Pos

Seri 4 Webinar Muslimah Bekerja: Sambutan dan Pembukaan Kampanye “Muslimah Bekerja”

Sambutan dan Pembukaan Kampanye “ Muslimah Bekerja”

Oleh: Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak  

Ibu Bintang Puspayoga

Bulan Maret sangat kental dengan isu perempuan karena setiap 8 Maret perempuan di seluruh dunia merayakan Hari Perempuan Internasional. Perempuan Indonesia merupakan kekuatan, baik bagi diri, keluarga, bangsa, dan negara. Saya mengapresiasi Rumah KitaB yang telah berpartisipasi menyuarakan hak-hak perempuan. Hal-hal seperti ini perlu dilakukan bersama-sama untuk mencapai kesetaraan bagi semua.

Konstitusi dan UUD 1945 menjamin hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Secara khusus, Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 telah menjamin warga tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Artinya, memiliki pekerjaan yang layak adalah hak asasi manusia yang harus dijamin pemenuhannya bagi siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian, kenyataan yang terjadi masih jauh dari ideal. Indeks Pemberdayaan Gender Indonesia 2019 masih menunjukkan angka 75,24. Angka ini merefleksikan belum maksimalnya peran aktif perempuan dalam dunia politik, pengambilan keputusan, dan ekonomi. Lebih spesifik, berdasarkan data BPS 2020, tingkat partisipasi angkatan kerja yang mengindikasikan besarnya persentase penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi juga menunjukkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 53,13 persen, sementara laki-laki 82,4 persen.

Itu sangat disayangkan karena perempuan adalah setengah dari potensi bangsa, termasuk potensi ekonomi. Berdasarkan hasil sensus 2020, perempuan mengisi 49,42 persen dari total populasi Indonesia. Sementara hasil penelitian McKinsey dan hasil diskusi World Economic Forum 2020 menyimpulkan, memaksimalkan potensi dan partisipasi ekonomi perempuan akan berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan suatu negara. Pentingnya peran perempuan bagi seluruh kelompok masyarakat ini membuat kesetaraan gender ditetapkan sebagai tujuan kelima dari tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), yang juga didukung oleh Indonesia.

Agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 juga diarahkan bagi implementasi tujuan pembangunan berkelanjutan dan disusun dengan memastikan partisipasi perempuan. Agenda ini harus diikuti dengan penerapan program dan penganggaran yang inklusif hingga ke desa-desa. Dunia sudah tidak menghendaki praktik-praktik eksklusivisme. Masyarakat masa depan adalah masyarakat yang demokratis, terbuka, bekerja sama, dan setara.

Kami di KPPA mendapatkan arahan dari Presiden RI untuk menjalankan lima isu prioritas dalam lima tahun ke depan. Salah satunya adalah peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan. Kita harus memaksimalkan kekuatan perempuan di bidang ekonomi. Dalam hal itu, kami di KPPA akan memfokuskan pada perempuan kepala keluarga, perempuan pra-sejahtera, dan perempuan penyintas—kekerasan maupun bencana. Pemberdayaan ekonomi merupakan langkah dasar untuk memberdayakan diri individu perempuan. Dengan memiliki pendapatan, perempuan membebaskan diri dari ketergantungan, lebih mampu mengambil keputusan atas kepentingan terbaik perempuan dan anak, serta meminimalisasi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pada akhirnya, itu bisa memperkuat ekonomi dan memastikan kesetaraan dan kemajuan bangsa.

Kurangnya partisipasi perempuan di bidang ekonomi merupakan persoalan yang sangat kompleks dan multisektoral. Budaya patriarki membuat akses perempuan terhadap pendidikan, informasi, dan hasil pembangunan lainnya lebih rendah daripada laki-laki. Itu diperparah dengan paham konservatif yang menggunakan tafsir keagamaan sebagai legitimasi. Paham ini ingin mempertegas perbedaan peran perempuan dan laki-laki, di mana perempuan dianggap baik bila tinggal di rumah dan mengurus keluarga. Dunia luar bukanlah milik perempuan. Pandangan semacam ini semakin mengecilkan potensi perempuan dan arti penting sumbangan ekonominya, bahkan menyiratkan urusan domestik seolah tanggung jawab perempuan secara tunggal. Konstruksi sosial itu begitu mengakar sehingga banyak perempuan pun meng-iya-kannya.

Perempuan harus berdaya secara ekonomi. Ketahanan ekonomi perempuan adalah langkah awal dari kekuatan perempuan untuk melawan segala bentuk perlakuan salah dan kekerasan pada dirinya. Terlebih, banyak kasus kekerasan terjadi pada ranah domestik sehingga perempuan sulit keluar dari jerat kekerasan, tanpa kemandirian ekonomi.

Perlu sinergi dan usaha yang gigih dari berbagai pilar pembangunan untuk mencapai pemberdayaan dan kesetaraan bagi perempuan. Tidak ada satu pihak pun yang bisa bekerja sendiri. Untuk itu, saya sangat mengapresiasi inisiatif Rumah KitaB dalam melakukan studi kualitatif dan kuantitatif Indeks Penerimaan Perempuan Bekerja dan kampanye ‘Muslimah Bekerja.’ Ini akan mendorong meningkatnya peran perempuan sebagai sosok yang tangguh bagi perekonomian bangsa. Dengan membuka peluang dan peran perempuan dalam berbagai bidang pembangunan, kita telah mendorong distribusi sumber daya pembangunan lebih adil dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat.

Perempuan yang berdaya akan terus berinovasi dan berpikir kreatif demi mencapai kemandirian diri. Saya berharap bagi seluruh perempuan untuk tidak berhenti belajar dan terus berjuang. Kita harus yakin bahwa perjuangan kita akan menghasilkan kesetaraan. Karena itu, kita harus bergandengan tangan, menyatukan kekuatan, dan mengesampingkan ego masing-masing untuk membangun sinergi yang kuat demi mencapai tujuan bersama, yaitu dunia yang setara. Kesetaraan akan menihilkan berbagai dampak buruk budaya patriarki seperti kekerasan berbasis gender, perkawinan anak, serta eksploitasi perempuan dan anak.

Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, saya menyatakan kampanye ‘Muslimah Bekerja’ diluncurkan. Semoga upaya-upaya yang dilakukan ini bisa memberi manfaat bagi kemajuan dan masa depan perempuan Indonesia.[]

Seri 12 IWD 2021: Memetakan Tantangan Perempuan

Seri 12 IWD 2021 / Rumah KitaB / Muslimah Bekerja

Oleh: Lies Marcoes

Tema International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional tahun ini adalah ”Choose to Challenge”. Secara bebas ini bisa diartikan ”berani menantang”.

Ibarat pit stop untuk pelari maraton, bagi perempuan ini adalah momentum untuk sejenak berhenti dan memetakan kekuatannya dalam menghadapi tantangan masa depan.

Secara konsisten, setidaknya ada tiga masalah yang terus muncul sebagai tantangan belakangan ini: peluang bonus demografi, dampak perubahan sosial ekonomi pada relasi jender, serta menguatnya konservativisme budaya dan agama. Ketiga isu ini sangat relevan dilihat dalam konteks penanganan pandemi Covid-19 saat ini.

Perempuan dan bonus demografi

Bonus demografi bagi perempuan bisa menjadi peluang. Badan Kependudukan Dunia dan Bappenas telah menghitung bahwa dalam 10 tahun ke depan dan dalam jangka 10 tahun itu (2030-2040) Indonesia akan kelimpahan panen secara demografi. Ini karena jumlah penduduk usia produktif akan mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang separuhnya perempuan. Namun, panen ini hanya bisa dipetik jika kualitas SDM naik.

Covid-19 yang selama satu tahun menghantam dunia, berdampak besar pada proses-proses peningkatan SDM, tak terkecuali di Indonesia. Di lapangan, kita berhadapan dengan soal-soal mendasar untuk capaian pembangunan: angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka partisipasi pendidikan anak perempuan dan partisipasi ekonomi. Ada kemajuan dalam bidang-bidang itu, tetapi cenderung stagnan. Apalagi setelah dihantam Covid-19.

Demikian juga dalam upaya penurunan angka kawin anak. Padahal, kawin anak punya implikasi lanjutan pada angka putus sekolah dan akhirnya berdampak terhadap kualitas SDM. Data Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) menunjukkan, satu dari delapan anak perempuan masuk ke perangkap kawin anak. Upaya politik menaikkan usia kawin melalui perubahan Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 19, untuk sementara, malah menaikkan angka dispensasi nikah.

Walhasil, bonus demografi secara nyata berhadapan dengan kesenjangan yang tajam antarwilayah. Pengaruhnya tidak hanya pada kesenjangan capaian Indeks Pembangunan Manusia, tetapi juga pada peluang bonus demografi itu.

Ini contoh kesenjangan dimaksud. Mutiara Anissa MSc adalah perempuan milenial Indonesia ahli biologi molekuler lulusan universitas ternama di London. Dengan memanfaatkan teknologi canggih di bidang komunikasi dan kemampuan bahasa Inggris yang prima, ia fasih menyuarakan secara akademis isu pandemi dan kanker, bidang yang ditekuninya. Ia mengelola pandemic talks melalui ragam platform media sosial sehingga awam pun bisa paham.

Ia kerap menjadi satu-satunya perempuan pembicara paling muda dalam forum ”bapak-bapak” yang ahli dalam isu Covid-19 ini. Bersama sejumlah perempuan seusianya yang menekui bidang sains, ia menjadi aset penting bagi masa depan bio-medical scientist untuk menyongsong bonus demografi dalam 10 tahun mendatang.

Dalam konteks bonus demografi, sosok Mutiara benar-benar menjadi mutiara untuk peluang demografi di negeri ini. Ia berani menerima tantangan dunia sebagai ahli dalam ilmu yang masih langka ini. Ia mendapat pendidikan terbaik sesuai pilihan dan minatnya melalui jalur beasiswa yang disediakan pemerintah. Ia segera mendapat pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kebutuhan di dalam negeri tatkala Covid-19 menghantam dunia kesehatan.
Selain itu, tersedia juga lapangan pekerjaan yang diciptakan pihak swasta dan universitas yang peduli dan paham perlunya teknologi kedokteran di masa depan. Dan tak kalah penting, secara kultural ia tumbuh dalam keluarga yang tak membatasi pilihan-pilihan berdasarkan prasangka jendernya sebagai perempuan.

Namun, di sudut negeri ini, penelitian Rumah Kitab melaporkan kisah Nisa yang lain yang ditemui di Lombok Utara atau Madura. Kisah serupa juga dikonfirmasi oleh Misiyah, peneliti KAPAL Perempuan di Lombok Timur. Nisa, seperti banyak dialami perempuan muda dari kampungnya, ditinggal merantau oleh ibunya sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Ayahnya, atau lelaki seperti ayah Nisa, memilih kawin lagi karena secara kultural lelaki perlu ada yang mengurus.

Sementara adat budaya tak dapat mencegah praktik kawin lari atau kawin siri. Padahal, orang dewasa paham, begitu anak perempuan yang belum lagi khatam sekolah itu dikawinkan, maka bagi bonus demografi mereka bukan lagi sebagai penyumbang, melainkan penghambat peluang demografi. Daya saing seperti apa yang dapat diandalkan dari SDM yang tak mendapatkan capaian pendidikan optimal?

Jurang sosial, politik, dan ekonomi di antara dua kelompok perempuan muda di berbagai wilayah di negeri ini begitu curam. Dan saya tak percaya ini adalah takdirnya. Dari potensi sumber daya ekonomi, NTB merupakan penghasil padi sekaligus potensi wisata yang menjanjikan.

Ini tak beda dengan Papua, Kalimantan, dan Provinsi Aceh yang menjadi penyumbang ekonomi paling penting bagi pundi-pundi negeri ini. Namun, perbedaan akses dan kerumitan-kerumitan sosial politik yang menyertainya tak dengan segera dapat mengatasi kesenjangan antarperempuan di berbagai wilayah di negeri ini.

Gerakan perempuan dan relasi jender

Problem yang dihadapi Nisa dari NTB adalah hilangnya peluang pendidikan dan ekonomi karena dihadang kemiskinan dan kebudayaan yang mengunci nilai-nilai relasi jender di ruang sosial budaya yang semakin konservatif dan regresif.

Relasi jender dalam masyarakat dibiarkan dan bahkan dikukuhkan menjadi relasi yang semakin jenjang, genjang, dan timpang. Banyak lelaki terus berpegang kepada nilai-nilai kolot demi mempertahankan dominasi atas perempuan.

Jika perlu, dilakukan atas nama nilai-nilai agama yang pantang berubah. Ketika perempuan menerima tantangan untuk masuk ke pasar tenaga kerja yang telah terbuka lebar berkat globalisasi ekonomi, di dalam rumah, lelaki dan budaya patriarki tak kunjung siap berubah.

Akibatnya, perempuan dan anak perempuan harus menanggung beban lebih besar atas perubahan-perubahan sosial ekonomi yang telah menciptakan peluang ekonomi yang besar itu.
Ternyata terbukanya peluang tidak dengan sendirinya melahirkan akselerasi kebudayaan yang dapat menopang perubahan akses dan partisipasi perempuan dalam meraih manfaat seoptimal mungkin dari bonus demografi ini.

Jika menengok sejarah gerakan perempuan di mana pun di dunia, sesungguhnya perubahan-perubahan besar ke arah kehidupan yang lebih adil dan demokratis kerap dipicu oleh perubahan relasi jender di ruang publik.
Perubahan itu biasanya digagas perempuan dengan menantang hambatan yang mereka hadapi. Kartini, misalnya, ia menantang kaum feodal patriark sekaligus kebijakan kolonial dengan menuntut agar anak perempuan mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya.

Sejarah Hari Perempuan Internasional atau IWD sendiri tak lepas dari keberanian perempuan menantang praktik-praktik penindasan perempuan di ruang publik. Mereka menuntut persamaan hak pekerja, upah, dan hak mendapatkan wakil mereka di parlemen, tempat nasib kaum pekerja, termasuk mereka, diperbincangkan.
Tentu saja manfaat dari keberanian mereka tak dinikmati sendiri. Anak-anak milenial yang lahir dari ibu yang merdeka cenderung menjadi lebih mandiri dan tak takut tantangan.

Di era kekinian, misalnya, kita menyaksikan keberanian Malala menantang kaum pemuja kekuasaan atas nama Tuhan. Atau keberanian Greta Thunberg yang menuntut tanggung jawab dan kesadaran para pebisnis untuk menghentikan pemanasan global lewat usaha-usaha sadar lingkungan. Begitu juga dengan Amanda Gorman, pegiat seni, yang dengan puisinya mengajak rakyat Amerika kembali kepada esensi demokrasi: Amerika untuk semua.
Namun, dalam waktu yang sama, sejarah menyaksikan arus balik bagi keberanian perempuan melawan kebekuan dan kebuntuan itu. Kebudayaan patriarki secara tekun dan mengendap-endap menciptakan gerak yang sebaliknya.
Ketika para patriark gugup dan gagap menyaksikan globalisasi yang memberi peluang dan kemerdekaan kepada perempuan untuk maju, mereka meminjam kekuatan agama untuk menghentikannya melalui kontrol atas tubuh dan eksistensi perempuan. Padahal, bagi banyak perempuan, penggunaan mantra agama dalam mengukuhkan dominasi konservativisme, cukup ampuh melumpuhkan kesadaran kritis mereka.

Sebagai titik pemberhentian sementara dalam memanfaatkan peluang demografi di negeri ini, Hari Perempuan Internasional semestinya menjadi momentum penting untuk membaca ulang dan menjawab persoalan yang dihadapi perempuan di masa depan. Kita harus berani menerima tantangan mereka untuk berubah demi sejarah peradaban yang lebih pantas untuk diingat dan dirayakan!

Naskah yang sama telah diterbitkan dalam Harian Kompas, 8 Maret 2021, hal 6.

Seri 11 IWD 2021: Menengok Kembali Perempuan Kampungku Bekerja

Seri 11 IWD 2021 / Rumah KitaB / Muslimah Bekerja

Menengok Kembali Perempuan Kampungku Bekerja

Oleh: Mustika Al Adawiyah  

Menjelang Hari Perempuan Internasional, di Rumah Kitab kami membahas isu yang akan diangkat sebagai tema. Choose to Challenge sebagai tema umum HPI ini kemudian kami  fokuskan membahas tentang “Merayakan Ragam Pekerjaan Perempuan”. Untuk itu semua staf diminta berbagi cerita tentang “pekerjaan” perempuan yang kita amati di lingkungan kita sendiri. Buat saya rasanya aneh, sebab perempuan di kampung saya, perempuan di sekitar saya, memang perempuan yang bekerja. Terlepas dari ada atau tidak ada pendidikan, perempuan di kampung saya adalah pekerja, bahkan dapat dikatakan pekerja keras. Tapi saya baru menyadari betapa ragamnya pekerjaan-pekerjaan kaum perempuan di  kampung asal saya di Garut Selatan.

Saya lahir dari sebuah keluarga Sunda di wilayah Selatan Garut.  Bagi “urang Sunda”, perempuan itu memang harus bekerja!. Ada nyanyian sewaktu kecil yang mengajarkan bahwa bekerja itu memang kewajiban bagi perempuan. “Kawajiban awewe, kudu daek digawe” yang artinya kira-kira “ Kewajiban perempuan harus mau bekerja”. Tidak ada penjelasan dalam lagu itu pekerjaan apa yang dimaksud, namun dalam pemahaman saya, itu menunjuk kepada pekerjaan mengurus rumah tangga yang dianggap sebagai pekerjaan utama/ kewajiban utama  perempuan.

Namun di kampung saya, perempuan itu bekerja untuk mencari nafkah selain mengurus rumah tangganya. Secara geografis wilayah tempat saya tinggal  merupakan perpaduan antara pesisir di mana pendudukan kebanyakan menjadi nelayan atau buruh nelayan, sementara di sebelah utara merupakan wilayah pegunungan dan dataran tinggi, kebanyaakan penduduknya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan.

Wilayah Garut, sebagaimana umumnya wilayah Priangan Timur, di kenal sebagai wilayah yang sangat subur. Mungkin karena dikepung gunung-gunung yang aktif dan beberapa kali dalam sejarahnya pernah meletus, tanah di wilayah Garut dikenal sangat subur. Beberapa buah-buahan seperti Jeruk Garut dan buah arben yang daunnya digunakan untuk ulat sutra pernah menjadi buah primadona sebelum diserbu buah-buahan dari luar.

Meskipun subur di banyak wilayah, seperti di kampung saya itu (Kabupaten Garut Selatan),  kebanyakan penduduknya tergolong menengah ke bawah.  Pekerjaan utama para warganya bertani dan melaut. Hanya sebagian kecil yang  menjadi pegawai, atau merantau ke kota dengan berbagai keahliannya. Di kota  kota besar di Indonesia, lelaki dari Garut dikenal keahliannya sebagai tukang pangkas rambut, Asgar- Asli Garut.

Karakter orang Sunda sering disebut someah, atau ramah. Tapi  karakter dari wilayah Selatan sering dianggap keras, ini terlihat dari cara bicaranya yang tidak sehalus orang Ciajuran  di wilayah  Barat  Jawa Barat yang dianggap lebih halus. Hal yang pasti watak keras itu dapat dilihat dari cara mereka gigih dalam bekerja, lelaki maupun  perempuan.

Sektor pertanian sebagai petani atau buruh tani tampaknya tidak lagi  menjadi pilihan anak muda dari wilayah Garut Selatan. Pekerjaan itu biasanya dilakukan oleh mereka yang telah selesai merantau dan kembali ke kampung halaman. Setelah tamat SMP atau SMA, umumnya perempuan-perempuan dari  kampung saya  merantau ke kota  menjadi “dongsih”.  Saya tidak tahu apa arti sebenarnya, konon itu singkatan dari “kadongdong beresih” buah kedondong yang bersih.  Tapi ada juga yang mengartikan “ngendong bersih”. Hal itu menunjuk kepada pembayaran upah bersih di mana pekerja (biasanya pekerjaan Asisten Rumah Tangga atau buruh) tidak lagi mengeluarkan biaya untuk penginapan/ ngontrak atau makan, karena mereka telah mendapatkan tempat tinggal untuk menginapnya (ngendong) dan untuk biaya makannya, sehingga upah yang diterima bersifat netto alias “bersih”.

Namun saat ini dongsih juga diartikan sebagai sebutan untuk para perempuan muda yang bekerja ke kota Garut, Bandung dan Jakarta sebagai buruh pabrik atau menjadi ART (Asisten Rumah Tangga). Sementara itu jenis pekerjaan pabrikan yang banyak diminati adalah pabrik makanan seperti dodol Garut, pabrik garmen, dan pabrik bulu mata palsu dan wig untuk ekspor ke Korea. Hanya sedikit yang mendapatkan kesempatan melanjutkan kuliah dan bekerja berdasarkan keahliannya. Namun sejak lama juga banyak perempuan yang bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW) terutama ke negara-negara Arab.

Degan demikian, sejak kecil saya tidak pernah mendengar larangan terhadap perempuan untuk bekerja di luar rumah.  Sebaliknya saya sering mendengar Mama Ajengan (sebuatan untuk kyai dalam kebiasaan orang Sunda) mendorong untuk bekerja di mana saja yang penting halal dan tetap menjalankan kewajiban agama. Dengan bekerja, demikian sering saya dengar, kita jadi punya kesempatan bersedekah. Kalau Lebaran tiba, dan para perantau pulang, banyak sekali kegiatan-kegiatan untuk bersedekah seperti membangun madrasah, mesjid atau untuk membangun rumah untuk orang tua yang tetap tinggal di kampung. Jadi kalau sekarang ada ujaran-ujaran yang meminta perempuan sebaiknya tinggal tidak bekerja dan di rumah, buat saya itu seperti melawan kewajibannya yang selalu kita dengar sebagai nasihat dari orang tua.

Namun begitu saya juga melihat yang menjadi masalah adalah cara orang menghargai tenaga kerja perempuan dan lelaki yang dibeda-bedakan. Upah yang didapatkan buruh lelaki dan perempuan terutama dalam dunia pertanian dan melaut itu berbeda. Baik di pertanian maupun di laut upah perempuan selalu lebih rendah. Upah perempuan lebih kecil upahnya dengan alasan bahwa beban kerja laki-laki lebih berat daripada perempuan. Selisih upahnya lumayan jauh sekitar Rp15.000 sampai Rp20.000 untuk waktu kerja 6 – 7 jam kerja, Perempuan dibayar Rp 35.000,- laki-laki Rp 50.000,-. Sampai Rp60.000,- selain itu ada anggapan perempuan selalu mendapatkan nafkah dari suaminya sehingga status mereka dalam bekerja dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Padahal banyak perempuan  apapun status perkawinanya merupakan pencari nafkah utama. Dalam beberapa kasus, mereka merupakan kepala keluarga.

Persoalan lain, terutama bagi keluarga yang istrinya merantau jauh seperti menjadi TKW, tidak ada pendidikan bagi suami di kampung bagaimana menjadi suami dan bapak yang baik, setia dan menunjang perjuangan istrinya di rantau. Hal yang sering menjadi cerita umum adalah suaminya nyandung (poligami), uang dari istri dihambur-hamburkan  untuk membeli barang-barang kosnumtif dan tidak ada budaya menabung dan cara pengelolaan uang hasil kerja di rantau.

Namun ada juga yang berhasil dipakai untuk menyekolahkan anak, membangun rumah dan membeli sawah/ kebun untuk bekal perempuan sendiri di masa tuanya. Ketika mereka kembali ke kampung mereka tetap bekerja baik mengurus rumah tangganya, mengurus keluarganya sambil tetap mencari nafkah.  Sementara anak-anaknya melanjutkan kariernya di kota dan kembali sesekali ke kampungnya untuk menikmati jerih payahnya mereka dan orang tuanya bekerja.  Perempuan di kampung saya memang perempuan pekerja!

 

Menalar Choose to Challenge Dengan Spirit Isra’ Mi’raj: Catatan Reflektif Feminis Sufistik

Tahun 2021 ini International Women Day (IWD) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret berdekatan dengan peringatan Isra’ Mi’raj yang jatuh pada tanggal 11 Maret, tiga hari setelahnya. Bagi masyarakat muslim yang perhatian dengan isu perempuan dan keagamaan tentu menarik untuk menggali makna keduanya.

Tema IWD kali ini adalah Choose to challenge, memilih untuk melawan, menggelorakan keberanian perempuan untuk bangkit dari ketidaksetaraan, bias dan stereotipe serta mewujudkan dunia yang inklusif. Kampanye yang diharapkan mampu mengajak semua pihak untuk turut serta menciptakan kehidupan yang ramah.

Isra’ Mi’raj selalu diperingati karena dianggap sebagai tonggak utama ajaran Islam. Mengenang perjalanan Nabi Muhammad pada malam 27 Rajab dari Masjidil Haram di Mekah menuju Masjidil Aqsha di Palestina yang berjarak sekitar 1.500 Km, pada zaman itu bisa ditempuh selama 40 hari dengan menunggang unta.

Dari Palestina perjalanan masih berlanjut menembus langit ke Sidratil Muntaha. Wajar jika kemudian kaum kafir Quraish menganggap perjalanan Isra’ dan Mi’raj hanyalah bualan, karena secara empiris bahkan sampai hari ini memang irasional.

Peristiwa Isra’ Mi’raj umum dimaknai sebagai urgensi sholat bagi umat Islam karena instruksi pelaksanaannya disampaikan sendiri oleh Allah, tidak lagi melalui Jibril sebagaimana risalah-risalah lain. Dalam kajian ilmu kalam, Isra’ Mi’raj menjadi polemik pada soal apakah perjalanan Rasulullah tersebut bersifat materi atau spirit. Hanya ruh atau wadag beliau juga turut menyapa nabi-nabi terdahulu pada tiap langit yang disinggahi, lantas berdialog dengan Allah di Sidratil Muntaha.

Keajaiaban Isra’ Mi’raj tersebut menjadi dalil kehebatan Islam sebagai agama futuristik. Capaian teknologi lambat laun membuktikan rasionalitas Isra’ secara kosmologis, meski demikian mamahami Mi’raj tetap membutuhkan pelibatan intuisi karena sifatnya yang mistik. Dalam cakrawala supra rasional demikian, muncul pertanyaan mungkinkah menemukan benang merah spiritualitas antara ujaran untuk bangkit melawan ketidak adilan yang diusung IWD dan hikmah peristiwa Isra’ Mi’raj?

Memaknai Isra’ Mi’raj dalam narasi keperempuanan adalah hal langka.  Setidaknya baru Lies Marcus yang dalam acara Ngaji Keadilan Gender Islam bersama Nur Rofi’ah pada malam 12 Maret lalu yang secara tegas menyampaikan bahwa, sebagai Feminis peristiwa Isra’ Mi’raj baginya bermakna pembebasan bagi perempuan.

Kalimat ini memantik refleksi lebih mendalam terkait perjalanan kemanusiaan perempuan sebagai hamba Allah yang ternyata masih sangat memprihatinkan. Rentan terpinggirkan dari ketauhidan, mudah tersesat dalam belantara penghambaan dan menuhankan berbagai hal selain Allah.

Kehidupan perempuan lekat dengan status yang menuntut perhatian besar, sebagai istri, ibu, anak atau pekerja sering melalaikan bahwa dirinya adalah hamba Allah semata, bukan yang lain. Terlebih jika hidup tanpa pemahaman keagamaan yang mumpuni tak jarang perempuan dengan mudah menjadi pengabdi bagi penindasnya.

Tidak sedikit perempuan yang patuh secara mutlak kepada suami atau tradisi yang telah berlaku tidak adil padanya karena mengira begitulah takdir menggariskan. Menghempasnya dari hakikat eksistensial manusia, bahwa keberadaanya di dunia ini seluruhnya hanyalah untuk menyembah Allah Yang Esa.

Rasulullah di-Isra’Mi’raj-kan ketika mengalami penistaan dan penindasan dari kaum Qurays yang tidak lain adalah kerabatnya sendiri. Saat sedang berada di puncak duka karena kematian istrinya Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib, orang-orang tercinta yang selalu melindungi dan membela.

Kepedihan berlapis-lapis yang hanya bisa diluruhkan oleh pengalaman maha dahsyat, bertemu dengan Allah. Hal ini dianalogikan dengan kondisi pilu perempuan yang termarjinalkan dan hanya bisa diatasi dengan memutus rantai kedzaliman penghambaan dengan mendekatkan perempuan hanya kepada Allah Tuan sejatinya.

Isra’ dalam cakrawala feminis sufistik melambangkan perjalanan melawan kedzaliman dan penindasan di ruang historis. Usaha membenahi sifat hubungan di wilayah praktis horizontal yang sebelumnya timpang. Jika diperlakukan tidak adil, perempuan harus berani mengambil sikap dan melawan. Meminta bantuan, berjuang menghadapi dan bekerja sama merubah sistem yang tidak manusiawi.

Perempuan harus mampu melihat dirinya sebagai manusia utuh. Hidup setara dan adil dalam keragaman semesta, dengan laki-laki, anak-anak, difabel dan kelompok rentan lain sebagai sesama hamba Allah. Relasi horizontal ini harus diperbaiki karena menjadi jembatan penghubung dengan relasi vertikal antara perempuan dengan Tuhan. Bercermin pada peristiwa Isra’ yang dianggap mustahil tapi harus diimani, maka merombak sistem patriarki yang seolah tidak mungkin jika beriman niscaya bisa tercapai. Toh tidak ada yang sulit dalam Kemahakuasaan Allah.

Memaknai Isra’ Mi’raj dengan spirit IWD adalah upaya mengejawantahkan cinta dan kasih sayang Allah kepada perempuan.  Memerdekakannya dari segala bentuk penghambaan dan penindasan yang selama berabad-abad disahkan oleh kuasa negara, budaya dan agama. Sholat adalah perintah bagi perempuan untuk meletakkan peran-peran kesementaraan, hadir dengan bersih di hadapan Allah dari watak kemelekatan dunia. Mengingat bahwa sesungguhnya dirinya adalah hak dan milik Allah semata.

Lebih jauh, dalam nalar Feminis sufistik Mi’raj merupakan visi bahwa keintiman perempuan dengan Sang Pencipta adalah mungkin. Pembaruan sifat relasi vertikal antara perempuan sebagai hamba dengan Allah sebagai satu-satunya Ilah (Tauhid) yang patut disembah. Perempuan harus melepaskan diri dari segala unsur penyekutuan yang merupakan dosa besar dan menodai kesucian hubungannya dengan Allah. Saat dia telah terbebas, maka dia sebagai dirinya sendiri yang murni hadir menjumpai kekasih sejati, dia Mi’raj menyingkap hijab antara dirinya dengan Allah. Wallahu a’lam bishawab.

Daftar rujukan

Etin Anwar, 2017, Jati Diri Perempuan dalam Islam, Bandung: Mizan.

Faqihudin Abdul Kodir, 2017, 60 hadis Hak-hak Perempuan dalam Islam, Cirebon: Umah Sinau Mubadalah & Aman Indonesia.

Haedar Bagir, 2019, Mengenal Tasawuf Spiritualisme dalam Islam, Bandung: Mizan.

Baca Juga  Konglomerat Itu Bernama “Muhammadiyah”

https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/08/151500165/hari-perempuan-sedunia-2021-ini-tema-dan-sejarahnya?page=all diakses 17 Maret 2021

https://www.republika.co.id/berita/qpsc11366/kapankah-peristiwa-isra-dan-miraj-terjadi-part1 diakses 17 Maret 2021

Seri 2 IWD 2021: Surat Kartini Kepada Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat

Seri 2 IWD 2021 / Rumah KitaB / Muslimah Bekerja

Oleh: Nurhayati Aida

 

Surat  Kartini Kepada Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat

Teruntuk kedua Mbakyuku; Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat.

Semoga Mbakyu Shima dan Mbakyu Ratna (Kalinyamat) dalam keadaan sehat dan tidak kurang dari apa.

Saat surat ini sampai di tangan Mbakyu Shima dan Mbakyu Ratna, musim hujan telah sampai di penghujungnya. Tanah-tanah menjadi subur dan pepohonan mulai rimbun dengan dedaunan. Semilir angin hujan tak henti-hentinya menyibakkan anakan rambut kecil di kening, mengingatkan kepada riuh para pekerja di ladang dan sawah.

Tahun telah berganti begitu cepat. Waktu melesat begitu saja dari busurnya. Dan saat ini kita tiba di masa semuanya serba cepat. Sesuatu yang dulu terasa jauh kita bayangkan.  Terkadang saya merasa takjub dengan perkembangan pesat ini. Teknologi telah mengantarkan kita pada peradaban digital. Sungguh tak pernah terbayangkan bisa menulis surat secepat ini melalui email, atau berbalas pesan singkat melalui Whatsaap.

Mbakyu, rasanya senang sekali bisa mengirimkan kabar ini kepada Mbakyu berdua bahwa harapan yang pernah saya utarakan beberapa waktu lalu—yang pernah saya kabarkan beritanya kepada Mbakyu berdua—tentang pendidikan bagi kaum perempuan, telah terwujud.  Saat ini di ruang-ruang kelas sekolah dan perguruan tinggi, jumlah murid perempuan tak kalah banyak dari murid laki-laki. Banyak murid-murid perempuan yang memiliki prestasi yang bagus, rangking, dan nilai di atas rata-tara.

Saya masih ingat isi surat yang saya kirimkan kepada Nyonya Van Kool di Belanda waktu itu. “…untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya”.  Begitu kira-kira tulisan saya kepada Nyonya Van Kool. Dan kini, harapan itu telah nyata.

Keadaan ini tentu jauh berbeda dengan keadaan yang beberapa waktu lalu saya sampaikan kepada Mbakyu berdua. Sungguh ini kabar gembira sekali.

Namun, Mbakyu. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati dan membuat saya gelisah. Ini tentang prasangka yang diarahkan kepada perempuan dianggap sebagi fitnah (godaan) yang bisa menimbulkan kegoncangan stabilitas sosial. Atas dasar itu, Mbakyu, perempuan kemudian “diminta” untuk di rumah saja, dan tidak perlu bekerja di wilayah publik.

Duh, Mbakyu, betapa sedih dan perihnya hati ini mendengar sangkaan itu. Sepertinya mereka tidak melihat Kerajaan Kalingga yang dipimpin oleh Mbakyu Shima. Masyarakatnya jujur dan disiplin, sebab Mbakyu Shima memimpin dengan tegas.

Seorang raja, bernama Ta-Shih,  bahkan sengaja meletakkan sekantung emas di jalanan dekat alun-alun. Ia ingin menguji kedisiplinan rakyat Kalingga. Berminggu-minggu kantung emas itu tak berpindah tempat sama sekali. Mereka tahu bahwa itu bukanlah hak mereka.

Bukan hanya soal ketegasan dan kedisiplinan, Kerajaan Kalingga juga dikenal luas oleh  mancanegara. Hubungan bilateral Kerajaan Kalingga sampai  ke dataran Tiongkok.

Pun, sepertinya mereka lupa dengan apa yang dilakukan oleh Mbakyu Ratna saat memimpin Jepara. Kala itu Jepara mampu keluar dari keterpurukan ekonomi yang terus mendera. Jepara di bawah kepemimpinan Mbakyu Ratna bahkan dianggap sebagai puncak kegemilangan Jepara.

Tak hanya itu, Mbakyu Shima dan Mbakyu Ratna. Perempuan juga dianggap hanya memiliki akal dan iman yang lemah. Saya sendiri sangsi jika anggapan itu datang dari Kanjeng Nabi Muhammad. Mustahil rasanya Nabi yang memiliki julukan al-amin itu bersabda sedemikian buruk pada perempuan, sedangkan agama yang Bagunda Rasul bawa adalah agama rahmat (kasih sayang) kepada seluruh alam, termasuk perempuan.

Saya lalu teringat kepada Mbakyu Ratna dengan kecerdikan strategi dan keberanian melawan penjajah Portugis. Setidaknya empat kali Mbakyu Ratna mengirimkan armada perang membantu Raja Johor dan Sultan Ali Mukhayat Syah dari Aceh untuk melawan Portugis di laut Malaka. Untuk keberanian itu, Diego de Couto  menyebut Mbakyu Ratna sebagai Rainha da Japara, senhora poderosa e rica (Ratu Jepara, seorang wanita yang kaya dan berkuasa). Apakah patut menyebut Mbakyu Ratna sebagai perempuan kurang akal dengan seluruh strategi dan keberanian yang Mbakyu Ratna lakukan?

Jika dikatakan perempuan kurang agama, bagaimana dengan “tapa wuda” yang Mbakyu Ratna lakukan? Meski ada prasangka-prasangka atas “tapa wuda” sebagai laku  mengumbar birahi, tetapi “tapa wuda” tak bisa dimaknai begitu saja sebagai makna lapis pertama. “Tapa Wuda”  bukanlah bertapa tanpa pakaian dalam arti telanjang, melainkan melepaskan segala keterikatan dunia materi yang dimiliki. Sebagai seorang ratu, Mbakyu Ratna tentu memiliki segalanya, tetapi atas kematian suami dan saudaranya di tangan Arya Panangsang. Mbakyu Ratna memilih untuk “uzlah” mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta.

Mbakyu, sungguh hal-hal ini menggelisahkan hati saya. Mbakyu berdualah yang menjadi sumber inspirasi saya. Mbakyu Ratna dan Mbakyu Shima telah berani melawan anggapan umum tentang perempuan yang menjadi sumber fitnah, lemah akal, dan lemah agama.

Saya mengutarakan hal ini juga kepada Nyonya Abendanon di Belanda beberapa waktu lalu, “Kami beriktiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup diri sendiri. Menolong diri sendiri. Menolong diri sendiri itu kerap kali lebih sukar dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula”.

Semoga Mbakyu berdua selalu dalam lindungan Tuhan.

 

Adikmu,

R.A. Kartini

 

Post scriptum:

Ini adalah surat imajiner Kartini (21 April 1879 M-17 September 1904 M) kepada Ratu Shima (w. 732 M)  yang menjadi pemimpin Kerajaan Kalingga (secara geografis keberadaan Kerajaan Kalingga  saat ini berada di wilayah Keling yang merupakan bagian dari Kabupaten Jepara),  dan Ratu Kalinyamat atau Retna Kencana (w. 1579 M).  pemimpin Jepara, yang juga merupakan anak dari Sultan Trenggono, dan cucu dari Raden Patah (Raja Demak). Ketiga perempuan ini  menjadi tokoh sentral di Jepara.

 

Sumber foto: https://tirto.id/sejarah-hari-kartini-21-april-dan-catatan-pemikirannya-ePG3

Merebut Tafsir: Perempuan dan Bulan Maret

Ada peristiwa sangat penting bagi perempuan di bulan Maret. Tahun 1975 PBB menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional (HPI). Dibutuhkan hampir setengah Abad bagi dunia untuk mengakui secara resmi HPI. Bagi Indonesia bahkan harus menanti lebih lama lagi menunggu para rezim yang menolak gerakan kaum buruh sebagai hak asasi untuk berserikat. Padahal perjuangan untuk mencapai pengakuan atas hak-hak perempuan buruh itu telah berlangsung sejak akhir abad 19. Tahun 1857 (!) untuk pertama kali perempuan buruh pabrik tekstil di New York berbaris untuk melakukan protes atas upah yang rendah dan harga pangan yang mahal. Namun industri geming, mereka menutup telinga dan mata. Dengan asumsi yang bias gender mereka mengira, ini perempuan-perempuan hanya mengomel untuk kemudian diam dan kembali bekerja. Penindasan atas perempuan buruh terus berlangsung, upah rendah, tak dibenarkan berorganisasi.

Tanggal 8 Maret 1907 , digerakkan oleh Partai Buruh Amerika, ribuan perempuan (konon sampai 15.000 perempuan buruh) kembali berdemonstrasi. Tak hanya soal upah, mereka menuntut hak untuk bersuara dan berpendapat. Kali ini tokoh penggeraknya mulai dikenali. Adalah Theresia Malkiel, keluarga imigran dari Ukraina bersama tiga perempuan lainnya mengambil resiko menjadi penggerak pemogokan dan demosntrasi. Melalui kabar yang bergerak lamban, berita ini menyeberang ke Eropa. Baru tanggal 19 Maret mereka bergerak dan mendeklarasikannya sebagai hari peringatan perjuangan buruh perempuan, sebelum kemudian PBB menetapkannya tanggal 8 Maret. Di Eropa, pergerakan buruh juga digalang oleh kalangan partai sosialis. Dua tahun kemudian secara serempak para perempuan buruh menuntut hak-hak mereka sebagai manusia, menyusul peristiwa kebakaran pabrik yang menewaskan ratusan pekerja. Sejak itu para patriakh tak sanggup lagi membendung gelombang perlawanan buruh yang menuntut kepada para pengusaha untuk memperlakukan mereka sebagai pekerja yang memiliki hak-haknya secara penuh, tak setengah, tak sepatuh.

Namun, jika dibaca dari sini dan kini, perjuangan di Amerka dan Eropa telah menang separuh langkah. Pertama, meskipun terimbas oleh perang dunia mereka tak mengalami masa kolonial yang menyebabkan fokus perjuangan buruh terpecah antara memperjuangkan haknya sebagai buruh dan memperjuangkan tanah airnya untuk merdeka. Di tengah situasi itu perempuan di negara jajahan harus berjuang dengan ragam diskriminasi kelas dan gender yang dimanfaatkan kolonial untuk melanggengkan jajahannya.

Kedua, perjuangan perempuan termasuk kaum buruh di Amerika dan Eropa diuntungkan oleh revolusi yang berhasil meruntuhkan kultus atas keperkasaan para patriakh / ajaran gereja dan penaklukan atas kejantanan monarki. Sekularisasi adalah pijakan kokoh bagi perjuangan perempuan dan buruh untuk meletakan dasar-dasar hak berdasarkan kesetaraan di depan hukum.

Mungkin mereka tak membayangkan situasi perempuan di sini dan kini. Di sini kaum perempuan tak hanya harus berjuang untuk hak-haknya sebagai buruh tetapi juga sebagai perempuan yang secara tradisi tak cukup mudah untuk diakui peran dan posisinya. Itu karena (penafsiran tradisional) agama diletakkan sebagai hukum dalam mengatur keluarga. Apakah lagi, karena ada peristiwa Maret yang lain yang berdampak beda kepada perempuan di negara-negara jajahan mayoritas berpenduduk Islam, dengan perempuan buruh di Barat tempat mereka mengibarkan Hari Perempuan Internasional.

Tiga Maret 1924, Khalifah dinasti Utsmani dipimpin Sultan Abdul Hamid II yang saat itu memegang tampuk kesultanan Turki Ustmani runtuh. Sultan Abdul Hamid II secara paksa turun tahta dan sejak itu Kesultanan Turki berubah menjadi republik.

Agaknya, keruntuhan sebuah dinasti (bukan kekalahan umat Islam) di bulan Maret itu menyakitkan dan terus ditanggung dan memunculkan angan-angan untuk mengembalikan kejayaan Islam di bawah satu kekhalifahan semesta. Visi itu – untuk tidak dikatakan mimpi – sampai saat ini paling banter diwujudkan menjadi partai seperti Hijbuth Tharir atau di Indonesia menjadi ormas Hijbuth Tharir Indonesia (HTI). Namun sebelum itu mewujud, mereka mengangan-angan itu melalui tubuh dan eksistensi perempuan, tak terkecuali perempuan pekerja. Perempuanlah, dan bukan lelaki yang berhadapan dengan impian khalifah semesta yang harus diwujudkan melalui khitbah, perilaku pribadi. Di tubuh perempuan impian-impian tentang sebuah tatanan negeri impian diterapkan melalui aturan moral cara berpakaian, cara berprilaku, cara berpacaran, cara berketuruan cara bekerja dan seterusnya.

Bulan Maret bagi sebagian perempuan menjadi penanda untuk mengingatkan perjuangan panjang kaum perempuan dan para perempuan buruh dan melanjutkannya sampai terbebas dari segala bentuk penindasan berbasis prasangka jenis kelamin (gender) dan kelas. Namun bagi perempuan lain, bulan Maret adalah penanda untuk menyerah dan tunduk pada impian tentang surga di dunia yang harus mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Selamat Hari Perempuan Internasional!

 

Lies Marcoes, 8 Maret 2020