Memaknai Kembali Kehadiran Anak dalam Keluarga
Anak adalah kehidupan,
Mereka sekadar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiriKahlil Gibran
~~~
23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Kehadiran anak memang dinanti dalam setiap keluarga. Bahkan ada pandangan dalam masyarakat, bahwa keluarga belum paripurna tanpa kelahiran buah hati. Tak heran banyak orang tua yang rela melakukan berbagai terapi untuk dapat melahirkan kehidupan baru. Meski demikian, tak semua orang tua dapat dengan mudah memeroleh keturunan.
Bagi masyarakat lain, adagium ‘banyak anak, banyak rezeki’ juga menjadi motivasi utama melahirkan banyak anak. Memang dalam banyak keyakinan keagamaan, termasuk Islam, memahami bahwa setiap orang sudah mempunyai rezekinya masing-masing. Dengan demikian, setiap makhluk bernyawa di bumi ini tak akan ditelantarkan oleh Tuhan.
Bergabungnya motivasi keagamaan dan kebudayaan tersebut mendorong peningkatan populasi yang masif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 284,44 juta jiwa, meningkat dari 255,59 juta jiwa pada tahun 2015. Artinya ada kenaikan sampai 30 juta jiwa selama satu dekade terakhir. Kalau dihitung rata-rata, setiap tahun bertambah 3 juta jiwa atau 8.219 jiwa setiap hari.
Dengan peningkatan yang masif itu, banyak kalangan menyebut negara ini pada tahun 2045 akan mencapai bonus demografi. Artinya pada saat itu, usia produktif masyarakat Indonesia surplus. Hal ini yang perlu menjadi perhatian bersama. Apakah benar ini menjadi bonus demografi atau sebaliknya berubah menjadi bencana populasi?
Peningkatan populasi manusia di mana saja, perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemenuhan lapangan kerja. Jika tidak, berkah bisa menjadi musibah. Tak perlu menunggu sampai tahun 2045, hari ini pun kita menyaksikan betapa susah generasi Z memeroleh pekerjaan. Karenanya, terus meningkatnya populasi warga dunia ini perlu mendapat perhatian serius. Terutama berbarengan dengan perayaan Hari Anak Nasional ini. Sepertinya kita perlu mendefinisikan kembali arti kehadiran anak dalam sebuah keluarga. Tulisan sederhana ini mencoba mengulas makna anak terutama dalam kerangka Al-Quran.
Anak Adalah Anugerah Tuhan
Dalam Al-Quran Surat al-Syura ayat 49-50, Allah Swt berfirman:
لِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ ۗيَهَبُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ اِنَاثًا وَّيَهَبُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ الذُّكُوْرَ ۙ اَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَّاِنَاثًا ۚوَيَجْعَلُ مَنْ يَّشَاۤءُ عَقِيْمًا ۗاِنَّهٗ عَلِيْمٌ قَدِيْرٌ
Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan (keturunan) laki-laki dan perempuan, serta menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.
Dalam ayat tersebut, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik. Pertama, anak itu merupakan anugerah Allah. Imam As-Sa’di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa pernikahan sebagai sebab kelahiran anak. Tetapi yang memberikan dan meniupkan ruh kepada anak adalah Allah Swt. Manusia perlu berikhtiar dengan menikah, tetapi tidak semua yang sudah menikah lantas mempunyai anak. Karenanya poin kedua dan lanjutan dari ayat tersebut, kita pun belajar bahwa ada orang-orang yang aqiim, mandul atau tidak dapat memeroleh keturunan.
Menarik untuk melihat redaksi ayat tersebut, sebab Allah tidak membedakan laki-laki atau perempuan. Artinya, siapa pun bisa mandul. Selama ini stereotip yang melekat bahwa kemandulan itu karena istri, padahal suami pun bisa mengalaminya. Berkaitan dengan anugerah ini, maka ada tanggung jawab yang perlu diperhatikan oleh orang tua. Hal ini juga ditegaskan dalam Surat An-Nisa ayat 9:
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).
Anak Penyejuk Hati
Tanggung jawab mempersiapkan generasi penerus yang kuat memang menjadi tugas bagi generasi yang datang sebelumnya. Dengan mempersiapkan generasi yang tangguh, kehadiran anak dapat menjadi penyejuk hati. Sebagaimana yang terekam dalam Al-Quran Surat Al-Qashash ayat 9, dialog antara Fir’aun dan istrinya sebagai berikut:
وَقَالَتِ امْرَاَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّيْ وَلَكَۗ لَا تَقْتُلُوْهُ ۖعَسٰٓى اَنْ يَّنْفَعَنَآ اَوْ نَتَّخِذَهٗ وَلَدًا وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ
Istri Firʻaun berkata (kepadanya), “(Anak ini) adalah penyejuk hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya. Mudah-mudahan dia memberi manfaat bagi kita atau kita mengambilnya sebagai anak.” Mereka tidak menyadari (bahwa anak itulah, Musa, yang kelak menjadi sebab kebinasaan mereka).
Ayat tersebut memberikan sifat yang mulia terhadap kehadiran anak sebagai penyejuk hati. Namun, sering dilupakan dalam proses pendidikan anak, bahwa sebelum mendapatkan anak yang menyejukkan hati, terlebih dahulu orang tua harus menjadi sosok yang menentramkan bagi anak. Hal ini tersurat dalam doa yang sering dilantunkan, “Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrata a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa”. Kalau menggunakan terjemahan bebas, doa tersebut memberikan pesan, sebelum melahirkan keturunan yang qurrata a’yun, kita perlu menjadi teladan kebaikan bagi orang-orang bertakwa dan memilih pasangan yang juga mempunyai karakter kebaikan.
Selain soal qurrata a’yun, kita pun belajar dari kisah istri Fir’aun di atas bahwa anak tidak selalu soal biologis. Ada anak ideologis. Artinya, terutama bagi mereka yang memang tak mampu memiliki anak biologis karena faktor kesehatan, masih banyak cara untuk menghadirkan figur anak dalam keluarga. Salah satunya dengan mengadopsi anak terlantar yang kehilangan sosok orang tua di jalanan atau di panti asuhan.
Jadi, dalam konteks ini, anak tidak hanya dipahami sebagai penerus garis biologis, tetapi yang jauh lebih penting, anak menjadi pelanjut nilai-nilai ideologis yang diwariskan oleh orang tua. Karena jika anak tidak meneruskan perjuangan, justru menentang dan melawan orang tua, di sinilah kehadiran anak tidak lagi menjadi berkah tetapi fitnah.
Anak Menjadi Ujian
Dalam Al-Quran Surat Al-Anfal ayat 28, Allah Swt telah menegaskan:
وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ ࣖ
Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.
Dalam ayat lain yang lebih panjang, Allah menyejajarkan anak dengan kehidupan dunia yang melalaikan, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Hadid ayat 20:
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya.
Ayat ini dapat menjadi kritik bagi orang tua yang masih mempunyai pandangan ‘banyak anak, banyak rezeki’ sehingga terus menambah anak setiap tahunnya, tetapi abai untuk meningkatkan kualitas pendidikan sang anak. Kehadiran anak tanpa prioritas kasih sayang dari orang tua hanya akan melahirkan generasi trouble-maker. Kehadirannya justru menjadi benalu di masyarakat.
Hal ini dapat dilihat berbagai kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Karenanya pemahaman yang sudah mengakar bahwa banyak anak berbanding lurus dengan rezeki yang diperoleh perlu diubah. Kehadiran anak akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat manakala orang tuanya telah siap dan mapan dalam membesarkan buah hatinya.
Belajar Menjadi Orang Tua
Berdasarkan ayat-ayat yang dihadirkan di atas, dapat dipahami bahwa kehadiran anak haruslah benar-benar dipersiapkan oleh orang tua. Tidak bisa menuntut anak menjadi baik jika ia lahir dan besar di kandang serigala yang beringas. Pendidikan menjadi kata kunci utama bagi orang tua untuk melahirkan generasi emas. Bukan soal kuantitas, tetapi kualitas. Bukan soal biologis, melainkan ideologis.
Salah satu cara menjadi orang tua sebagaimana yang diteladankan oleh generasi emas terdahulu adalah kemauan mendengarkan suara anak. Ada Luqman al-Hakim yang membuka dialog dengan sang anak. Pun teladan Nabi Ibrahim yang berdiskusi dengan Nabi Ismail sebelum memutuskan mengeksekusi dalam pengorbanan. Begitu pula contoh dari Nabi Muhammad Saw. ketika seorang anak sedang pipis dalam pangkuan Nabi, Ummu al-Fadhl segera merenggut dengan kasar anak tersebut sehingga ia menangis, Nabi menegurnya dengan tegas:
“Perlahan-lahanlah, wahai Ummu al-Fadhl! Kencing yang membasahi pakaianku bisa hilang dengan basuhan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan kekeruhan hati anak ini dari renggutan kasarmu itu?”
Karenanya, merayakan Hari Anak Nasional bukan sebatas mengunggah foto anak atau keluarga kecil kita. Kehadiran hari anak ini justru mengingatkan para orang tua untuk merefleksikan kembali: apa arti mempunyai anak dan sudah mampukah kita hadir menjadi orang tua yang memberikan keteladanan?




