lantang berkata: “Eh, aku bukan hetero atau homo, aku adalah biseksual.”

Seksualitas Bukan Hanya Orientasi Seksual

Namun, sekali lagi, seksualitas yang cair ini bukan hanya soal orientasi seksual. Ia juga menjangkau hal-hal subtil yang kadang baru bisa dipahami dalam ruang sunyi kontemplasi—dan baru bisa diungkapkan ketika ada nyali. Seperti bagaimana seseorang harus menampilkan ekspresi wajahnya: apakah hendak maskulin atau feminin, hendak tampak seperti laki-laki atau perempuan. Dan sekali lagi, hal itu tak pernah ada hubungannya dengan orientasi seksual seseorang.

Kisah para perempuan Afganistan yang ‘melawan tradisi’ demi hak atas identitas pribadi

  • Mahjooba Nowrouzi
  • BBC News Afganistan
Afghan women wait to cast their ballot at a polling station in Mazar-i-sharif April 5, 2014.
Mayoritas perempuan Afganistan mengenakan burka untuk menutup wajah mereka.

Seorang perempuan di kawasan barat Afganistan, sebut saja Rabia, mengalami demam tinggi. Dia memeriksakan diri ke dokter, lalu didiagnosis mengidap Covid-19.

Rabia pulang ke rumah dalam kondisi lemah dan demam. Dia memberi resep dokter kepada suaminya agar dia bisa segera meminum obat.

Namun ketika suaminya melihat nama Rubia tertera di resep itu, dia langsung memukulinya. Alasannya, Rubia memberi tahu namanya kepada laki-laki yang tak dikenal.

Kisah Rubia, yang dikisahkan kepada BBC melalui temannya, bukan satu-satu di Afganistan. Di negara itu, keluarga sering memaksa perempuan untuk merahasiakan nama dari orang asing, termasuk dokter.

Mengungkap nama perempuan kepada publik dianggap perbuatan keliru dan bisa dikategorikan pehinaan. Banyak laki-laki Afganistan menolak menyebut nama saudara perempuan, istri, atau ibu mereka.

Perempuan pada umumnya hanya disebut sebagai ibu, anak perempuan atau saudara perempuan laki-laki tertua dalam keluarga mereka.

Hukum Afghanistan menyatakan, hanya nama ayah yang harus dicatat dalam akta kelahiran seorang bayi perempuan.

Masalah dimulai ketika seorang bayi perempuan dilahirkan. Butuh waktu lama baginya untuk diberi nama.

Ketika seorang perempuan menikah, namanya tidak tertera di undangan pernikahannya. Ketika sakit, namanya tidak muncul di resep dokter.

Dan saat dia meninggal, nama perempuan itu tidak muncul pada sertifikat kematiannya, bahkan di atas batu nisannya.

Namun beberapa perempuan Afghanistan kini membuat gerakan agar bisa menggunakan nama mereka secara bebas. Mereka menggunakan slogan ‘Where Is My Name?’ atau ‘Di mana nama saya?’.

Kampanye itu dimulai tiga tahun lalu, ketika Laleh Osmany sadar bahwa dia muak dengan wanita tidak mendapatkan apa yang dia anggap sebagai ‘hak dasar’.

“Gerakan ini semakin dekat untuk mencapai tujuan, yaitu membujuk pemerintah Afghanistan mencatat nama ibu pada akta kelahiran,” kata Osmany, 28 tahun.

Laleh Osmany

Laleh Osmany memulai gerakannya tiga tahun lalu.

Gerakan ini sepertinya mulai meraih hasil positif dalam beberapa minggu terakhir.

Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, disebut telah menginstruksikan Pusat Otoritas Pencatatan Sipil Afghanistan (Accra) mempertimbangkan revisi Undang-Undang Registrasi Penduduk.

Kabar itu muncul dari seorang pejabat dekat sang presiden.

Revisi beleid itu disebut akan mengizinkan perempuan mengungkap nama mereka pada kartu identitas dan akta kelahiran anak-anak mereka.

BBC mengetahui bahwa beleid itu telah diubah dan sudah diteruskan ke Kantor Urusan Administrasi Presiden (OAA).

Fawzia Koofi, aktivis hak perempuan sekaligus mantan anggota parlemen Afghanistan menyambut baik perkembangan itu. Ia berkata, perubahan itu seharusnya terjadi bertahun-tahun yang lalu.

“Memasukkan nama perempuan pada kartu identitas nasional di Afghanistan bukanlah masalah hak perempuan, itu adalah hak hukum, hak asasi manusia,” ujarnya.

“Setiap individu yang ada di dunia ini harus memiliki identitas.”

Namun para perempuan pengusung gerakan ini khawatir upaya mereka ditentang secara keras oleh anggota parlemen yang konservatif. Beberapa dari mereka telah menyatakan ketidaksetujuan.

Laleh Osmany sepakat dengan perintah presiden untuk revisi undang-undang tersebut. Namun dia berkata, itu bukanlah akhir dari pertarungan.

“Bahkan jika parlemen mengesahkan undang-undang dan Presiden Ghani mengeluarkan dekrit pengesahan pencantuman nama ibu di KTP, kami akan terus berjuang sampai rasa malu hilang dari perempuan,” kata Osmany.

Campaign poster for WhereIsMyName?

Gerakan yang digagas Osmany bertujuan agar perempuan meraih kembali hak atas identitas mereka.

Tiga tahun lalu, setelah Osmany memulai kampanyenya tiga tahun lalu, selebritas Afghanistan mulai memberikan dukungan, termasuk penyanyi dan produser musik Farhad Darya serta penulis lagu Aryana Sayeed.

“Ketika kita merujuk perempuan berdasarkan peran mereka, identitas asli mereka hilang,” kata Darya.

“Ketika pria menyangkal identitas perempuan, lama-kelamaan perempuan mulai menyensor identitas mereka sendiri,” tuturnya.

Sayeed, seorang aktivis perempuan dan salah satu penyanyi paling terkenal di Afghanistan, menyebut perempuan berhak atas identitas independen.

“Seorang perempuan, pertama-tama, adalah manusia, kemudian istri, saudara perempuan, ibu atau anak perempuan Anda. Dia memiliki hak untuk mendapat pengakuan atas identitasnya,” kata Sayeed.

Namun Sayeed khawatir gerakan itu bakal menempuh jalan panjang untuk mencapai target.

Farhad Darya and his wife, Sultana

Farhad Darya dan istrinya, Sultana, tinggal di Amerika Serikat. Mereka berkampanye soal hak-hak perempuan Afganistan.

Selain dukungan, Osmany menerima banyak komentar kritis di media sosial. Beberapa orang mengklaim menyembunyikan nama saudara perempuan untuk menjaga kedamaian keluarga mereka.

“Lakukan apa yang menurut Anda paling penting,” tulis seorang warganet.

Sejumlah laki-laki menuduh Osmany ingin namanya tertera di kartu identitas anak-anaknya karena dia tidak tahu siapa ayah mereka.

Banyak perempuan Afganistan juga tidak mendukung gerakan itu.

“Saat seseorang menanyakan nama saya, saya harus memikirkan kehormatan saudara laki-laki saya, ayah saya dan tunangan saya,” kata seorang wanita dari Provinsi Herat, yang berbicara kepada BBC tanpa menyebut nama.

“Saya ingin disebut sebagai putri ayahku, saudara perempuan kakakku,” katanya. “Dan di masa depan, saya ingin disebut sebagai istri suamiku, kemudian ibu dari putraku.”

‘Bulan dan matahari belum melihat mereka’

Afghanistan terus menjadi negara yang menyanjung patriarki. Sosiolog asal Afghanistan, Ali Kaveh, menilai ‘kehormatan laki-laki’ memaksa perempuan tidak hanya menyembunyikan tubuh, tapi juga nama mereka.

“Dalam masyarakat Afghanistan, perempuan terbaik adalah mereka yang tidak terlihat dan didengar. Seperti kata pepatah, ‘matahari dan bulan belum melihatnya’,” kata Kaveh.

“Laki-laki yang paling keras dan paling tangguh adalah yang paling dihormati dan terhormat di masyarakat. Jika anggota keluarga perempuan mereka liberal, mereka dianggap tidak bermoral dan tidak terhormat.”

Maryam Sama checking her 2018 election campaign leaflets

Anggota parlemen Afganistan, Maryam Sama, mendukung gerakan menutut hak identitas para perempuan.

Agar perempuan Afghanistan bisa memiliki identitas independen, mereka perlu kemandirian di bidang finansial, sosial, dan emosional, serta dukungan dari parlemen.

Anggapan itu diutarakan Shakardokht Jafari, seorang fisikawan medis asal Afghanistan yang bekerja di Surrey Technology Centre, Inggris.

“Di negara seperti Afghanistan, pemerintah harus mengambil tindakan hukum terhadap mereka yang menyangkal identitas perempuan,” kata Jafari.

Sejak rezim Taliban jatuh dua dekade lalu, komunitas nasional dan internasional berusaha membawa perempuan kembali ke kehidupan publik.

Namun perempuan seperti Rabia masih dilecehkan oleh suami karena memberi tahu nama mereka kepada dokter. Ada risiko yang dihadapi perempuan Afganistan jika mereka berbicara secara terbuka menentang tradisi.

Di Afganistan, para perempuan akan memiliki opsi lebih baik saat keluar negeri. Farida Sadaat adalah seorang pengantin anak. Dia melahirkan bayi pertamanya pada usia 15 tahun.

Sadaat dan suaminya kemudian berpisah. Dia lantas pindah ke Jerman dengan keempat anaknya.

Sahar Samet holding a poster promoting the WhereIsMyName? campaign

Sahar Samet, seorang pengungsi asal Afganistan di Swedia, menyatakan mendukung gerakan ini dari jauh.

Sadaat berkata kepada BBC, suaminya tidak hadir dalam kehidupan anak-anaknya, baik secara fisik maupun emosional. Dia yakin tidak memiliki hak untuk menuliskan namanya pada kartu identitas penduduk Afghanistan.

“Saya membesarkan anak-anak saya sendirian. Suami saya menolak menceraikan saya sehingga saya tidak bisa menikah lagi,” katanya.

“Saya meminta presiden Afghanistan untuk mengubah undang-undang dan mencatat nama ibu pada akta kelahiran dan kartu identitas anak.”

Sahar, seorang pengungsi Afganistan di Swedia, pernah bekerja sebagai jurnalis lepas tetapi sekarang bekerja di panti jompo.

Sahar berkata, dia mendukung gerakan ini dari jauh, sejak kampanye hak perempuan itu dimulai. Ketika Sahar pertama kali mendengar gagasan itu, dia memutuskan untuk mengirim pesan di media sosial.

“Saya bangga menulis bahwa nama saya Sahar,” tulisnya. “Nama ibuku adalah Nasimeh, nama nenek keibuanku adalah Shahzadu, dan nama nenek dari pihak ayahku adalah Fukhraj.”

Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-53535709?at_custom3=BBC+Indonesia&at_custom4=547788DC-CF95-11EA-9E7A-EEC3923C408C&at_custom2=twitter&at_medium=custom7&at_custom1=%5Bpost+type%5D&at_campaign=64

Menemukan, Mencatat, Melayani: Kelahiran dan Kematian di Indonesia

Pada hari kamis, 28 Juli 2016, saya mewakili Rumah Kita Bersama memenuhi undangan dari Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI) dalam acara Seminar “Menemukan, Mencatat, Melayani: Kelahiran dan Kematian di Indonesia; Diseminasi Studi dan Rencana Pelembagaan Identitas Hukum dan Sistem Pencatatan Sipil dan Statistik Hayati (CVRS), kerjasama Puskapa UI dengan KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan Kesejahteraan) dan Kementrian PPN/Bappenas, bertempat di Ballroom Hotel Aryaduta, Jl. Prapatan 44-48, Jakarta. Acara di mulai sejak pukul 09.00 WIB hingga 17.00 WIB.

Turut hadir dalam acara tersebut jajaran Kementerian Dalam Negeri, Kementrian PPN/Bappenas, Kementerian Sosial dan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Mahkamah Agung RI, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Kesehatan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Keuangan, Badan Pusat Statistik, Kementerian Agama,  Para Staf Khusus Presiden, Pemerintah Provinsi Aceh, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Para Mitra Pembangunan seperti DFAT, KOMPAK, AIPJ, PSF, World Bank, Childhood Development Program, USAID, UNICEF, UNFPA, TNP2k, The Asia Foundation, Institute for research and Empowerment (IRE), WHO, MAHKOTA, Knowledge Sectore Initiative (KSI), Save the Children, Data 4 Health Indonesia, juga mendatangkan organisasi Masyarakat Sipil dan Organisasi Penyandang Disabilitas seperti Rumah KitaB, PEKKA, LPA (lembaga Perlindungan Anak), Yayasan Bahtera Bandung, Plan Indonesia, dan Wahana untuk Visi Indonesia.

Dalam acara ini PUSKAPA UI memaparkan hasil temuan-temuan penelitian tentang keterkaitan antara identitas hukum, sistem pencatatan sipil, dan statistik hayati dalam mendukung peningkatan dan perluasan layanan dasar bagi masyarakat miskin dan rentan; sebuah kegiatan yang bertujuan sebagai salah satu strategi penanggulangan kemiskinan dengan meningkatkan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin dan rentan. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas didukung oleh Pemerintah Australia dan bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI).

Acara dibuka oleh Ibu Vivi Yulaswati, Msc., Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Bappenas. Sambutan dalam acara itu disampaikan oleh ibu Fleur Davies dari DFAT, Minister-Conselor for Governance and Human Development. Lalu dilanjutkan acara Talkshow sebanyak dua sesi. Sesi pertama Talkshow berjudul “Tantangan dan Peluang Pencatatan Kelahiran dan Kematian di Indonesia”. Para pembicara yang terlibat yaitu Santi Kusumaningrum (Director PUSKAPA), Drs. Drajat Wisnu Setyawan, MM. (Direktur Pendaftaran Penduduk, Kementerian Dalam Negeri), Dr. Drs. Rizari MBA., M.Si. (Direktur Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama, Ditjen Biro Administrasi Kewilayahan, Kementerian Dalam negeri), Dr. Hanibal Hambali, M.Kes. (Direktur Pelayanan Sosial Dasar, Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi). Sesi kedua, Talkshaw berjudul ”Kolaborasi Lintas Sektor untuk Meningkatkan Pencatatan Kelahiran dan Kematian di Indonesia””. Para pembicara yang terlibat pada sesi kedua yaitu Santi Kusumaningrum (Direktur PUSKAPA), Dr. Dede Anwar Musaddad, SKM., M.Kes.), Dr. dr. Mundiharno (Direktur Perencanaaan, pengembangan, dan Manajemen Risiko, BPJS Kesehatan), Dr. Kanya Eka Santi, MSW (Sekretaris Ditjen Rehabiliasi Sosial, Kementerian Sosial), Dr. Bastari, MA. (Kepala Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).

Penyediaan Identitas hukum merupakan produk akhir dari proses pencatatan sipil dan pendaftaran penduduk. Administrasi kependudukan yang berjalan dengan baik juga menghasilkan data penduduk dan statistik hayati yang akurat di antaranya tentang kelahiran, kematian (dan penyebab kematian), perkawinan, perceraian, dan perpindahan penduduk, yang sangat diperlukan sebagai dasar perencanaan dan pembuatan kebijakan di semua sektor pembangunan.

Indonesia merupakan salah satu dari negara dengan jumlah anak di bawah lima tahun terbanyak yang belum tercatat. Kepemilikan identitas hukum berkaitan erat dengan akses pada pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Kurangnya data mengenai pencatatan sipil dan kependudukan yang akurat membuat lemahnya kinerja pemerintah dalam mengatasi problem-problem sosial di masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan, kepastian hukum dan pembangunan sumber daya manusia. Data-data pencatatan sipil dan kependudukan yang ada di tangan pemerintah masih terdapat kekurangan yang besar sehingga masih banyak hak-hak kesehatan dan pendidikan untuk anak-anak, perempuan yang belum terpenuhi dalam berbagai program layanan bantuan kesehatan dan pendidikan dari pemerintah, karena mereka tidak punya akta kelahiran dan KK sehingga tidak tercantum dalam database pemerintah. Ketiadaan identitas hukum bagi anak-anak dan perempuan, juga akan berdampak pada sulitnya mendapat hak  waris, memperumit urusan kuasa asuh, menghalangi perempuan dari hak kepemilikan aset, serta menghalangi anak mendapat perlindungan khusus saat berhadapan dengan hukum. Tidak adanya akta kelahiran, anak-anak berpotensi mengalami perlakuan diskriminatif, dikawinkan dalam usia anak-anak, hingga berpotensi besar menjadi korban perdagangan anak dan dipekerjakan secara ilegal. Oleh karena itu, kepemilikan identitas hukum dan catatan sipil dan statistik hayatin (CRVS) merupakan hak semua warga negara. Untuk mewujudkan itu pemerintah menargetkan peningkatan kepemilikan akta kelahiran anak secara nasional menjadi 85%, khususnya untuk anak dari keluarga termiskin dan rentan menjadi 77% pada akhir 2019 sesuai RPJMN 2015-2019. Saat ini kepemilikan akta kelahiran baru mencapai 55% bila merujuk pada SUSENAS 2014.

Beberapa temuan penting dalam studi ini; Pertama, Pencatatan sipil yang dilakukan oleh pemerintah belum berjalan baik. Dari seluruh anak yang lahir, hanya 36% di antaranya yang memiliki akta kelahiran, itu pun didapat dari pasangan yang memiliki catatan resmi pernikahan di KUA (kantor Urusan Agama), pasangan yang pernikahannya belum tercatat belum bisa mencatatkan kelahiran anak-anaknya.  Dari pasangan yang telah bercerai hanya 2% saja yang memiliki akta cerai, sedangkan sebanyak 98% pasangan belum memiliki akta cerai.

Kedua, tidak adanya keseragaman sistem pencatatan sipil dan kependudukan di setiap daerah penelitian. Misalnya di LPU, hanya 60% anak yang sudah memiliki akta kelahiran, sedangkan di dua wilayah penelitian lainnya di Aceh dan Jawa tengah tercatat masih di bawah 50% anak yang memiliki akta kelahiran, karena banyak masyarakat yang terbebani dengan peraturan yang dibuat pemerintah, setiap anak yang lahir bisa memiliki akta kelahiran hanya berasal dari pasangan yang telah menikah dan tercatat di KUA. Terbitnya peraturan kemendagri no. 9 tahun 2016 cukup membantu untuk anak-anak agar mendapatkan akta kelahiran tanpa harus melampirkan Akta Perkawinan orang tuanya, karena peraturan itu belum lama diberlakukan, orang dewasa yang berusia di atas 18 tahun baru 63% saja yang memiliki KTP.

Ketiga, Pencatatan kematian masih sangat sedikit, terutama penyebab kematian hampir tidak dicatat. Dari 303 kematian yang terjadi di wilayah penelitian hanya 7 orang yang mengajukan pembuatan akta kematian dan hanya 4 orang yang berhasil mendapatkan akta kematian. Alasan orang membuat akta kematian itu untuk mengurus dana pensiun atau menutup rekening bank. Belum ada kesadaran di masyarakat untuk mengurus akta kematian di keluarganya. Dari kematian yang terjadi, sebanyak 84% kematian terjadi di rumah,  20% di antaranya dimakamkan di pemakaman keluarga, pihak keluarga tidak perlu mengurus izin dan tidak perlu surat keterangan kematian.

Keempat, dokumen pencatatan sipil masih banyak yang tidak sesuai, data yang satu dengan data yang lain masih banyak yang berbeda. Dari hasil penelitian terdapat 33% data yang tidak sesuai antara akta perkawinan dengan Kartu Keluarga dan sebaliknya, dan 22% anak yang punya akta kelahiran tidak dicatat di KK. Anak-anak yang tidak mendapatkan akta kelahiran menyulitkan mereka mencapai akses pendidikan dan kesehatan.

Kelima, kesenjangan pencatatan sipil dilatar belakangi oleh pelayanan yang sulit dijangkau oleh masyarakat. Masih maraknya Pemerintah Daerah yang menjadikan ”denda keterlambatan” sebagai jalan keluar untuk mengatasi permasalahan pencatatan sipil dan kependudukan. Pemberlakuan sanksi ini membebani masyarakat, terutama di desa-desa, makin enggan mengurus dokumen-dokumen pencatatan sipil dan kependudukan karena biaya pengurusan yang tinggi, mencakup biaya transportasi yang mahal dan memakan waktu ditambah denda keterlambatan pengurusan administrasi.

Keenam, kewenangan pencatatan sipil hanya ada pada kemendagri tetapi dalam praktiknya, kewenangan itu terbagi ke berbagai instansi, sehingga rangkaian pencatatan sipil ini banyak melibatkan sektor lain yang tidak memiliki keterpaduan dalam administrasi dan pelayanan. Misalnya anak adopsi tidak hanya melibatkan Kemendagri tapi juga melibatkan Kemensos, sehingga sistem administrasi menjadi makin rumit, karena tidak adanya sistem layanan pencatatan sipil dan kependudukan yang terpadu. Instansi yang menerbitkan NIK (Nomor Induk Kependudukan) berbeda dengan Instansi yang menerbitkan KK, Akta Kelahiran, dan lainnya, sehingga rata-rata penduduk di desa menganggap orang dewasa cukup punya KTP, atau ada yang merasa cukup punya KK, kecuali bila ada bantuan sosial yang memerlukan kelengkapan dokumen sprti ktp, dan KK, tentu mereka akan segera mengurus kelengkapan pencatatan sipil dan kependudukan yang diperlukan.

Temuan-temuan ini menjadi masukan penting bagi pemerintah pusat dan daerah untuk membenahi sistem pencatatan sipil dan kependudukan yang lebih baik agar setiap lapisan masyarakat, terutama anak-anak dan perempuan, dapat merasakan langsung program-program layanan publik dari pemerintah.