Puasa: Praktik Spiritual dan Sosial

PUASA bulan Ramadhan disyariatkan pada tahun kedua setelah Hijrah, yaitu pada saat turunnya sejumlah ayat dari surah al-Baqarah, ayat 182 – 187. Biasanya, ayat-ayat ini dibaca sebagai bacaan yang murni doktrinal, untuk menarik berbagai hukum terkait dengan puasa. Setelah menyebut kewajiban puasa di dalam QS. al-Baqarah: 183, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa,” segera disusul dengan menyebut orang-orang yang tidak mampu berpuasa, di antaranya orang sakit dan musafir, dan al-Qur`an memberikan keringanan dan memaafkan mereka.

Jika kita membaca ayat-ayat ini sebagai bacaan spiritual dan sosial, yaitu bacaan yang menganggap puasa sebagai praktik spiritual dan sosial, ada dua hal yang menarik perhatian kita:

Pertama, terkait dengan citra Tuhan yang mewajibkan puasa ini. Kalau membaca ayat ini, sekilas tampak bahwa Allah membebankan tugas yang sulit, dan seolah-olah Dia memang menghendaki kesulitan itu sendiri. Namun, kita menemukan bahwa hal pertama yang menjadi perhatian Allah setelah memerintahkan puasa dalam QS. al-Baqarah: 183, adalah mengenai kondisi orang-orang lemah yang akan kesulitan menjalankan kewajiban tersebut, dan Dia menekankan,

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu,” [QS. al-Baqarah: 185].

Jadi, citra Allah yang penuh belas kasih itu muncul di sini, yang menegaskan dalam ayat berikutnya mengenai kedekatan-Nya dengan manusia,

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka [jawablah], bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,” [QS. al-Baqarah: 186].

Sungguh luar biasa, bahwa kehendak kemudahan Ilahi (irâdah al-yusr al-ilâhîy) dimanifestasikan al-Qur`an dalam konteks kewajiban puasa.

Kedua, yang sangat mencolok dan berdimensi sosial, adalah bahwa Allah mewajibkan memberi makan orang-orang miskin sebagai pengganti bagi mereka yang tidak dapat berpuasa,

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, [yaitu]: memberi makan seorang miskin,” [QS. al-Baqarah: 184].

Karena pengganti puasa adalah tindakan sosial, itu mengajak kita untuk memahami puasa tidak hanya sebagai praktik spiritual murni, tetapi juga sebagai praktik sosial. Di sini dua citra bertemu: citra Tuhan yang Pengasih dan Penyayang, yang sangat peduli kepada orang-orang lemah, dan citra puasa sebagai praktik sosial, untuk mengejawantahkan nilai-nilai kebaikan dan cinta di antara manusia.

Dengan demikian, makna puasa menjadi jauh lebih dalam daripada makna fisik semata, yaitu menjauhi makanan dan minuman, atau bahkan hanya makna moral negatif, yaitu berhati-hati untuk tidak berbohong, memfitnah, atau bergosip selama berpuasa. Untuk memperoleh makna spiritual dan sosial, orang yang berpuasa dituntut melalui puasanya—karena ia adalah tangan yang dengannya kehendak Tuhan terwujud—untuk membantu orang-orang lemah serta menghapuskan kekhawatiran dan penderitaan mereka.

Karena itu, mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan mendekati orang-orang lemah (al-dhu’afâ`) dan orang-orang miskin (al-masâkîn), dan dengan bekerja menyediakan sarana-sarana sosial untuk mengejawantahkan nilai-nilai kemanusiaan. Di sini, kita harus memperluas konsep si lemah dan si miskin, di luar ranah material. Setiap orang yang tertindas, dan setiap orang yang tidak menikmati haknya sebagai manusia yang merdeka, bermartabat dan terhormat, adalah orang-orang lemah. Demikian pula, masyarakat yang tidak memiliki akses kepada pendidikan dan pembangunan, juga merupakan masyarakat yang lemah.

Dengan demikian, Ramadhan menjadi bulan untuk mempertanyakan diri individu (al-dzât al-fardîyyah) dan diri kolektif (al-dzat al-jam’îyyah) terkait peran-perannya dalam membela nilai-nilai kemanusiaan dan mewujudkan keadilan, terutama di masyarakat kita, di mana ritual keagamaan seperti puasa, shalat, haji dan lainnya dipraktikkan dengan mengikuti aturan-aturan fikih yang sangat ketat. Fatwa-fatwa puasa yang tersebar, misalnya, khususnya di bulan Ramadhan, lebih banyak menonjolkan aturan-aturan fikih itu. Tetapi pada saat yang sama, kita tidak menemukan resonansi sosial dari praktik-praktik tersebut.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memikirkan kembali konsep ritual keagamaan seperti puasa, dan bagaimana ia dapat dipahami sebagai praktik spiritual dan sosial, dengan tidak membatasinya hanya sebagai jalan menuju keselamatan pribadi (al-khalâsh al-syahshîy). Di dalam konsep agama-agama samawi, keselamatan (al-khalâsh) atau kebahagiaan abadi (al-sa’âdah al-abadîyyah) tidak dapat diperoleh manusia tanpa memberikan kontribusi positif kepada masyarakat melalui perbuatan baik. Al-Qur`an selalu menegaskan bahwa iman dan amal saleh (perbuatan baik) adalah kembar yang tak terpisahkan, “Orang-orang yang beriman dan beramal saleh.” Tidak ada iman tanpa amal saleh, dan tidak ada puasa tanpa dimensi sosial yang baik.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.