Pos

Fatwa Kelompok Ekstremis dalam Pelibatan Perempuan dalam Jihad

Pendapat tokoh atau fatwa yang dikeluarkan oleh kelompok ekstremis memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam memberikan motivasi ataupun justifikasi terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh pengikutnya.

Unaesah Rahmah

Pendapat tokoh atau fatwa yang dikeluarkan oleh kelompok ekstremis memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam memberikan motivasi ataupun justifikasi terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh pengikutnya. Sebagai contoh, terjadinya peningkatan serangan terror dengan menggunakan senjata tajam seperti pisau dapur, pedang dan golok di Indonesia diakibatkan karena adanya fatwa yang disebarkan oleh para pendukung ISIS di media sosial dan grup Telegram. V. Arianti (2018) mencatat 14 serangan dengan senjata tajam oleh kelompok terror dalam kurun waktu 2014 hingga 2018. Beberapa fatwa yang dikutip dan disebarkan oleh para pendukung ISIS adalah tulisan  Abu Abdillah Al-Muhajir’s yang berjudul “Disyari’atkannya Ightiyalat Terhadap Kafir Harbi,” pesan Abu Muhammad Al-Adnani yang menyuruh para pendukung ISIS untuk menggunakan pisau dapur dalam menyerang, dan juga Bahrun Naim yang mempromosikan taktik penusukan dan pemenggalan (V.Arianti, 2018).

Apakah hal serupa juga terjadi dalam pelibatan perempuan dalam jihad? Apakah fatwa berpengaruh terhadap keputusan para perempuan untuk melakukan aksi terror seperti melakukan bom bunuh diri dan berperang menjadi kombatan? Jika melihat fatwa yang telah dikeluarkan oleh al-Qaeda atau ISIS, hampir tidak ada yang memberikan fatwa secara jelas dan tegas menyeru perempuan untuk terlibat di dalam jihad qital – yakni jihad dalam artian berperang dan mengangkat senjataNelly Lahoud berpendapat bahwa hanya al-Zarqawi yang pernah secara jelas menyerukan perempuan untuk berjihad mengangkat senjata bersama para laki-laki. Selainnya, walalupun menyerukan jihad qital bagi perempuan, mereka tetap menegaskan bahwa peran utama perempuan adalah untuk diam di rumah, menjaga dan mengurus suami dan anak.

Beberapa Fatwa terkait Pelibatan Perempuan dalam Jihad

Seruan agar perempuan terlibat di dalam jihad qital biasanya dimasukkan di dalam kerangka jihad defensive atau self-defense. Perempuan hanya diperbolehkan untuk berperang jika 1) musuh sudah masuk dan mengepung wilayah mereka, 2) kekuatan laki-laki sudah tidak memadai untuk mengalahkan musuh, dan 3) turunnya fatwa yang memperbolehkan perempuan untuk melakukan jihad qital.

Beberapa tokoh dari kelompok militan yang pernah menyebutkan kebolehan perempuan untuk terlibat di dalam jihad qital adalah ‘Abdullah ‘Azzam yang mengutip pendapat Abd al-Salam al-Faraj. Ia menyatakan bahwa jihad defensive adalah kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Pendapat lain adalah ‘Abd al-Qadir bin ‘Abd al’Aziz (Sayyid Imam al-Sharif) yang berpendapat bahwa perempuan harus diberikan pelatihan militer, tetapi hanya dalam lingkup untuk menjaga diri (self-defense) melawan musuh Islam.

Abu Mus’ab al-Zarqawi, tokoh yang paling sering dirujuk sebagai pemberi fatwa kebolehan perempuan berperang, menyatakan, “Ketika perang pecah, jika kalian (para lelaki Muslim) tidak akan menjadi pentempur dalam perang ini, maka berikanlah jalan bagi perempuan untuk berperang. Demi Allah, laki-laki telah kehilangan kejantanan mereka.” Namun jika disimak lebih teliti, sebenarnya pernyataan Zarqawi bukanlah ditujukan untuk mengajak perempuan berperang, melainkan untuk laki-laki. Ucapannya bertujuan untuk mempermalukan laki-laki yang tidak berperang sebagai pengecut dan tidak punya kejantanan. Hal serupa juga sering dilakukan oleh kelompok teroris di Indonesia. Sebagai contoh, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menyebarkan foto tiga istri anggota mereka yang menenteng senjata di sosial media. Tujuannya adalah mempermalukan laki-laki dengan mengatakan bahwa karena tidak ada laki-laki, maka perempuan sampai menenteng senjata dan berperang di Poso.

Jika dipahami lebih lanjut, syarat pertama dan kedua dalam jihad defensive tidak sesuai dengan tindakan yang dipilih oleh ISIS. Pasalnya ISIS lebih memilih untuk mengajak laki-laki dari negara lain masuk ke Suriah dan Irak pada awal 2014 daripada menyerukan perempuan di wilayah mereka untuk berperang. Jika memang keadaan sudah sangat mendesak, sehingga umat Muslim dari negara lain harus membantu “daulah Islamiyah” ala ISIS, mengapa perempuan tidak pernah dilibatkan? Hal ini menunjukan kecacatan dalam definisi jihad defensive ISIS. Selain itu, anjuran jihad defensive ini tidak khusus ditujukkan bagi perempuan saja, karena anak-anak juga termasuk di dalamnya.

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah bahwa kelompok ekstremis biasanya berbeda pendapat soal keterlibatan perempuan sebagai kombatan dalam perang. Namun, perempuan diperbolehkan menjadi pelaku bom bunuh diri. Perbedaan ini terjadi karena jika perempuan menjadi kombatan, maka akan dimungkinkan terjadinya percampuran dengan laki-laki, sementara dalam hal bom bunuh diri tidak.

Dalam hal bom bunuh diri, perempuan bisa diajari dan diantar ke lokasi oleh ayah, saudara laki-laki atau suami mereka. Seperti kasus Dian Yuli Novi yang menikahi Nur Solikhin dengan tujuan agar pertemuan dan perbincangan mereka soal bom bunuh diri menjadi “halal.” Namun, jika dilihat lebih lanjut, target serangan bom bunuh diri Dian adalah Pasukan Pengaman Presiden, yang pada umumnya adalah laki-laki. Dian juga diinstruksikan untuk mendekati target jika hendak melakukan bom bunuh diri. Bukankah hal tersebut sama saja terjadinya percampuran antara perempuan dan laki-laki yang bukan mahram?

Pelibatan perempuan dalam kelompok ekstremis lebih didorong oleh alasan strategis mereka, terutama ketika mereka terdesak. Banyak tulisan mengungkapkan bahwa semenjak ISIS mulai kehilangan wilayahnya, maka mereka mengeluarkan fatwa-fatwa lewat majalah An-Naba (2016), Rumiyah (2017) dan video yang diliris oleh al-Hayat Media Centre (2018) yang menyerukan perempuan untuk melakukan jihad qital. Walaupun lagi-lagi penekanan terhadap peran utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu tetap ada.

Fatwa dan Pelibatan Perempuan di Indonesia

Melihat kasus keterlibatan tiga istri kelompok MIT sebagai kombatan, mereka memilih peran tersebut karena suruhan dari suami mereka. Tidak terdengar jika mereka mengutip fatwa dari ideolog-ideolog kelompok ekstremis. Begitu juga dalam kasus Ika Puspita Sari, dia berkeinginan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri karena terinspirasi oleh kejadian-kejadian bom dibandingkan oleh fatwa khusus tentang pelibatan perempuan.

Meski begitu, di Indonesia, kasus Dian Yuli menunjukkan bahwa dia melakukan penafsiran sendiri terhadap lingkungannya dan fatwa kelompok esktremis. Dia berpendapat bahwa para laki-laki di Indonesia sudah tidak lagi mengangkat senjata melawan musuh, sehingga dia ingin menjadi pelaku bom bunuh diri. Dian membuat keputusan itu sebelum ISIS mengeluarkan seruan terkait pelibatan perempuan dalam jihad qital. Dengan demikian, fatwa bukanlah satu-satunya faktor yang melatarbelakangi keinginan perempuan untuk terlibat dalam aksi terror. Seperti yang dituliskan dalam laporan IPAC (Januari 2017), bahwa banyak para pendukung perempuan ISIS di Indonesia yang menunjukan keinginan mereka untuk melakukan aksi terror setelah melihat aksi terror Paris pada 2015, yang diduga melibatkan perempuan.

Sumber:

Aqwam Fiazmi Hanifan, “Dogma ISIS kepada Pengikut Perempuan: Lisensi untuk Membunuh,” Tirto.id, April 10, 2019

 Charlie Winter dan Devorah Margolin, “The Mujahidat Dilemma: Female Combatnats and the Islamic State,” Combating Terrorism Centre, August 2017, Vo. 10, Issue 7

Nelly Lahoud, “Can Women Be Soldiers of the Islamic State?,” Survival, 2017, Vol. 59, Issue.1, hal. 61-78

 Nelly Lahoud, “The Neglected Sex: The Jihadis’ Exclusion of Women From Jihad,” Terrorism and Political Violence, 2014, Vol. 26, Issue 5, hal.780-802

Sumber: https://islami.co/fatwa-kelompok-ekstremis-dalam-pelibatan-perempuan-dalam-jihad/

Wabah Corona Geser Tradisi Pesakh dan Ramadan

Ketika umat Yahudi bersiap merayakan Pesakh berjarak, kaum muslim menantikan bulan Ramadan yang lain dari biasanya. Dewan fatwa Al-Azhar di Mesir mengaku menunggu arahan WHO sebelum menerbitkan fatwa soal ibadah Ramadan.

Suasana pasca ibadah salat Jumat di Masjid Istiqlal di tengah bulan Ramadan, 2019.

Suasana pasca ibadah salat Jumat di Masjid Istiqlal di tengah bulan Ramadan, 2019.

 

Pandemi corona menempatkan umat beragama di dunia dalam situasi limbung. Tiga perayaan penting Islam, Kristen dan Yahudi di awal tahun ini diyakini akan berlangsung senyap, tanpa interaksi sosial.

Ketika umat Kristen dan Yahudi bersiap merayakan Paskah secara berjarak, umat Islam menantikan datangnya bulan Ramadan dengan sikap was-was. Pasalnya wabah COVID-19 bisa berarti tertundanya ibadah puasa.

“Kami menunggu apa yang diputuskan Kementerian Kesehatan dan para dokter. Artinya kami juga menunggu keputusan WHO,“ kata Sekretaris Jendral Majelis Fatwa al-Azhar (Dar- al-Ifta), Syeikh Khaled Omran dalam sebuah laporan eksklusif stasiun berita Jerman, ARD.

Dar al-Ifta sudah menyiapkan ragam fatwa untuk menyesuaikan praktik ibadah di bulan Ramadan dengan arahan badan kesehatan dunia tersebut. Jika WHO menganjurkan orang tidak berpuasa lantaran bisa memperlemah sistem kekebalan tubuh, “maka umat harus membayar puasa yang tertinggal setelah krisis berlalu,” imbuh Syeikh Omran.

Meski berdampak baik untuk daya tahan tubuh dalam jangka panjang, puasa dikhawatirkan akan memperbesar peluang penularan dalam situasi wabah.

Di Indonesia, Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, menilai puasa tetap wajib, “kecuali uzur,” kata dia kepada DW. Pengecualian diberikan bagi pasien COVID-19, di luar pengecualian berpuasa pada umumnya.

Sejauh ini lembaga fatwa Nahdlatul Ulama itu belum memberikan arahan baru terkait kewajiban berpuasa. Lain halnya soal tradisi mudik yang kini dianjurkan untuk dibatalkan untuk meredam penyebaran wabah.

Arus mudik jelang lebaran tahun ini berpotensi menjadi pemandangan langka, menyusul himbauan agar tidak pulang ke kampung oleh pemerintah daerah.

Arus mudik jelang lebaran tahun ini berpotensi menjadi pemandangan langka, menyusul himbauan agar tidak pulang ke kampung oleh pemerintah daerah.

 

Sementara itu Kementerian Awqaf di Mesir yang bertanggungjawab atas semua institut keagamaan telah melarang praktik berbuka puasa bersama dan pembagian sedekah di area masjid.

“Kami mengimbau semua pihak yang biasa mengadakan acara berbuka puasa bersama agar memberikan makanan dan uang langsung kepada kaum miskin tahun ini,“ tulis kementerian dalam sebuah pernyataan.

Al-Azhar sendiri telah menerbitkan sederet panduan kebersihan untuk umat muslim selama bulan Ramadan, “kami meyakini tidak ada pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan. Penemuan sains kami anggap sebagai pesan Allah kepada umat manusia,” kata Omran.

“Kami melihat krisis ini sebagai ujian Ilahi. Kami yakin, Allah ingin mendorong seluruh umat manusia agar bekerjasama dan saling membantu,” pungkasnya.

Debat soal Pesakh Berjarak

Kelonggaran serupa diberikan oleh petinggi Yahudi di Israel untuk perayaan Pesakh yang jatuh antara 8 hingga 16 April mendatang. Wabah corona memaksa para Rabi mengabaikan aturan ketat pelaksanaan ritual dalam agama Yahudi dan mendorong agar umat merayakan Pesakh secara berjarak, lewat internet.

Israel saat ini mencatat sekitar 6.500 kasus COVID-19 dan melarang penduduk keluar dari rumah kecuali untuk keperluan mendesak.

Perayaan Serder, atau ritual makan malam Pesakh di Israel.

Perayaan Serder, atau ritual makan malam Pesakh di Israel.

Seorang pengusaha lokal bahkan menyumbangkan 10.000 komputer kepada kaum manula agar mereka bisa merayakan Seder bersama keluarga lewat sambungan video. Seder adalah ritual makan malam bersama pada hari-hari Pesakh.

Namun tidak semua bahagia atas kelonggaran baru di tengah wabah corona. Pemimpin dua komunitas Yahudi Ortodoks terbesar, Ashkenazin dan Sephardim, menolak perayaan Pesakh lewat sambungan video.

“Rasa kesepian itu menyakitkan dan kita harus bereaksi terhadapnya, mungkin dengan melakukan percakapan video pada malam sebelumnya, tapi bukan pada hari rayanya sendiri,“ tulis pemimpin kedua komunitas, David Lau dan Yitzhak Yosef dalam sebuah keterangan pers yang dilansir AFP.

Seorang pakar gerakan ortodoks Yahudi di Bar Ilan University, Kimmy Caplan, mengatakan sikap keras para rabi yang enggan menerima perubahan terkait wabah Corona tidak mengejutkan.

“Secara umum, sikap kaum Ortodoks dalam banyak isu adalah bahwa kita tidak beradaptasi pada perubahan sosial, jika bertentangan dengan perintah agama,“ kata dia. Para rabi, lanjutnya, “tidak mengubah hukum lantaran situasi sosial.“

Contoh terbaik adalah penggunaan kendaraan bermotor dalam perayaan Sabat yang diizinkan oleh banyak rabi Yahudi, kecuali mereka yang beraliran ortodoks, kata Caplan lagi.

rzn/vlz (ARD, AFP, RTR, AP)

 

Sumber: https://www.dw.com/id/wabah-corona-geser-tradisi-pesakhdan-ramadan/a-53027003?fbclid=IwAR24EJstEgiuepoXSJWb9Bb9MxZ7nAxRO6W-bWKqHO_Rywy2mAaOUaThOXA