Pos

Tegas Terhadap Anak Boleh, Keras Jangan

Setiap orangtua tidak ingin masa lalunya yang kelam akan diikuti oleh sang anak. Bagi orangtua cukup saya saja yang pernah mengalami fase tidak enak, anak saya harus lebih baik.

Hal ini amatlah wajar dan lumrah saja diharapkan oleh orang tua yang menyayangi buah hatinya.  Beberapa orangtua menempuh cara yang berbeda dalam mendidik dan mengasuh putra-putrinya. Ada yang menganggap kekerasan fisik  atau verbal sebagai cara yang tepat untuk mendidik anak menjadi  sosok yang baik di mata orangtuanya.

Salah satu orang tua yang mengalami kekhawatiran  hal tersebut adalah Marno (45) seorang wiraswasta di Solo. Sebagai ayah dia memilih mendidik anak- anaknya dengan metode kekerasan. Misalnya dia bisa memukul anak dengan alat yang batang ketela pohon jika si anak lalai menjalankan kewajibannya dalam hal sekolah dan ibadah.

“Saya ingin anak-anaknya kelak menjadi sosok yang disiplin dalam segala aspek,” katanya.

Namun bagaimana jika hal ini ditinjau dari sisi psikologi? Apakah  ini sudah tepat atau malah keliru? Berikut tanggapan  Psikolog Keluarga dan Anak, Juliani Prasetyaningrum mengenai pola asuh dengan metode kekerasan. Menurutnya pola asuh anak dalam keluarga akan menentukan bagaimana anak ini bersosialisasi ke luar, baik itu di sekolah atau di lingkungan bermainnya.

Anak- anak adalah sosok yang tumbuh dengan kebiasaan meniru, melakukan imitasi terhadap apa yang ada di sekitarnya termasuk dalam hal ini orangtua. Mereka merupakan lingkungan terdekat, anak akan dengan mudah meniru apa pun yang dilakukan oleh ayah atau ibunya. Ragam ekspresi dan kebiasaan kedua orangtuanya terekam jelas dalam memori sang anak dan ini berlanjut hingga dia dewasa.

Memiliki sikap tegas terhadap anak adalah harus namun sikap keras terhadap anak itu jelas keliru. Apapun bentuknya kekerasan bukanlah jalan terbaik untuk membentuk karakter anak. Kekerasan terhadap anak ada dua bentuk yakni fisik dan verbal, semua bentuk kekerasan akan membekas dalam diri seorang anak.

Sebuah kata- kata yang kasar pun akan sangat menyakitkan bagi si anak. Bahaya yang ditimbulkan adalah munculnya sikap agresivitas anak setiap kali merespons “kesalahan” yang dilakukan oleh orang lain.

Setiap keluarga, ayah dan ibu semestinya memiliki cara  pola asuh yang penuh kasih sayang lembut dan penuh perhatian. Sehingga anak tidak menjadikan orang lain sebagai figur pengganti.

“Kebiasaan sederhana pun semestinya sudah terbangun sejak anak masih kecil. Misal memperkenalkan pada anak norma-norma aturan yang berlaku secara umum seperti berkata jujur dan meminta izin menggunakan barang milik orang lain. Kemudian, berterima kasih jika mendapatkan sesuatu, minta maaf jika ternyata melakukan kesalahan,” papar dosen psikologi di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ini.

Membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari perilaku tersebut secara otomatis akan membuat anak memiliki karakter yang diharapkan. “Pada intinya, tegas boleh untuk menguji kekonsistenan anggota keluarga akan  tata tertib aturan serta kesepakatan yang sudah ada di dalam keluarga. Namun kekerasan tetap tidak dibenarkan karena berdampak kurang baik bagi tumbuh kembang anak di masa depan,” ujar dia.

#Kukuh Subekti

Sumber: https://joglosemar.co/2017/11/tegas-terhadap-anak-boleh-keras-jangan.html