Bedah Buku “Kumpulan Bahan Ajar: Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” Bersama Gus Mus dan Buya Husein

SELASA, 26 April 2016, saya mewakili tim penulis Rumah KitaB menghadiri acara bedah buku “Kumpulan Bahan Ajar: Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” dalam rangka memperingati 1 Abad Madrasah dan 191 Tahun Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang. Acara tersebut dimeriahkan dengan kehadiran KH. Mustafa Bisri dan KH. Husein Muhammad, kedua tokoh bangsa yang berpengaruh dalam bidang keagamaan di tanah air.

Acara bedah buku ini diadakan oleh pihak Ponpes Bahrul Ulum atas inisiatif para kiyai dan santri dalam rangka memperingati 1 Abad Madrasah dan 191 Tahun Ponpes Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, untuk meneladani kiprah para kiyai dan dunia pesantren bagi pengembangan pendidikan keagamaan yang lentur dan mendalam di tanah air, berasaskan nilai-nilai yang diteladani para santri dari para kiyai dan ibu nyai dalam membangun kepribadian para santri.

Ratusan kiyai dan gus, masyarakat dan sepuluh ribu santri yang berasal dari Ponpes Bahrul ulum dan sekitarnya antusias menghadiri acara tersebut. Antusiasme para peserta yang luar biasa ditanggapi dengan kesiapan panitia yang super sigap, yang dipimpin oleh KH. Fadlullah Malik, M.MPd., dan Dr. Muhyiddin wakil Rektor Universitas Wahab Hasbullah, dalam menangani acara besar tersebut. Panitia menyediakan 4 lokasi besar sebagai tempat berkumpulnya para hadirin yang hadir. Aula utama tempat Gus Mus, Buya Husein dan saya selaku pembicara berkapasitas empat ratus peserta, terdiri dari para kiyai, para ibu nyai, dan para mahasiswa Universitas Wahab Hasbullah (Unwaha) yang merupakan santri senior, sisanya di tempatkan di dua gedung besar, dan sebuah lapangan besar, diletakkan puluhan TV layar besar dengan sound sistem yang mengaung-mengaung ke angkasa. Para hadirin antusias memerhatikan jalannya acara melalui layar televisi yang disediakan panitia.

Tentu, sebuah peringatan yang luar biasa, penulis sangat bersyukur, sebuah keberkahan tersendiri kehadiran Gus Mus dan Buya Husein menyedot perhatian puluhan ribu pasang mata dalam mengikuti rangkaian acara bedah buku ”Kumpulan Bahan Ajar: Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren”, buah karya tim penulis Rumah KitaB yang dicetak awal 2014 silam.

Acara tersebut dibuka oleh Bapak KH. M. Irfan Sholeh, M.MPd., selaku ketua Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, dan sambutan dari ketua panitia, KH. Fadlullah Malik, M.Hi., dan Dr. Muhyiddin. Dalam kesempatan tersebut para narasumber mengucapkan selamat ulang tahun Ponpes Bahrul Ulum, selamat hari besar peringatan 1 Abad Madrasah dan 191 Tahun Pondok Pesantren Bahrul Ulum.

Acara Bedah Buku dimoderatori langsung oleh Dr. Muhyiddin, selaku wakil Rektor Universitas KH. Wahab Hasbullah. Dalam pengantar diskusi, moderator menyampaikan bahwa buku “Kumpulan Bahan Ajar: Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” banyak mengupas tradisi luhur pesantren mengingatkan para praktisi pendidikan untuk menghidupkan tradisi luhur pesantren yang sarat nilai di masa modern yang telah mengikis kehidupan banyak remaja di tanah air.

Moderator memberikan kesempatan kepada saya selaku perwakilan dari tim penulis untuk berbicara terlebih dahulu. Dalam kesempatan tersebut, penulis memaparkan tentang Rumah KitaB secara singkat, lalu menjelaskan latar belakang penulisan buku, tujuan penulisan, hingga metodologi penulisan. Buku “Kumpulan Bahan Ajar: Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” merupakan hasil riset dari berbagai pesantren di tanah air. Penulisan buku ini dilatarbelakangi ketidaktersediaan bahan ajar yang fokus pada pendidikan karakter di tanah air, sementara perkembangan karakter remaja di negara ini makin mengalami kemunduran, banyaknya tawuran antar pelajar yang tidak jarang memakan korban, lontaran hatespeech antar pelajar melalui media sosial yang seringkali bermotif SARA, dan hilangnya semangat belajar pada sebagian remaja, mereka lebih senang nongkrong hingga larut malam, sehingga menimbulkan dampak sosial lain yang mengiringi, seperti menjadi korban bandar narkoba, dan dunia gelap lainnya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa sekolah tidak lagi berfungsi sebagai pusat pembangun karakter remaja tapi hanya berfungsi sebagai sarana belajar formal biasa, masuk jam 07.00 pagi untuk mengerjakan tugas soal-soal untuk ujian nasional, lalu pulang menjelang sore. Yang penting LULUS! Mengkhawatirkan, mereka dibentuk hanya sebagai spesialis mengerjakan soal-soal ujian, sebatas itu, namun karakter remaja tidak dibangun, karena saat itu belum tersedia buku khusus sebagai media pembelajaran dan pendidikan nilai dengan konsep dan metodologi yang ramah anak yang menjadi pegangan utama para guru di kelas.

Sementara itu, tanah air kita memiliki segudang warisan pendidikan nilai yang melimpah yang bersumber dari tradisi pendidikan pesantren yang luhur yang belum dieksplorasi. Oleh karena itu, pada awal tahun 2014, Rumah KitaB berhasil menyelesaikan buku hasil penelitiannya dari berbagai dunia pesantren dengan memasukkan 15 nilai, sebagai nilai induk dari nilai-nilai lain, ke dalam buku tersebut. buku ini banyak mengadopsi puisi-puisi dan kisah-kisah dari para kiyai sepuh di dunia pesantren, diskripsi nilai dengan berbagai tafsiran ringan berbagai dalil dari al-Qur’an dan Hadits yang diambil dari kesimpulan bacaan dari berbagai kitab kuning, sehingga buku ini bisa dibaca untuk para pelajar dari berbagai jenis lembaga pendidikan di tanah air. Sebelum di Jombang, Rumah kitaB telah berhasil mengadakan pelatihan, bedah buku di berbagai daerah di tanah air yang telah melibatkan ratusan guru dan pelajar yang mewakili lembaga pendidikan masing-masing.

Setelah paparan dari penulis, pembicara selanjutnya yaitu Gus Mus, sosok ulama kharismatik di tanah air, yang memaparkan bahwa pesantren, di zaman dulu, lebih mengedepankan unsur pendidikan (tarbiyah) ketimbang pengajaran (ta’lim)-nya. Saat ini kondisinya 180 derajat terbalik, madrasah tambah mentereng, bangunan pesantren kian menjulang tinggi, tetapi kiyainya “nganggur”, karena sudah ada manajemen dan struktur organisasi yang rapi sehingga tidak melibatkan kiyai secara langsung di pesantren. Jika hendak mengembalikan marwah pesantren kembali ke era kejayaannya, kiyai sekarang perlu berjihad keras untuk mencapai taraf keikhlasan kiyai-kiyai tempo dulu yang tidak pernah membutuhkan apa-apa dari pihak lain. Gus Mus sangat mengapresiasi pandangan Buya Kyai Husein di dalam salah satu karyanya bahwa zuhud perlu digalakkan di masa sekarang, namun terlalu berat untuk diterapkan dalam kondisi saat ini, bisa dibilang, terlalu ekstrim. Kita bisa berangkat melalui konsep kecil berupa “kesederhanaan”, sebab kesederhanaan akan melahirkan “kekayaan dari dalam” bukan “kekayaan dari luar”.

Menurut Gus Mus, yang hilang dari para mubaligh, pendidik, dan dai zaman ini adalah ruh al-da’wah (ruh dakwah) yang sejuk. Ruh al-da’wah yang ditebarkan oleh Nabi SAW, Wali Songo, dan ulama-ulama salaf terkikis oleh model dakwah yang mengancam dan menakutkan. Model dakwah seperti ini tidak mengajak tapi malah mendepak. Padahal Nabi SAW diutus untuk mengajak bukan untuk melaknat. Pada dasarnya, terdapat perbedaan tajam antara makna dakwah (ajakan) dan amar (perintah). Tapi kini kedua terma itu dicampuradukkan maknanya sehingga menghasilkan konsep yang rancu.

Kebanyakan kiyai dulu tidak mengenal terma “nasionalisme” namun para kiyai menyadari bahwa Indonesia itu rumah kita, maka harus dijaga dan tidak boleh dirusak atau dijajah. Oleh karena itu, santri yang tidak mencintai negerinya akan kualat oleh petuah Mbah Wahab, Mbah Hasyim Asy’ari, dan kiyai-kiyai lain yang menyimpan rasa cinta terhadap Indonesia di dalam setiap urat nadinya.

Menurut Gus Mus, di antara penyakit serius di zaman sekarang yaitu kepentingan dulu yang dikedepankan baru mencari dalil kemudian. Ini berbanding terbalik dengan tradisi ilmiah di dunia pesantren yang memiliki tanggung jawab sampai hari kiamat. Gus Mus mengapresiasi buku “Kumpulan Bahan Ajar: Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” yang mengangkat cerita-cerita dan kisah-kisah inspiratif dalam menyampaikan pesan, karena metode cerita itu tidak mengancam tetapi meresap.

Sementara itu, Buya Husein menekankan pentingnya membangun kesadaran di dalam diri bangsa saat ini, kesadaran untuk merenungi berbagai kekurangan yang ada, merenungi berbagai permasalahan sosial yang terjadi, merenungi berbagai jalan keluar yang dibutuhkan. Permasalahan sosial selalu berkaitan erat dengan ketidak berhasilan lembaga pendidikan dalam pembangunan karakter para siswa/i. Oleh karena itu, pesantren harus mengembalikan marwahnya agar keluhuran pesantren seperti yang telah berhasil tercipta di masa lalu dapat hadir di masa sekarang. Buya Husein mengapresiasi setinggi-tingginya kehadiran buku “Kumpulan Bahan Ajar: Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren“, untuk mengingatkan pentingnya pendidikan berbasis nilai yang telah ditelurkan oleh para ulama dulu ke dalam kehidupan masa kini. Setelah itu Buya Husein membaca dan menyanyikan banyak puisi Arab yang sarat pesan nilai di dalamnya.

Acara ditutup dengan bacaan puisi dari Gus Mus, tentang hubb al-wathan (nasionalisme) berjudul “Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu“, buah karya Gus Mus sendiri, yang terdapat di dalam buku “Kumpulan Bahan Ajar: Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren“, hal. 38-40, setelah itu diiringi musik bertema kebangsaan dengan lirik khas pesantren, lagu berjudul “Syubbanul Wathon“, sebuah lagu karya Mbah Wahab Hasbullah, ulama besar dari Jombang, rekan seperjuangan Mbah Hasyim Asy’ari, pendiri NU.[]

1 reply

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.