Pembahasan sebelumnya telah menguraikan tentang pentingnya membahas fikih kehidupan satwa. Bahwa sebagai seorang manusia, apalagi beriman, kita perlu menjaga ekosistem alam, termasuk binatang. Bukan sebatas karena perbuatan itu baik, tetapi juga ada dorongan teologis sebagai makhluk yang ditugaskan menjadi khalifah dan abdullah di bumi.
Namun, tidak sedikit dalil-dalil keagamaan yang justru dapat memberikan legalitas untuk memberangus kehidupan hewan. Tulisan ini akan menguraikan beberapa dalil yang sering dijadikan landasan bahwa ada hewan yang tidak layak untuk dibiarkan hidup dan berkembang biak.
Pandangan Islam tentang Anjing
Dalam sebuah hadis yang masyhur diriwayatkan bahwa Rasul saw bersabda:
لولَا أنَّ الكِلابَ أُمَّةٌ مِنَ الأُمَمِ لَأمَرْتُ بقتْلِها ، فاقتُلوا منها كُلَّ أسودَ بهيمٍ
“Seandainya anjing bukan termasuk salah satu umat (kelompok), niscaya aku akan perintahkan untuk membunuh semuanya. Tetapi, bunuhlah yang berwarna hitam.”
Dalam hadis lain, dikatakan bahwa yang berwarna hitam itu adalah setan. Tentu amat susah merasionalkan alasan warna hitam dengan eksistensi setan. Karenanya, ulama hadis menyusun metodologi kritik matan (naqd al-matn) selain juga kritik sanad (naqd al-sanad). Salah seorang ulama yang konsen pada kritik matan adalah Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi dalam kitab Manhaj Naqd al-Matn ind Ulama al-Hadis al-Nabawi.
Menurutnya, ada lima kriteria hadis dapat diterima secara matannya, yaitu: sesuai dengan Al-Quran; hadis sahih dan sirah Nabawiyah; dapat diterima akal, indra dan fakta sejarah; dan redaksi kebahasaan memang menggambarkan perkataan Nabi. Dari kelima kriteria tersebut, paling tidak, gambaran warna hitam sebagai setan sulit diterima oleh akal dan indra manusia. Karenanya, hadis ini perlu dimaknai secara kontekstual, alih-alih dipahami tekstual.
Ibnu Qutaibah dalam kitab Ta`wil Mukhtalaf al-Hadis menegaskan bahwa seandainya Nabi memerintahkan untuk membunuh semua anjing, maka satu spesies akan punah. Padahal manusia mendapatkan manfaat dari anjing untuk menjaga rumah, gembalaan, harta dan dapat dimanfaatkan untuk berburu. Karenanya, dalam literatur fikih pun diperbolehkan mengonsumsi hewan hasil buruan anjing sebagaimana yang termaktub dalam redaksi fakuluu mimma amsakna ‘alaikum dalam surat al-Ma`idah ayat 4.
Belum lagi, kata Ibn Qutaibah, anjing adalah hewan yang paling setia dengan tuannya. Ia mengutip kisah yang dituturkan oleh Abu Ubaidah tentang anjing yang menjaga jenazah majikannya yang tewas dalam perjalanan. Maka menurut Ibn Qutaibah, hadis tersebut harus dipahami pengecualian, bukan keseluruhan. Warna ‘hitam’ dalam hadis tersebut juga perumpamaan dari sifat buas yang memang juga melekat pada beberapa anjing.
Karenanya, bagi anjing buas dan ganas, yang menyerang manusia, diperkenankan untuk membunuh sebagai opsi terakhir melindungi kehidupan. Terlebih, di era modern sekarang diketahui, anjing juga membawa virus rabies yang bisa membahayakan kehidupan jika tidak segera ditangani.
Kehidupan Nabi bersama Anjing
Pada saat yang sama, anjing yang jinak dan tidak menyerang manusia, amat terlarang untuk dibunuh. Dalam sejarah kenabian, sebagaimana dipaparkan Quraish Shihab dalam buku “Jawabannya adalah Cinta”, beliau menegaskan ada tiga periode Nabi hidup bersama anjing. Fase pertama, anjing menemani manusia yang membutuhkan perlindungannya. Dahulu, tidak jarang perempuan keluar di malam hari bersama anjing untuk menjaganya bahkan menunjukkan jalan terdekat dan teraman melalui indra penciumannya yang tajam.
Fase kedua, Rasul memerintahkan untuk menjauhkan bahkan membunuh anjing karena sudah terlampau banyak dan berlalu lalang di dalam masjid sehingga mengganggu ibadah. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Pada fase ketiga, Nabi melarang membunuh anjing kecuali yang ganas dan gila. Bahkan beliau mengizinkan untuk memelihara anjing guna menjadi penjaga kebun serta menjadi anjing pemburu.
Kehidupan Nabi bersama anjing itu juga selaras dengan potret ashabul kahfi dalam Al-Quran yang juga hidup berdampingan dengan anjing. Sehingga membunuh anjing yang tidak menyerang manusia bukan hanya bertentangan dengan sunnah, tetapi juga melanggar hak hidup hewan.
Ada Hewan yang Fasik
Selain anjing, ada beberapa hewan lain yang juga dibolehkan dalam hadis Nabi untuk dibunuh. Sebagaimana hadis Nabi berikut:
خمسٌ منَ الدَّوابِّ كلُّهنَّ فاسقٌ يُقتَلنَ في الحلِّ والحرمِ الْكلبُ العقورُ والغرابُ والحدَأةُ والعقربُ والفأرةُ
“Ada lima hewan fasik yang harus dibunuh di tanah halal maupun haram, yaitu: anjing, gagak, rajawali, kalajengking dan tikus.”
Hadis tersebut menegaskan bahwa ada binatang yang fasik sehingga halal untuk dibunuh. Sama seperti manusia yang ‘kafir’ dalam narasi keagamaan sering dipahami oleh sebagian orang boleh dibunuh. Tentu dengan dalil Al-Quran yang menegaskan qital terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Lagi-lagi, sebagaimana pembahasan sebelumnya tentang anjing, hadis ini pun tidak dapat dipahami secara tekstual. Sebab kalau hewan itu dibunuh secara masif dan punah, maka justru itu akan mengganggu ekosistem kehidupan. Terlebih diyakini bahwa tidak ada yang sia-sia dalam penciptaan Tuhan di bumi ini.
Lantas bagaimana memahami hadis tersebut secara tepat? Ada beberapa poin yang perlu diperhatikan. Pertama, hadis itu melekatkan kata fasiq kepada binatang. Ini menarik untuk dicermati, sebab selama ini ada pemahaman bahwa hewan itu tidak berakal. Kalau dia tidak berakal, maka perbuatannya tidak dapat dikenakan tanggung jawab (taklif). Pun demikian, mereka tidak dapat dikatakan fasik, maksiat, kafir, dan sejenisnya atas perilaku yang dilakukan.
Hewan dan Ketaatan Kepada Sang Pencipta
Dari sini, kata fasiq perlu dipahami secara lebih luas. Ibn Qutaibah memahami kata fasaqa dengan makna fasaqa ‘an amri rabbih, keluar dari perintah dan ketaatan Tuhan. Apakah hewan bisa taat kepada Tuhan? Di sinilah perlu pemahaman yang lebih komprehensif terkait dunia hewan.
Selama ini, dengan kaca mata sebagai manusia, sering kali kita menganggap hewan itu tak beradab. Dunia hewan hanyalah tunduk pada kepentingan manusia. Padahal kalau mau mengeksplorasi kitab suci, ada banyak kisah fabel yang menggambarkan bahwa dunia binatang itu sama dengan manusia. Mereka pun berzikir kepada Tuhan, melalui kokok ayam di pagi hari, kicauan burung di petang hari, hingga suara jangkrik yang memecah keheningan malam. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat Saba` ayat 10:
وَلَقَدْ اٰتَيْنَا دَاوٗدَ مِنَّا فَضْلًاۗ يٰجِبَالُ اَوِّبِيْ مَعَهٗ وَالطَّيْرَ ۚوَاَلَنَّا لَهُ الْحَدِيْدَۙ
Sungguh, benar-benar telah Kami anugerahkan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman), “Wahai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang kali bersama Daud!” Kami telah melunakkan besi untuknya.
Selain interaksi Nabi Daud dengan kicauan burung, dalam Al-Quran juga ditemukan narasi kehidupan burung Hudhud dan semut bersama Nabi Sulaiman, kehidupan lalat, lebah, laba-laba, tongkat ‘ular’-nya Nabi Musa, dan sebagainya. Potret ini sepenuhnya memberikan pelajaran kepada kita, bahwa kehidupan satwa itu juga beragam dan penuh warna.
Hewan dan Sunnatullah Kehidupan
Kedua, kehidupan hewan sepenuhnya mengikuti sunnatullah. Saling menjaga saling menghidupkan. Tetapi, ada hewan-hewan yang mempunyai sisi lain yang dapat membahayakan kehidupan, seperti anjing buas, bisa kalajengking yang ganas, hingga populasi tikus yang bisa membawa penyakit.
Sifat-sifat buruk inilah yang disematkan pada kata fasiq dalam hadis tersebut. Dan untuk menjaga manusia, bagi hewan yang menyerang diperkenankan untuk dibunuh saat itu juga. Hal ini tidak membuat seluruh populasi anjing, gagak, kalajengking, tikus dan rajawali menjadi mati. Justru perintah tersebut maqasid-nya adalah menjaga kehidupan.
Melampaui Persoalan Asal Membunuh Hewan
Namun, di sini letak vitalnya. Pemahaman soal membunuh hewan ini sering kali berakhir pada fikih normatif bahwa diperbolehkan dan urusan selesai setelah hewan yang mengganggu itu dibunuh. Padahal ada persoalan yang lebih mendasar dari fenomena hewan tersebut.
Sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya, bahwa hewan tersebut hadir di habitatnya masing-masing. Tikus hidup di tempat yang kotor, penuh sampah dan kumuh. Ketika ada tikus yang masuk ke rumah, kesalahan itu tidak sepenuhnya karena sang tikus. Justru kehadiran tikus itu menjadi teguran bagi sang pemilik rumah, bahwa ia sedang hidup di lingkungan yang kotor dan jorok.
Pelajarannya adalah harus membersihkan rumah lebih giat, sampah jangan menumpuk, dan lingkungan sekitar lebih asri. Sayangnya, langkah yang dilakukan biasanya hanya membeli racun tikus. Tetapi rumah tetap dalam kondisi kotor berantakan. Maka ibarat mati satu tumbuh seribu, tikus akan datang menyerbu lagi. Karena yang menjadi problem bukan tikusnya, tetapi gaya hidup kita yang serampangan.
Contoh lain, anjing buas, harimau atau singa yang habitatnya di hutan. Jangan salahkan hewan tersebut kalau pada akhirnya mereka menyerang warga desa, karena rumah mereka di hutan sana sudah habis dibabat manusia. Kalau rumah mereka diganggu, ya mereka akan mengakuisisi rumah lain untuk dijadikan tempat tinggal. Persis seperti naluri manusia yang juga akan menyerang kalau diserang terlebih dahulu.
Karenanya, hadis di atas harus dipahami lebih kontekstual. Bukan sebatas bunuh-membunuh, apalagi pembunuhan menjadi fantasi untuk membasmi satu spesies. Hadis itu justru memberikan pesan agar manusia dan hewan bisa saling memberikan hak hidup dan ruang bersama. Kehadiran hewan ‘pengganggu’ di lingkungan masyarakat harus dipahami sebagai peringatan, bahwa ada pola hidup yang keliru dari manusia. Dan karenanya, kehidupan ini tidak selalu soal manusia, tapi ada hewan dan lingkungan sekitar yang harus dijaga.