Pos

Rumah Kita Bersama Gelar Penguatan Kapasitas “Cegah Kawin Anak”

Wartasulsel.net,- Makassar- Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) telah melakukan penelitian di Makassar bertemakan “Kawin Anak” dan sebagai salah satu tindak lanjutnya melakukan penguatan kapasitas untuk mencegah kawin anak kepada orang tua, remaja dan tokoh-tokoh formal dan non formal. Kegiatan ini berlangsung selama 3 hari dimulai pada tanggal 18-20 September 2018 di Hotel Grand Asia. Selasa (18/09/2018).

Perkawinan anak yang terjadi di seluruh dunia sedang menjadi sorotan lembaga-lembaga global sebagai salah satu penyebab yang menghambat perkembangan perekonomian sebuah negara dan keterpurukan perempuan dalam lingkup sosial, ekonomi dan pendidikan. Upaya untuk menghapus perkawinan anak didasari oleh semakin banyaknya bukti yang menunjukkan kerugian dan penderitaan yang diakibatkan olehnya. Anak-anak perempuan yang menikah ketika usia anak-anak menghadapi risiko kematian pada saat melahirkan, kekerasan seksual, gizi buruk, gangguan kesehatan dan reproduksi serta terputus dari akses pendidikan dan dijerat kemiskinan. Generasi selanjutnya yang dilahirkan oleh anak-anak berisiko mengalami gangguan pertumbuhan, dan gizi buruk.

Sulawesi Selatan masuk dalam zona merah perkawinan anak, menduduki posisi keempat tertinggi di Indonesia. Praktik kawin anak di wilayah ini bukan hanya terjadi di pedesaan, tapi juga merangsek ke wilayah perkotaan. Hasil penelitian Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), hal ini diakibatkan oleh kebijakan struktural melalui perubahan ruang hidup yang memaksa orang desa migrasi ke kota untuk bertahan hidup. Mengawinkan anak dianggap bisa mengeluarkan mereka dari himpitan beban hidup kemudian diperkokoh oleh tradisi dan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan yang keliru.

Sementara itu, Pengadilan Agama Makassar menyebut permohonan dispensasi nikah mengalami peningkatan setiap tahun. Tahun 2015 ada 25 perkara, tahun berikutnya 37 perkara, sedangkan tahun 2017, 71 perkara. Demikian pula permohonan cerai, meningkat setiap tahun. Penggugat cerai umumnya berusia di bawah 30 tahun.

Harus diakui, ada kekuatan lain yang memuluskan kawin anak, walaupun sudah ada larangan dari pemerintah dan lembaga-lembaga yang bekerja untuk perlindungan anak dan perempuan. Di Kecamatan Panakukkang, misalnya, tidak ada data pasti berapa angka kawin anak, tapi data dari Puskesmas setempat menunjukkan tingginya angka pemeriksaan ibu hamil di bawah usia 18 tahun. Selain menikah sirri, pemalsuan dokumen menjadi alternatif melangsungkan kawin anak. Hal ini tentu saja melibatkan tokoh-tokoh yang mempunyai otoritas untuk mengawinkan, baik formal maupun non formal.

Rumah KitaB melakukan penelitian di dua kelurahan di wilayah kecamatan Panakukkang, Makassar. Dua kelurahan itu, Sinre’jala dan Tammamaung. Tindak lanjut dari hasil penelitian itu adalah melakukan penguatan kapasitas untuk mencegah kawin anak kepada orangtua, remaja, dan tokoh-tokoh formal dan non formal. Dua kelompok, orang tua dan remaja sudah berlangsung. Ujar Mulyani Hasan

(RAF/redws)

Sumber: https://wartasulsel.net/2018/09/18/rumah-kita-bersama-gelar-penguatan-kapasitas-cegah-kawin-anak/

Sulsel Masuk Zona Merah Perkawinan Anak, Rumah Kitab Sarankan Kurikulum Kesehatan Reproduksi

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR – Perkawinan anak yang terjadi belakangan ini sedang menjadi sorotan lembaga-lembaga global. Perkawinan anak ini menjadi salah satu penyebab yang menghambat perkembangan perekonomian sebuah negara dan keterpurukan perempuan dalam lingkup sosial, ekonomi dan pendidikan.

Sulawesi Selatan sendiri masuk dalam zona merah perkawinan anak, dan menduduki posisi keempat tertinggi di Indonesia. Praktik kawin anak di wilayah ini bukan hanya terjadi di pedesaan, tapi juga merangsek ke wilayah perkotaan.

Hasil penelitian Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), hal ini diakibatkan oleh kebijakan struktural melalui perubahan ruang hidup yang memaksa orang desa migrasi ke kota untuk bertahan hidup. Mengawinkan anak dianggap bisa mengeluarkan mereka dari himpitan beban hidup, kemudian diperkokoh oleh tradisi dan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan yang keliru.

“Sekarang kita harus mendorong kepada tokoh agama, untuk memberikan kelonggaran dalam kemungkinan memasukkan kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi, bukan mengajarkan tentang seks, tetapi agar anak tahu menjaga tubuh mereka baik laki-laki maupun perempuan,”kata Direktur Rumah Kita Bersama, Lies Marcus Natsir di Makassar, Selasa (18/9/18).

Beberapa kasus kawin anak di Sulsel yang terekam oleh media menjadi sorotan publik. Di antaranya, kisah remaja Sekolah Menengah Pertama di Bantaeng. Sempat ditolak Kantor Urusan Agama setempat, sebelum dinikahkan atas izin dari Pengadilan Agama.

Lalu  awal bulan ini, seorang anak baru lulus Sekolah Dasar dikawinkan dengan anak Sekolah Menengah Atas. Mereka dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Pernikahan dianggap sah secara agama, tapi KUA setempat tidak memberikan izin.

“Harus diakui, ada kekuatan lain yang memuluskan kawin anak, walaupun sudah ada larangan dari pemerintah dan lembaga-lembaga yang bekerja untuk perlindungan anak dan perempuan,”lanjutnya.

Untuk kota Makassar, angka kawin anak juga tergolong tinggi. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Selatan menyebut pada tahun 2017, ada 11.000 anak sekolah tidak mengikuti ujian nasional karena sudah menikah. Sekitar 80 persen perempuan dan setengahnya akibat kehamilan tidak diinginkan.

“Walaupun pemerintah Provinsi telah menandatangani kesepakatan mencegah kawin anak, tapi butuh upaya lebih startegis lagi yaitu meningkatan pengetahuan dan kesadaran pihak-pihak kunci yang menentukan terjadi atau tidak terjadinya kawin anak,”jelasnya. (sul/fajar)

Sumber: https://fajar.co.id/2018/09/18/sulsel-masuk-zona-merah-perkawinan-anak-rumah-kitab-sarankan-kurikulum-kesehatan-reproduksi/

Pencegahan Perkawinan Anak di Bawah Umur Libatkan Tokoh Agama

Makassartoday.com – Perkawinan anak di bawa umur masih saja terjadi di beberapa daerah di Indonesia khususnya Sulawesi selatan, sehingga hal ini perlu menjadi perhatian serius.

Karena itu pihak Lembaga Rumah Kitab Makassar kemarin gelar Training Penguatan Kapasitas Tokoh Formal dan Non Formal dalam pencegahan perkawinan anak di hotel Grand Asia Selasa Pagi (18/09/18).

Direktur Rumah Kitab Lies Marcoes mengatakan selama ini persoalan kawin anak telah didekati dari sisi kerentanan sosial, kesehatan dan pendidikan serta hukum sehingga hal ini terus dilakukan pendekatan-pendekatan persial sehingga rumah kitab terus memberikan solusi terhadap pencegahan kawin anak di bawa umur.

Dalam Tarining ini melibatkan tokoh agama serta sejumlah lembaga –lembaga yang terkait dengan anak di kota Makassar.
(Rangga)

Sumber: http://makassartoday.com/2018/09/18/pencegahan-perkawinan-anak-di-bawah-umur-libatkan-tokoh-agama/

Pelatihan Pencegahan Perkawinan Anak Untuk Para Tokoh Formal dan Non Formal di Makassar, Sulawesi Selatan 18-20 September 2018.

Rumah Kita Bersama melaksanakan Pelatihan Pencegahan Perkawinan Anak Untuk Para Tokoh Formal dan Non Formal di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.

Kegiatan ini dilaksanakan pada 18-20 September 2018.

Para peserta berasal dari Pengadilan Agama, KUA Kec. Panakkukang, kecamatan Panakkukkang, Lurah Sinrijala, Kelurahan Tamamaung, Dinas kesehatan Pemkot Makassar, Dinas Pendidikan kota Makassar, para Guru dari beberapa sekolah di Makassar, media Cetak/Online, Imam kelurahan, ketua PKK , Rt/RW dan unsur Tokoh non Formal lainnya.

Hari Pertama, 18 September 2018

Pelatihan diselenggarakan melalui diskusi dan dialog aktif peserta

– Sambutan AiPJ2 dan Pembuka Acara, Mr. Peter

– Sesi Fakta dan data perkawinan Anak di Indonesia dan Sulawesi Selatan – ibu Lies Marcoes

– Sesi Hukum Nasional dan Hukum Internasional untuk pencegahan perkawinan anak – Bapak Wahyu Widiana

– Sesi Analisis Sosial dan Gender untuk memahami kerentanan perkawinan anak difasiltasi oleh Ibu Lies Marcoes

Pelatihan Penguatan Kapasitas Tokoh Formal dan Non Formal dalam Pencegahan Kawin Anak di Cirebon, 4-6 September 2018

Angka Kawin Anak di Kota Cirebon Tinggi, Ini Beberapa Penyebabnya

KOTA Cirebon merupakan satu di antara tiga wilayah di Indonesia yang menjadi konsentrasi pendampingan program pencegahan perkawinan anak yang dilakukan Rumah kitab (Kita Bersama). Karena angka perkawinan anak di Kota Cirebon terbilang tinggi.

Berdasarkan data Rumah Kitab, lembaga riset dan pendampingan yang berkantor di Jakarta, setidaknya 21 kasus perkawinan anak per semester pertama 2017. Rumah Kitab melakukan riset dan pendampingan di Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi tingginya kawin anak di Kota Cirebon. Beberapa di antaranya karena kehamilan yang tak diinginkan (KTD) dan kekhawatiran orang tua terkait pergaulan anak.

“Kasus kawin anak itu seperti gunung es. Artinya, angka 21 itu baru permukaan, yang tercatat di Bimas. Nyatanya, masih banyak data yang tak tercatat,” kata Project Officer Program Berdaya Rumah Kitab, Jamaludin Mohammad, usai acara pelatihan Pencegahan Pernikahan Anak di Metland Cirebon, Kamis (6/9).

Karena itu pelatihan program pencegahan perkawinan anak di Metaland Kota Cirebon, selama tiga hari, Selasa-Kamis (4-6/9), menjadi penting. Selama tiga hari peserta yang merupakan representasi kelompok remaja, orang tua, tokoh formal dan non formal diberi penguatan kapasitas dalam pencegahan kawin anak.

Selain Kota Cirebon, wilayah dampingan Rumah Kitab dalam pencegahan perkawinan anak juga dilakukan di Kota Makassar dan Cilincing, Jakarta Utara. Rumah Kitab melakukan dampingan sejak April 2017 ampai Juli 2019.

Hari kedua pelatihan, hadir Wahyu Widian, ketua Badan Penasihat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4). Dia memaparkan pencegahan kawin anak dari tinjauan hukum nasional dan internasional.

Dari tinjauan hukum nasional, Wahyu menyebut, undang-undang perkawinan di Indonesia masih belum melindungi hak anak. Banyak praktik kawin anak yang akibatnya merugikan masa depan anak itu sendiri.

Wahyu menyebutkan data angka kawin anak di Indonesia 1 banding 9. Indonesia juga peringkat ke-7 di dunia terkait tingginya angka kawin anak.

Hal itu tidak lain karena regulasi di Indonesia yang tidak melarang anak di bawah umur untuk menikah.Undang-undang (UU) Perkawinan Indonesia No. 1/1974 Pasal 7 menyebutkan, “Batas minimal usia perkawinan adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.”

Menurut Wahyu, menjadi kontraproduktif dengan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satunya, definisi anak yang disebutkan dalam UU tersebut adalah seorang yang belum berusia 18 tahun. Termasuk anak yang masih dalam kandungan.

“Ketentuan perundangan menyatakan perlu adanya perlindungan dan pemenuhan hak anak. Tapi tak ada satu pun (perundangan) yang melarang adanya perkawinan anak yang jelas-jelas merugikan kepentingan anak,” kata ahli Falak ini.

Karena itu menurut Wahyu, pencegahan perkawinan anak harus dilakukan seluruh komponen masyarakat. Dengan menggunakan celah-celah hukum yang ada. Serta mengupayakan hukum yang progressif di masa mendatang.

KH Husein Muhammad dari Pondok Pesantren Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, juga hadir mengupas masalah perkawianan anak dari tinjauan hukum Islam. Menurutnya, banyak ulama berbeda pandangan terkait teks pernikahan anak dalam Alquran maupun Hadis.

Kiai Husein menyebut, beragam pandangan ulama fiqh tentang batas usia minimal kedewasan seseorang menjadi sumber rujukan undang-undang perkawinan di dunia Islam. Tanda batas usia dewasa pada anak lazimnya ulama berpendapat, perempuan sudah menstruasi dan laki-laki mimpi basah.

Karena itu, dalam UU Perkawinan di Indonesia terkait batas minimal usia, perempuan 16 tahun dan perempuan 19 tahun. Beberap negara muslim juga terkait batas usia minimal perkawinan tidak sama.

Tapi dari sekian pendapat yang berbeda, menurut kiai feminis itu, hukum tetap harus mempertimbangkan prinsip kemaslahatan dan kesehatan reproduksi. Di mana calon pengantin harus kuat secara reproduksi, mental, dan ekonomi. “Kebijakan pemerintah untuk rakyatnya adalah kemaslahatan mereka,” tegasnya mengutip kaidah fiqh.

 

Direktur Rumah Kitab Lies Marcoes-Natsir menyebutkan, tradisi/budaya, ekonomi, politik, keyakinan merupakan instrumen yang melegitimasi suburnya praktik kawin anak. Selain itu, wilayah yang mengalami keruskan ekologi biasanya marak kawin anak.

Dampaknya, kemiskinan struktural dan anak menjadi yatim piatu secara sosial, merupakan beberapa dampak perkawinan anak. Karena secara mental, kesehatan reproduksi dan ekonomi, anak di bawah umur sejatinya belum siap.

Karena itu pula Rumah Kitab bersama beberapa lembaga lainnya yang konsentrasi terhadap isu perlindungan anak dan perempuan melakukan Judicial Review terkait  UU Perkawinan Indonesia No. 1/1974 Pasal 7 ke Mahkamah. Konstitusi. Hasilnya, MK menolak.

Namun, tidak menyurutkan Rumah Kitab untuk tetap mengampanyekan pencegahan kawin anak. Karena praktik kawin anak nyatanya lebih banyak merugikan dari berbagai aspek.

Terlebih menurut Lies, regulasi hanyalah permukaan. Layaknya gunung es, di bawah permukaan yang merupakan kelembagaan tersamar, banyak aktor dan faktor, jauh lebih kompleks permasalahan praktik kawin anak.

Sehingga, Rumah Kitab bekerja di ruang-ruang relasi tersamar tersebut dengan malakukan advokasi baik litigasi maupun non litigasi. “Karena seperti gunung es, di bawah permukaan seperti relasi tersamar, menjadikan praktik kawin anak tetap subur. Di sinilah Rumah Kitab bekerja,” kata Lies menjelaskan.

Hari ketiga, semua peserta pelatihan melakukan review dan membuat rencana tindak lanjut melakukan kegiatan serupa. Dengan metode sistematis (tertib), measurable (terukur), achievable (tercapai), reasionable (masuk akal) dan time boun (ketepatan waktu) diharapkan dapat menekan angka praktik kawin anak di Kota Cirebon. (hsn)

 

Source: http://www.radarcirebon.com/angka-kawin-anak-di-kota-cirebon-tinggi-ini-beberapa-penyebabnya.html/3

Trend Perkawinan Anak Meningkat

CIREBON, (KC Online).-

Trend perkawinan pada anak di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun. Mirisnya, perkawinan pada anak tidak hanya terjadi di wilayah perkampungan, namun saat ini telah merambah ke wilayah perkotaan.

Selain minimnya edukasi, publikasi dan advokasi yang disebabkan berbagai aspek yang kompleks juga diperlukan pemahaman semua elemen akan dampak yang diakibatkan kedepan. Oleh karenanya, sebuah lembaga yang fokus mengawal pada perlindungan anak, yakni Rumah KitaB (rumah kita bersama) menggelar pelatihan program berdaya dengan tema “Penguatan Kapasitas Tokoh Formal dan Non Formal dalam Pencegahan Kawin Anak” yang berlangsung selama tiga hari, mulai 4 sampai 6 September 2018, di salah satu hotel di Kota Cirebon.

Direktur Rumah KitaB, Lies Marcoes Natsir menyebutkan, program yang digagas yakni guna melakukan pemberdayaan perempuan melalui penguatan kapasitas kelembagaan formal dan non-formal. Mulai dari keluarga dan remaja dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

Menurutnya, Indonesia saat ini telah berkomitmen untuk melakukan pencegahan perkawinan anak guna memenuhi hak-hak perempuan dan anak serta mencapai target-target pembangunan kemanusiaan seperti SDGs. “Program Berdaya Rumah KitaB bertujuan memberi kontribusi pada upaya menurunkan perkawinan anak di Indonesia. Secara lebih khusus, Rumah KitaB bekerja di wilayah urban dan pesisir di Jakarta Utara, Cirebon dan Makassar,” kata Lies dalam pemaparan materinya.

Pihaknya menyebutkan, dalam pelaksanaan program mendapat dukungan dari KPPPA, Kementerian Agama, Badan Peradilan Agama serta dukungan teknis dari program Kerjasama Bappenas dengan Pemerintah Australia melalui program bantuan yang dikelola oleh AIPJ2.

Hal itu dilakukan dalam mencapai tujuannya secara optimal, serta melihat perlunya perubahan di tingkat pemimpin atau tokoh formal dan non-formal. Tentunya, khusus pada orangtua dan kalangan remaja terutama anak perempuan, dan di ranah kebijakan serta norma sosial.

“Empat aktor dan faktor ini berdasarkan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Rumah Kitab di lima provinsi dan dua kota. Ini merupakan elemen yang berpengaruh pada praktik kawin anak. Sehingga, penurunan praktik dan jumlah kawin anak tidak akan dapat terjadi tanpa adanya perubahan cara pandang, keyakinan, pengetahuan, sikap dan keberpihakan dari aktor-aktor tadi,” ungkapnya. (C-13)

Sumber: http://www.kabar-cirebon.com/2018/09/trend-perkawinan-anak-meningkat/

Rumah KitaB Latih Pencegahan Kawin Anak

CIREBON-Rumah KitaB didukung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melaksanakan pelatihan pencegahan perkawinan anak di Metland Hotel Jl Siliwangi, Selasa-Kamis (4-6/9).

Tujuannya, menurunkan angka perkawinan anak di bawah umur yang berlangsung di tengah masyarakat. Kegiatan yang bertajuk “Penguatan Kapasitas Tokoh Formal dan Non Formal dalam Pencegahan Kawin Anak”, diikuti 35 peserta dari berbagai elemen.

Hadir di hari pertama sebagai pembicara sekaligus Direktur Rumah KitaB, Lies Marcoes-Natsir. Lewat metode partisipatories, Lies memaparkan pentingnya kesadaran tentang dampak buruk perkawinan anak. Selain itu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para aktor di kelembagaan formal dan nonformal, orang tua dan remaja terkait pencegahan perkawinan anak.

Lies menyebutkan, tidak punya identitas hukum, tidak punya legalitas formal, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), menjadi dampak yang akan dialami anak. “Penyebabnya banyak, di antaranya adat, tradisi, pemaksaan hubungan, keluarga tidak harmonis dan tidak ada bimbingan,” sebutnya.

Dari kasus perkawinan anak, perempuan paling banyak dirugikan. Kasus diskrimansi, kekerasan, beban ganda, subordinasi dan pemiskinan lebih banyak dirasakan perempuan akibat persepsi masyarakat awam yang tidak adil atas gender.

Lebih jauh Lies membuat simulasi dengan melibatkan peserta pelatihan. Semua peserta diberi kertas warna merah muda dengan hijau. Merah muda sebagai simbol perempuan, dan hijau untuk laki-laki.  Setiap peserta menuliskan satu kata pada kertas yang dibagikan identitas perempuan dan laki laki. Setelahnya data dipampang di media yang disediakan lalu dianalisis bersama. Hasilnya, nyaris semua peserta menjawab berdasarkan steorotype atau prasangka.

“Nyatanya, yang bersifat kodrat hanyalah janis kelamin. Adapun identitas pemimpin, kuat, domestik, publik, dan lainnya hanyalah gender. Semua bisa dilakukan kaum laki maupun perempuan,” tutur Lies.

Selain itu, Lies menjelaskan tinjauan sosial dan hukum terkait praktik perkawinan anak. Harapannya, menjadi bekal pengetahuan dan keterampilan peserta dalam pencegahan praktik kawin anak. Pelatihan pun masih berlanjut hari ini sampai besok. (hsn)

Sumber: http://www.radarcirebon.com/rumah-kitab-latih-pencegahan-kawin-anak.html

ITACI SATUKAN REMAJA CILINCING CEGAH KAWIN ANAK

Andriantono atau biasa disapa Andre adalah salah satu penerima manfaat dari program BERDAYA untuk remaja di Cilincing yang berhasil mengangkat isu cegah kawin anak ke dalam seni pertunjukan lenong. Meminati lenong sejak muda, Andre melihat materi pelatihan pencegahan kawin anak sebagai materi yang cocok diceritakan kembali dalam bentuk sandiwara khas Betawi itu. 

Kali pertama Andre berakting di teater pada 2010. Ia mengenang, ketika itu  teman-temannya  di RW 06, Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara heran atas pilihannya yang dianggap sudah ketinggalan zaman.

Andre, yang saat itu masih duduk di Sekolah Teknik Menengah (STM), memang menggemari seni peran. Di luar sekolah, Andre sering ikut kegiatan yang diselenggarakan beberapa lembaga swadaya masyarakat untuk seni pertunjukkan dan teater, salah satunya dengan World Vision, beberapa tahun silam, dalam rangka Hari Anak dan Kampanye Hak Anak. Rupanya ia begitu terpikat pada dunia seni dan pertunjukkan, termasuk lenong.

Hobi menggeluti dunia seni peran itu tidak terhalang meski kini ia bekerja penuh waktu sebagai petugas keamanan di pelabuhan Tanjung Priok-Cilincing. Ia rutin melatih sepuluh anak muda yang tergabung dalam kelompok kecil yang menjadi bagian dari jaringan ITACI (Ikatan Teater Cilincing).  Ia ditemani Jumadi yang sehari-hari bekerja sebagai petugas bongkar pasang tenda acara. Sebagaimana Andre, Jumadi bergabung dalam seni peran karena kecintaannya pada musik.

Menarik minat anak muda dalam kegiatan seni di RW 06 bukan perkara gampang. “Kebanyakan mereka kehilangan minat pada kegiatan seni karena lebih suka nongkrong, main medsos, atau ikut dalam geng-geng sepakbola,”  demikian Andre menjelaskan betapa sulitnya mengajak remaja aktif dalam dunia seni.

Senada dengan Andre, Jumadi melihat bahwa sebetulnya remaja setempat membutuhkan kegiatan positif. “Waktu bulan puasa kemarin banyak remaja keliling dalam rombongan sahur. Tapi ujung-ujungnya, malah  hampir tawuran,” tambahnya.

Pergaulan remaja yang berujung pada kawin anak juga bukan hal yang asing bagi Andre, Jumadi, dan warga Kalibaru. Himpitan ekonomi dan rasa tidak nyaman berkomunikasi dengan orang tua, mendorong sebagian remaja menghabiskan waktu dengan kawan sebaya namun tanpa bimbingan. Hadirnya medsos juga mempengaruhi interaksi mereka. “Beberapa teman yang nikah muda tidak selalu dengan orang dari kampung sini. Ada juga yang kenalan dengan orang dari luar [Kalibaru] lewat Facebook atau chatting,” ujar Andre.

Berdasarkan data Susenas 2013 yang diolah Statistik Kesejahteraan Rakyat, anak perempuan di DKI Jakarta yang menikah di bawah usia 15 tahun sebanyak 5,6%, usia 16-18 tahun sebanyak 20,13% dan usia 19-24 tahun sebanyak 50,08%.[1]  Dengan jumlah penduduk yang padat jumlah pelaku kawin anak di DKI lumayan banyak.

Hasil asesmen Achmat Hilmi, Program Officer Berdaya Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) di Kalibaru tercatat, tahun 2017, sebanyak 20 persen perempuan melahirkan di Puskesmas Kalibaru ketika berusia anak-anak (di bawah 18 tahun). Asesmen tersebut, juga mencatat faktor penyebab perkawinan anak di sana antara lain karena kehamilan tidak dikehendaki, orang tua khawatir anaknya hamil duluan, budaya/tradisi sebagian masyarakat dari kampung halamannya seperti Sulawesi Selatan, Riau, dan Jawa Barat, yang menikahkan anak di bawah umur, maraknya anak-anak putus sekolah yang beralih profesi menjadi buruh kasar, serta banyaknya masyarakat dan para tokoh formal dan non formal yang belum menyadari bahaya perkawinan anak terhadap anak-anak perempuan.

Kesempatan bagi Andre untuk memahami isu kawin anak berawal ketika Bapak Haji Karim, Ketua RW 06 Kelurahan Kalibaru memintanya untuk mengajak dan mendampingi beberapa remaja mengikuti pelatihan pencegahan kawin anak bagi remaja di Kalibaru yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB pada 29 Juni – 1 Juli 2018. Pelatihan ini adalah rangkaian dari pelatihan pencegahan kawin anak di tiga wilayah – Cilincing, Makassar, dan Cirebon bagi remaja, orang tua, serta tokoh formal dan non-formal serta didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

Tidak lama usai pelatihan, Komar, pembina Ikatan Teater Cilincing (ITACI), mengajaknya berpartisipasi dalam kompetisi Festival Lenong yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. “Saya usulkan ke teman-teman, kenapa kita tidak coba menampilkan tema kawin anak? Festival ini juga untuk memperingati Hari Jadi Kota Jakarta yang diperingati setiap tahunnya sekaligus menyambut  datangnya hari anak nasional”. Acara  diselenggarakan pada 16-20 Juli 2018 atau tepat dua minggu setelah pelatihan pencegahan perkawinan anak khusus remaja di Kalibaru. Lenong kan sifatnya menghibur, jadi pesan pencegahan bisa sampai dengan gaya ringan”,  ucap Andre mengenai strateginya sosialisasi “Cegah Kawin Anak” melalui lenong.

Andre dan Komar kemudian menulis skenario serta melatih sekitar 10 remaja sebagai pemeran lenong. Mengangkat tema perjodohan seorang anak perempuan di sebuah keluarga di Cilincing, skenario itu banyak menyelipkan fragmen sehari-hari antar kawan, orang tua dan tokoh masyarakat. “Misalnya, ada karakter seorang anak perempuan yang baru lulus SMP dan menyampaikan keinginannya untuk buru-buru nikah. Karena memang seperti itu obrolan anak-anak Kalibaru,” tambahnya.

“Selain resiko kawin anak, kami juga menyampaikan pesan bahwa sebagai anak, kita bisa mengemukakan pandangan yang berbeda dari orang tua tanpa melakukan pemberontakan. Tentu saja alasan kita adalah untuk kebaikan, bukan sekedar tidak mau nurut dengan orang tua,” jelas Andre.  Meskipun tidak menang kompetisi, ITACI dan Festival Lenong telah menyatukan remaja-remaja Cilincing untuk terus berkreasi dan menyebarkan pesan cegah kawin anak.

Bersama Program BERDAYA, Andre dan kawan-kawan yang tergabung dalam teater kecil di RW 06 serta ITACI, akan mengisi berbagai kegiatan advokasi pencegahan kawin anak. Di antaranya melalui kegiatan lenong dan sanggar tari, penyuluhan remaja-remaja Kalibaru tentang pengenalan bahaya dan risiko kawin anak di sekolah-sekolah dan di pos-pos RW untuk remaja putus sekolah. Mereka tengah menggagas kampanye kreatif dengan memasang berbagai gambar kreatif bertema bahaya kawin anak di berbagai pusat kegiatan remaja termasuk di lokasi remaja berkumpul. [Hilmi/Mira]

Andre (tengah) saat acara festival lenong di Jakarta

[1] http://kajiangender.pps.ui.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/Hari-1-sesi-1-Razali-Ritonga.pdf, diakses tanggal 27 Agustus 2018

Cerita Pelatihan BERDAYA Makassar

Bagaimanapun orangtua menjadi benteng paling depan untuk mencegah kawin anak.

Di Sulawesi Selatan, kawin anak bukan hanya didorong oleh faktor kemiskinan dan fundamentalisme agama, tapi juga didukung oleh nilai adat dan tradisi.

Banyak perjodohan dilakukan untuk mengamankan aset, merekatkan kembali silsilah keluarga dan menghindari rasa malu.

Ada pula semacam kepercayaan bahwa ketika menolak lamaran lakilaki, keluarga perempuan bisa kena karma. Tak peduli berapapun usia si anak perempuan yang dilamar itu.

Di bawah ini, gambar kegiatan training penguatan kapasitas orangtua untuk mencegah kawin anak yang berlangsung 24-26 Agustus 2018 oleh Rumah KitaB.

Para orangtua bermukim di wilayah Panakkukang, daerah padat penduduk, dimana kawin anak banyak terjadi.

Seorang ibu menangis ketika melihat simulasi tentang seorang anak yang jadi buruh migran, dipaksa menikah oleh orangtuanya supaya bisa berangkat ke Arab Saudi untuk bekerja. Anak itu diperkosa oleh “suami” nya. Dalam keadaan hamil jadi pekerja rumahtangga di Arab Saudi. Diperkosa oleh majikan dan anak majikannya, sambil disiksa. Si anak berakhir dihukum mati, karena membunuh majikan yang biadab.
Membayangkannya saja kami sudah tidak sanggup.

Ibu-ibu dan bapak-bapak, semangat yah!

– Mulyani Hasan –