Pos

Belajar dari Anime One Piece: Membela Kelompok al-Mustadh’afin

Menyambut kemerdekaan, publik dihebohkan dengan kehadiran bendera One Piece. Alih-alih mempersiapkan lingkungan untuk mengibarkan Sang Saka Merah Putih, yang terjadi justru pengibaran bendera animasi. Lebih riskan lagi, pemerintah menanggapi dengan serius bahkan mengancam pidana bagi siapa pun yang mengibarkan bendera tersebut.

Padahal pengibaran bendera One Piece perlu dilihat sebagai gerakan perlawanan masyarakat yang jenuh dengan drama di negara ini. Sebatas mempersoalkan atribut justru kontraproduktif untuk melihat hal yang lebih substansial. Mengapa harus One Piece? Apa pesan tersirat dari gerakan masif ini?

Bagi para penikmat anime terlaris sepanjang sejarah ini tentu tidak susah untuk mengambil pelajaran berharga. Sebab meski fiksi, kisahnya begitu nyata terasa terjadi. Anime One Piece berisi cerita perjalanan Monkey D. Luffy dalam mengarungi lautan luas. Sebagai bajak laut, ia mencoba mencari harta karun terpendam yang disebut One Piece. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan banyak orang dan membentuk aliansi gerakan melawan ketidakadilan. Aliansi tersebut kemudian berkumpul menjadi kru bajak laut topi jerami.

Uniknya, berbeda dengan bajak laut lain yang justru menindas, Luffy memilih jalan sepi sebagai bajak laut yang berdiri bersama kelompok tertindas. Spirit perlawanan, teologi pembebasan, atau merangkul kelompok al-mustadh’afin begitu kuat. Al-Mustadh’afin adalah mereka yang lemah dan dilemahkan oleh sistem yang mengakar.

Eiichiro Oda, sang kreator anime ini begitu sering mengangkat kelompok lemah melawan para penjajah. Dalam ceritanya, kita disuguhkan dengan maraknya konflik sengketa tanah, penindasan dan kerusakan lingkungan. Pelakunya adalah pemerintah dunia yang bekerja sama dengan bajak laut kuat yang dilindungi, disebut Shichibukai. Kedua peran ini menjadi simbol bertemunya kepentingan oligarki dan pengusaha yang saling menguntungkan, tetapi dengan mengorbankan hajat masyarakat.

Luffy adalah simbol dari perlawanan melawan oligarki dan keserakahan. Ia berdiri bersama bahkan merangkul orang-orang yang terpinggirkan. Dalam kru bajak lautnya, ada Nami dan Robin yang merupakan perempuan sekaligus korban penggusuran.

Nami adalah simbol perempuan yang menjadi korban berlapis. Keluarganya dibantai, kebun jeruknya diambil alih, ia dipaksa tunduk serta kampungnya dikuasai bajak laut. Robin pun demikian, ia adalah sosok anak perempuan yang menjadi korban pembantaian. Dia satu-satunya penyintas yang berhasil bertahan hidup. Kampungnya dibakar total oleh pemerintah karena mengkaji sejarah yang sengaja ditutupi oleh otoritas dunia. Dalam bagian ini pula, tergambar dengan jelas bagaimana otoritas mempunyai kuasa untuk mengatur ilmu pengetahuan mana yang boleh disebarkan dan mana yang harus dilarang.

Kisah tersebut memang fiktif, tetapi dapat dijumpai relevansinya dalam kehidupan nyata. Ada banyak korban penggusuran di negeri ini. Mereka yang terusir dari kampung dengan dalih pembangunan nasional. Pun korban pembantaian juga tak kalah mengerikan. Negara ini punya masa lalu kelam, seperti kejadian tahun 1965 dan 1998. Banyak korban yang dipaksa diam dan sejarah yang dibungkam.

Ada lagi sosok Sanji yang ditolak oleh keluarganya. Ia menjadi korban pengucilan dari orang terdekat. Ia ditendang dan dibuang dari rumah. Ada berapa banyak anak-anak yang terlantar, dibuang ketika baru mengenal dunia. Lantas tumbuh menjadi anak yang tak pernah merasakan kasih sayang.

Kalau mau didata, sepuluh anggota kru bajak laut Luffy merupakan representasi dari kelompok al-mustadh’afin. Perempuan, anak-anak, buruh, hewan, orang tua dan kelompok difabel. Inilah pesan utama yang seharusnya menggema dari perlawanan mengibarkan bendera One Piece.

Bendera hanyalah sebatas atribut yang tak punya spirit kalau tidak dihayati dengan semangat perlawanan. Sebab boleh jadi, banyak pula orang di luar sana yang mengibarkan bendera One Piece sebatas mengikuti tren. Maka bagi mereka yang saat ini masih ikut-ikutan, edukasi inilah yang penting untuk disebarluaskan. Bendera ini adalah simbol perjuangan. Tetapi kita tidak boleh diam hanya karena benderanya gagal dikibarkan.

Kisah yang serupa dapat dijumpai juga dalam kitab suci. Dalam surah al-Kahfi yang sering dilantunkan pada hari Jumat, ada kisah Raja Zulqarnain melawan kelompok Ya’juj dan Ma’juj. Zulqarnain adalah sosok pengelana yang berkeliling dunia. Ia berlabuh di satu tempat, kemudian lanjut ke tempat lain. Hingga pada satu kesempatan, ia tiba di satu tempat yang dikuasai oleh kelompok pembuat onar. Sebagaimana yang termaktub dalam surah al-Kahfi ayat 94:

قَالُوْا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِنَّ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ مُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلٰٓى اَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا

Mereka berkata, “Wahai Zulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj adalah (bangsa) pembuat kerusakan di bumi, bolehkah kami memberimu imbalan agar engkau membuatkan tembok penghalang antara kami dan mereka?”

Ayat tersebut menghadirkan tiga kelompok dengan perannya masing-masing. Ada warga yang tempatnya ditindas, Ya’juj dan Ma’juj sang penindas, dan Zulqarnain sang pembebas. Sebagaimana Luffy, Raja Zulqarnain berdiri bersama kelompok yang dizalimi.

Karenanya, kehadiran bendera One Piece harus disikapi dengan cara kritis. Tidak sebatas gerakan populis, euforia One Piece menjadi semangat baru melahirkan gerakan perlawanan. Terutama karena agama pada dasarnya bersama kelompok yang lemah dan dilemahkan.

MENCOBA MEMAHAMI KONFLIK BENDERA

“Kesucian” atau “sacredness” di kalangan masyarakat dapat melekat pada banyak hal termasuk pada text, kata, kalimat, hewan, tumbuh-tumbuhan, tempat, benda dan banyak lagi. Ada kata “Allahu Akbar” “Haleluya”, ada tempat suci “Vatikan”, “Mekkah”, dan juga ada bangunan sakral seperti “Masjid” “Kuil” dll.

Di India, hewan sapi dianggap hewan “suci” oleh umat Hindu. Karena itu, bila ada yang mengganggu atau apalagi menyembelihnya untuk dikonsumsi dan dilakukan di tengah perkampungan Hindu di India, akan dilihat sebagai tindakan “offensive”. Konflik Islam dan Hindu di India, konon seringkali dibumbui oleh ceritera bahwa orang Islam adalah “musuh” pemeluk Hindu karena orang Islam dipersepsikan sebagai orang yang sering “tak menghormati” dan “menyakiti” hewan suci mereka. Coba baca ini:

https://www.theguardian.com/…/muslim-man-dies-in-india-afte…

https://www.google.com/…/rumors-of-cow-killings-in-india-de…

https://www.npr.org/…/indias-ban-on-beef-leads-to-murder-an…

Dalam pandangan “secular religion” (istilah Robert N Bellah), sebuah bangsa, dalam kadar tertentu juga ada hal hal yang “disucikan”. Bendera kebangsaan dalam derajat tertentu dianggap sebagai simbol “suci”. Ada simbol suci lain seperti lagu kebangsaan, makam pahlawan dll.

Saat bendera kebangsaan mereka dibakar, warga bangsa terkait tentu akan cenderung tersinggung dan marah. Semakin dalam ikatan emosi seseorang pada simbol “suci” itu (bendera), akan semakin meradang saat melihat bendera “kesuciannya” dibakar.

Bila perspektif ini diterapkan dalam memahami apa yang baru terjadi di negeri kita, yaitu pembakaran bendera yang di dalamnya ada kata tauhid, jelas sekali konflik terkait dengan perbedaan dalam pemberian makna terhadap bendera dan text yg menyatu dalam bendera itu.

Konflik terjadi karena ada dua kelompok yang menafsirkan berbeda terhadap makna simbol bendera itu, yaitu: kelompok yang memberi makna bahwa pembakaran bendera itu semata-mata bagian ekspresi kemarahan terhadap kelompok yang dianggap mengancam NKRI (simbol bendera gerakan makar), dan kelompok lainnya, memberi makna bahwa bendera itu sebagai bendera suci, di dalamnya terkandung text suci tauhid, lambang perjuangan Rasul.

Apakah kedua tafsir itu memiliki landasan kuat? Itu soal lain. Yang jelas, masing-masing kelompok saling berupaya melakukan pembenaran. Intensitas konflik terlihat menguat justru karena panjangnya perdebatan emosional yang seringkali dibungkus argumen kesakralan. Ditambah lagi, argumen-argumen yang disajikan itu banyak yang dibawakan melalui orasi-orasi yang “membakar massa.” Ada semacam kontes pidato heroik berebut simpati massa pengikut, seperti akan menyiapkan perang saja (walau menghadapi saudaranya sendiri…hehe). Saya menduga, tanggapan terhadap tulisan ini juga akan ada yang meluap-luap, emosional (semoga tak banyak).

Fokus konflik terletak pada pemaknaan arti aksi pembakaran pada “bendera secara keseluruhan,” dan pada “kalimah tauhid” yang tertulis dalam bendera itu.

Pembakaran terhadap bendera dimaknai sebagai ekspresi “penghinaan” terhadap text tauhid, yang dilihat sebagai simbol suci Islam, atau simbol perjuangan Rasul. Di sisi lain, para pembakar bendera dan pendukungnya melihat aksi itu sama sekali tak ada hubungannya dengan penodaan simbol tauhid (simbol Islam). Apalagi mereka sendiri juga umat Islam.

Di sini letak masalahnya:

Tafsir “simbol kelompok makar”

vs

Tafsir “simbol suci tauhid, perjuangan Rasul”.

Yang memprihatinkan, kedua kelompok yang berkonflik tafsir ini adalah sama sama bagian umat Islam, yang tentu keduanya memiliki keterkaitan emosional terhadap simbol tauhid itu (sebagai text suci). Bayangkan apa yang terjadi bila pembakar bendera itu dilakukan kelompok non-muslim. Apa jadinya?

Namun, pemahaman terhadap konflik ini tentu dapat meluas, tak semata karena soal tafsir. Bisa jadi konflik tafsir ini sekedar alat saja. Konflik sebenarnya terkait dg perebutan kekuasaan, baik dalam lingkup global maupun nasional.

Perlu diingat, walaupun bisa jadi konflik ini sekedar alat dalam perebutan kekuasaan, namun bermain dengan “alat” ini dalam perebutan kekuasaan, apinya bisa melebar tak terkendali. Nyawa saudara sesama bangsa dapat melayang. Bahkan kehidupan bangsa juga bisa berantakan. Lihat Syiria, Iraq, Libya, dan kini juga Yaman?

Mari kita berdoa semoga bangsa ini selamat dalam menjalani ujian ini.

#Imam B. Prasodjo (bukan Profesor).

#iPras2018