Fantasi Sedarah: Pencorengan Peran Keluarga sebagai Ruang Aman Anak

Hari-hari ini jagat media Indonesia sedang dihebohkan dengan penemuan grup di salah satu platform media massa yang dianggap sangat bejat. Komunitas tersebut menamakan diri sebagai “Grup Fantasi Sedarah”. Di dalam grup yang anggotanya sudah lebih dari 30 ribu tersebut menjadikan anak kandung sebagai objek fantasi seksual. Bahkan dijadikan sebagai pelampiasan nafsu birahi mereka.

Grup tersebut berisi cerita atau pengakuan dari berbagai oknum yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual sedarah dengan keluarga kandung mereka sendiri. Meskipun belum diketahui apakah mereka benar-benar melakukannya, hal itu tetap saja sangat meresahkan bagi banyak orang. Tak hanya itu, grup ini juga melanggengkan atau melegalkan incest atau hubungan sedarah dan menganggap itu sebagai hal yang normal.

Ketika Keluarga Sudah Tidak lagi Aman

Keberadaan grup tersebut menciptakan sebuah pertanyaan besar: apakah keluarga masih menjadi tempat yang aman? Banyak pakar psikolog maupun tokoh agama yang menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan sebuah kekerasan seksual yang tidak bisa ditolerir lagi. Dalam dunia psikologi, keluarga adalah tempat pertama untuk menciptakan ruang yang aman bagi anak sehingga sang anak dapat bertumbuh dan berkembang dalam mental dan kepribadian.

Keberadaan grup ini mengindikasikan bahwa keluarga tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak. Keluarga yang seharusnya menjadi area pertama yang paling aman bagi anak justru menjadi tempat atau tepi jurang yang bisa membuat mereka jatuh dalam ketraumaan. Bagaimana tidak? Anak mendapat perlakuan seksual dari orang terdekatnya, dari keluarganya dan yang pasti mereka hanya bisa bungkam, takut untuk melawan dan melaporkan kepada orang lain. Pakar Anak Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Holy Ichda Wahyuni memberikan tanggapan dengan mengatakan, “Orang tua dan pendidik perlu menyadari satu hal yang teramat krusial, bahwa ruang aman anak-anak semakin terkikis, bahkan dari tempat yang seharusnya menjadi paling suci dan aman yaitu rumah dan keluarga”, jelasnya dalam sebuah wawancara.

Namun dengan adanya fenomena yang merisaukan ini ruang aman dalam keluarga justru dipertanyakan. Peran keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang aman justru menjadi tempat yang paling mengerikan bagi perkembangan anak. Bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual dalam keluarga tidak hanya akan mengalami trauma dalam psikisnya tetapi juga trauma dalam hal berelasi dengan orang lain.

Perlunya Edukasi Seksual

Dalam pandangan beberapa orang, istilah seksual hanya terbatas pada hubungan badan sehingga dianggap tabu ketika harus dijelaskan kepada anak. Padahal kenyataannya, seksual bukan hanya sebatas itu. Seksualitas sangat luas cakupannya meliputi fisik, cara berpakaian, cara menjaga privasi, dan bahkan pengenalan bentuk-bentuk sentuhan yang tidak pantas yang didapat dari sang anak.

Dari pernyataan ini sangat jelas bahwa anak juga perlu mendapat edukasi berkaitan dengan seksualitas karena ini juga menyangkut perkembangan diri mereka. Hal ini akan sangat berguna untuk membantu mereka menyikapi perlakuan yang ia dapatkan. Perlunya sebuah edukasi kepada anak bahwa tubuh mereka sangat mulia dan berharga, sehingga mereka harus menjaga tubuh mereka.

Kriminalitas dan Kekerasan Seksual

Fenomena ‘fantasi sedarah’ ini jelas adalah sebuah kriminalitas dan juga kekerasan seksual terhadap anak yang bisa ditindak secara hukum. Pihak kepolisian sendiri sedang menyelidiki grup ini, dan grup tersebut sudah langsung ditutup dan dimatikan oleh pihak kepolisian. Grup media sosial ini juga dinilai sebagai konten yang mengeksploitasi anak.

“Konten grup tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap hak anak. Ini bukan sekadar pelanggaran norma, tetapi juga bentuk eksploitasi seksual terhadap anak yang nyata,” jelas Alexander selaku Direktur Jenderal Pengawasan Ruang digital.

Apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian ini menjadi upaya untuk menghentikan penyebaran grup tersebut semakin meluas yang bisa semakin membawa orang pada penyimpangan pornografi. Tindakan ini menjadi tindakan tegas yang memang harus dilakukan oleh pihak kepolisian sebagai pengayom masyarakat.

Hoax atau Nyata?

Tetapi tidak sedikit juga yang mempertanyakan apakah cerita dan pengalaman yang diungkap dalam grup tersebut adalah sebuah kenyataan atau hanya sebuah kepalsuan yang artinya ada segelintir orang yang dengan sengaja membuat cerita untuk menarik perhatian dari pengguna media massa. Media massa menjadi salah satu platform yang bisa menggiring pengguna ke arah yang positif maupun negatif. Banyak orang berharap bahwa ini hanya fenomena yang fiktif dan hoax, tetapi juga perlu diwaspadai. Namun jika hal ini sungguh nyata, perlu ditindak secara tegas dengan hukum yang berlaku. Hukum di Indonesia harus bisa menindak pelaku kekerasan dan eksploitasi anak secara seksual.

Lalu apa hikmahnya? Melalui fenomena ini kita belajar bahwa pelaku kekerasan seksual bisa siapa saja, bahkan orang terdekat sekali pun. Ini menjadi peringatan bagi para orang tua dan juga pendidik untuk selalu mengedukasi anak berkaitan dengan seksual sejak usia dini. Hal lainnya, jangan mudah terbawa arus media sosial. Kita harus berani mengecek informasi yang disebarkan di platform media massa dengan pihak yang akurat.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses