Pos

Perempuan dan Seni: Mencipta dalam Bayang-bayang Kekerasan

Perempuan telah menjadi bagian integral dari dunia seni sejak lama. Peran mereka tidak hanya sebagai objek yang diabadikan dalam karya seni, tetapi juga sebagai subjek yang menciptakan, menginspirasi, dan membentuk ekosistem seni. Kini, keterlibatan perempuan dalam seni semakin terlihat. Banyak organisasi dan komunitas seni yang didirikan untuk mewadahi dan mendukung perempuan, seperti Jaringan Seni Perempuan, Perempuan Lintas Batas, dan Koalisi Seni. Organisasi-organisasi ini menjadi ruang bagi perempuan untuk berkarya dan menyuarakan isu-isu krusial, termasuk kesetaraan gender, yang selama ini kerap diabaikan dalam percakapan seni arus utama.

Namun, di balik peran yang kian masif ini, perempuan dalam seni masih menghadapi ancaman serius: pelecehan seksual dan objektifikasi. Seni, yang seharusnya menjadi medium untuk kebebasan berekspresi dan pemberdayaan, sering kali menjadi ranah yang tidak aman bagi perempuan. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun langkah-langkah penting telah diambil, masih ada kesenjangan besar dalam menciptakan ruang aman yang inklusif.

Seni Pertunjukan dan Kerentanan Perempuan

Dalam seni pertunjukan, perempuan sering kali menjadi sasaran pelecehan seksual. Salah satu contohnya adalah dalam seni tari tradisional yang melibatkan praktik “saweran.” Di beberapa daerah, kegiatan ini telah menjadi bagian dari tradisi, tetapi tradisi tersebut kerap dimanfaatkan oleh penonton laki-laki untuk melecehkan penari perempuan. Memberikan uang saweran sering kali dijadikan pembenaran untuk menyentuh tubuh penari, mereduksi martabat mereka sebagai seniman menjadi sekadar objek hiburan.

Saweran, yang pada awalnya bertujuan sebagai bentuk apresiasi, kini sering kali menyimpang menjadi ajang eksploitasi. Penari perempuan tidak hanya harus berjuang untuk mempertahankan profesionalisme di atas panggung, tetapi juga menghadapi ancaman pelecehan yang nyata. Beberapa studi menunjukkan bahwa pelecehan ini tidak hanya terjadi dalam lingkungan pertunjukan tradisional, tetapi juga di ruang-ruang seni kontemporer, meskipun bentuknya mungkin berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan sekadar masalah budaya lokal, tetapi bagian dari masalah global yang lebih besar: yaitu bagaimana perempuan sering kali diposisikan sebagai objek dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk seni.

Selain tari, seni teater juga tidak lepas dari isu serupa. Peristiwa yang terjadi pada Festival Teater Jakarta 2024 menjadi bukti nyata. Dalam forum diskusi teknis, seorang perempuan pelaku seni teater dilecehkan secara verbal oleh rekan laki-lakinya, yang mengucapkan kata-kata tak senonoh dengan nada merendahkan. Kejadian ini menunjukkan bahwa bahkan di ruang-ruang yang seharusnya menjadi wadah profesional, perempuan tetap menghadapi ancaman terhadap keamanan dan martabat mereka. Lebih menyakitkan lagi, banyak korban pelecehan yang tidak melaporkan kasusnya karena takut akan stigma sosial atau kehilangan kesempatan di dunia seni.

Struktur Patriarki dalam Dunia Seni

Pelecehan seksual yang dialami perempuan dalam seni tidak dapat dilepaskan dari dominasi patriarki yang masih kuat. Dalam ekosistem seni, perempuan sering kali ditempatkan sebagai pelengkap, bukan aktor utama. Objektifikasi perempuan, baik dalam karya seni maupun dalam proses penciptaannya, menciptakan ketimpangan yang terus-menerus memperlemah posisi perempuan. Perspektif dan suara perempuan sering kali diabaikan, sehingga mereka kehilangan ruang untuk benar-benar mengekspresikan diri.

Sebagai contoh, dalam seni rupa, perempuan masih sering digambarkan sebagai sosok pasif, seperti “muse” yang hanya menjadi inspirasi bagi seniman laki-laki. Representasi semacam ini tidak hanya memperkuat stereotip gender, tetapi juga membatasi potensi perempuan sebagai kreator yang aktif. Lebih jauh lagi, patriarki juga memengaruhi distribusi kesempatan di dunia seni. Banyak perempuan pelaku seni yang melaporkan bahwa mereka harus bekerja lebih keras daripada rekan laki-laki mereka untuk mendapatkan pengakuan yang sama.

Langkah Menuju Ruang Aman

Isu pelecehan seksual dalam dunia seni tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan sporadis. Diperlukan panduan yang jelas untuk melindungi perempuan pelaku seni. Pada 2023, Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) meluncurkan Panduan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dalam Produksi Film. Langkah ini menjadi terobosan penting dalam memastikan bahwa pekerja seni, terutama perempuan, memiliki perlindungan yang memadai. Sayangnya, kebijakan serupa belum diterapkan secara luas di semua cabang seni.

Panduan seperti ini sangat penting untuk memastikan adanya sistem pelaporan yang jelas dan dukungan yang memadai bagi korban. Lebih dari itu, komunitas seni juga perlu menyelenggarakan pendidikan tentang kesetaraan gender, melibatkan laki-laki sebagai bagian dari solusi, dan mempromosikan perubahan budaya. Penerapan langkah-langkah ini harus didukung oleh semua pihak, mulai dari institusi pendidikan seni, komunitas lokal, hingga pemerintah.

Menciptakan Seni yang Berkeadilan

Dunia seni adalah ruang untuk menciptakan keindahan, menyuarakan kebenaran, dan melawan ketidakadilan. Namun, keindahan seni tidak akan bermakna jika di dalamnya terdapat ketimpangan dan kekerasan. Keterlibatan perempuan dalam seni harus dilihat sebagai kekuatan yang memajukan, bukan ancaman bagi struktur yang ada.

Membangun ruang aman bagi perempuan bukanlah tugas satu pihak saja, tetapi tanggung jawab bersama. Dunia seni hanya akan mencapai potensinya yang sejati jika setiap individu, terlepas dari gendernya, dapat berkarya dengan bebas dan tanpa rasa takut. Karena seni, pada akhirnya, adalah milik semua orang—tanpa diskriminasi.

Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Pemulihan di Wilayah Pascakonflik

Meski kejadiannya terkadang tidak begitu lama, konflik meninggalkan beban, bekas, dan luka yang perlu dipulihkan. Korban-korban konflik bukan hanya korban langsung, melainkan juga termasuk anak dan keluarga korban, anak dan keluarga pelaku, masyarakat sekitar, maupun masyarakat yang letaknya jauh.

Saya tertarik membahas tentang kepemimpinan perempuan ini setelah mengunjungi Pameran Biennale Jogja 2023. Lian Gogali dan Institut Mosintuwu di Poso menjadi salah satu yang karya-karyanya dipajang. Mengangkat topik pemulihan dan penguatan pascakonflik dalam ruang seni sangat penting agar masyarakat lebih bisa belajar, supaya konflik serupa tidak terjadi kembali. Pameran tersebut berisi arsip-arsip Institut Mosintuwu berupa cerita perempuan yang berdaya, advokasi korban kekerasan dan tantangannya, puisi, koleksi foto, hingga arsip-arsip berupa catatan pelatihan kepenulisan, gender, agama, potensi budaya, dan kemanusiaan.

Berawal dari rasa keprihatinan atas tragedi yang mengatasnamakan agama, yang sejatinya adalah konflik kepentingan, Lian Gogali mendirikan Institut Mosintuwu pada tahun 2009 di Poso, Sulawesi Tengah. Lian Gogali memiliki cita-cita untuk membuat perempuan-perempuan akar rumput di sekitar Poso bisa berdaya untuk dirinya sendiri dan orang lain.

Institut Mosintuwu merupakan organisasi masyarakat akar rumput yang anggotanya terdiri dari para penyintas konflik Poso beberapa tahun silam yang berasal dari beragam latar belakang suku dan agama di Poso dan sekitarnya. ‘Mosintuwu’ diambil dari bahasa Pamona yang berarti ‘Bekerja bersama-sama’. Kemudian ditambah dengan kata ‘Institut’ yang menggambarkan semangat Mosintuwu sebagai ruang kritis dalam menanggapi berbagai fenomena sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan di Poso.

Perempuan lintas agama dan kepercayaan diajarkan mengenai toleransi, menulis, membaca, berbicara di depan umum, membuat kerajinan, berorganisasi, dan menjadi pemimpin. Institut Mosintuwu memiliki website (mosintuwu.com), radio, dan podcast (siniar). Metode pembelajarannya yaitu dengan diskusi kelompok, ceramah, membuat atau diskusi mengenai film, menyanyi, menari, bahkan debat.

Hal-hal yang dipelajari oleh perempuan-perempuan tersebut meliputi agama, toleransi, perdamaian, gender, perempuan dan budaya Poso, kesehatan dan hak reproduksi, keterampilan berbicara dan bernalar, hak layanan masyarakat, hak ekonomi, sosial, budaya, dan sipil, politik, ekonomi, dan komunitas.

Para perempuan yang belajar di Institut Mosintuwu menjadi lebih berdaya, bisa menjadi pemimpin, memiliki toleransi yang tinggi, serta dapat menyuarakan apa yang dirasakan. Kearifan lokal, perspektif gender, dan agama adalah kunci pengajaran toleransi di Institut Mosintuwu.

Lian Gogali percaya bahwa penguatan kualitas diri bagi perempuan akar rumput merupakan hal yang mendesak. Para perempuan dari Institut Mosintuwu menjadi berdaya, berani, dan terlibat aktif dalam mengelola desa. Perempuan menjadi lebih peka terhadap sekitar dan membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan perempuan. Inisiatif Konferensi Perempuan Poso dan Sekolah Pembaharu Desa yang berangkat dari realitas di sekitar ini mampu berperan mengadvokasi masalah-masalah kekerasan, diskriminasi gender, dan lingkungan. Gerakan Institut Mosintuwu tumbuh secara organik berkat dorongan semangat dan antusiasme masyarakat sekitar.

Kepemimpinan perempuan dan regenerasinya merupakan hal yang sangat penting. Kebutuhan perempuan harus bisa disuarakan, didengar, dan dicukupi, misalnya tentang fasilitas kesehatan reproduksi, konseling, dan pemulihan. Suara perempuan yang berpihak kepada kelompok rentan dan berisi kejujuran merupakan hal yang perlu terus direproduksi dan dikuatkan. Perempuan pun perlu mencengkeram dan terlibat politik di tingkat desa agar kebijakan yang dikeluarkan bisa sesuai dengan kebutuhan perempuan dan anak. Suara perempuan jangan sampai malah berpihak kepada pemilik kapital, dan hanya dijadikan simbol, tidak mewakili kelompok rentan (tokenisme).

Sekarang, kita mengerti bahwa peran kepemimpinan perempuan dalam pemulihan di wilayah pascakonflik adalah memberikan rasa aman, percaya, kasih sayang, dan pendidikan supaya masyarakat bisa berdaya bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain, bisa melanjutkan kehidupan, dan menginspirasi masyarakat sekitar maupun masyarakat di luar.

Saya dan kawan-kawan mahasiswa berkesempatan untuk mengunjungi Dodoha Mosintuwu di Tentena, Poso pada penghujung September 2019. Malam itu, kala hujan lebat mengguyur, kami bertemu dengan Lian Gogali. Kami disuguhi beragam makanan, seperti ikan dan sambal dabu-dabu, menonton video dokumenter, dan berbincang-bincang. Ada pula peneliti dari luar negeri yang sedang melakukan penelitian di Poso.

Pertemuan secara langsung dengan pemimpin perempuan yang berperspektif feminis merupakan hal yang sangat saya syukuri dan sampai sekarang menginspirasi saya untuk memaksimalkan potensi dalam bidang perdamaian.

Krisis Lingkungan Butuh Sentuhan Perempuan

Bila kita berbicara soal perubahan iklim dan lingkungan, pasti kita langsung terbayang tentang musim kemarau yang berkepanjangan, bencana banjir, atau bahkan polusi udara yang makin parah. Namun, pernahkah kita berpikir siapa saja yang membuat kebijakan untuk menyelamatkan bumi ini? Ternyata, perempuan sering sekali terpinggirkan dari ruang pengambilan keputusan lingkungan.

Dengan tantangan perubahan iklim yang semakin mendesak, dunia tidak bisa lagi mengabaikan potensi perempuan. Sudah saatnya kita menggeser paradigma dan memastikan bahwa perempuan mendapatkan tempat di meja pengambilan keputusan, bukan hanya demi kesetaraan, tetapi demi menyelamatkan bumi yang kita tinggali bersama.

Kenapa Perempuan Penting untuk Memutuskan Kebijakan?

Perempuan biasanya lebih dekat dengan alam. Jika kita lihat di desa-desa, perempuan sering kali yang paling tahu soal cara mengatur air, menghemat energi, atau bahkan mengelola lahan kecil untuk bercocok tanam. Mereka memiliki pengalaman langsung. Jadi, logis kalau suara mereka sangat diperlukan dalam diskusi besar soal kebijakan lingkungan. Tapi kenyataannya, hanya sedikit perempuan yang memiliki posisi untuk benar-benar memengaruhi kebijakan ini.

Data baru dari Women’s Environment & Development Organization (WEDO) menunjukkan 34% partisipasi perempuan dalam delegasi partai di CoP28, persentase yang sama dengan 10 tahun lalu. Bahkan organisasi lingkungan berbasis Islam, yaitu Green Islamic yang dipimpin perempuan, hanya mencatat sekitar 24%.

Padahal, dalam hal membangun ketahanan iklim di masyarakat, melibatkan perempuan sangat penting. Faktanya, PBB melaporkan bahwa masyarakat lebih berhasil dalam strategi ketahanan dan pengembangan kapasitas ketika perempuan menjadi bagian dari proses perencanaan. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa ketika perempuan terlibat, kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan ramah lingkungan.

Hal ini dibuktikan secara global. Perempuan telah menunjukkan potensi mereka dalam memimpin perubahan. Contohnya, Greta Thunberg dan Christiana Figueres adalah dua tokoh yang menjadi simbol perjuangan lingkungan dunia. Greta memimpin gerakan “Fridays for Future,” sementara Christiana Figueres memainkan peran penting dalam “Perjanjian Paris 2015.” Kepemimpinan mereka membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk memobilisasi massa dan menciptakan perubahan sistemik.

Hambatan yang Terus-Menerus Menghadang

Ada banyak hambatan yang membuat perempuan sulit berkontribusi secara penuh dalam isu-isu lingkungan. Hambatan ini bukan hanya persoalan struktural dan sosial, tetapi juga kultural.

Beberapa alasan mengapa perempuan susah masuk ke ranah kebijakan adalah partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan tentang lingkungan yang sangat minim. Islam mendorong perempuan untuk berkontribusi dalam kebaikan dan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk di ranah publik. Namun, hambatan sosial, seperti stereotip gender dan kurangnya dukungan keluarga, sering menjadi penghalang. Misalnya, perempuan yang ingin terlibat dalam program lingkungan sering kali dihadapkan pada tuntutan domestik yang lebih besar dibandingkan laki-laki.

Di banyak tempat, perempuan memiliki akses terbatas terhadap pendidikan formal, apalagi yang berkaitan dengan isu lingkungan. Padahal, pendidikan adalah kunci untuk memahami dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Perspektif Islam sangat jelas menekankan pentingnya pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW:
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan.” (HR. Ibnu Majah)

Budaya patriarki juga sering kali membuat peran perempuan hanya menjadi pelaksana kebijakan, bukan pembuat atau bahkan penentu kebijakan. Ini mempersempit ruang mereka untuk memberikan solusi yang inklusif dan inovatif dalam isu lingkungan.

Bagaimana Solusinya?

Aksi nyata peduli lingkungan, seperti menanam pohon demi masa depan yang lebih baik, perlu didorong lebih lanjut. Yang jelas, kita butuh perubahan cara pandang. Program-program seperti yang dilakukan oleh LLHPB Aisyiyah, dengan menggandeng perempuan sebagai aktor utama dan memasyarakatkan “Fikih Lingkungan,” bisa menjadi contoh yang baik. Mereka mencoba membawa perspektif Islam dalam upaya lingkungan, sekaligus mendorong perempuan untuk lebih aktif. Dengan begitu, agama bisa menjadi dasar untuk memperjuangkan isu lingkungan sekaligus memberdayakan perempuan.

Pesantren-pesantren juga bisa menjadi tempat yang strategis untuk edukasi lingkungan, misalnya dengan mengajarkan santri perempuan soal pengelolaan sampah secara 3R atau pengelolaan sumber energi dengan bijak.

Contoh lainnya di dunia internasional adalah Women and Environment Development Organization (WEDO). Organisasi ini memimpin kampanye global untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam isu perubahan iklim, seperti di UN Climate Summits. WEDO juga memfasilitasi perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan lingkungan. Hal ini bisa diimplementasikan di Indonesia dengan menyelenggarakan forum diskusi dan lokakarya yang melibatkan perempuan di kawasan rawan bencana untuk berbagi pengalaman dan solusi berbasis komunitas.

Atau bahkan dapat mengikuti langkah dari Gender and Climate Change Action Plan (GCCAP), yang memberikan panduan kepada negara-negara untuk mengintegrasikan gender ke dalam kebijakan iklim nasional. Perempuan dilatih untuk berpartisipasi dalam negosiasi kebijakan lingkungan. Apabila ini diimplementasikan di Indonesia, hal tersebut dapat membentuk kelompok advokasi khusus perempuan untuk isu-isu lokal seperti deforestasi, pencemaran air, atau pertambangan, dengan memberikan pelatihan hukum dan negosiasi kebijakan.

Pendekatan seperti ini menunjukkan bahwa dengan fokus pada perempuan, kita tidak hanya mendukung kesetaraan gender, tetapi juga menciptakan solusi lingkungan yang lebih efektif dan berkelanjutan. Dengan mengatasi beberapa hambatan dengan solusi di atas, perempuan dapat menjadi penggerak utama dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Perspektif Islam yang mendukung keadilan gender dan keberlanjutan harus dijadikan pedoman untuk memberdayakan perempuan di segala aspek, termasuk dalam pelestarian lingkungan lewat kebijakan-kebijakan strategis yang diambil. Perempuan tidak hanya terus-terusan menjadi korban perubahan iklim, tetapi juga pemimpin perubahan lewat penentu kebijakan.

Pembebasan Perempuan dari Stigma Kepemimpinan Patriarkis melalui Drama Korea “Queen Woo”

Rumah KitaB– Budaya patriarkis mengonstruksikan relasi laki-laki dan perempuan dalam hubungan superior-inferior. Di tengah keperkasaan dan kegagahan laki-laki sebagai pemimpin atau penguasa, perempuan hadir sebagai pendamping yang harus dilengkapi dengan kecantikan, kelemahlembutan, serta sikap yang patuh dan taat pada suaminya (Wiyatmi, Sari, & Liliani, 2020). Tidak sedikit pula yang terus mengagungkan dominasi logika pada laki-laki sebagai legitimasi bagi kelayakannya menjadi seorang pemimpin. Pada saat yang sama, dominasi intuisi daripada logika membuat perempuan dianggap sebagai tembok tinggi yang membuat perempuan tidak layak menjadi seorang pemimpin. Laki-laki menyikapi sesuatu melalui logika, sedangkan perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya. Hal ini membuat pembicaraan perempuan banyak yang tidak bermutu (Kuntjara, 2003, pp. 21–22).

Akan tetapi, kacamata maupun stigma patriarkis di atas mulai disadari kekeliruannya. Pandangan tersebut sarat akan diskriminasi terhadap perempuan. Kondisi ini direspons dengan munculnya gerakan feminis. Gerakan feminis hadir untuk membongkar berbagai stigma dan warisan dari patriarkis yang mendiskriminasi perempuan (Amin, 2015, pp. 75–79). Berbagai terobosan dilakukan gerakan feminis untuk menyuarakan kepentingan perempuan, salah satunya melalui budaya populer seperti novel, film, ataupun serial drama. Upaya ini juga diungkapkan dalam serial drama Korea yang berjudul “Queen Woo”.

Serial ini mengisahkan kepemimpinan ratu kerajaan Goguryeo, Woo Hee, ketika suaminya, Raja Go Nam-moo, meninggal. Di tengah desakan dari lima suku yang menginginkan takhta, serta para pangeran (saudara-saudara Go Nam-moo) yang juga menginginkan takhta raja, Ratu Woo dapat bertahan dari berbagai tekanan. Sikap dan keberanian Ratu Woo dalam drama ini menjadi sebuah bentuk perlawanan terhadap stigma bahwa perempuan adalah sosok yang lemah, inferior, dan harus selalu taat pada laki-laki (Se-Kyo, 2024).

Stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut dan inferior dibantah oleh Ratu Woo dengan memperlihatkan dirinya sebagai sosok yang kuat dan berani. Sejak muda, Ratu Woo telah mahir bela diri dan bermain catur. Kemampuan bela dirinya membuat ratu mampu melakukan perlawanan terhadap ancaman yang dialaminya selama berupaya mencari solusi melindungi takhta raja. Beberapa kali Ratu Woo harus melindungi diri dengan menghunuskan pedangnya. Kemampuannya bermain catur juga membentuk dirinya menjadi pengatur strategi yang andal (Se-Kyo, 2024).

Perlawanan Ratu Woo terhadap stigma inferioritas perempuan diperlihatkan dalam penolakannya menikahi Pangeran Go Bal-gi melalui pernikahan levirat. Keluarga ratu dan perdana menteri sempat memberi saran agar ratu menikahi Pangeran Go Bal-gi, karena Go Bal-gi adalah pewaris takhta yang paling potensial setelah Raja Go Nam-moo. Akan tetapi, ratu menolak pernikahan tersebut dan memilih menikahi pangeran Go Yeon Woo. Go Bal-gi dikenal sangat kejam pada rakyatnya, sehingga ratu menolak melakukan pernikahan levirat dengannya (Se-Kyo, 2024).

Keputusan ratu menolak Go Bal-gi makin memperjelas superioritas dan kemampuannya sebagai pemimpin. Ratu mendapat bujukan dan desakan dari pendukungnya untuk mengubah sikap karena tindakannya dapat memicu perang. Selain itu, ratu dan pelayannya harus berhadapan dengan pemburu “Macan Putih” yang dikirim oleh Go Bal-gi. Tekanan dari dua pihak tidak lantas melemahkan pendirian Ratu Woo. Ratu tetap bersikukuh dengan pendiriannya dan tidak gentar menghadapi konsekuensi dari pilihannya. Ratu tidak menyerah meyakinkan keraguan pengikut dan keluarganya, sekaligus menghadapi ancaman Go Bal-gi dengan keberanian (Se-Kyo, 2024).

Selain menunjukkan superioritas dan keberanian dalam diri perempuan, tindakan Ratu Woo juga memperlihatkan sikap visionernya. Ratu menolak jika orang kejam seperti Go Bal-gi menjadi raja, karena tentu akan menyengsarakan rakyat Goguryeo. Ratu berupaya melindungi Goguryeo dari penindasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, Ratu tidak memberi tempat untuk memimpin bagi penindas seperti Go-Bal-gi. Tindakan Ratu Woo mengindikasikan bahwa perempuan juga mampu mengambil kebijakan yang tidak sekadar menyelesaikan kebutuhan hari ini, tetapi juga kebutuhan yang berkelanjutan, jangka panjang, dan memikirkan kesejahteraan orang banyak (Se-Kyo, 2024).

Puncak dari kemampuan Ratu Woo menjadi pemimpin adalah keputusannya menjadi pemimpin perang dalam melawan pemberontakan Go Bal-gi yang menyerang istana Goguryeo. Setelah sampai di istana Goguryeo, Ratu Woo mengambil kepemimpinan dalam kerajaan Goguryeo, dan memimpin semua prajurit istana dan sekutunya untuk berperang menghadapi Go Bal-gi dan sekutunya (Se-Kyo, 2024).

Sepak terjang Ratu Woo dalam drama “Queen Woo” tidak sekadar kisah perjuangan seorang ratu dalam mempertahankan takhta kerajaan Goguryeo. Lebih dari itu, Ratu Woo secara aktif melakukan penyerangan terhadap stigma patriarkis yang mendiskriminasi perempuan dalam takhta kepemimpinan. Ratu Woo menunjukkan semua kriteria pemimpin dalam sikap dan tindakannya. Keberanian, tekad, kebijaksanaan, karakter visioner, bahkan kepiawaiannya mengatur siasat, mengindikasikan bahwa perempuan tidak kalah superior dari laki-laki. Perempuan juga bisa menjadi sosok yang tangguh di atas kursi kepemimpinan. Bahkan, perempuan menjadi sosok yang bijaksana dan visioner layaknya laki-laki. Patriarkis telah keliru mendefinisikan perempuan.

Belajar dari kisah Ratu Woo, saya merekomendasikan agar stigma bahwa perempuan tidak bisa memimpin segera ditinggalkan. Perempuan juga punya potensi untuk menjadi pemimpin, memiliki keberanian, menjadi superior, bahkan menjadi pemimpin yang visioner dan mampu memikirkan kesejahteraan semua orang. Oleh karena itu, perempuan dan laki-laki seharusnya didudukkan setara dalam akses terhadap posisi menjadi pemimpin.

Masalah yang kemudian tidak kalah urgen dalam upaya mewujudkan kesetaraan akses perempuan dan laki-laki menjadi pemimpin adalah pembebasan perempuan dari lingkungan yang memproteksi dan membatasi kemampuannya. Patriarkis mengidentikkan perempuan dengan lingkungan domestik, jauh dari gejolak sosial, tidak memiliki akses di ruang publik, bahkan tidak memiliki akses pendidikan yang layak. Perempuan juga perlu dibebaskan dari lingkungan yang protektif seperti ini. Sejak muda, Woo Hee telah membekali dirinya dengan ilmu bela diri, kecerdasan dalam permainan catur, serta keberanian. Keberanian Woo Hee menempatkan diri di luar lingkungan protektif inilah yang juga membuat dirinya mampu berdiri dan layak menjadi pemimpin.

Melalui kisah hidup Ratu Woo dalam drama “Queen Woo”, saya menarik sebuah kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama layak untuk duduk menjadi pemimpin. Hanya saja kesetaraan ini perlu diwujudkan secara komprehensif. Selain membuka pintu bagi perempuan untuk menaiki kursi kepemimpinan, perempuan juga perlu dibebaskan terlebih dahulu dari ruang-ruang protektif yang akan menghalangi pembentukan dirinya menjadi seorang pemimpin. Upaya inilah yang diharapkan akan mendobrak warisan dan stigma dari patriarkis, sehingga perempuan dapat berdiri sebagai pemimpin, setara dengan laki-laki.

Beragama Maslahat: Paradigma Baru Maqasid al-Syariah untuk Keadilan Gender

Rumah KitaB- Tulisan ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan penulis mengenai perlunya memikirkan kembali konsep maqasid al-syariah yang selama ini menjadi basis utama untuk merumuskan produk baru hukum Islam. Penulis menilai bahwa konsep maqasid lama telah ketinggalan zaman dan perlu merekonstruksi maqasid al-syariah baru yang lebih lengkap dan kontekstual.

Contohnya, prinsip maqasid al-syariah mula-mula dikembangkan dari kajian literatur fikih, dan tidak secara langsung mengambil dari sumber otoritatif seperti Al-Qur’an dan hadits, sehingga cakupan dan perspektif dari maqasid lama menjadi sangat terbatas dan kurang menjangkau nilai-nilai qur’ani yang lebih substansial dan universal.

Sebagai agama, Islam seharusnya dapat memberi maslahat yang seluas-luasnya bagi kehidupan masyarakat. Namun, ketika proyeksi hukum hanya dibatasi pada model maqasid lama, misalnya kebijakan hukum hanya diorientasikan pada perlindungan secara individual pada akal, agama, jiwa, keturunan, dan harga, maka jelas model kemaslahatan ini menjadi sangat terbatas dan tidak mencakup kepentingan umat yang lebih luas.

Kata kuncinya adalah maqasid versi lama hanya membatasi pada kemaslahatan individu dan untuk umat Islam saja. Hal ini menyempitkan peluang Islam dalam memberi solusi dan kemaslahatan pada kehidupan masyarakat yang lebih luas (public interest, commone good). Padahal, kehidupan sosial sekarang ini, dengan adanya negara-bangsa dan globalisasi, umat Islam dihadapkan pada persoalan yang begitu kompleks yang mengharuskan untuk mengkaji ulang produk hukum Islam yang lebih menyentuh pada isu-isu kekinian.

Misalnya menyentuh isu kesetaraan gender, keadilan, hak asasi manusia, kebebasan, dan demokrasi. Maqasid lama ternyata memang benar-benar belum menyentuh isu-isu ini. Padahal sekarang ini isu seputar keadilan gender dan kebebasan menjadi tema yang sangat umum dan menjadi perbincangan akademis di seluruh dunia. Bila gagasan maqasid tidak diubah, dikhawatirkan ajaran Islam akan sangat susah mengakomodir isu-isu global, dan akhirnya Islam makin menjauh dari realitas tanpa memberi solusi yang berarti.

Masalah Utama Umat Beragama

Dalam buku berjudul Multidisiplin, Interdisiplin, & Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer (2020), Amin Abdullah menuturkan setidaknya ada lima pokok permasalahan tuntutan masyarakat kontemporer yang sering dibicarakan di ruang publik, yang besar pengaruhnya dalam kehidupan umat beragama:

  1. Menyangkut soal pemerataan dan kualitas pendidikan, termasuk di dalamnya pengetahuan keagamaan.
  2. Eksistensi negara bangsa, di mana tidak semua umat beragama merasa nyaman hidup di era negara-bangsa dengan sistem demokrasi.
  3. Pemahaman manusia beragama era modern tentang martabat kemanusiaan.
  4. Semakin dekatnya hubungan antar umat beragama di berbagai negara.
  5. Kesetaraan dan keadilan gender, sebagai akibat dari sistem co-education dan education for all.

Bila dipahami secara sekilas, masalah gender hanya termuat di poin kelima, tetapi bila dipahami secara hierarkis dan keseluruhan, semua poin di atas sesungguhnya sangat berkaitan dengan masalah keadilan gender. Mulai dari kualitas pendidikan, demokrasi, hingga masalah martabat kemanusiaan, semuanya merupakan isu-isu sensitif dalam kajian gender.

Bisa dikatakan bahwa kelima poin tersebut telah membawa perubahan sosial yang begitu dahsyat sekarang ini. Sedang terjadi ‘revolusi kebudayaan’ baik secara diam-diam atau terang-terangan yang berakibat pada pemahaman keagamaan secara konvensional atau tradisional. Untuk itulah, cara baca al-Qur’an dengan pendekatan kontekstual-progresif sangat diperlukan. Sebab, pembacaan kontekstual atas al-Qur’an sangat mempengaruhi bagaimana umat Islam menyikapi berbagai tantangan zamannya, termasuk juga bagaimana hukum Islam dapat relevan untuk setiap problem yang ada.

Dari Perlindungan ke Pengembangan

Pemahaman maqasid al-syariah (tujuan/maksud utama beragama Islam) yang selama ini hanya dipahami secara tradisional harus digeser ke pemahaman maqasid secara kontemporer. Dari yang semula lebih menekankan pada sisi parsialitas dan menekankan kekhususan pada lingkungan intern umat Islam diperluas jangkauannya, tidak sempit, lebih umum, dan universal yang mencakup kemanusiaan dan keadilan universal.

Misalnya, corak maqasid yang dulunya hanya menekankan sisi penjagaan atau perlindungan digeser ke arah maqasid yang bercorak pengembangan. Maqasid yang dulu titik tekannya hanya menekankan pentingnya perlindungan terhadap umat Islam saja bergeser menjadi perlindungan terhadap kemanusiaan universal.

Sebagai contoh, perlindungan yang dulunya hanya fokus pada keturunan bergeser ke perlindungan terhadap keutuhan dan kesejahteraan hidup keluarga. Artinya hak-hak perempuan dan hak-hak anak perlu dan harus dilindungi tanpa syarat. Lebih lanjut, praktik nikah siri, poligami, dan lainnya perlu dijauhi untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan keluarga.

Perubahan paradigma maqasid yang lama ke maqasid yang baru terletak pada titik tekan keduanya. Titik tekan maqasid lama lebih pada perlindungan dan penjagaan, sedang maqasid baru lebih menekankan pada pengembangan dan hak-hak. Dalam upaya pengembangan konsep maqasid baru ini, diperlukan penekanan pada ‘human development’ sebagai target utama dari maslahat.

Paradigma Baru Maqasid al-Syariah

Tidak cukup dengan mengubah orientasi maqasid dari model perlindungan ke pengembangan, banyak ulama modern telah berusaha merekonstruksi ulang konsep maqasid lama dengan menambah beberapa unsur pokok yang disesuaikan dengan kebutuhan dan desakan-desakan zaman.

Menurut Jasser Auda dalam bukunya Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law (2008), setidaknya ada tiga alasan mengapa maqasid lama perlu direkonstruksi ulang:

  1. Maqasid lama lebih berkaitan dengan individu, dibandingkan keluarga, masyarakat, atau umat manusia.
  2. Klasifikasi maqasid lama tidak memasukkan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan.
  3. Maqasid lama dideduksi dari ‘literatur fikih’, ketimbang sumber-sumber utama syariat (al-Qur’an dan hadits).

Paradigma baru ini merevolusi cara pandang terhadap agama dan hukum Islam. Melalui paradigma maqasid baru ini, keadilan gender menjadi landasan untuk melahirkan produk hukum baru yang lebih ramah terhadap perempuan dan lebih menekankan keseimbangan pada kedua gender. Perspektif keadilan gender harus terus diupayakan sehingga agama ini dapat mewujudkan masyarakat yang adil, setara, dan egaliter.

Ironi Rendahnya Keterwakilan Perempuan dalam Kabinet Merah Putih

Sebuah potret miris tersaji saat mengamati komposisi Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Hanya 14 perempuan atau 12,5% saja yang menduduki jajaran kabinet yang total berjumlah 112 orang untuk masa tugas 2024 hingga 2029.

Kabinet ini terdiri dari 48 menteri, 56 wakil menteri, lima pejabat setingkat menteri, Panglima TNI, Kapolri, dan Sekretaris Kabinet. Adapun ke-14 menteri dan wakil menteri perempuan tersebut adalah sebagai berikut sebagaimana diambil dari Tempo.co:

  • Veronica Tan – Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
  • Sri Mulyani – Menteri Keuangan
  • Meutya Hafid – Menteri Komunikasi dan Digital
  • Rini Widyantini – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
  • Widiyanti Putri Wardhana – Menteri Pariwisata
  • Arifatul Choiri Fauzi – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
  • Ribka Haluk – Wakil Menteri Dalam Negeri
  • Ni Luh Puspa – Wakil Menteri Pariwisata
  • Christina Aryani – Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran
  • Stella Christie – Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi
  • Dyah Roro Esti Widya Putri – Wakil Menteri Perdagangan
  • Ratu Isyana Bagoes Oka – Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
  • Diana Kusumastuti – Wakil Menteri Pekerjaan Umum
  • Irene Putri – Wakil Menteri Ekonomi Kreatif.

Kalah Kompetensi atau Stigma Patriarki yang Mengakar?

Jika dijabarkan lebih lanjut, dari 14 tersebut, hanya lima orang yang menjabat sebagai menteri, sementara sisanya menduduki posisi sebagai wakil menteri. Pertanyaan besar pun mengemuka mengenai faktor penunjukan yang sangat sedikit tersebut. Sebagaimana kita ketahui, posisi di dalam kabinet memang lebih sarat keputusan politis.

Banyak posisi menteri, wakil menteri, atau yang setara dengan itu diisi oleh tokoh yang berasal dari partai politik pendukung pemerintah. Jikalau pun demikian, seharusnya jumlah pejabat kabinet perempuan tetap lebih banyak dari 14, mengingat ada banyak politisi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat.

Pertanyaan pun tak pelak mengerucut menjadi: apakah jumlah tersebut semata lantaran stigma patriarki yang mendarah daging, bahkan hingga level pemerintahan? Sistem patriarki sendiri adalah sistem sosial yang meletakkan laki-laki sebagai pemegang dominasi dalam organisasi dan struktur di masyarakat.

Keputusan presiden dan wakil presiden di atas tentunya ironis mengingat era emansipasi perempuan sudah melahirkan begitu banyak perempuan berbakat dan cerdas dalam segala bidang. Untuk membawahi bidang level nasional, seharusnya perbandingan kompetensi menjadi metrik yang dipakai, bukan hanya condong kepada salah satu jenis kelamin.

Ambil contoh, untuk memilih Menteri Kebudayaan, standar yang dipakai haruslah mencakup gelar akademis terkait bidang tersebut dan/atau kiprah selama ini di bidang yang sama. Seorang Menteri Kebudayaan juga haruslah orang dengan relasi kuat dengan pegiat seni dan kebudayaan Nusantara. Portofolio yang mencakup kompetensi teknis, pengalaman lapangan, dan relasi inilah yang seharusnya membuat ia masuk ke jajaran kabinet, bukan lantaran faktor gender apalagi titipan partai politik tertentu.

Signifikansi Bertambahnya Jumlah Perempuan di Kabinet

Sangat disayangkan pergantian kabinet masih kurang memberikan ruang ekstra bagi perempuan cerdas nasional. Hingga keputusan semacam ini berubah, kita harus terus menggaungkan pentingnya jumlah keterwakilan perempuan dalam kabinet secara obyektif.

Mengapa ini begitu penting?

Pertama, dengan bertambahnya kepercayaan kepada perempuan Indonesia akan memberikan teladan positif bagi generasi muda perempuan Tanah Air. Ada banyak perempuan hebat di Indonesia yang layak menduduki posisi tertinggi pada bidangnya masing-masing sesuai keahlian mereka. Jika kebiasaan memberikan posisi sepenting menteri atau wakil menteri masih sedikit, dikhawatirkan mengurangi ruang berkarya sekaligus mengabdi perempuan muda hebat di luar sana.

Kedua, kepemimpinan feminis mempunyai keunggulan khas berupa sifatnya yang merangkul siapa saja. Dengan begitu, menteri atau wakil menteri akan lebih berempati pada jajarannya demi menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat. Dalam dunia birokrasi yang selama ini dikenal kaku, kepemimpinan feminis lebih mengutamakan berbaurnya antar eselon. Gebrakan ini akan berdampak pada pelayanan publik yang lebih berkualitas karena dilakukan oleh pegawai yang diakomodir pendapatnya.

Meski susunan kabinet telah ditentukan, tidak seharusnya gaung kesetaraan jumlah perempuan di kabinet berhenti. Dalam kesempatan apa pun, kampanye semacam ini harus dilakukan agar kesempatan berkarier bagi perempuan Indonesia bisa berkibar setinggi-tingginya.

Selama ini, sudah banyak perempuan Indonesia yang menduduki posisi tinggi di perusahaan swasta hingga BUMN. Sekarang, masih menjadi pekerjaan rumah bersama agar hal serupa bisa terwujud pada berbagai kementerian dan lembaga nasional. Sebab jika memang perempuan Indonesia layak dan mampu, kenapa tidak?

Meninjau Ulang Konsep Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Al-Qur’an

Terdapat sebagian dari kalangan Muslim yang menganggap kepemimpinan perempuan bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Bagi mereka, arrijalu qawwamuna ‘ala an-nisa—salah satu penggalan dari ayat ke-34 dalam surah an-Nisa—adalah sebuah dogma ajaran Islam tentang konsep kepemimpinan yang harus dipatuhi. Tetapi apakah benar demikian?

Penafsiran bahwa kepemimpinan hanya ada di tangan laki-laki memang dapat ditemukan dalam banyak kitab tafsir klasik. Ayat tersebut sebenarnya berbicara tentang kepemimpinan dalam lingkup kecil, yaitu kehidupan rumah tangga. Namun, ayat ini sering kali dibawa ke ruang lingkup yang lebih luas, seperti dalam kepentingan politik.

Perlu diingat bahwa penafsiran adalah upaya manusia untuk memahami maksud dari sebuah ayat. Sebagai hasil dari dialektika antara teks, konteks, pemikiran, serta pengaruh latar sosio-historis, geopolitik, dan kepentingan tertentu, penafsiran bukanlah sesuatu yang mutlak. Oleh karena itu, proses penafsiran harus terus dilakukan agar Al-Qur’an dapat selalu dibaca secara produktif. Sebuah penafsiran harus selalu direkonstruksi dan tidak boleh antikritik, agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, Al-Qur’an dapat benar-benar menjadi kitab yang shalihun li kulli zaman wa makan (relevan untuk setiap zaman dan wilayah).

Penafsiran yang menyatakan bahwa hanya laki-laki yang layak menjadi pemimpin perlu digugat. Hal ini sudah tidak relevan dengan realitas kehidupan saat ini, di mana kelayakan seorang pemimpin tidak lagi didasarkan pada dikotomi biologis antara laki-laki dan perempuan, melainkan pada pengetahuan, kompetensi, pengalaman, dan kecakapan seseorang. Dengan demikian, siapa pun yang memiliki keunggulan tersebut, baik laki-laki maupun perempuan, berhak menjadi pemimpin.

Alternatif Penafsiran

Terdapat setidaknya dua model pendekatan alternatif dalam menafsirkan konsep kepemimpinan pada surah an-Nisa ayat 34, yang lebih peka terhadap wacana kesetaraan gender.

1. Pendekatan Sosio-Historis

Model penafsiran ini menekankan pada aspek latar sosio-historis turunnya ayat. Secara redaksional, ayat tersebut memang berbicara soal kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Namun, ayat tidak boleh hanya dipahami secara tekstual; aspek kontekstualnya juga harus dipahami.

Realitas budaya saat turunnya Al-Qur’an belum mengenal konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pada masa itu, budaya patriarki sangat mengakar kuat, menempatkan laki-laki jauh di atas perempuan. Al-Qur’an, yang turun di tengah-tengah realitas tersebut, tidak mungkin mengubah budaya secara drastis dalam waktu singkat. Sebagai strategi dakwah, Islam memperbaiki kehidupan masyarakat secara perlahan agar ajarannya dapat diterima.

Meskipun an-Nisa ayat 34 mengandung nada diskriminatif terhadap konsep kepemimpinan, hal ini bersifat transisional dan kontekstual, bukan dogmatis. Oleh karena itu, ayat tersebut dalam konteks saat ini harus dipahami sebagai refleksi realitas sosio-historis pada masa itu, bukan sebagai dogma Islam yang harus diikuti secara literal.

2. Pendekatan Revolusioner

Pendekatan ini menekankan pada pembaruan makna dengan cara memandang Al-Qur’an seolah-olah baru saja turun di era sekarang. Dengan demikian, penafsiran dapat secara langsung mencari makna baru yang relevan di era modern.

Kondisi masyarakat pada masa turunnya an-Nisa ayat 34 berpijak pada perbedaan biologis, di mana laki-laki memiliki akses dan peran lebih luas dibandingkan perempuan. Namun, realitas masyarakat saat ini telah berubah. Baik laki-laki maupun perempuan kini memiliki akses dan peran yang setara dalam berbagai aspek kehidupan.

Oleh karena itu, penafsiran dapat dilakukan dengan memaknai lafaz ar-rijal sebagai pihak maskulin dan an-nisa sebagai pihak feminin. Kepemimpinan tidak lagi didasarkan pada jenis kelamin, tetapi pada potensi seseorang. Siapa pun yang memiliki potensi tinggi (maskulin), baik laki-laki maupun perempuan, berhak menjadi pemimpin, sedangkan yang memiliki potensi lebih rendah (feminin) menjadi pihak yang dipimpin.

Dengan dua model pendekatan ini, konsep ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa dapat membuka jalan bagi siapa saja yang layak dan cakap, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menjadi pemimpin. Pendekatan ini juga dapat menutup jalan diskriminasi terhadap perempuan dalam persoalan kepemimpinan atas nama Al-Qur’an.

Sumber:

  • Aksin Wijaya, Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas Nalar Tafsir Gender. Yogyakarta: IRCiSod, 2020.
  • Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS Group, 2012.

Pendidikan Seksualitas bagi Penyandang Disabilitas

Rana memiliki tetangga yang merupakan penyandang disabilitas. Ketika hari raya, tak sedikit orang yang kaget dan mengeluhkan karena dia mencoba untuk menarik dan berkomunikasi dengan lawan jenis. Dulu, Rana jadi ikut merasa was-was dan bertanya-tanya. Namun, setelah ia lebih dewasa, ia memilih untuk mengedukasi diri mengenai seksualitas dan disabilitas dengan membaca buku dan artikel.

Beberapa dari kita ada yang menganggap para penyandang disabilitas itu aseksual (tidak ada ketertarikan seksual terhadap orang lain, tidak ada keinginan untuk melakukan hubungan seksual), sifat mirip anak-anak, dan selalu bergantung pada orang lain. Anggapan yang mengkerdilkan kemampuan para penyandang disabilitas tersebut tidak bisa dibenarkan.

Para penyandang disabilitas sama-sama mengalami perubahan biologis dan mental dalam dirinya. Pendidikan seksualitas komprehensif kepada mereka dan para pendampingnya merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan. Sama halnya dengan non-penyandang disabilitas, mereka memiliki orientasi seksual tertentu.

Mereka yang berkebutuhan khusus perlu diajarkan dan dibantu untuk dapat mengenali dirinya, paham, mengelola perkembangan biologis pada diri, membantu mereka mengenali perilaku seks berisiko, menghargai orang lain, dan mengajarkan mereka untuk dapat menghindari perilaku kekerasan seksual. Mereka sangat rentan dimanipulasi dan menjadi korban kekerasan seksual, sehingga membutuhkan perhatian khusus dari komunitas dan para pihak.

Melansir dari komnasperempuan.go.id, perempuan berkebutuhan khusus lebih sering mengalami keterbatasan akses informasi tentang upaya mencegah kekerasan serta layanan penanganan kekerasan seksual. Kerentanan yang dialami mereka kondisinya bisa berlapis, khususnya mereka yang perempuan, masih anak-anak, dan lansia.

Mereka harus mampu berkata tidak ketika mendapatkan perlakuan yang tidak aman dan membuat tidak nyaman, seperti ancaman melakukan hubungan seksual berisiko. Pendidikan seksualitas harus mendapatkan perhatian dan kerja sama dari orang tua, pendidik, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya.

Pendidikan seksualitas komprehensif ini meliputi gender, kesehatan reproduksi, penyakit menular seksual, dan HAM, kepuasan, keragaman, dan hubungan antarmanusia.

Meskipun masih dianggap tabu, pendidikan seksualitas komprehensif perlu dimulai. Materi pun disesuaikan dengan kondisi fisik, psikologi, dan tingkat usia. Informasi yang komprehensif dan terbuka merupakan hak yang perlu diterima oleh penyandang disabilitas beserta pendampingnya.

Pendidikan seksualitas komprehensif penting bagi penyandang disabilitas agar mereka bisa menjaga organ reproduksi, menetapkan nilai-nilai, batasan, menghindari kekerasan seksual, bisa membuat keputusan secara mandiri.

Perlu media yang tepat sesuai dengan jenis disabilitasnya untuk pendidikan seksualitas. Misalnya, materi dalam bentuk braille, alat pembaca layar, closed caption, dan sebagainya. Selain itu, ada juga anggapan kalau orang disabilitas tidak bisa menyerap pengetahuan yang diberikan. Padahal, mereka bisa memahami dengan baik selama dibantu dengan media yang tepat.

Lingkungan yang menjadi tempat tinggal para penyandang disabilitas pun perlu diajarkan untuk mampu bersikap menghargai terhadap manusia lain, dan sensitif terhadap para penyandang disabilitas. Perundungan terhadap mereka yang dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak tidak bisa dibenarkan dan tidak seharusnya dinormalisasi.

Korban kekerasan seksual, baik dari kelompok perempuan dan penyandang disabilitas, juga masih diselimuti dilema untuk melapor karena risiko lebih banyak, seperti ancaman penyebaran konten intim, relasi kuasa, ancaman teror secara digital, minim privasi pelapor, ancaman penuntutan balik, aparat penegak hukum (APH) yang tidak berpihak kepada korban, seksisme kepada korban, dan sebagainya. Hal-hal tersebut membuat korban skeptis dan ragu untuk melapor karena ia menganggap akan lebih banyak ruginya daripada mendapatkan keadilan. Maka, korban lebih banyak bungkam. Pelaku pun bebas berkelana dan berpotensi menimbulkan korban lainnya.

Pendidikan seksualitas bagi penyandang disabilitas, kemudahan pelaporan kekerasan seksual yang dialami, pelatihan gender kepada penegak hukum perlu menjadi prioritas dan menjadi perhatian dan kolaboratif dari beragam komunitas, pendidik, orang tua, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, dan sebagainya.

Perlu program yang berkelanjutan dan pendampingan terhadap para penyandang disabilitas terutama mereka yang berada di kelompok perempuan dan anak-anak. Pelibatan kelompok penyandang disabilitas sangat penting untuk membuat rencana program pembelajaran yang tepat sasaran.

Pendidikan dan perlindungan anak dengan disabilitas adalah tanggung jawab bersama para pihak lintas stakeholders. Mereka juga membutuhkan kemudahan dalam mengakses kesehatan mental. Mari, pelan-pelan membuat lingkungan sekitar lebih inklusif.

Hermeneutika Feminis atas Al-Qur’an: Dari Hegemoni Maskulinitas Menuju Egalitarian Islam

Salah satu isu terpanas dalam dinamika pemikiran Islam kontemporer adalah berkaitan dengan isu kesetaraan gender. Banyak pemikir Muslim mutakhir yang mencoba membongkar “otoritas” laki-laki atas perempuan dalam kaitannya dengan relasi gender dalam Islam. Produk-produk tafsir klasik yang terkesan hegemonik terhadap perempuan sudah dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Misalnya, ada kesan kuat bahwa produk tafsir klasik atas Al-Qur’an lebih banyak memberikan keistimewaan kepada laki-laki ketimbang perempuan. Pendekatan tekstualis pada masa klasik boleh jadi cocok dengan konteks makro ketika itu, tetapi zaman telah berubah dan situasinya sekarang sudah berbeda dengan konteks era pra-modern dulu.

Hegemoni Maskulinitas dalam Tafsir Al-Qur’an
Salah satu alasan utama kenapa produk tafsir klasik dianggap kurang menguntungkan bagi posisi sosial perempuan adalah karena dominasi laki-laki dalam menafsirkan teks Al-Qur’an, ditambah pula konteks historis ketika itu yang memungkinkan adanya hegemoni maskulinitas di tengah situasi budaya yang sangat patriarkis.

Al-Qur’an sendiri, pada prinsipnya, ingin membongkar budaya patriarki yang telah mengakar kuat dalam kebudayaan Arab. Tetapi, apa yang dilakukan Al-Qur’an belum sepenuhnya berhasil mengingat kekuatan hegemoni maskulinitas yang sangat kuat – dalam menafsirkan teks agama – sehingga terkesan sangat sulit diubah.

Ulama-ulama yang cenderung misoginis dalam menafsirkan ayat-ayat gender merupakan anak kandung budaya patriarki. Sehingga jalinan relasi kuasa dalam menafsirkan teks-teks keagamaan sangat bercorak patriarkis.

Kendati demikian, Al-Qur’an telah merevolusi relasi gender melalui bingkai ketakwaan, di mana kualitas seorang individu di hadapan Allah bukan ditentukan oleh status gender, tetapi oleh kualitas ketakwaannya di hadapan Tuhan. Meskipun, harus diakui bahwa ini tidak banyak memberi peluang bagi lahirnya masyarakat yang setara, mengingat budaya patriarkis lebih banyak ditopang oleh budaya pra-Islam ketimbang dibentuk oleh Islam itu sendiri.

Pada titik ini, banyak mufasir klasik – dengan pendekatan tekstualitasnya – lebih banyak melahirkan produk pemikiran Islam yang terkesan abai terhadap kesetaraan. Hal ini juga disebabkan karena belum ada kesadaran gagasan kesetaraan secara sosiologis yang terbentuk dalam kebudayaan Islam klasik. Dan juga, salah satu dampak psikologis yang paling kuat terkait budaya patriarki adalah keyakinan bahwa secara esensial dan eksistensial, kualitas laki-laki memang di atas perempuan, di mana pandangan tersebut diyakini secara doktrinal.

Kuatnya budaya patriarki di atas, ditambah banyak penafsiran Al-Qur’an yang seolah membenarkannya, seperti penafsiran populer QS. 4:34, yang mengatakan bahwa “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi wanita.” Produk penafsiran tersebut populer ribuan tahun. Maka wajar bila hegemoni maskulinitas merajai produk tafsir sehingga kurang menempatkan posisi perempuan pada level yang komplementer.

Kondisi-kondisi historis dan sosiologis masyarakat sering kali menjadi acuan bagi para mufasir untuk membaca ayat-ayat gender sesuai dengan konteks zamannya. Di samping ada relasi kuasa di dalamnya, mereka juga tampak terjebak dalam iklim budaya patriarkis itu sendiri, sehingga upaya pembacaan yang logis dan kritis terhadap teks-teks agama menjadi kurang dimungkinkan.

Hemat saya, hegemoni maskulinitas dalam melahirkan produk tafsir yang bercorak patriarkis-misoginis tidak bisa dikatakan sepenuhnya salah, kendati juga tidak bisa dibenarkan, sebab mereka membawa semangat zaman di mana kekuatan budaya patriarki mengakar sangat kuat dan tak terelakkan.

Namun, situasi ini berubah total sejak zaman modern, ketika gagasan-gagasan tentang kesetaraan, emansipasi, dan hak asasi tumbuh mengiringi tuntutan dan perubahan zaman. Dari sinilah, dibutuhkan penafsiran hermeneutis-feminis (hermeneutics feminis: pendekatan penafsiran teks agama yang menitikberatkan pada kesetaraan gender) yang kontekstual untuk membongkar otoritas laki-laki yang sangat hegemonik terhadap perempuan yang tertuang dalam produk pemikiran Islam secara keseluruhan.

Dari Otoritas Laki-laki Menuju Kesetaraan
Dalam buku Reading the Qur’an in the Twenty-First Century, Abdullah Saeed berpendapat bahwa pandangan klasik tentang “superioritas” laki-laki atas perempuan berasal dari keyakinan tentang sejumlah kualitas hakiki yang dimiliki laki-laki, yang tidak dimiliki perempuan. Kualitas-kualitas tersebut mencakup “kecerdasan, ketenangan, kesabaran, dan ketahanan.” Karena itu, di dalam sebuah pernikahan, peran suami adalah “menjaga hal yang Allah bebankan kepadanya.” Sementara peran istrinya adalah “menaati Tuhannya dan menaati suaminya.” Meski ruhnya tidak seperti apa adanya teks yang tampak, mengingat satu ayat di dalam Al-Qur’an tidak dapat berdiri sendiri dalam mencitrakan maknanya.

Beberapa pemikir Muslim kontemporer yang fokus pada tema gender banyak memberikan penekanan baru terhadap tafsir Al-Qur’an yang dianggap sangat merugikan posisi perempuan. Menurut mereka, beberapa produk tafsir yang mengarah pada superioritas laki-laki terbentuk karena banyak faktor, mulai dari dominasi laki-laki dalam menafsirkan Al-Qur’an, budaya patriarkis, dan keyakinan misoginis yang menganggap bahwa status dan peranan perempuan jauh di bawah laki-laki.

Pemikir Muslim seperti Amina Wadud, Asma Barlas, dan Azizah al-Hibri banyak memberikan penafsiran ulang terhadap Al-Qur’an. Sebagai contoh, kata qiwamah yang terdapat dalam QS. 4:34 tentang laki-laki adalah “pemimpin” bagi kaum perempuan, sebetulnya tidak menunjukkan secara mutlak bahwa laki-laki selalu menjadi pemimpin. Sebab, kata qiwamah bersifat fungsional, ia terkait secara sosial, dan tidak melekat secara alamiah.

Mereka berpendapat bahwa peran laki-laki sebagai “pelindung” dalam ayat di atas dihubungkan dengan peran ekonomi sang suami sebagai pencari nafkah dan dinamika gender Madinah abad ke-7 M secara keseluruhan. Karena itu, apabila situasi tidak lagi memiliki sumber material yang lebih besar, hilanglah qiwamah yang ada padanya.

Pendapat di atas diperkuat oleh pandangan Fazlur Rahman yang tertuang dalam bukunya Major Themes of the Qur’an, bahwa kecukupan ekonomi seorang istri dan kontribusinya bagi kehidupan rumah tangga mengurangi superioritas suami, “karena sebagai manusia, dia tidak punya kewenangan atas istrinya.”

Al-Hibri, dalam bukunya berjudul A Study of Islamic Herstory, juga menolak gagasan bahwa QS. 4:34 mendeskripsikan superioritas fisik dan intelektual laki-laki yang hakiki, sebagaimana terlihat dalam produk tafsir klasik. Sebab ini tidak disebutkan di dalam ayat. Namun, dia mengidentifikasi hal besar yang menggarisbawahi kata qawwamun sebagai “petunjuk moral dan penjagaan.”

Al-Hibri menolak gagasan bahwa semua laki-laki adalah qawwamun atas semua perempuan, dengan mengatakan bahwa ini hanyalah terjadi dalam masalah-masalah di mana Tuhan menganugerahkan “beberapa dari kaum laki-laki yang lebih dari beberapa kaum perempuan.”

Jadi, kedudukan laki-laki di atas perempuan, baik sebagai pemimpin maupun dalam kondisi sosial lainnya, sangat bersifat temporal dan kondisional, bukan berlaku secara universal dalam setiap kondisi. Sehingga, beberapa konteks yang menunjukkan keadaan di mana perempuan memiliki kapasitas yang jauh lebih baik dari laki-laki akan membawa pada sikap egalitarian, yakni relasi antara laki-laki dan perempuan bukan berdasarkan relasi antara pemimpin dan yang dipimpin, tetapi lebih mengarah pada relasi kesetaraan dan egalitarian.

Egalitarian Islam
Bila melihat berbagai perubahan dan tuntutan zaman yang muncul sejak paruh kedua abad ke-20 hingga abad ke-21, maka jelas bahwa tafsir patriarkis dan misoginis yang menekankan superioritas laki-laki atas perempuan kiranya sudah tidak relevan dan harus ditinggalkan.

Adanya pergeseran-pergeseran pemikiran dan pengaruh budaya modern, seperti demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan perjuangan terhadap kesetaraan, menuntut adanya penafsiran ulang terhadap ajaran Islam secara keseluruhan yang harus diarahkan pada dimensi egalitarian.

Hal ini perlu dilakukan mengingat teks haruslah disesuaikan dengan konteks, bukan sebaliknya. Bila yang dilakukan adalah konteks harus mengikuti teks, maka itu sama saja bunuh diri intelektual dan makin menjauhkan Islam dari solusi masa depan, yang akhirnya Islam lambat laun akan ditinggalkan oleh penganutnya. Ini tentu saja bertentangan dengan semangat Al-Qur’an yang “selalu relevan dengan perubahan zaman.”

Model hermeneutika feminis sebagai upaya baru untuk menafsirkan Al-Qur’an secara kontekstual harus terus dilakukan agar umat dapat terbimbing pada jalan kebenaran yang realistis, bukan jalan kebenaran ilusif yang membelenggu relasi gender. Dengan demikian, gagasan egalitarian Islam harus menjadi pembimbing dan pendorong untuk mewujudkan cita-cita Islam yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan.

Di abad ke-21 ini, persoalan gender bukan lagi pada masalah sentralitas laki-laki dalam menafsirkan Al-Qur’an. Perempuan juga harus ikut andil dalam menafsirkan Al-Qur’an. Persoalan utamanya adalah bagaimana kampanye intelektual tentang egalitarian Islam harus terus dilakukan untuk membongkar relasi kuasa. Penafsir laki-laki pun harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat memproduksi pemikiran Islam yang lebih egaliter.

Sehingga, bila kesadaran akan egalitarian Islam ini telah terwujud secara masif, maka tidak ada kekhawatiran bagi siapa saja yang akan menafsirkan teks Al-Qur’an. Mereka semua – baik laki-laki maupun perempuan – akan saling memberi dan berbagi peran yang setara secara dinamis dan adil. Inilah hakikat Islam yang sesungguhnya, membawa misi kesetaraan untuk mewujudkan keadilan yang paripurna.

Temu Perempuan Pemimpin Komunitas Lombok Utara

Oleh Erni Agustini

Pada 9-10 November 2024, di penghujung momen pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia, Rumah KitaB bekerja sama dengan JASS dan Klub Baca Perempuan (KBP), telah melaksanakan kegiatan Temu Perempuan Pemimpin Komunitas di Kabupaten Lombok Utara. Dalam kegiatan tersebut, yang terlibat adalah 25 orang perempuan dengan beragam latar belakang, pendidikan, dan aktivitas maupun profesi (guru, dosen, relawan KBP, kader pemberdayaan desa, analis kesehatan, fasilitator lapangan, maupun pelajar dan mahasiswa). Bahkan diantara pelajar dan mahasiswa tersebut ada yang aktif sebagai penari dan penyair berprestasi.


Urgensi Kegiatan 
Kegiatan ini menjadi penting, karena momentum Pilkada menjadi tumpuan untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat. Namun harus diakui harapan tersebut tidak mudah dipenuhi mengingat hingga saat ini masih sangat sedikit Kepala Daerah yang bertanggung jawab atas semua kebijakan yang dibuatnya. Juga belum banyak Kepala Daerah yang melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, suara masyarakat termasuk suara perempuan masih sering diabaikan dan dianggap tidak penting.

Pada tahun 2023, Rumah KitaB yang tergabung dalam Konsorsium We Lead, bersama dengan 100 perempuan pemimpin dari akar rumput telah berhasil merumuskan 10 Agenda Politik Perempuan untuk dibawa kepada para pengambil kebijakan untuk menjadi perhatian. 10 Agenda Politik Perempuan ini menggambarkan bagaimana masih banyak yang harus diperhatikan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya adalah kehidupan perempuan.


Tujuan Kegiatan Temu Perempuan Pemimpin
Tujuan kegiatan temu pemimpin perempuan adalah mengajak para perempuan untuk duduk bersama, membangun ruang aman untuk berbagi pengalaman masing-masing, dan membangun strategi bersama untuk memperkuat kepemimpinan perempuan di akar rumput yang nantinya bisa diteruskan kepada para pengambil kebijakan.


Transformasi Perempuan; Dari Ketidakberdayaan Menjadi Berdaya dan Berkarya
Kegiatan temu perempuan yang berlangsung selama dua hari ini dikemas dalam sesi-sesi yang menarik, interaktif dan mampu memberi inspirasi dan penguatan kepada para peserta. Dimulai dengan sesi perkenalan, berbagi pengalaman dan perasaan melalui ruang aman. Melalui ruang aman ini, para peserta mendapatkan kesempatan untuk menceritakan pengalaman dan perasaannya kepada fasilitator. Pada sesi ini, seluruh aktivitas tidak direkam dan didokumentasikan (foto dan video) untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada para peserta saat bercerita kondisi paling tidak berdaya dalam kehidupannya.

Dari sesi ini, terungkap betapa pelik situasi yang dialami perempuan dalam siklus kehidupannya. Peserta dari kelompok remaja, pelajar dan mahasiswa rata-rata memiliki kesamaan cerita pahit di masa kecilnya. Mereka kehilangan hak mendapatkan pengasuhan dari orang tua, kehilangan rasa aman saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang tua, maupun pengalaman merasakan kekerasan secara verbal, fisik maupun psikologis. Dari cerita para peserta, ada kecenderungan bahwa para orang tua mudah menghukum anaknya secara fisik ketika berinteraksi. Situasi tersebut didorong karena situasi ekonomi yang sulit maupun imbas dari ketidakharmonisan hubungan di antara kedua orangtuanya. Selain kekerasan fisik, kekerasan juga terjadi terhadap ibu dan anak, karena dipicu oleh kehadiran pihak ketiga dan perselingkuhan sang bapak.

Dari berbagai situasi ini memaksa remaja mengambil alih peran dan tanggung jawab orang tua untuk mengasuh adik-adiknya karena orangtuanya harus bekerja ke luar negeri sebagai buruh migran. Adapun peserta yang sejak kecil diasuh oleh nenek atau kerabat, dan baru merasakan pelukan dari sang ibu saat sudah remaja karena sang ibu yang bekerja di luar negeri.

Diantara peserta remaja ada juga yang mengalami pembatasan terhadap akses pendidikan. Orang tua melarang mereka untuk melanjutkan sekolah di luar kota. Hal itu membuat teman-teman merasa cemas dan trauma. Namun demikian, situasi tersebut tidak membuat para remaja terpuruk, mereka mampu bertahan dalam situasi yang sulit, bahkan beberapa dari mereka berhasil mengukir prestasi dengan memenangi lomba, mendapatkan hadiah, dan lainnya.


Keterbatasan Perempuan Dewasa
Sementara itu, situasi ketidakberdayaan yang dialami peserta dewasa; pertama, isu kesehatan dan kehilangan anak. Bagi ibu, anak adalah sumber kehidupan dan pusat dunia. Kedua, masalah ekonomi. Ketiga, keterbatasan waktu untuk anak. Keempat, penilaian masyarakat karena meninggalkan anak.

Faktor yang Membuat Perempuan Dewasa Berdaya
Sementara yang membuat para perempuan dewasa berdaya adalah; adanya support system—dari suami, keluarga, Kanca KBP yang memberi ruang dan kesempatan untuk saling menguatkan, memberi ruang aman untuk berekspresi sehingga bisa menghasilkan karya; punya prestasi; perbaikan ekonomi; tubuh dan jiwa yang sehat; serta mendorong perempuan bersatu; memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan.


Menciptakan Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak
Terdapat kearifan lokal budaya Lombok yang perlu ditelisik kembali untuk mengatasi persoalan perempuan dan anak. Nursida Syam (Koordinator KBP) menuturkan bahwa terjadi perubahan dalam memaknai tradisi memulang, memaling, dan merarik (perempuan diculik oleh calon suami untuk dinikahi). Menurutnya, tradisi tesebut merupakan simbol bahwa perempuan mempunyai kuasa sendiri untuk memutuskan menikah atau tidak. Dalam tradisi merarik, ketika perempuan memutuskan dan tidak rela keluar rumah untuk bertemu dengan calon mempelai laki-laki, maka proses pernikahan itu tidak akan terjadi.

Namun praktiknya, dalam tradisi memaling/merarik, perempuan dijebak dan kemudian diculik oleh calon suaminya. Menurut Nursida Syam, menjebak perempuan melalui tradisi itu sesungguhnya telah mencederai adat. Tradisi ini sebetulnya mempunyai keberpihakan besar kepada perempuan, namun banyak tokoh adat memilih untuk tidak mengampanyekan keberpihakan dari tradisi ini.

Tradisi lain yang menunjukkan keberpihakan terhadap perempuan dan anak adalah tradisi menenun. Raden Muhammad Rais (Budayawan Sasak) getol menyuarakan bahwa dulu perempuan boleh menikah ketika mampu membuat 144 helai tenun—dengan beragam warna dan motif. Jika dikonversi usia, maka perempuan baru boleh menikah ketika memasuki usia 22 tahun. Mispersepsi yang terjadi terhadap tradisi ini yang menyebabkan kawin anak.


Masalah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Selain itu, beragam persoalan yang dialami perempuan dan anak adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak, stunting, bullying, perkawinan anak, judi online, yatim piatu sosial, diskriminasi terhadap perempuan, peredaran narkoba, prostitusi online, tingginya angka bunuh diri, serta depresi.

Akar Masalah
Akar masalah dari beragam persoalan di atas adalah;

  1. Kuatnya budaya patriarki:
    Budaya patriarki mendorong perempuan untuk tidak mendukung atau menjatuhkan perempuan lain. Dalam budaya patriarki, posisi laki-laki berada di atas perempuan. Dalam situasi seperti ini, kita jangan menyalahkan perempuan yang tidak mendukung perempuan karena mereka masih terpapar dengan budaya patriarki. Namun para perempuan yang sudah terpapar oleh isu keadilan gender, perempuan akan mendukung perempuan lain.

    Budaya patriarki juga mempertegas perbedaan karakteristik kepemimpinan laki-laki dan kepemimpinan perempuan. Salah satu karakteristik pemimpin laki-laki adalah one man show. Sementara pemimpin perempuan lebih banyak mengajak perempuan lain untuk membangun kekuatan. Namun, masih banyak juga pemimpin perempuan yang patriarki. Karenanya, kita perlu bernegosiasi dan mengajak para pemimpin laki-laki maupun pemimpin perempuan agar mereka mewakili suara perempuan bukan mewakili dinasti politik.

  2. Kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan dan anak:
    Kebijakan yang berpihak pada perempuan dan anak masih sangat sedikit sehingga persoalan-persoalan yang ada tidak bisa diatasi.
  3. Kemiskinan:
    Menjadi akar masalah yang tidak terselesaikan hingga hari ini.

Harapan untuk Masa Depan Perempuan dan Anak
Lantas bagaimana seharusnya kondisi perempuan dan anak yang kita harapkan? Beragam respons muncul dari para peserta. Kondisi perempuan dan anak akan baik-baik saja jika;

  • Perempuan ikut mengubah dunia.
  • Perempuan menjadi pemimpin.
  • Tidak ada diskriminasi.
  • Ruang untuk anak muda berkreasi (youth center).
  • Perempuan dan anak bebas dari kekerasan.
  • Anak tumbuh didampingi orang tua.
  • Perempuan berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
  • Perempuan menghargai keberagaman.
  • Hak dasar anak dan perempuan terpenuhi.
  • Berdaya dan mandiri.
  • Perempuan dan anak terlindungi.

Untuk melahirkan itu semua, kita semua harus mengakhiri akar persoalan yang ada, terus berstrategi dan bergerak bersama.