Pos

Memaknai Kembali Kehadiran Anak dalam Keluarga

Anak adalah kehidupan,
Mereka sekadar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri

Kahlil Gibran

~~~

23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Kehadiran anak memang dinanti dalam setiap keluarga. Bahkan ada pandangan dalam masyarakat, bahwa keluarga belum paripurna tanpa kelahiran buah hati. Tak heran banyak orang tua yang rela melakukan berbagai terapi untuk dapat melahirkan kehidupan baru. Meski demikian, tak semua orang tua dapat dengan mudah memeroleh keturunan.

Bagi masyarakat lain, adagium ‘banyak anak, banyak rezeki’ juga menjadi motivasi utama melahirkan banyak anak. Memang dalam banyak keyakinan keagamaan, termasuk Islam, memahami bahwa setiap orang sudah mempunyai rezekinya masing-masing. Dengan demikian, setiap makhluk bernyawa di bumi ini tak akan ditelantarkan oleh Tuhan.

Bergabungnya motivasi keagamaan dan kebudayaan tersebut mendorong peningkatan populasi yang masif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 284,44 juta jiwa, meningkat dari 255,59 juta jiwa pada tahun 2015. Artinya ada kenaikan sampai 30 juta jiwa selama satu dekade terakhir. Kalau dihitung rata-rata, setiap tahun bertambah 3 juta jiwa atau 8.219 jiwa setiap hari.

Dengan peningkatan yang masif itu, banyak kalangan menyebut negara ini pada tahun 2045 akan mencapai bonus demografi. Artinya pada saat itu, usia produktif masyarakat Indonesia surplus. Hal ini yang perlu menjadi perhatian bersama. Apakah benar ini menjadi bonus demografi atau sebaliknya berubah menjadi bencana populasi?

Peningkatan populasi manusia di mana saja, perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemenuhan lapangan kerja. Jika tidak, berkah bisa menjadi musibah. Tak perlu menunggu sampai tahun 2045, hari ini pun kita menyaksikan betapa susah generasi Z memeroleh pekerjaan. Karenanya, terus meningkatnya populasi warga dunia ini perlu mendapat perhatian serius. Terutama berbarengan dengan perayaan Hari Anak Nasional ini. Sepertinya kita perlu mendefinisikan kembali arti kehadiran anak dalam sebuah keluarga. Tulisan sederhana ini mencoba mengulas makna anak terutama dalam kerangka Al-Quran.

Anak Adalah Anugerah Tuhan

Dalam Al-Quran Surat al-Syura ayat 49-50, Allah Swt berfirman:

لِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ ۗيَهَبُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ اِنَاثًا وَّيَهَبُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ الذُّكُوْرَ ۙ اَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَّاِنَاثًا ۚوَيَجْعَلُ مَنْ يَّشَاۤءُ عَقِيْمًا ۗاِنَّهٗ عَلِيْمٌ قَدِيْرٌ

Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan (keturunan) laki-laki dan perempuan, serta menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.

Dalam ayat tersebut, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik. Pertama, anak itu merupakan anugerah Allah. Imam As-Sa’di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa pernikahan sebagai sebab kelahiran anak. Tetapi yang memberikan dan meniupkan ruh kepada anak adalah Allah Swt. Manusia perlu berikhtiar dengan menikah, tetapi tidak semua yang sudah menikah lantas mempunyai anak. Karenanya poin kedua dan lanjutan dari ayat tersebut, kita pun belajar bahwa ada orang-orang yang aqiim, mandul atau tidak dapat memeroleh keturunan.

Menarik untuk melihat redaksi ayat tersebut, sebab Allah tidak membedakan laki-laki atau perempuan. Artinya, siapa pun bisa mandul. Selama ini stereotip yang melekat bahwa kemandulan itu karena istri, padahal suami pun bisa mengalaminya. Berkaitan dengan anugerah ini, maka ada tanggung jawab yang perlu diperhatikan oleh orang tua. Hal ini juga ditegaskan dalam Surat An-Nisa ayat 9:

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).

Anak Penyejuk Hati

Tanggung jawab mempersiapkan generasi penerus yang kuat memang menjadi tugas bagi generasi yang datang sebelumnya. Dengan mempersiapkan generasi yang tangguh, kehadiran anak dapat menjadi penyejuk hati. Sebagaimana yang terekam dalam Al-Quran Surat Al-Qashash ayat 9, dialog antara Fir’aun dan istrinya sebagai berikut:

وَقَالَتِ امْرَاَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّيْ وَلَكَۗ لَا تَقْتُلُوْهُ ۖعَسٰٓى اَنْ يَّنْفَعَنَآ اَوْ نَتَّخِذَهٗ وَلَدًا وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ

Istri Firʻaun berkata (kepadanya), “(Anak ini) adalah penyejuk hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya. Mudah-mudahan dia memberi manfaat bagi kita atau kita mengambilnya sebagai anak.” Mereka tidak menyadari (bahwa anak itulah, Musa, yang kelak menjadi sebab kebinasaan mereka).

Ayat tersebut memberikan sifat yang mulia terhadap kehadiran anak sebagai penyejuk hati. Namun, sering dilupakan dalam proses pendidikan anak, bahwa sebelum mendapatkan anak yang menyejukkan hati, terlebih dahulu orang tua harus menjadi sosok yang menentramkan bagi anak. Hal ini tersurat dalam doa yang sering dilantunkan, “Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrata a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa”. Kalau menggunakan terjemahan bebas, doa tersebut memberikan pesan, sebelum melahirkan keturunan yang qurrata a’yun, kita perlu menjadi teladan kebaikan bagi orang-orang bertakwa dan memilih pasangan yang juga mempunyai karakter kebaikan.

Selain soal qurrata a’yun, kita pun belajar dari kisah istri Fir’aun di atas bahwa anak tidak selalu soal biologis. Ada anak ideologis. Artinya, terutama bagi mereka yang memang tak mampu memiliki anak biologis karena faktor kesehatan, masih banyak cara untuk menghadirkan figur anak dalam keluarga. Salah satunya dengan mengadopsi anak terlantar yang kehilangan sosok orang tua di jalanan atau di panti asuhan.

Jadi, dalam konteks ini, anak tidak hanya dipahami sebagai penerus garis biologis, tetapi yang jauh lebih penting, anak menjadi pelanjut nilai-nilai ideologis yang diwariskan oleh orang tua. Karena jika anak tidak meneruskan perjuangan, justru menentang dan melawan orang tua, di sinilah kehadiran anak tidak lagi menjadi berkah tetapi fitnah.

Anak Menjadi Ujian

Dalam Al-Quran Surat Al-Anfal ayat 28, Allah Swt telah menegaskan:

وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ ࣖ

Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.

Dalam ayat lain yang lebih panjang, Allah menyejajarkan anak dengan kehidupan dunia yang melalaikan, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Hadid ayat 20:

اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya.

Ayat ini dapat menjadi kritik bagi orang tua yang masih mempunyai pandangan ‘banyak anak, banyak rezeki’ sehingga terus menambah anak setiap tahunnya, tetapi abai untuk meningkatkan kualitas pendidikan sang anak. Kehadiran anak tanpa prioritas kasih sayang dari orang tua hanya akan melahirkan generasi trouble-maker. Kehadirannya justru menjadi benalu di masyarakat.

Hal ini dapat dilihat berbagai kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Karenanya pemahaman yang sudah mengakar bahwa banyak anak berbanding lurus dengan rezeki yang diperoleh perlu diubah. Kehadiran anak akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat manakala orang tuanya telah siap dan mapan dalam membesarkan buah hatinya.

Belajar Menjadi Orang Tua

Berdasarkan ayat-ayat yang dihadirkan di atas, dapat dipahami bahwa kehadiran anak haruslah benar-benar dipersiapkan oleh orang tua. Tidak bisa menuntut anak menjadi baik jika ia lahir dan besar di kandang serigala yang beringas. Pendidikan menjadi kata kunci utama bagi orang tua untuk melahirkan generasi emas. Bukan soal kuantitas, tetapi kualitas. Bukan soal biologis, melainkan ideologis.

Salah satu cara menjadi orang tua sebagaimana yang diteladankan oleh generasi emas terdahulu adalah kemauan mendengarkan suara anak. Ada Luqman al-Hakim yang membuka dialog dengan sang anak. Pun teladan Nabi Ibrahim yang berdiskusi dengan Nabi Ismail sebelum memutuskan mengeksekusi dalam pengorbanan. Begitu pula contoh dari Nabi Muhammad Saw. ketika seorang anak sedang pipis dalam pangkuan Nabi, Ummu al-Fadhl segera merenggut dengan kasar anak tersebut sehingga ia menangis, Nabi menegurnya dengan tegas:

“Perlahan-lahanlah, wahai Ummu al-Fadhl! Kencing yang membasahi pakaianku bisa hilang dengan basuhan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan kekeruhan hati anak ini dari renggutan kasarmu itu?”

Karenanya, merayakan Hari Anak Nasional bukan sebatas mengunggah foto anak atau keluarga kecil kita. Kehadiran hari anak ini justru mengingatkan para orang tua untuk merefleksikan kembali: apa arti mempunyai anak dan sudah mampukah kita hadir menjadi orang tua yang memberikan keteladanan?

Mengubah Cara Pandang untuk Menghentikan Kekerasan Seksual pada Anak

Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di lingkungan domestik, termasuk di dalam keluarga maupun lembaga berbasis agama, kembali memicu keprihatinan publik. Apalagi dengan munculnya Grup Facebook “Fantasi Sedarah”, semakin menegaskan bahwa rumah yang seharusnya menjadi ruang paling aman bagi anak justru kerap menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual.

Hal tersebut disampaikan oleh salah satu narasumber Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm dalam webinar bertajuk “Ketika Rumah Tak Lagi Aman: Stop Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga” yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB, pada Kamis, 12 Juni 2025.

Ulama perempuan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu menekankan bahwa kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya persoalan individu pelaku atau kelemahan sistem hukum. Melainkan juga terkait erat dengan cara pandang kolektif masyarakat terhadap manusia, terutama terhadap perempuan dan anak-anak.

“Agama seharusnya menjadi pelindung, bukan pembenaran atas kekerasan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ketika tafsir agama mereka salahgunakan untuk melegitimasi relasi kuasa yang timpang,” ujar Dr. Nur Rofiah dalam paparan daringnya.

Ia menyampaikan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di ruang domestik, seperti oleh ayah terhadap anak kandung, atau oleh tokoh agama terhadap santri, harus kita pahami sebagai hasil dari pola pikir warisan yang masih hidup dalam alam bawah sadar masyarakat.

“Dalam sejarah peradaban, perempuan kerap dianggap sebagai harta milik laki-laki. Baik sebagai anak, istri, atau saudara. Cara pandang ini bukan sekadar sejarah, tapi masih terus memengaruhi tindakan kita hari ini, bahkan dilakukan oleh orang-orang berpendidikan tinggi, bergelar doktor, atau tokoh agama,” lanjutnya.

Akar Kekerasan

Nyai Nur Rofiah menjelaskan bahwa alam bawah sadar manusia, yang dibentuk oleh pengalaman, nilai, dan warisan budaya serta agama, memiliki pengaruh besar dalam tindakan sadar. “Sebanyak 88-95% perilaku manusia terpengaruhi oleh alam bawah sadar. Itu sebabnya kita perlu menyentuh akar persoalan yaitu cara pandang terhadap kemanusiaan,” tegasnya.

Menurutnya, selama masyarakat masih memandang perempuan hanya sebagai objek, terutama objek seksual atau mesin reproduksi. Maka sampai kapanpun kekerasan akan terus mengakar. Pandangan ini, kata dia, akan melahirkan generasi baru yang menganggap relasi tidak setara sebagai hal lumrah.

“Bahkan dalam inses atau hubungan seksual dengan anak kandung itu dianggap biasa oleh sebagian masyarakat. Maka dari itu, al-Qur’an turun dengan tegas mengharamkan praktik-praktik itu. Tapi mengapa sampai hari ini inses masih terjadi? Karena cara pandang itu belum betul-betul bergeser,” ungkapnya.

Ia mengajak peserta webinar untuk merenungkan kembali bagaimana seharusnya agama berperan. Nyai Nur Rofiah menekankan bahwa dalam Islam, setiap manusia, termasuk anak-anak, memiliki status dan mandat yang sama yaitu sebagai khalifah di bumi dan hamba Allah.

“Itu berarti semua manusia adalah subjek penuh, bukan objek, apalagi milik orang lain,” katanya.

Pendidikan dan Tafsir Agama Perlu Direformulasi

Dosen Pasca Sarjana PTIQ itu menyoroti bagaimana tafsir agama kerap dipakai untuk membenarkan kekerasan, padahal semestinya digunakan untuk membela korban dan mencegah terjadinya kezaliman.

Ia mengutip salah satu hadis yang sering digunakan dalam perspektif KUPI, yakni perintah Nabi Muhammad Saw. untuk menolong saudara, baik yang menjadi korban maupun pelaku kezaliman.

“Cara menolong pelaku adalah dengan mencegah dan menghentikan tindakannya. Ini sejalan dengan prinsip mencegah kemudaratan dalam Islam,” terang Nyai Nur Rofiah.

Karena itu, menurutnya, pendidikan agama pun harus kita perbarui, karena tidak cukup hanya menghafal hukum atau dalil. Tapi juga perlu membangun cara berpikir yang adil dan manusiawi.

Dengan begitu, ia pun menegaskan pentingnya kehadiran ulama perempuan, seperti dalam gerakan KUPI, yang menawarkan perspektif keberpihakan terhadap korban dengan basis kemanusiaan.

“Ulama perempuan bukan berarti hanya perempuan secara biologis. Siapa pun, laki-laki atau perempuan, yang memiliki perspektif keadilan bagi perempuan dan anak, bisa menjadi bagian dari ulama perempuan. Kita butuh gerakan kolektif,” jelasnya, menyebut nama-nama seperti Kiai Husein Muhammad dan Kiai Faqih yang juga tergabung dalam gerakan KUPI.

Ubah Pola Asuh

Lebih jauh, Nyai Nur Rofiah juga mengajak peserta untuk memulai perubahan dari lingkungan terkecil seperti keluarga. Ia mengkritisi cara masyarakat memuji anak perempuan yang terlalu berfokus pada penampilan fisik.

“Anak perempuan sering kali dipuji karena cantik. Ini bisa membentuk pemahaman bahwa nilai dirinya hanya terletak pada wajah. Padahal seharusnya anak dipuji karena perilaku baiknya, semangat belajarnya, atau tanggung jawabnya. Itu yang akan membentuk kepercayaan diri yang sehat,” sarannya.

Ia juga menekankan pentingnya membangun pemahaman bahwa manusia bukan hanya makhluk fisik. Tetapi juga makhluk intelektual dan spiritual. “Islam memuliakan manusia karena akalnya dan hatinya. Karena itu, puncak dari keislaman adalah akhlak yang mulia,” tambahnya.

Mengakhiri paparannya, Nyai Nur Rofiah menegaskan bahwa upaya perlindungan terhadap anak dari kekerasan seksual tidak bisa dilakukan secara terpisah-pisah. Menurutnya, hukum, budaya, dan pendidikan memang penting, tetapi semuanya harus terintegrasi dengan perubahan cara pandang masyarakat terhadap kemanusiaan.

“Kita harus membangun peradaban yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai manusia seutuhnya. Yaitu subjek yang memiliki tanggung jawab bersama untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah keburukan. Inilah spirit Islam sebagai rahmat bagi semesta,” tukasnya.

Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di sini

 

 

Fantasi Sedarah: Pencorengan Peran Keluarga sebagai Ruang Aman Anak

Hari-hari ini jagat media Indonesia sedang dihebohkan dengan penemuan grup di salah satu platform media massa yang dianggap sangat bejat. Komunitas tersebut menamakan diri sebagai “Grup Fantasi Sedarah”. Di dalam grup yang anggotanya sudah lebih dari 30 ribu tersebut menjadikan anak kandung sebagai objek fantasi seksual. Bahkan dijadikan sebagai pelampiasan nafsu birahi mereka.

Grup tersebut berisi cerita atau pengakuan dari berbagai oknum yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual sedarah dengan keluarga kandung mereka sendiri. Meskipun belum diketahui apakah mereka benar-benar melakukannya, hal itu tetap saja sangat meresahkan bagi banyak orang. Tak hanya itu, grup ini juga melanggengkan atau melegalkan incest atau hubungan sedarah dan menganggap itu sebagai hal yang normal.

Ketika Keluarga Sudah Tidak lagi Aman

Keberadaan grup tersebut menciptakan sebuah pertanyaan besar: apakah keluarga masih menjadi tempat yang aman? Banyak pakar psikolog maupun tokoh agama yang menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan sebuah kekerasan seksual yang tidak bisa ditolerir lagi. Dalam dunia psikologi, keluarga adalah tempat pertama untuk menciptakan ruang yang aman bagi anak sehingga sang anak dapat bertumbuh dan berkembang dalam mental dan kepribadian.

Keberadaan grup ini mengindikasikan bahwa keluarga tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak. Keluarga yang seharusnya menjadi area pertama yang paling aman bagi anak justru menjadi tempat atau tepi jurang yang bisa membuat mereka jatuh dalam ketraumaan. Bagaimana tidak? Anak mendapat perlakuan seksual dari orang terdekatnya, dari keluarganya dan yang pasti mereka hanya bisa bungkam, takut untuk melawan dan melaporkan kepada orang lain. Pakar Anak Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Holy Ichda Wahyuni memberikan tanggapan dengan mengatakan, “Orang tua dan pendidik perlu menyadari satu hal yang teramat krusial, bahwa ruang aman anak-anak semakin terkikis, bahkan dari tempat yang seharusnya menjadi paling suci dan aman yaitu rumah dan keluarga”, jelasnya dalam sebuah wawancara.

Namun dengan adanya fenomena yang merisaukan ini ruang aman dalam keluarga justru dipertanyakan. Peran keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang aman justru menjadi tempat yang paling mengerikan bagi perkembangan anak. Bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual dalam keluarga tidak hanya akan mengalami trauma dalam psikisnya tetapi juga trauma dalam hal berelasi dengan orang lain.

Perlunya Edukasi Seksual

Dalam pandangan beberapa orang, istilah seksual hanya terbatas pada hubungan badan sehingga dianggap tabu ketika harus dijelaskan kepada anak. Padahal kenyataannya, seksual bukan hanya sebatas itu. Seksualitas sangat luas cakupannya meliputi fisik, cara berpakaian, cara menjaga privasi, dan bahkan pengenalan bentuk-bentuk sentuhan yang tidak pantas yang didapat dari sang anak.

Dari pernyataan ini sangat jelas bahwa anak juga perlu mendapat edukasi berkaitan dengan seksualitas karena ini juga menyangkut perkembangan diri mereka. Hal ini akan sangat berguna untuk membantu mereka menyikapi perlakuan yang ia dapatkan. Perlunya sebuah edukasi kepada anak bahwa tubuh mereka sangat mulia dan berharga, sehingga mereka harus menjaga tubuh mereka.

Kriminalitas dan Kekerasan Seksual

Fenomena ‘fantasi sedarah’ ini jelas adalah sebuah kriminalitas dan juga kekerasan seksual terhadap anak yang bisa ditindak secara hukum. Pihak kepolisian sendiri sedang menyelidiki grup ini, dan grup tersebut sudah langsung ditutup dan dimatikan oleh pihak kepolisian. Grup media sosial ini juga dinilai sebagai konten yang mengeksploitasi anak.

“Konten grup tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap hak anak. Ini bukan sekadar pelanggaran norma, tetapi juga bentuk eksploitasi seksual terhadap anak yang nyata,” jelas Alexander selaku Direktur Jenderal Pengawasan Ruang digital.

Apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian ini menjadi upaya untuk menghentikan penyebaran grup tersebut semakin meluas yang bisa semakin membawa orang pada penyimpangan pornografi. Tindakan ini menjadi tindakan tegas yang memang harus dilakukan oleh pihak kepolisian sebagai pengayom masyarakat.

Hoax atau Nyata?

Tetapi tidak sedikit juga yang mempertanyakan apakah cerita dan pengalaman yang diungkap dalam grup tersebut adalah sebuah kenyataan atau hanya sebuah kepalsuan yang artinya ada segelintir orang yang dengan sengaja membuat cerita untuk menarik perhatian dari pengguna media massa. Media massa menjadi salah satu platform yang bisa menggiring pengguna ke arah yang positif maupun negatif. Banyak orang berharap bahwa ini hanya fenomena yang fiktif dan hoax, tetapi juga perlu diwaspadai. Namun jika hal ini sungguh nyata, perlu ditindak secara tegas dengan hukum yang berlaku. Hukum di Indonesia harus bisa menindak pelaku kekerasan dan eksploitasi anak secara seksual.

Lalu apa hikmahnya? Melalui fenomena ini kita belajar bahwa pelaku kekerasan seksual bisa siapa saja, bahkan orang terdekat sekali pun. Ini menjadi peringatan bagi para orang tua dan juga pendidik untuk selalu mengedukasi anak berkaitan dengan seksual sejak usia dini. Hal lainnya, jangan mudah terbawa arus media sosial. Kita harus berani mengecek informasi yang disebarkan di platform media massa dengan pihak yang akurat.

Tegas Terhadap Anak Boleh, Keras Jangan

Setiap orangtua tidak ingin masa lalunya yang kelam akan diikuti oleh sang anak. Bagi orangtua cukup saya saja yang pernah mengalami fase tidak enak, anak saya harus lebih baik.

Hal ini amatlah wajar dan lumrah saja diharapkan oleh orang tua yang menyayangi buah hatinya.  Beberapa orangtua menempuh cara yang berbeda dalam mendidik dan mengasuh putra-putrinya. Ada yang menganggap kekerasan fisik  atau verbal sebagai cara yang tepat untuk mendidik anak menjadi  sosok yang baik di mata orangtuanya.

Salah satu orang tua yang mengalami kekhawatiran  hal tersebut adalah Marno (45) seorang wiraswasta di Solo. Sebagai ayah dia memilih mendidik anak- anaknya dengan metode kekerasan. Misalnya dia bisa memukul anak dengan alat yang batang ketela pohon jika si anak lalai menjalankan kewajibannya dalam hal sekolah dan ibadah.

“Saya ingin anak-anaknya kelak menjadi sosok yang disiplin dalam segala aspek,” katanya.

Namun bagaimana jika hal ini ditinjau dari sisi psikologi? Apakah  ini sudah tepat atau malah keliru? Berikut tanggapan  Psikolog Keluarga dan Anak, Juliani Prasetyaningrum mengenai pola asuh dengan metode kekerasan. Menurutnya pola asuh anak dalam keluarga akan menentukan bagaimana anak ini bersosialisasi ke luar, baik itu di sekolah atau di lingkungan bermainnya.

Anak- anak adalah sosok yang tumbuh dengan kebiasaan meniru, melakukan imitasi terhadap apa yang ada di sekitarnya termasuk dalam hal ini orangtua. Mereka merupakan lingkungan terdekat, anak akan dengan mudah meniru apa pun yang dilakukan oleh ayah atau ibunya. Ragam ekspresi dan kebiasaan kedua orangtuanya terekam jelas dalam memori sang anak dan ini berlanjut hingga dia dewasa.

Memiliki sikap tegas terhadap anak adalah harus namun sikap keras terhadap anak itu jelas keliru. Apapun bentuknya kekerasan bukanlah jalan terbaik untuk membentuk karakter anak. Kekerasan terhadap anak ada dua bentuk yakni fisik dan verbal, semua bentuk kekerasan akan membekas dalam diri seorang anak.

Sebuah kata- kata yang kasar pun akan sangat menyakitkan bagi si anak. Bahaya yang ditimbulkan adalah munculnya sikap agresivitas anak setiap kali merespons “kesalahan” yang dilakukan oleh orang lain.

Setiap keluarga, ayah dan ibu semestinya memiliki cara  pola asuh yang penuh kasih sayang lembut dan penuh perhatian. Sehingga anak tidak menjadikan orang lain sebagai figur pengganti.

“Kebiasaan sederhana pun semestinya sudah terbangun sejak anak masih kecil. Misal memperkenalkan pada anak norma-norma aturan yang berlaku secara umum seperti berkata jujur dan meminta izin menggunakan barang milik orang lain. Kemudian, berterima kasih jika mendapatkan sesuatu, minta maaf jika ternyata melakukan kesalahan,” papar dosen psikologi di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ini.

Membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari perilaku tersebut secara otomatis akan membuat anak memiliki karakter yang diharapkan. “Pada intinya, tegas boleh untuk menguji kekonsistenan anggota keluarga akan  tata tertib aturan serta kesepakatan yang sudah ada di dalam keluarga. Namun kekerasan tetap tidak dibenarkan karena berdampak kurang baik bagi tumbuh kembang anak di masa depan,” ujar dia.

#Kukuh Subekti

Sumber: https://joglosemar.co/2017/11/tegas-terhadap-anak-boleh-keras-jangan.html