Pos

rumah kitab

Merebut Tafsir: Rohingya dan Cara Orang Aceh Menyambut Tamu

Oleh Lies Marcoes

Minggu ini, pantai Utara Aceh kembali kedatangan tamu, para pengungsi Rohingya. Ketika aparat berupaya mengikuti protokol pengaturan pengungsi plus penanganan covid-19, orang Aceh sudah memasak timpan, makanan berbalut daun pisang terbuat dari tepung ketan, santan dan gula merah, penanda mereka siap menerima tamu.

Tahun 2016-2017 untuk pepentingan penelitian tentang perempuan Rohingya di pengungsian, saya mengamati dari dekat tinggal bersama para pengungsi di tenda-tenda mereka. Dari sana saya memiliki catatan tentang cara orang Aceh menghadapi gelombang pengungsi Rohingya yang masuk lewat perairan mereka.

Orang bisa berandai-andai, apa jadinya jika manusia perahu ini berlabuh di tempat lain. Tapi Aceh punya sejarah panjang perjumpaan mereka dengan tamu-tamu yang muncul di kuala dan pantai mereka. Karenanya tak perlu mengajari bagaimana cara orang Aceh menyambut tamu. Mereka adalah anak bangsa yang punya budaya teladan “peumulia jamee” – memuliakan tamu; sebuah laku hidup yang telah mendarah daging dan menyangkut harga diri serta keyakinan mereka. Secara adat, para nelayan Aceh pantang menolak siapapun yang tersesat di tengah laut. Semenanjung Aceh adalah pintu gerbang Nusantara yang senantiasa terbuka bagi kaum rantau dari seluruh penjuru dunia, bahkan sejak berabad silam sebelum kolonial datang dan memanfaatkan keramahan mereka dengan muslihat.

Belakangan, mereka juga mendapat pelajaran penting bagaimana mengelola bencana tsunami. Menerima takdir melepas sanak saudara dan sahabat yang hilang ditelan gelombang, menjamu para tetamu dari berbagai penjuru dunia, berkawan, atau bertengkar dengan para relawan penanggulangan bencana dan bernegosiasi soal damai dari konflik yang menahun. Bahkan pengalaman pahit mereka di masa konflik niscaya juga tak hanya meninggalkan luka, tetapi juga nilai-nilai tentang berbagi di kala sulit. Maka tak heranlah jika ratusan orang Rohingnya yang mereka pandu dari tengah laut hingga ke pantai, mereka sambut sebagai saudara yang hilang. Meski negara Indonesia tak punya perjanjian dengan negara manupun terkait pengungsi, orang Aceh telah mendahuluinya dengan menerima mereka dan bukan mengusirnya.

Namun pada kenyataannya, para pendatang itu bukanlah tetamu biasa yang dapat diajak singgah, sebagaimana dikisahkan dalam tradisi Peumulia Jamee. Dalam laporan kami, antropolog Dr. Reza Idria menuliskan dengan sangat apik budaya Peumulia Jamee sebagai budaya tinggi orang Aceh yang harus berhadapan dengan aturan-aturan baru antar negara. Tunduk pada aturan internasional dan kesepakatan antar negara, para tetamu itu ditetapkan sebagi pengungsi antar negara atau refugees. Dan atas nama aturan, mereka diperlakukan dengan standar baku layanan bagi pengungsi yang diatur oleh lembaga-lembaga internasional, seperti UNHCR atau oleh NGO internasional urusan pengungsi seperti IOM. Konsekuensinya, mereka tak terhindar dari penyeragaman penanganan.

Di pengungsian, mereka diperlakukan sama rata. Itu jelas penting dan prinsip. Namun, pada kenyataannya, warga pengungsi tak sama dan serupa. Minimal mereka beda jenis kelamin, umur, bahkan keadaan fisik, pendidikan, serta asal-usulnya. Dan dengan adanya pengakuan akan keragaman itu, maka perlakuan berbeda dan khusus akan menggenapkan perlakuan yang sama rata, namun belum tentu sama adil.

Untuk urusan pemisahan ruangan berdasarkan jenis kelamin, itu merupakan langkah pertama yang dianggap paling penting di camp manapun. Bagi Aceh, itu lebih utama. Bukan saja untuk kepentingan para pengungsi, melainkan juga demi menghormati semangat penerapan Syariat Islam di Aceh. Namun, sesuai dengan stereotipenya, semua anak-anak disatukan dengan perempuan meskipun tak sedikit mereka datang sebagai keluarga, pasangan suami istri, dengan anak-anak mereka. Bertangki-tangki penyediaan air diletakkan di kamp pengungsi lelaki di bagian depan), dan akibat pemisahan ruang itu telah membatasi akses dan volume air bagi pengungi perempuan. Mereka hanya bisa mengambilnya di sore dan malam hari dari sisa air yang dipakai para lelaki seharian.

Semua warga diberi makanan yang sama, tak terkecuali anak-anak balita atau orangtua. Makanan seragam dan standar seringkali jadi mubazir ketika tak menimbang kebiasaan dan pantangan. Orang Rohingya pantang minum susu. Mereka juga tak menyukai biskuit dan daging. Mereka lebih suka ikan dan sayuran segar. Mendekati perempuan untuk mengetahui apa yang mereka kehendaki agar tanpa menyalahi prinsip perbaikan gizi yang dapat segera memulihkan kesehatan mereka pastilah sangat berguna daripada memaksakan standar internasional yang belum tentu mereka terima.

Perbedaan tradisi dan keadaan melahirkan berbeda kebutuhan. Namun, tanpa pemahaman bahwa kebutuhan perempuan berbeda dari lelaki, kebutuhan anak-anak berbeda dari orang dewasa, orang dengan disabilitas dan non-diabilitas punya kebutuhan yang tak sama, maka penanganan bantuan bisa meleset dari tujuan. Karenanya, menggunakan pendekatan yang paham atas perbedaan itu (antara lain analisis gender dan analisis budaya) adalah keniscayaan karena bantuan adalah hak semua pengungsi tanpa kecuali.

Catatan lama ini mungkin dapat menjadi pertimbangan dalam memperlakukan para pengungsi, memadukan adat orang Aceh menjamu tamu dan tata cara hukum internasional yang sensitif gender dalam memperlakukan refugees.

LiesMarcoes, 27 Juni 2020

Yang Rebah di Tumpuk Meugang

Dari halaman kantor Gubernur Aceh sebuah video viral ke media sosial, mempertontonkan tiga laki-laki tegap sedang dalam posisi terjerembah. Wajah mereka mencium tanah dengan tangan bergelung, digari ke punggung. Beberapa petugas bersenjata lalu membawa pergi ketiga laki-laki yang menurut kabar baru saja mengancam tembak ajudan Wakil Gubernur Aceh. Ketiganya bukan bagian Jaringan Patah Hati Nasional dan tuntutan mereka bukan mengembalikan Raisa Andriana; tapi uang Meugang.

Bahwa ada masyarakat menuntut hingga memalak uang Meugang dari instansi pemerintah di provinsi bersyariat ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul tanpa jejak. Di Aceh, fenomena tersebut telah menjadi serial getir menjelang Ramadan dalam sepuluh tahun terakhir. Ya, lebih tepatnya satu dekade tahun politik. Rentang waktu yang singkat namun telah mencederai inti terdalam kata Meugang yang telah berabad-abad dimaknai orang Aceh. Kita akan kembali ke bagian ini beberapa saat lagi.

Uroe Meugang (sebagian menyebut Makmeugang) dalam lintas sejarahnya adalah hari kaum Muslimin Aceh bersukacita menyambut tibanya bulan puasa. Ia perayaan bagi momentum perjumpaan. Berjumpa puasa, bersua keluarga. Meugang telah lama dimaknai sebagai silaturahmi untuk menunjuk cinta kasih, berbagi, terutama kepada yang setali rahim dengan mereka. Orang Aceh yang bermukim atau mencari nafkah di perantauan lazim menanti Meugang sebagai penanda pulang ke kampung halaman. Untuk mensyukuri perjumpaan — dengan puasa dan dengan keluarga — itulah kenapa setumpuk dua tumpuk daging menjadi penting dinikmati bersama.

Kenapa daging? Karena yang merayakan Meugang mulanya adalah penduduk Aceh yang berdiam di pesisir. Bagi mereka yang bermukim di sepanjang garis pantai dan saban hari memamah ikan atau tiram, tentu wajar untuk memuliakan tibanya Ramadan dan menjamu keluarganya, daging lalu dipilih sebagai menu istimewa. Sekali pukul dalam setahun. Sepekan pertama puasa, pun sudah menjadi tradisi para nelayan Aceh tidak melaut. Ikan sementara akan jadi sumber protein langka. Demi memenuhi kebutuhannya yang masif, sapi atau kerbau penghasil daging Meugang telah dipersiapkan jauh-jauh hari.

Singkatnya, hari dan daging Meugang bukan kombinasi kenduri biasa. Daging Meugang adalah totem yang mengandung pesan kuat, meruap bersama aroma lezat kari yang nyaris serentak keluar dari bubungan dan celah rumah-rumah orang Aceh pada hari itu. Kelezatan yang mampu membuat seorang wahabi mendadak lupa kata bid’ah yang sering dilafalkannya. Namun seperti gurihnya rendang yang turut ditemani kolesterol jahat, totem Meugang turut menghantar energi negatif bagaimana ia menjelma timbangan sosial pengukur harga diri kaum lelaki. Di sini kadang laki-laki Aceh memilih melambaikan tangan.

Dalam satu masyarakat patriarki medioker, potensi kepahlawanan laki-laki memang berbanding lurus dengan risikonya menjadi korban. Itu mungkin terwakili dalam beberapa hikayat Meugang yang berisi kisah-kisah tragis bagaimana lelaki Aceh tidak mampu menolak Meugang menjadi bandul harga dirinya. Ada cerita lelaki yang sampai memotong kemaluannya untuk dibawa pulang ke rumah, demi mengganti kehormatannya yang dikebiri tuntutan menyediakan daging Meugang. Atau kisah yang lebih masuk akal, tentang seorang ibu yang menggoreng daun pandan dan bawang demi menebar bebauan masakan ke tetangga. Usaha gigih untuk menyelamatkan muka dan ketidakmampuan suaminya membawa pulang setumpuk daging. Manis.

Bagi saya kisah-kisah tersebut tidak perlu diverifikasi, ia penting berfungsi sebagai pengingat dan pelecut semangat. Karena secara moral dan etos kerja, Meugang layak berfungsi sebagai cermin dari kemauan bekerja keras dan kemampuan memberi sesuatu kepada keluarga. Etos mengakumulasi kapital lalu diberi nilai tambah oleh sosial. Di atas segalanya, Meugang punya nilai kehormatan karena yang dibawa pulang mesti dari hasil bekerja, bukan dari meminta. Itulah inti terdalam dari Meugang.

Saya kira keliru ketika persoalan Meugang ditarik pada masalah harga daging. Teknik pemeliharaan yang khusus, termasuk pakan dan kandang, untuk menghasilkan daging dengan kualitas terbaik tentu menjadikannya komoditi dengan harga khusus pula. Masuk akal secara rumus ekonomi di mana harga berbanding lurus dengan tingginya tuntutan dan ongkos produksi. Mahal memang. Tetapi pada saat kondisi masyarakat sedang sehat akan ada jaring pengaman sosial yang memproteksi agar nilai produksi dan nilai kehormatan berjalan seimbang. Ada mekanisme berbagi peran, sehingga society tidak rubuh. Di kampung saya misalkan, pemilik hewan Meugang biasanya melibatkan beberapa orang dengan ekonomi yang lebih lemah untuk membantu proses memotong, menyiangi, menumpuk dan membaginya. Bukan pekerjaan mudah dan sejak sebelum subuh mereka sudah bekerja. Atas jasa itu mereka akan diganjar dengan satu atau dua tumpuk daging. Orang-orang tersebut tidak dapat tidak pulang dengan kepala tegak membawa daging Meugang untuk makan bersama keluarga dan turut bahagia menyambut bulan puasa.

Namun ketika kondisi masyarakat sudah sakit kisah tragis bukan lagi tentang orang yang mau memotong kemaluan sendiri, tetapi lebih dari itu. Dan itu juga bukan lagi kisah fiktif. Di bagian atas kita telah memulai tulisan ini dengan peristiwa tersebut; ada orang yang mengebiri kehormatannya sembari memalak dan mengancam tembak orang lain demi memperoleh uang Meugang. Poin mengorbankan orang lain bahkan tidak pernah menjadi sesuatu yang dipikirkan oleh pembuat hikayat dalam kondisi masyarakat sehat.

Selanjutnya, dari tuntutan mereka akan “uang Meugang”, saya kira kita bisa ke sumber asumsi awal tulisan ini kenapa persoalan tersebut baru. Pergeseran frasa Sie Meugang (daging Meugang) ke Peng Meugang (uang Meugang) belum lama terjadi. Ia bisa dirunut ke tanggal tibanya lembaga-lembaga donor untuk bekerja memulihkan Aceh dari bencana alam dan kemanusiaan. Peng Meugang menjadi satu item dalam budget-budget kegiatan, baik yang dijalankan si donor sendiri maupun program yang dicangkok ke agenda aparatur pemerintahan. Meugang mulai menjadi sesuatu yang cuma-cuma, dikonversi ke uang, diberi atau diperoleh tanpa melalui usaha berarti. Nilai kehormatan Meugang yang berasal dari etos kerja perlahan lenyap. Meski lembaga-lembaga donor itu telah hengkang, satu dekade setelahnya item Meugang sebagi sesuatu yang “cuma-cuma” diadopsi ke dalam agenda jahat mereka yang mengejar kekuasaan.

Dengan durasi kampanye pemilihan politik yang kian intens — pilkada, pileg, pilpres — yang bergulir nyaris dua tahun sekali, Meugang telah menjadi bagian dari politik pesona petahana atau calon penggantinya, juga mereka yang sedang atau akan mengadu nasib mencari pekerjaan di parlemen. Mereka yang punya modal kuat sangat menunggu momentum tersebut untuk memperkenalkan diri sekaligus menyamarkan praktik money politics. Harus diakui juga, Meugang bisa menjelma teror bagi calon politisi dengan modal tanggung. Mereka biasanya akan bergegas pergi dari kampung untuk menghindari harapan orang mendapat bagian darinya. Orang-orang yang punya jabatan di kantor pemerintahan konon meniru perilaku terakhir.

Praktik sesat memaknai Meugang sebagai pemberian politik telah berlangsung dalam dua periode pemerintahan terakhir. Kita yang mendefinisikan diri sebagai rakyat, semakin terbiasa menadah dan menerima bantuan. Sebagian otomatis menganggapnya sebagai hak. Siapa yang tidak takut mengambil risiko demi hak? Setiap menjelang puasa muncul orang yang datang ke kantor-kantor pemerintahan. Datang atau kadang didatangkan. Meugang tahun 2011 beberapa di antara kita mungkin masih mengingat tatkala seratusan tukang becak yang memegang kupon daging Meugang berebut ke kediaman Muhammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh waktu itu. Namun kupon tersebut ternyata hanya kebohongan politik yang mestinya sangat melukai hati. Tak ada pembagian daging, hanya saling lempar tuduhan siapa menggalang kampanye hitam. Apakah itu jadi pelajaran? Belum. Tahun lalu ratusan orang juga antri menunggu lembaran 100 ribu yang dibagi di pendapa Wakil Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf. Mereka datang dari berbagai penjuru Aceh, termasuk Aceh Timur dan Singkil. Padahal untuk tiba ke Banda Aceh mereka harus mengeluarkan ongkos perjalanan Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu. Tetapi mereka tetap senang memperoleh satu lembar uang Rp 100 ribu dari penguasa. Atas kegagalan kalkulasi tersebut, di situ kadang kita merasa sedih.

Lantas ketika menjelang Meugang kali ini kita menonton video tiga orang yang mengambil risiko memutus kemaluannya dan mengancam menara tertinggi instansi pemerintahan Aceh, mestinya kita sedang diberi kesempatan terakhir untuk terpekur mengeja kembali hilangnya makna Meugang. Mengakui ada struktur dan kultur yang sedang patah di sini.

Dan di saat beberapa orang sedang bersilat lidah mengelak mengakui ketiga martir Meugang itu sebagai bagian dari kelompok mereka, kita mungkin perlu berjiwa besar menyatakan ketiganya adalah bagian dari kita, masyarakat Aceh, yang ingin mengembalikan badai kepada siapa yang selama ini menabur angin. []

Sumber: http://www.acehkita.com/yang-rebah-di-tumpuk-meugang/?fbclid=IwAR1J9-2HS72YlUpsiUOw09s6cP7IzcUxPAyCcnTOwulEVBWl6T73K2kAesU

“Harus Sesuai Syariat Islam”, Anak Muda Aceh Sulit Cari Hiburan

tirto.id – Denyut nadi Aceh berada di warung kopi. Pagi, siang, malam, warung kopi nyaris selalu penuh. Bagi golongan tua, minum kopi adalah tradisi. Namun, bagi sebagian anak muda, ngopi adalah bentuk kompensasi atas hampir nihilnya pilihan hiburan di Aceh. Yoza Hamzana, salah satunya. Suatu hari, ia ngomel di Twitter.

“Orang Aceh hobi ngopi? Kalau ada bioskop ya kami nonton bioskoplah. Ko pikir suntuk kali hidup kami ngopi tiap hari? Ya memang, suntuk.”

Pendapat ini dibenarkan Muhajir. “Malam Minggu di Banda Aceh membosankan,” curhatnya kepada saya.

Soal keberadaan bioskop memang selalu menjadi perbincangan hangat di Aceh. Usai tsunami lalu Kesepahaman Helsinki, dan berlanjut pada penerapan hukum syariat yang embrionya lahir sejak tahun 2000, seluruh bioskop di Aceh gulung tikar.

Untuk menyiasatinya, sejumlah pihak kerap menggelar nonton bareng di kampus atau di gedung-gedung serbaguna—seperti yang saya lihat sewaktu melewati Simpang BPKP, Ulee Kareng, Banda Aceh. Sebuah spanduk ajakan nonton bareng film 212: The Power of Love terbentang di pinggir jalan. Acaranya digelar pada 10-12 Agustus 2018 di Gedung BPSDM, dengan harga tiket Rp35 ribu. Harga ini hampir sama dengan tiket menonton film di bioskop XXI Jakarta pada hari biasa.

Siasat lain dengan menghabiskan akhir pekan di Medan. Namun, cara ini berbiaya mahal. Ongkos ke Medan sekali jalan bisa Rp200 ribu dengan bus, atau Rp300 ribuan dengan pesawat. Belum lagi biaya akomodasi selama di Medan. Seorang warga Aceh bisa mengeluarkan ratusan ribu hanya demi menonton di bioskop.

Wan Indie, salah satu penggiat acara yang pernah bekerja di radio lokal, satu kali sempat membuat kuis di radio dengan hadiah dua tiket nonton film Dilan 1990 di Medan, lengkap dengan akomodasi.

“Pesertanya langsung banyak,” ujar Indie, terkekeh.

Menyangkut polemik bioskop, Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman—yang menggantikan “Bunda” Illiza Sa’aduddin Djamal—sebenarnya sudah menjanjikan membangun bioskop dengan meminta pendapat para ulama terlebih dulu. Itu ia sampaikan pada pertengahan Maret 2018.

Kabarnya, berbagai konsep sudah diajukan agar keberadaan bioskop “tetap sejalan dengan syariat,” seperti memisahkan tempat laki-laki dan perempuan. Atau, menyesuaikan hari-hari khusus untuk laki-laki dan wanita. Namun, akhirnya, Aminullah memilih untuk melakukan studi banding ke Arab Saudi, yang hasilnya belum terlihat hingga sekarang.

Kabid Pengendalian dan Pelaksanaan Penanaman Modal Jonny mengatakan hingga sekarang belum ada investor bioskop yang tertarik menanam modal di Aceh.

“Tidak ada larangan soal bioskop. Kalau soal syarat harus dipisah laki-laki dan wanita, itu kan masalah teknis saja. Pada dasarnya kami tidak melarang,” ujarnya.

Sementara Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh tetap bersikukuh bahwa belum ada kebutuhan mendesak Banda Aceh perlu bioskop.

Lem Faisal, Wakil Ketua MPU, berkata pemerintah Aceh “belum siap” menyediakan bioskop “sesuai syariat Islam.”

“Kan, masih bisa nonton lewat YouTube atau nobar. MPU punya urusan lain yang lebih penting ketimbang mengurus bioskop,” ujarnya.

Kendati ada jalan tengah sebuah “konsep syariat” yang bisa diadopsi pada bioskop di Aceh, Faisal mengkhawatirkan pada praktiknya nanti justru terjadi banyak pelanggaran seperti keberadaan karaoke.

“Kami izinkan ada karaoke keluarga, tapi kenyataannya sering dilanggar peruntukannya. Kami tidak mau itu terulang lagi,” jelas dia.

Selain bioskop, tempat rekreasi hampir sama nihilnya, misalnya kebun binatang.

“Bahkan di Banda Aceh, sekelas ibu kota provinsi saja tidak ada McDonald’s dan Starbucks. Aku enggak tahu ini penting atau enggak, tapi setidaknya biar kami tidak katro-katro amatlah. Kami bahkan masih canggung dengan parkir basement di Masjid Raya,” keluh Yoza.

Minimnya fasilitas hiburan di Aceh membuat kaum muda mulai putar otak demi menghidupkan keramaian. Beragam bentuk acara seni digelar. Namun, lagi-lagi, cara ini kerap terjegal atas nama syariat.

Untuk menggelar acara di Banda Aceh, panitia harus datang dengan baik-baik terlebih dulu ke Majelis Pemusyawaratan Ulama Aceh untuk memastikan acara itu “tidak melanggar syariat.”

Ada delapan klausul yang harus dipatuhi, sesuai Keputusan MPU Nomor 6/2003: Dilarang bercampur antara laki-laki dan perempuan; Bentuk acara tak menjurus ke maksiat; Pengisi, penonton, dan panitia harus menutup aurat; Pengisi acara dilarang bercampur antara laki-laki dan perempuan saat pertunjukan; Memperhatikan waktu salat; Dilarang di atas pukul 23.00; Acara yang mengundang keramaian dilarang dekat masjid atau tempat ibadah lain; dan acara menumbuhkan budaya Islami.

Sementara untuk menggelar acara musik, sebuah draf qanun sedang digodok yang isinya harus memenuhi sejumlah kriteria tertentu seperti: lagu dilarang melanggar syariat Islam; dilarang menggunakan alat musik yang diharamkan macam gitar, bas, piano, biola, seruling, dan sejenisnya; dan pengisi acara dilarang menyanyikan atau membuat gerakan yang mengundang nafsu birahi.

Menurut Wan Indie, rekomendasi dari MPU sejak 2014 itu tak diperlukan lagi. “MPU lempar handuk. Mereka tidak mau dijadikan kambing hitam jika nanti acara yang mendapat rekomendasi mereka ternyata kedapatan melanggar syariat,” jelasnya.

Infografik HL Indepth Aceh

Standar Ganda Penerapan Syariat dalam Acara Musik

Saya diundang Rajip, salah satu anak muda Banda Aceh yang akrab dengan dunia EO, untuk datang ke sebuah pentas musik dengan bintang tamu Navicula di kawasan Seutui, Banda Aceh, pada 11 Juli lalu. Sebuah pentas kecil dengan penonton tak lebih dari 300 orang.

Acara berjalan lancar meski sempat tertunda karena hujan dan angin kencang. Penonton berbaur antara laki-laki dan perempuan. Tapi, tetap saja, pengunjung wanita masih bisa dihitung dengan jari. Penampilan band rock seperti Navicula di Aceh bisa dibilang langka.

Pada 2015, band rock asal Jakarta, Seringai, pernah ditolak manggung di Banda Aceh. Alasannya: karena musiknya dinilai “melanggar syariat”. Padahal semua baliho dan publikasi sudah disebar. Akhirnya, Seringai digantikan oleh Ipang, vokalis BIP yang juga masyhur sebagai solis.

Penerapan syariat seperti ini memicu kegusaran di kalangan anak muda khususnya di Banda Aceh. Pasalnya, penerapannya dinilai memiliki standar ganda.

Jika pemerintah menyelenggarakan acara, mereka enteng saja menerabas semua aturan, baik jam malam maupun pengisi acara. Misalnya, gelaran Aceh Police Expo pada Juli 2018. Acara di Lapangan Blang Padang ini berlangsung hingga melewati batas waktu pukul 23.00. Perizinan pun mulus.

“Dua minggu sebelum Police Expo digelar, ada acara musik yang enggak boleh digelar malam hari. Giliran Police Expo seperti jilat ludah sendiri. Mereka seperti mau menekan kami, anak muda ini,” keluh Yoza.

Di satu sisi, Wan Indie punya pendapat lain. Selama ini tekanan terhadap acara atau konser musik justru dari kelompok ormas dan masyarakat sekitar.

“Pemerintah kota kami seperti kehilangan taji pada ormas. Pengurusan izin acara (saat ini) sangat tergantung pada ‘akan didemo ormas atau tidak’, kalau tak didemo, izin terbit. Jika ada indikasi didemo, izin gencat,” katanya.

Menurutnya, pemerintah tidak terlalu mempersoalkan acara selama prosedur dijalankan sesuai aturan, “Tidak perlu potong kompas.”

Demi menyiasati boikot dari masyarakat maupun ormas, Wan Indie punya cara tersendiri: “Biasanya kami akan publikasi secara online dan terbatas saja. Tidak dengan baliho atau reklame di pinggir jalan. Agar tidak ada ormas yang tahu.”

Redaksi: Ada penambahan keterangan bahwa kriteria menggelar acara konser musik di Banda Aceh baru sebatas draf qanun, yang belum ditetapkan.
Baca juga artikel terkait ACEH atau tulisan menarik lainnya Restu Diantina Putri
(tirto.id – Humaniora)

Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam

Sumber: https://tirto.id/harus-sesuai-syariat-islam-anak-muda-aceh-sulit-cari-hiburan-cSi5

Penerapan Hukum Islam di Nusantara

Hukum Islam diberlakukan untuk politik pencitraan penguasa. Simbolisasi kekuasaan sultan sebagai wakil Tuhan.

Tuntutan penerapkan hukum Islam di Indonesia kerap mengemuka. Namun, ternyata pada awal perkembangan Islam di Nusantara tidak ada tanda-tanda adanya penerapan syariat Islam.

“Abad ke-7 sampai ke-12 tidak ada tanda sama sekali mengenai hukum Islam,” kata Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah dalam diskusi bukunya, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX, di Wisma Usaha UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (6/4). Ayang menyelesaikan master dan doktornya dalam bidang sejarah, filologi, dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Prancis.

Islam masuk ke Nusantara melalui perdagangan yang berlangsung pada abad 7 sampai abad 12. Buktinya temuan arkeologis di Barus, Tapanuli Tengah. Claude Guillot, salah seorang arkeolog dan sejarawan Prancis, berhasil memetakan awal Islamisasi Nusantara di Barus sejak abad 7. Setelah itu, fase kedua perkembangan Islam dilakukan oleh para pendakwah, khususnya kalangan sufi setelah jatuhnya Baghdad, Irak, ke tangan bangsa Mongol pada 1259.

Menurut Ayang, hukum Islam baru diterapkan ketika kerajaan Islam berdiri pada abad 13 dengan hadirnya Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Menariknya, penerapan hukum Islam oleh kesultanan itu tidak sebagaimana hukum yang diketahui dari Alquran maupun hadis.

“Hukum Islam di Nusantara itu berkelindan dengan adat setempat sehingga menghasilkan hukum Islam yang lentur,” kata Ayang.

Ayang menjelaskan bahwa di Semenanjung Melayu, yang saat ini masuk wilayah Malaysia, ditemukan Batu Bersurat Trengganu bertarikh 1303. Isinya, mengenai undang-undang seorang raja yang menerangkan hukum Islam tentang maksiat. “Inilah hukum pidana Islam yang pertama kali ditemukan di Nusantara,” kata Ayang.

Dalam undang-undang tersebut tercantum hukum bagi para pezina. Aturan itu membedakan hukuman bagi masyarakat ningrat dan kalangan bawah. Untuk ningrat hanya dikenai denda, sementara kalangan bawah dihukum rajam. “Padahal kalau dibandingkan dengan Umar bin Khatab, justru hukum Islam tidak diterapkan pada orang miskin terlebih saat keadaan paceklik. Lain dengan di Trengganu,” kata Ayang.

Pada abad 15-16 di Kesultanan Malaka terdapat undang-undang yang menjadi salah satu induk bagi undang-undang di Nusantara, terutama dalam kebudayaan Melayu. Meski telah ada undang-undang itu, yang murni mengambil hukum Islam hanyalah hukum pernikahan.

Pada masa Kesultanan Aceh, sekira abad 16-17 banyak ditemukan kesaksian dari para pelancong mancanegara yang menceritakan hukum pidana di kawasan itu. Kesultanan ini pun, Ayang menilai, tak menerapkan hukum Islam sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci.

Contohnya hukum perzinaan. Hukuman rajam berlaku dalam hukum Islam bagi para pezina. Namun di Aceh, secara umum terdapat dua hukuman bagi pelanggar. Pertama, tangan dan kaki pezina, baik laki-laki maupun perempuan ditarik oleh empat ekor gajah ke arah berlawanan. Kedua, pezina laki-laki dipotong kelaminnya dan perempuan dipotong hidungnya dan dicungkil matanya.

Hukuman sula yang kejam juga diberlakukan bagi perzinaan dan pembunuhan. Hukuman ini dilakukan dengan mendirikan bambu runcing. Laki-laki yang bersalah akan ditancapkan pada bambu runcing itu dari bagian belakang hingga tembus ke mulut. Sedangkan pada perempuan, bambu runcing ditancapkan dari bagian depannya hingga tembus ke mulut.

Untuk kasus pembunuhan, hukum di Aceh akan mengganjar seorang pembunuh dengan hukuman yang sesuai dengan yang dia lakukan ketika membunuh. Ini menurut kesaksian pelaut Prancis, FranÇois Martin de Vitr yang menjelajah ke Sumatera pada sekira 1601-1603 dan tinggal di Aceh selama lima bulan. Ancaman lainnya, sang pembunuh akan ditangkap lalu ditidurkan untuk selanjutnya dilempar ke atas oleh gajah dan ditangkap oleh gadingnya. Dia kemudian kembali dilempar untuk kemudian diinjak-injak. Kalau bukan itu hukumannya, si pembunuh akan dimasukkan ke kandang macan.

“Padahal di Alquran untuk hukum pembunuh ada tiga: qisas (bunuh balas bunuh), uang tebusan, dan dimaafkan,” ungkap Ayang.

Bahkan di Aceh, ketika itu mudah sekali memberlakukan hukum potong tangan dan kaki untuk kesalahan apapun. Ayang menceritakan, hal ini terjadi pada seorang panglima Tiku, salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh. Dia ketika itu tak menyerahkan kewajiban upetinya kepada Sultan Iskandar Muda. Sang Sultan langsung mengambil pedang dan menebas kedua kaki bawahannya itu hingga batas lutut.

“Pertanyaannya, apakah ada di hukum Islam? Tidak pernah ditemukan. Artinya apa? Ini hukum adat,” tegas Ayang.

Meski begitu, menurut Ayang, bukan berarti hukuman itu merupakan hukum adat khas Aceh. Hukuman semacam ini lumrah ditemukan di belahan dunia lain. Misalnya, di Dinasti Mamluk Mesir yang berdiri sekira abad 13-16 dan Dinasti Khilafah Turki Usmaniah dari abad 16-20.

Berdasarkan data sejarah yang ada, Ayang pun mengungkapkan, hukum Islam di Nusantara tak pernah ada formalisasi. Negara tidak menetapkan hukum yang harus diterapkan berdasarkan Alquran, hadis, atau pendapat para ulama. Hukum yang diterapkan pada masa kerajaan Islam di Nusantara beradaptasi dengan budaya setempat.

“Justru hukum adat Nusantara itu yang jauh lebih kejam dari hukum Islam,” ungkapnya.

Lebih jauh, Ayang mengatakan, hukum Islam hanya diberlakukan untuk politik pencitraan oleh penguasa. Hukum Islam pada masa itu merupakan simbolisasi kekuasaan sultan, bahwa dia adalah cerminan wakil Tuhan.

“Tetapi, saya melihat satu sisi dari hukum Islam yang dipraktikkan secara tulus yaitu terkait ibadah. Kalau pidana, ini kan sebenarnya simbol kekuasaan negaranya untuk menghukum rakyatnya. Itu (hukum Islam, red) 90 persen tidak dipraktikkan,” pungkas Ayang.

Sumber: http://historia.id/agama/penerapan-hukum-islam-di-nusantara

Foto: repro “Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680” karya Anthony Reid.

Paradoks Pemberdayaan Perempuan Aceh Pascatsunami

Setelah bencana tsunami, isu mengenai gender di Aceh pun mulai berubah. Kedudukan perempuan dalam masyarakat Aceh bisa dikatakan semakin memburuk.

Pada 26 Desember 2004, gempa dan tsunami menimpa Provinsi Aceh, Indonesia, yang mengakibatkan porak-poranda dahsyat dan memakan korban jiwa. Setelah bencana tsunami, isu mengenai gender di Aceh pun mulai berubah. Tiga belas tahun setelah tsunami, kedudukan perempuan dalam masyarakat Aceh bisa dikatakan semakin memburuk.

Setelah tsunami, ratusan LSM internasional mempromosikan pengarusutamaan gender di Aceh. Walau demikian, perspektif Barat yang datang bersama dengan bantuan internasional cenderung melihat perempuan Aceh sebagai sebuah stereotipe “muslimah tertindas” yang membutuhkan pertolongan.

Diskursus kontemporer secara khusus menggambarkan perempuan Aceh sebagai korban, padahal dari sudut pandang sejarah, perempuan Aceh dikenal sebagai sosok yang hebat – sultanah, pahlawan, dan pemimpin.

Perempuan sebagai pemimpin di Aceh

Dari sisi sejarah, perempuan Aceh terlibat dalam banyak bidang publik, termasuk urusan perdagangan, pertahanan, dan kepemimpinan. Pada abad ketujuh belas, Aceh diperintah oleh empat sultanah yang berlangsung selama 60 tahun.

Setelah masa kesultanahan, rakyat Aceh berperang dan berjuang melawan kolonialisme Belanda selama empat puluh tahun. Para perempuan pun berperan menjadi pejuang dan pimpinan operasi gerilya melawan Belanda. Pejuang perempuan Aceh yang terkenal adalah Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia.

Belanda memperkenalkan ideologi patriarkat dan mengkritik eksistensi perempuan Indonesia di luar rumah. Akan tetapi, aplikasi kebijakan-kebijakan kolonial Belanda terhadap perempuan hanya terbatas dalam lingkungan orang kaya dan elite. Sebagian besar perempuan Indonesia tetap bekerja di luar rumah karena keadaan ekonomi membentuk tradisi untuk mempekerjakan perempuan.

Mayoritas kehidupan masyarakat Aceh terbebas dari pengaruh kolonialisme Belanda dan mengikuti tradisi lokal (yang dikenal dengan adat). Tradisi di dalam masyarakat Aceh yang sangat mengakar adalah sistem tempat tinggal matrilokal, yakni orang tua pihak perempuan menghadiahkan sebuah rumah kepada anak perempuannya setelah pernikahan. Status kepemilikan rumah tersebut memberikan stabilitas dan kewenangan kepada perempuan di dalam hubungan pernikahan.

Lebih jauh lagi, kedudukan perempuan Aceh di pusat keluarga dan desa terlihat dari tradisi rantau (laki-laki pindah dari suatu desa ke tempat lain dengan tujuan mencari pekerjaan). Meskipun tradisi ini bukan merupakan hal yang wajib dilakukan, jika suami tidak mendapatkan pekerjaan di tempatnya sendiri, dia dituntut untuk merantau. Karena istri adalah pemilik rumah dan juga bekerja di luar rumah, mereka tidak bergantung kepada suami dari segi ekonomi. Tradisi ini menempatkan perempuan dalam kedudukan sosial yang kuat yang sekaligus memberikan mereka otoritas secara budaya di tingkat desa.

Kata “istri” dalam bahasa Aceh adalah njang po rumoh yang berarti “pemilik rumah”.

Ibuisme negara

Setelah 1945, ketika Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, norma gender sangat dipengaruhi oleh pemerintahan Indonesia yang baru. Pemerintahan Soeharto memberlakukan kebijakan-kebijakan tentang gender. Pemerintah memberlakukan kebijakan, yang juga dikenal dengan “ibuisme negara”, melalui program-program seperti Dharma Wanita dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Kebijakan ini mengatur bahwa “suami sebagai sumber utama pemasukan keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak”.

Ibuisme negara memiliki konsekuensi nyata dalam membatasi praktik nilai-nilai matrilokal di Aceh. Dengan memprioritaskan peran perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga, kebijakan ini melemahkan perempuan dalam peran lainnya dalam hubungan kekeluargaan sebagai saudara perempuan dan anak perempuan, yang juga dikenal dengan struktur kekeluargaan matrilineal. Ibusime negara telah memposisikan laki-laki dengan peran yang lebih penting yaitu sebagai kepala rumah tangga.

Dalam kehidupan modern masyarakat Aceh, sepasang suami dan istri lebih memilih membentuk keluarga inti baru yang terpisah dari struktur kekeluargaan matrilineal. Sementara tradisi matrilokal terus tumbuh kuat di daerah pedalaman, di perkotaan, kelas menengah lebih cenderung menghindar dari praktik matriarkat dan cenderung memilih struktur keluarga patriarkat dengan menempatkan suami menjadi kepala rumah tangga.

Secara historis, hubungan matrilokal antara perempuan dan rumah telah memberdayakan perempuan dengan menempatkan mereka di pusat keluarga dan masyarakat. Namun, jika diinterpretasikan dalam konteks norma gender ibuisme negara yang bersifat membatasi, budaya matrilokal bisa memperkuat pandangan bahwa rumah adalah satu-satunya tempat yang “layak” atau “dapat diterima” bagi perempuan.

Konflik berkepanjangan selama 30 tahun

Sebelum bencana gempa dan tsunami, Aceh mengalami perang sipil berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah pusat Indonesia. Bencana tsunami, yang memakan korban lebih dari 100.000 jiwa, merupakan pemicu perdamaian yang diraih melalui perjanjian perdamaian Helsinki pada 2005.

Selama perang sipil, GAM juga melanjutkan tradisi pejuang perempuan Aceh. Pasukan perempuan, juga disebut Inong Balee, dipromosikan dalam propaganda GAM. Namun, laki-laki tetap mendominasi kepemimpinan pergerakan.

Kekerasan yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap masyarakat Aceh juga sangat berbau gender. Pemerkosaan perempuan sangat sering terjadi dan perempuan diperlakukan secara tidak wajar dengan tujuan mengintimidasi dan melemahkan peran laki-laki Aceh.

Pada masa konflik ini, bahkan bagi perempuan yang bukan kombatan pun, peran sosial diambil alih sepenuhnya oleh perempuan. Ketika kaum laki-laki harus melarikan diri, ditangkap dan dipenjarakan atau bahkan dibunuh, perempuan menjadi kepala rumah tangga dan pemimpin masyarakat. Ketika para laki-laki kembali ke tempat masing-masing setelah masa konflik berakhir, peran sosial perempuan ini dianggap bertentangan dan bahkan mengancam status laki-laki di dalam keluarga. Hal ini kemudian memicu “tingginya angka kekerasan fisik dan seksual dalam rumah tangga”.

Lebih jauh lagi, perempuan Aceh terpinggirkan dalam proses rekonstruksi dan rekonsiliasi. Proses negosiasi perjanjian perdamaian Helsinki “sangat bias gender” dan mengesampingkan kepentingan perempuan.

Selama periode pasca-konflik, mantan pimpinan GAM mencoba mengaburkan peran perempuan dalam perjuangan semasa konflik. Hal ini terbukti bahwa pada mulanya tidak ada satu pun mantan kombatan perempuan di antara 3.000 daftar mantan kombatan yang menerima kompensasi dari pemerintah meski faktanya Inong Balee menjadi bagian dari propaganda GAM semasa konflik.

Refleksi terhadap pergeseran hubungan gender

Sejarah gender di Aceh tertuang dalam paradoks pemberdayaan perempuan yang sebetulnya melemahkan. Hubungan gender yang bersifat patriarkat terus meningkat dari waktu ke waktu. Kecenderungan jangka panjang tampak dalam hal penyusutan posisi sosial perempuan melalui pergeseran dalam struktur keluarga yang menjauh dari tradisi matrilokal. Meskipun tradisi matrilokal masih berlangsung di daerah terpencil, terjadi penurunan peran perempuan secara budaya, khususnya di wilayah perkotaan.

Peringatan tiga belas tahun bencana gempa dan tsunami memberikan kesempatan untuk melakukan refleksi mengenai perubahan hubungan gender masyarakat Aceh. Refleksi secara umum juga penting, tidak hanya upaya rekonstruksi bangunan fisik tetapi juga (re)konstruksi identitas masyarakat Aceh.

Momen ini menjadi momen berkala untuk merefleksikan tradisi matrilokal sebagai bagian unik dari kebudayaan orang Aceh yang seharusnya dihargai dan dilindungi untuk generasi Aceh masa depan.


Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Syahrial.

Balawyn Jones, PhD Candidate and Research Fellow, University of Melbourne

Sumber asli artikel ini dari The Conversation.

(Balawyn Jones/theconversation.com)

Sumber: http://nationalgeographic.co.id/berita/2018/01/paradoks-pemberdayaan-perempuan-aceh-pascatsunami

Peluncuran dan Diskusi Buku Berlayar Tanpa Berlabuh: Pengungsi Rohingya di Aceh dan Makassar, Indonesia

Jumat, 3 Juni 2016, bertempat di Wahid Institute, pukul 10.00 sampai 12.00 WIB, Rumah KitaB menggelar acara Soft Lounching dan Diskusi Buku “Berlayar Tanpa Belabuh: Pengungsi Rohingya di Aceh dan Makassar”, yang ditulis oleh Lies Marcoes berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2015, ditemani tiga orang fotografer, yaitu Morenk Beladro, Aan M. Anshar, dan Armin Hari. Pembicara diskusi buku tersebut adalah Lies Marcoes (penulis buku), Maria Hartiningsih (wartawan senior Kompas), Milly Mildawati (Ketua Pusat Kajian Bencana STKS Bandung), Monica Tanuhandaru (Direktur Kemitraan), dan Morenk Beladro (fotografer). Diskusi dimoderatori oleh Dr. Syafiq Hasyim (Direktur Global ICIP) dan dipandu oleh MC Fadilla.

Dalam acara diskusi ini, Lies Marcoes menjelaskan bahwa, buku yang didiskusikan ini diterbitkan dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris atas dukungan Oslo Coalition, Norwegia. Buku tersebut adalah hasil temuan penelitian Lies Marcoes dengan menggunakan pendekatan khas feminis, yang dimulai pada saat menjelang bulan puasa tahun yang lalu, di mana Aceh tiba-tiba kedetangan tamu pengungsi dari Rohingya. Orang Rohingya di laut tidak pernah bisa pulang, tapi negara-negara lain tidak menerima kehadiran mereka. Mereka tidak ada perlindungan dan tanpa identitas.

Lies mengajak tiga fotografer, yaitu Morenk, Aan, dan Armin, karena menurut Lies bahwa foto sangat membantu untuk menjelaskan realitas yang ada di lapangan.

Orang Rohingnya tidak pernah diakui oleh orang Burma. Mereka tidak dianggap dan tidak diakui warganya meskipun mereka sudah ada di Burma sejak abad ke-15 seperti orang Melayu di Malaysia. Secara politik, mereka sulit sekali karena tidak mempunyai identitas kewarganegaraan. Maka mereka kebanyakan menjadi penyelundup dan warga illegal, seperti di Australia dan di Malaysia. Mereka lebih memilih lari ke Australia karena demi pendidikan anaknya.

Masalahnya, negara Indonesia tidak bisa menerima mereka secara legal dan diakui sebagai warga negara yang sah, karena Indonesia tidak mempunyai perjanjian kerjasama dengan Burma sebagai negara asal mereka. Selain itu, ada persoalan yang jarang dibaca oleh para peneliti sekalipun bahwa ini [perpindahan orang Rohingya] adalah soal pindahnya rumah perempuan. Oleh karena itu, perempuan paling rentan mendapatkan beban ganda, rentan terhadap kekerasan seksual, dan menjadikan sikapnya ‘temperamental’ karena tekanan yang dihadapinya berlipat ganda. Contohnya, banyak terjadi perlakukan kasar seorang ibu di pengungsian Rohingya kepada anak perempuannya. Petugas Tapol yang datang untuk melerai dibentak-bentak oleh si ibu. Dan ini soal kekerasan yang menimpa anak perempuan yang hampir tidak terbaca oleh peneliti lain.

Dalam tata ruang di wilayah pengungsian, soal relasi gender seperti tidak dipikirkan dan sangat bias kelas, seperti sumber air. Tangki dipasang di ruang khusus laki-laki, dan tidak mungkin perempuan masuk ke wilayah laki-laki. Sementara di wilayah perempuan, mereka hanya disediakan dua keran sebagai sumber air. Akibatnya mereka harus mengantre sampai malam; untuk mencuci baju, memandikan anak, dll. Ini juga terjadi dalam papan-papan petunjuk; semuanya berbahasa Inggris, seperti “jangan membuang sampah sembarangan.” Kenyataannya, mereka sebagian besar buta huruf.

Di pengungsian, juga tidak ada penerjemah, dan luar biasa sulit sekali mendapatkan informasi aslinya karena kedalam bahasa. Di Aceh, Lies sulit sekali mendapatkan informasi langsung. Karena itu, untuk penelitian di Aceh banyak menggunakan referensi sekunder.

Saat Lies berkunjung ke Aceh, penduduk Rohingya awalnya sebanyak 400 orang, dan sekarang tersisa 80 orang. Dan bisa dipastikan mereka semua telah kabur meninggalkan Indonesia, tetapi tidak tahu apakah mereka sampai ke negara tujuannya.

Sementara Maria Hartiningsih menjelaskan bahwa kelompok minoritas Rohingya mendapatkan kontrol dan tekanan dari pemerintah. Rohingya seperti tidak punya bapak dan ibu. Myanmar menolak sebagai bagian dari mereka sehingga diperlakukan secara tidak baik. Di Malaysia juga tidak baik, meski sama-sama Islam. Dengan Bangladesh juga mereka sering terjadi konflik. Kelompok Rohingnya adalah kelompok yang paling rentan dari kelompok rentan yang ada.

Maria juga menjelaskan nasib perempuan dan kasus kekerasan seksual yang dialami para perempuan pengungsi Rohingya, bahwa dia mendapatkan informasi bahwa di kapal ketika berlayar, perempuan yang pertama kali dikorbankan, demi tidak terjadinya tenggelam. Anak dan perempuan juga banyak terjadi pelecehan seksual dan pemerkosaan. Ancaman pelecehan seksual berlipat ganda; akibat dari kecemasan identitas yang tidak jelas, dan pelampiasannya dengan melakukan kekerasan seksual. Baik di dalam atau di luar kamp pengungsian, perempuan banyak mengalami pemerkosaan. Kekerasan seksual, pemaksaan aborsi, perdagangan manusia, dan pelarangan alat kontrasepsi masih sangat banyak dialami para perempuan pengungsi.

Pembicara berikutnya, yaitu Milly Mildawati menjelaskan tentang pengungsi. Di Indonesia, pengungsi adalah orang yang berpindah tempat; orang yang meninggalkan negaranya dan meminta perlindungan ke negara lain karena ketakutan. Ada istilah baru “penyintas”, yang artinya orang yang selamat dari ancaman di negaranya.

Faktanya kejadian mengenai pengungsi sudah ada sejak zaman dulu dan akan terjadi di masa yang akan datang. Sejatinya ada lembaga yang menangani mereka atas nama kemanusiaan. Masyarakat Indonesia yang mempunyai karakter gotong royong, dan mudah menolong, tidak mungkin menolak mereka. Sejalan dengan itu, Monica Tanuhandaru juga menjelaskan bahwa sikap geografi Indonesia adalah ramah, yang menyebabkan masyarakatnya pun  terbuka terhadap pendatang/pengungsi. []

Catatan untuk Berlayar Tanpa Berlabuh

Tulisan ini ditulis oleh Maria Hartiningsih, Wartawan Senior Kompas, untuk peluncuran buku Berlayar Tanpa Berlabuh: Perempuan dan Pengungsi Rohingya di Makassar dan Aceh, Indonesia.

Pertama-tama saya ucapkan selamat kepada Lies dan kawan-kawan untuk Berlayar tanpa Berlabuh: Perempuan dan Pengungsi Rohingya di Makassar dan Aceh, Indonesia. Sejauh ini, hanya Lies dan kawan-kawan yang meneliti isu pengungsi dengan menggunakan perspektif gender. Buku ini sangat menarik, baik dari sisi layout mau pun isi, dan memberikan gambaran yang lumayan utuh mengenai latar belakang di balik kondisi pengungsi Rohingnya di Indonesia. Sekali lagi, selamat untuk Lies.

Laporan dari berbagai lembaga HAM menunjukkan, kelompok minoritas Muslim Rohingnya dari bagian utara Negara Bagian Rakhine (dulu Arakan) di Myanmar itu terus menerus berada di bawah pemantauan dan kontrol ketat dari negara, melalui kebijakan yang sangat represif termasuk pembatasan dalam kebebasan bergerak, perkawinan dan keluarga berencana, di samping ditolaknya akses kepada kesejahteraan hidup, seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan dasar, yang semuanya berdampak sangat serius pada kehidupan perempuan dan anak dari komunitas Rohingnya.

Kelompok keras dalam percaturan politik Burma menolak warga Rohingnya sebagai bagian dari warga negara Burma, meski pun keberadaan mereka tak bisa dilepaskan dari sejarah Myanmar, khususnya Arakan. Bangladesh juga menolak ras Rohingnya sebagai bagian dari bangsa mereka, sehingga ribuan suku Rohingnya yang menjadi pengungsi di kamp-kamp di Bangladesh tidak diperlakukan dengan baik. Malaysia juga menolak pengungsi Rohingnya, meski pun sama-sama beragama Islam, karena jumlahnya yang sangat besar dan letaknya tak jauh dari Malaysia.

Kasus mereka berbeda dengan banyak kasus pengungsian lain karena di Burma mereka tak diakui sebagai warga negara; salah satu prinsip untuk definisi pengungsi dari Perserikatan Bangsa-bangsa. Selain itu, mereka miskin, tidak berpendidikan dan jumlahnya besar.

Dengan kondisi seperti ini, kelompok ini merupakan salah satu kelompok paling rentan di antara komunitas pengungsi dunia. Posisi mereka adalah outcast, di luar kasta, jauh lebih buruk dibandingkan pariah, kasta terendah dalam sistem kasta. Mereka sulit diterima di negeri mana pun karena tidak punya kewarganegaraan. Di pengungsian, nyawa mereka memang tidak terancam seperti di kampung halaman, tetapi kondisinya juga tidak lebih baik. Tak ada harapan, tak ada masa depan (Kisah Yasin, hal 63). Maka judul buku Berlayar tanpa Berlabuh adalah judul yang telah sangat jelas mengungkapkan kondisi pengungsi Rohingnya.

Buku ini juga mengungkap isu keamanan regional dan internasional terkait pengaruh fundamentalisme, namun kurang dieksplorasi dan kurang sistematis. Melalui narasi, buku ini menunjukkan potensi masuknya radikalisme. Di kelompok perempuan, misalnya, dijumpai sekelompok eksklusif Wahabi (hal 50). Memang tak bisa begitu saja menuduh bahwa kelompok ini termasuk dalam kategori radikal, tetapi gejala eksklusivisme agama, tetap harus diwaspadai.

Kewaspadaan ini bukan sesuatu yang berlebihan kalau membaca fakta di hal 60, bahwa pengungsi di Aceh punya keinginan pergi ke Turki atau Suriah dan Arab Saudi, negara-negara di mana kelompok radikal tumbuh subur. Ide itu tidak muncul pada pengungsi di Makassar. Mereka tetap memilih negara maju, Australia, Kanada, New Zealand, andai harus memilih tanah air yang baru. Pemaparan pada hal 43-45 mengenai hilangnya beberapa pengungsi yang tinggal di Aceh dan pernyataan Menko Polkam Luhut Panjaitan, menunjukkan penanda tertentu yang seharusnya dieksplorasi lebih jauh. Saya juga memiliki pertanyaan tentang kebebasan beragama di tengah situasi yang bergolak.

Ketika mobilitas laki-laki pengungsi sangat dibatasi dan dipenuhi intimidasi, perempuan harus menanggung seluruh dampaknya. Dalam hal ini, seluruh gambaran penindasan sistematik terhadap perempuan yang diungkapkan Bell Hooks dalam From Margin to Center (1984) dan Feminism is for Everybody: Passionate Politics (2000), terlihat jelas. Yaitu, bahwa mereka yang berada di lapis terbawah dalam sistem dehumanisasi sistematik, adalah perempuan dan anak perempuan dari lapis ekonomi terbawah, dengan tingkat pendidikan sangat minimal, dari suku dan agama atau keyakinan minoritas yang dipinggirkan (di Burma), dan sebatang kara (tanpa orangtua dan keluarga lain). Pola dehumanisasi sistematis ini juga terlihat jelas dalam kekerasan yang dilakukan ibu terhadap anak. Sayangnya, bagian ini juga kurang dieskplorasi.

Sebagai pengungsi, sebagai perempuan atau anak tanpa orangtua dan sanak saudara di negara asing yang tidak menghendaki kedatangan mereka, kerentanan mereka semakin pekat. Perempuan dan anak akan lebih dulu dikorbankan dalam kondisi terburuk. “Saya melihat perempuan di sini berbahaya. Saya dengar cerita dari sesama penumpang, kalau tak ada keluarga mereka bisa mengalami kekerasan seksual atau mungkin dibunuh untuk mengurangi penumpang…” (hal 62).

Perempuan menggunakan tubuhnya untuk bertahan hidup dalam kondisi yang sangat buruk. Buku ini mengungkap hal itu, tetapi masih sangat samar (hal 45-48, foto hal 47). Pola kekerasan dan penindasan berbasis relasi-kuasa seperti itu terjadi pada perempuan pengungsi di mana pun, apa pun latar belakangnya.  Dalam sistem dominasi yang mengesahkan berbagai bentuk kekerasan kepada perempuan, tubuh perempuan senantiasa menjadi taruhan dalam pertarungan untuk mempertahankan hidup.

Bahkan, pelampiasan dari ketakutan, frustrasi dan ketiadaan masa depan, seringkali diwujudkan dengan kekerasan, khususnya kekerasan seksual kepada pasangan, apa pun bentuknya, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Jadi, perempuan Rohingnya, seperti halnya perempuan pengungsi lainnya, terancam kekerasan seksual baik di dalam tenda di kamp pengungsian, mau pun di luar tenda kamp pengungsian dan di luar kamp pengungsian, termasuk dalam perjalanan menuju tempat pengungsian.

Isu kekerasan terhadap perempuan, khususnya, kekerasan seksual, sebenarnya merupakan isu penting dalam kasus-kasus perempuan pengungsi, tetapi tidak dieksplorasi. Kemungkinan besar karena kesulitan bahasa dan tidak ditemukan penerjemah yang kompeten.

Menurut UNHCR, perempuan dan anak perempuan merupakan separuh dari pengungsi apa pun di dunia, dari latar belakang apa pun, internally displaced (orang-orang yang dipaksa meninggalkan kampung halamannya karena konflik bersenjata atau sebab lainnya, tetapi masih berada di dalam negerinya) dan stateless population (kelompok pengungsi tanpa kewarganegaraan). Akan tetapi, kebutuhan mereka masih dilihat dari lensa laki-laki dan keberadaan mereka terus dinegasikan.

Sejak Konvensi mengenai Pengungsi diadopsi pada tahun 1951, berbagai upaya telah dilakukan termasuk implementasi hukum dan kebijakan untuk menanggapi situasi tertentu dari perempuan pengungsi.  Namun sampai tahun 2015, perempuan pengungsi masih terus menghadapi kerentanan terhadap kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasinya. Praktik pelanggaran seperti  tindak kekerasan seksual, female genital mutilation, pemaksaan aborsi, sterilisasi, penolakan akses kepada kontrasepsi, perdagangan manusia, kawin paksa, juga norma-norma sosial yang menindas, masih terus mengancam.

Sayangnya, penelitian ini belum mengurai bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi. Metode kualitatif sangat tajam menguraikan situasi ini, tetapi gambaran umum yang lebih terinci, sebaiknya diuraikan dalam gabungan metode kualitatif-kuantitatif berperspektif feminis.

Untuk mengungkap kekerasan seksual tidak mudah, karena sulitnya mengorek persoalan itu dari informan, sehingga dibutuhkan lebih banyak waktu dan upaya, dan terutama, penerjemah andal yang bertugas murni sebagai penerjemah.

Buku ini sudah menguraikan yang dilakukan oleh para relawan. Namun penanganan pengungsi tak cukup dilakukan dengan cara konvensional. Dibutuhkan dukungan yang lebih luas dari berbagai pihak, termasuk komunitas kemanusiaan dan feminis lokal, serta organisasi-organisasi hak asasi perempuan untuk mendukung pemberdayaan perempuan dan anak perempuan. Harus bisa ditemukan prakarsa-prakarsa untuk membangun kapasitas perempuan dan anak-anak pengungsi, agar bisa berbicara atas nama mereka sendiri. Donor, NGO dan lembaga-lembaga PBB harus mendengarkan suara mereka, dan bekerjasama membangun resiliensi dengan mengimplementasikan program-program terintegrasi dan sensitif gender yang mempromosikan akses dan kesempatan yang setara bagi  perempuan, anak-anak perempuan, laki-laki dan anak-anak laki-laki.

Terlepas dari semua kekurangan, buku ini telah memberi sumbangan sangat berarti untuk memaparkan masalah pengungsi dengan perspektif gender. Fenomena pengungsi ini akan semakin jelas, dan akan menjadi persoalan global yang terus kita hadapi. Jadi sebaiknya riset ini dilanjutkan.

Jakarta, 3 Juni 2016

Photo by: Morenk Beladro