Ramadhan Bulan Pahala

RAMADHAN adalah bulan pahala. Di bulan ini umat Muslim panin pahala dengan memperbanyak ibadah (‘ibâdah mahdhah) dan amal baik (ibâdah ghayr mahdhah). Allah Swt. memberikan banyak diskon dan bonus.

Ada banyak keistimewaan di bulan Ramadhan. Al-Qur`an pertama kali turun di bulan ini. Di bulan ini pula awal mula salat diperintahkan. Allah Swt. juga menjadikan Ramadhan sebagai bulan paling spesial karena di dalamnya ada “Lailatu Qadar”, malam seribu bulan, malam di mana seluruh pahala dilipatgandakan. Oleh karena itu, wajar jika “religiusitas” umat Muslim di belahan dunia ini seolah meningkat drastis begitu memasuki bulan suci Ramadhan. Ruang publik tiba-tiba disesaki banyak simbol-simbol keislaman, mulai dari musik-musik religius, sinetron-sinetron bertema keagamaan, basa-basi di iklan-iklan tv, kegiatan buka bersama, hingga pakaian muslim-muslimah.

Namun, terlepas dari itu semua, setidaknya ada tiga mentalitas manusia dalam relasinya dengan Tuhan. Ketiga relasi itu menandai tingkatan (maqâm) orang di mata Tuhan.

Pertama, mentalitas budak (‘âbid). Ia menjalankan segala perintah atau meninggalkan larangan Tuhan karena diperintah oleh Tuhan. Tuhan, dalam imajinasinya, digambarkan sebagai Tuan atau Majikan. Manusia adalah hamba atau budaknya. Karena itu, sebagai seorang hamba, manusia harus siap menerima perintah apapun dari Tuannya. Jika menolak atau membangkang akan dihukum. Neraka tempat hukuman bagi pembangkang atau pemalas, sedangkan surga adalah tempat orang-orang taat dan patuh.

Manusia tak memiliki pilihan apa pun di hadapan Tuhannya. Tujuan hidup manusia hanyalah untuk mengabdi kepada Tuhan [QS. al-Tur: 56]. Manusia tak punya pilihan apapun kecuali menuruti segala perintah dan larangan-Nya tanpa reserve.

Manusia budak adalah manusia yang tidak memiliki kemerdekanaan dan kebebasan, karena kemerdekaan dan kebebasan hanyalah milik Tuan atau Majikan. Juga tak memiliki rasionalitas karena rasionalitasnya adalah rasionalitas Tuan atau Majikan.

Kedua, mentalitas pedagang (tujjâr). Ia menjalankan atau meninggalkan perintah Tuhan karena berharap mendapat pahala (keuntungan) dari Tuhan. Jika taat akan mendapat keuntungan (reward). Jika membangkan akan mendapat hukuman (punishment).

Manusia pedagang mendasarkan segalanya pada untung-rugi. Hidup adalah akumulasi keuntungan, meminimalisir kerugian. Tuhan wajib memberinya pahala.

Dan ketiga, mentalitas orang pilihan (khiyâr). Segala sikap dan tindakannya tidak lagi didasarkan pada perintah atau larangan. Juga bukan karena untung-rugi (pahala). Manusia pilihan bukan budak juga bukan pedagang. Ia menjalankan ibadah karena ia memang butuh beribadah kepada Tuhan. Dan ia meninggalkan larangan Tuhan karena ia sadar bahwa larangan itu tidak baik dan berdampak buruk bagi diri sendiri. Manusia pilihan sepenuhnya menyadari sikap dan tindakannya. Bukan karena paksaan atau dorongan pihak luar. Ia adalah manusia bebas dan merdeka. Juga memiliki otoritasnya sendiri.

***

Di mata manusia Tuhan tampil dengan berbagai macam bentuk dan penampakan. Tuhan juga bisa didekati dengan berbagai macam cara dan pendekatan, tergantung tanggapan dan persepsi manusianya. Karena itu, tidaklah aneh apabila dalam beragama kita menemukan beragam dan bermacam-macam ekspresi keberagamaan. Sebetulnya semua bergantung pada bagaimana orang memahami Tuhannya.

Tuhan bisa jauh dan tak terjangkau (transenden) dari kehidupan manusia. Namun, Tuhan juga bisa begitu akrab dan dekat (imanen). Tuhan bisa terkesan kejam, bengis, dan suka marah dan murka, tetapi juga bisa tampil lembut dan penuh kasih sayang. Tuhan tergantung persepsi hambanya. “Anâ ‘inda dzanni abdîy bîy” (Aku tergantung prasangka hambaku padaku, kata Tuhan).[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.