Pos

SABDA HIKMAH (13): BURUH

Oleh. Mukti Ali Qusyairi

Pada tulisan yang lalu, saya mengutip pandangan Imam Al-Mawardi tentang shina’ah (bekerja, kerajinan, industri) yang membagi ke dalam tiga macam; kerja pikiran, kerja fisik, dan kombinasi pikiran dan fisik.

Pada tulisan ini, saya akan memulai dengan mengutip pandangan Imam Al-Ghazali yang memberi perhatian dari sisi lain yang lebih makro soal shina’ah. Imam Al-Ghazali membagi shina’ah (kerja, kerajinan, dan industri) ke dalam tiga lapisan. Lapis pertama, shina’ah yang sangat penting dan pokok di mana tanpa shina’ah macam ini, umat manusia dan semesta tidak akan bisa berjalan dengan baik. Shina’ah jenis ini ada empat yaitu; 1. Shina’ah al-zira’iyah (yang berkaitan dengan pertanian dan cocok tanam), 2. Binaiyah (yang berkaitan dengan pembangunan rumah, gedung, dan infrastruktur), 3. Berkaitan dengan sandang atau fashion, dan 4. Siyasah (politik).

Kedua, shina’ah yang dapat menunjang perkembangan produksi dan produktivitas dari shina’ah yang pertama berupa peralatan, pabrik, pesantren/sekolahan/kampus, sains dan pengetahuan serta pemikiran yang dapat mengembangkan terkait sandang, pangan, papan, dan politik.

Ketiga, berbagai pekerjaan, kerajinan, industri dan kreativitas pengembangan serta inovasi dari yang pertama serta hal-hal yang mempermudah dan mempercepat pertumbuhan, seperti meniscayakan adanya alat transportasi dan komunikasi yang cepat.

Nampaknya, siyasah (politik) yang dianggap penting oleh Imam Al-Ghazali adalah berbagai hal berkaitan dengan pengaturan, seni pergaulan, relasi rakyat dan penguasa, penguasa dan ulama, dan berbagai pengaturan sosial di ruang publik. Bukan politik dalam arti politik praktis, dukung mendukung, dan suksesi peraihan jabatan dan kekuasaan yang sempit.

Lalu, di situ ada kaum buruh bekerja. Belakangan tuntutan dan demo buruh diadakan rutin setiap tahun di hari buruh. Ini tanda ‘ketidakadilan’ masih berlangsung.

Rasulullah SAW banyak berbicara agar memperlakukan buruh dengan baik dan adil, memberi upah sebelum keringatnya mengering, memberi upah yang layak, dan tidak boleh memperbudak. Rasul membela hak kaum buruh.

Kalau kita menggunakan logika Imam Al-Mawardi, upah biasanya diberikan lebih besar pada orang-orang yang bekerja dengan pikiran atau bekerja dengan pikiran dan fisik daripada yang hanya kerja fisik. Meski kerja pikiran tidak terlihat mata seperti orang sibuk bekerja, karena pikiran bekerja dalam konsep, pengetahuan, arahan, desain, dan petunjuk yang bisa direalisasikan fisik. Sebab itu kerja pikiran sangat menentukan.

Ketidak adilan pada buruh terkadang muncul dari bos yang terperangkap rasa suka/tidak suka, nepotisme/koncowisme, perbedaan jenis kelamin, dan kepentingan pribadi serta curang. Sebab ketidak adilan muncul sejak dari pikiran. Jika pikirannya sudah mencari-cari pembenaran atas ketidakadilan seolah selaku adil lantara bias semacam itu, maka ketidakadilan yang nyata akan tampak di alam realitas.

Demo dengan berjilid jilid, dengan diam seribu bahasa, dengan teriak turun ke jalan, akan kandas jika para pemilik modal/bos/majikan belum atau tidak ada kesadaran yang tubuh sedari pikirannya untuk berbuat adil.

Selamat hari buruh..

Jakarta, 1 Mei 2018

SIAPAKAH BURUH?

Oleh Jamaluddin Mohammad

Orang yang menjual tenaga kerjanya untuk orang lain. Mereka ada di mana-mana: di darat, di laut, dan di udara, di pabrik-pabrik, di perkantoran, di rumah-rumah, di pusat perbelanjaan, dll. Penampilannya pun bermacam-macam: ada yang kumal, kotor, dan bau. Juga ada yang rapih, wangi, dan bersih.

Mereka menjual tenaga kerjanya untuk siapa? Pemodal. Orang yang memiliki dan menguasai alat-alat dan sarana produksi. Pemodal membeli tenaga kerja buruh untuk menghasilkan sesuatu yang dikehendaki majikan (pemodal). Sementara buruh bekerja agar ia mendapat upah dari pekerjaannya itu.

Seorang buruh pabrik sepatu, misalnya, bekerja membuat sepatu bukan untuk sepatu itu sendiri, karena sepatu itu tetap milik majikan. Majikan hanya membeli tenaga buruh yang digunakan untuk membuat sepatu itu. Begitu juga buruh tani, ia menanam padi bukan untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri melainkan untuk pemilik tanah.

Di sinilah, kata al-Syaikh al-Kabir Karl Marx, awal keterasingan manusia dalam pekerjaannya. Harusnya ia bekerja menghasilkan sesuatu untuk diri sendiri, malah untuk orang lain yang tidak bekerja sama sekali. (mungkin sang majikan lagi liburan atau lagi santai-santai bersama istri dan anak-anaknya).

Bahkan, lebih menyedihkan lagi, barang yang dibuat oleh buruh itu belum tentu bisa dibeli dan dimiliki. Seorang buruh pabrik sepatu “A” atau handphone “S” belum tentu bisa memiliki barang hasil rakitannya itu. Ia pun tak tahu barang yang dibuat dalam satu hari itu ketika dijual dipasaran harganya bisa melampaui gajinya sebulan.

Bekerja (kasb)

Mengapa manusia harus bekerja. Kerja adalah fitrah manusia. Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (dharuriyat), seperti makan dan minum, manusia harus bekerja. Dengan begitu, bekerja adalah eksistensi manusia itu sendiri. Manusia akan menemukan kesejatiannya sebagai manusia dalam pekerjaannya.

Nah, persoalan kemudian, dalam sistem ekonomi kapitalistik, “kerja” tidak lagi manusiawi, perwujudan eksistensi manusia. Kerja dijadikan sarana eksploitasi satu kelompok (majikan) kepada kelompok lain (buruh). Buruh dipaksa bekerja untuk sesuatu bukan miliknya, dengan gaji yang hanya mencukupi kehidupan sehari-hari keluarga, sementara sang majikan yang hanya berpangku tangan (investor) bisa mendapat keuntungan berlipat-lipat.

Seorang buruh pabrik sepatu “A”, misalnya, dengan gaji UMR (contoh 3 juta). Dalam sehari ia bisa memproduksi 5 sampai 10 sepatu. Harga sepatu yang ia buat dijual dipasaran dikisaran Rp. 500.000 s/d Rp. 3000.000. Berapa keuntungan majikan? Bisa dihitung sendiri.

Padahal, kata Kanjeng Nabi Muhammad SAW, pekerjaan yang baik adalah pekerjaan sendiri. Nabi SAW pernah ditanya, “Pekerjaan apa yang paling baik?” Pekerjaaan hasil tangan sendiri.

Lantas, bagaimana agar buruh memperolah kemanusiaannya? Di sinilah negara harus hadir. Hadir membela dan memperjuangkan hak-hak buruh bukan hak-hak majikan.

Ini tugas, ujian, sekaligus buktikan komitmen Cak Imin sebelum jadi Cawapres: tegur dan nasihati Hanif Dhakiri selaku menteri tenagakerja. Pak Hanif kita sama-sama di Lakpesdam jgn marah ya

Selamat Hari Buruh! Panjang Umur Perlawanan dan Perjuangan! Allahu Akbar!

*keterangan photo: potret seorang buruh