Merebut Tafsir: Talibanisasi dan Kontestasi Perempuan
Merebut Tafsir: Talibanisasi dan Kontestasi Perempuan*
Oleh Lies Marcoes
Dikuasinya Kabul oleh Taliban meninggalkan kecemasan. Bukan hanya dunia tetapi juga negara-negara berpenduduk Muslim. Taliban adalah kelompok radikal fundamentalis berbasis pandangan politik keagamaan. Suatu kelompok radikal, seperti Taliban lahir dan berkembang dalam konteks geopolitik dan momentumnya sendiri. Karenanya tak begitu saja dapat ditiru dalam waktu dan tempat yang berbeda. Namun sebagai gerakan ideologis, gagasannya mudah menyebar di era sosial media tanpa batas ini. Sebab watak ideologi apapun tak terikat oleh konteks, historis, ruang dan waktu.
Salah satu warisan Taliban kepada dunia adalah “talibanisasi perempuan”. Mereka berupaya merumahkan perempuan dengan dasar pandangan keagamaan bahwa perempuan sumber fitnah. Perempuan dianggap muasal kekacauan sosial dan moral di ruang publik. Gagasan talibanisasi perempuan, karenanya berusaha merumahkan perempuan atau membatasi ruang gerak mereka melalui simbol seperti burqa atau dengan ideologi moral bahwa perempuan harus tunduk kepada kehendak patriarki yang meyakini perempuan sebagai sumber masalah. Kesalahan perempuan antara lain mereka telah menyeberang ke ruang publik dengan peran-peran non-tradisionalnya yang mengguncang relasi subordinatif berbasis akidah yang telah mapan. Solusi ideologis mereka adalah memperbaiki persoalan moral masyarakat dengan mengatur kembali perempuan dalam bertingkah laku di ruang publik atau memaksa mereka kembali tinggal di rumah.
Namun bacaan atas situasi itu sering luput. Kegagalan dalam memahami isu gender dan radikalisme model Taliban adalah, pertama kuatnya anggapan bahwa ancaman dari gerakan radikal adalah terorisme. Terorisme merupakan suatu aksi melawan / mengancam kedaulatan negara dengan cara-cara kekerasan. Dalam konteks sekarang, ancaman itu bisa berupa haluan yang mengusung ideologi jihadis model Taliban. Dalam aksi mereka perempuan biasanya tak dihitung. Paling jauh dianggap sebagai sistem pendukung kerja para teroris bawah tanah untuk menormalkan kehidupan sang teroris dengan statusnya sebagai istri.
Kekeliruan kedua adalah, stereotip gender. Dalam konsep itu mereka menganggap mustahil perempuan menjadi radikalis apalagi teroris kalau tidak terbawa-bawa kaum lelaki. Perempuan dianggap tak punya ideologi, tak punya misi dan agenda.
Analisis lainnya menggunakan pendekatan esensialis. Karena perempuan punya rahim, otomatis mereka akan menjiwai perannya sebagai pelanjut dan perawat kehidupan melalui fungsi reproduksinya. Dalam pandangan esensialis itu, mustahil perempuan secara alamiah atau secara naluriah punya pikiran buruk menjadi radikal atau teroris. Jika pun itu terjadi penyebabnya adalah indoktrinasi radikal.
Sebagian besar analisis ahli teroris ketika membaca peristiwa bom Makasar dan Mabes yang melibatkan perempuan jatuh pada pendekatan esensialis atau ilmu psikologi klasik soal peran “nature” perempuan. Masuk dalam peran “nature” itu adalah anggapan instabilitas emosi perempuan, kelemahan pikiran mereka, ketergantungan mereka kepada lelaki sehingga keterlibatannya hanya terbawa-bawa. Sementara yang punya agenda atau otak di balik perempuan pelaku bom bunuh diri itu tetap lelaki.
Dalam penelitian Rumah Kitab sejak 2016, terdapat tiga tipologi analisis dalam menilai keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal. Disini tergambarkan sejauh mana kontestasi perempuan dalam gerakan radikal itu.
Tipe pertama, menganggap kelompok radikal – baik yang pro atau menolak kekerasan seperti terorisme, sepenuhnya merupakan urusan dan dunia lelaki. Cita-cita yang hendak diperjuangkan juga merupakan impian atau visi kaum lelaki. Dalam pandangan tipe satu ini inti perjuangannya adalah mewujudkan tertib dunia dengan cara-cara maskulin. Sebagai jantan mereka berperang untuk menyelamatkan keluarga dan dunia dari ancaman penghancuran keluarga. Mereka mencurigai apapun yang di luar kebiasaan mereka sebagai proyek modernisasi dan westernisasi untuk tujuan menghancurkan .
Tipe kedua adalah maskulinisasi lelaki atau perempuan yang tertarik menjadi bagian dari gerakan radikal. Alasannya sangat khas yaitu agar mereka direkognisi kehadirannya. Dalam tatanan masyarakat patriarki, apalagi dalam kelompok radikal berbasis keagamaan, orang muda (lelaki) atau perempuan tak mendapatkan tempat terhormat di tengah orang dewasa maskulin. Posisi mereka senantiasa subordinat. Karenanya, masuk akal jika lelaki muda atau perempuan melakukan metamorfosa menjadi bagian dari pemain inti dengan mengubah diri menjadi maskulin. Salah satu tanda dari maskulinitasnya adalah keberaniannya mengambil resiko paling mematikan seperti menjadi pelaku bom bunuh diri yang selama ini dianggap domiannya kaum lelaki.
Dalam sistem yang telah mereka bangun, fungsi mereka adalah sekrup dari sebuah mesin yang sudah jadi ( ideologi maskulin Jihadis misalnya). Dalam sistem itu, orang muda dan perempuan akan menjalankan peran yang berbeda-beda; bisa sebagai penunjuang atau peran instrumental. Ini tergantung seberapa dalam penghayatan dan proses ideologisasinya. Namun secara keseluruhan agenda ideologisnya tak mengurus kepentingan kaum muda (lelaki) apalagi perempuan.
Tipe ketiga adalah femininisasi gerakan radikal. Secara umum polanya dibalik. Bukan ideologi maskulin yang mempengaruhi perempuan tetapi gerakan dan ideologi radikal diberi daya dan aksentuasi oleh perempuan. Kaum perempuan itu lelah terus-menerus menghadapi kehidupan yang kompleks namun tak mendapatkan bantuan analisis dan aksi nyata dalam memahami kompleksitas persoalan itu. Sebaliknya melalui sosial media, sinetron atau pengajian yang tak jelas kualitas ustaznya, mereka mendapatkan kesimpulan bahwa krisis kehidupan (kemiskinan, kenakalan remaja, perselingkuhan, hutang, dll) disebabkan oleh rusaknya tatanan keluarga atau penyimpangan akidah yang disebabkan oleh kelalaian perempuan akan kodratnya. Dalam tipe ketiga ini perempuan langsung menjadi tertuduh sebagai penyebab masalah namun juga agensi aktif untuk menyemai gagasan tentang perbaikan tatanan keluarga melalui peran tradisional perempuan sebagai fitrahnya. Perempuanlah, dan bukan lelaki yang menjadi motor pembentukan keluarga melalui jihad-jihad harian mereka seperti dalam cara mengasuh anak, berpakaian, bergaul, berkeluarga, belajar, dan memilih lingkungan. Intiya adalah menciptakan ekslusifitas keluarga yang mengatur cara bergaul dan bertingkah laku seperti larangan bergaul dengan orang beda keyakinan, cara membangun keluarga dari pacaran hingga beranak dan bertetangga.
Di sini acaman terbesar yang kita hadapi bukan bom melainkan ideologi tanpa batas yang meyakini bahwa basis tatanan ideal masyarakat adalah keluarga di mana lelaki sepenuhnya sebagai imam keluarga. Istri merupakan pendamping suami guna memastikan anak-anaknya menjalankan tatanan moral yang sesuai dengan pandangan konservatif ideologis itu.
Dalam tipe ketiga ini agensi perempuan besar sekali meskipun pandangan-pandangannya tidak selalu mereka produksi sendiri. Namun agendanya jelas menguatkan perempuan untuk aktif menjalankan peran tradisional gendernya agar terbentuk tatanan keluarga harmonis yang sesuai dengan ideologi itu. Mereka menerima peran subordinasi demi sebuah tatanan harmonis di dunia dan yakin akan menerima imbalannya di akhirat kelak. Dalam pandangan itu konsep ketertindasan berbasis gender sama sekali tidak dipandang sebagai persoalan, sebab itu merupakan jihad amaliah perempuan.
Tipe ke tiga ini ancamannya masif, berlangsung setiap hari dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan ditaklukkan kebebasannya dalam berpikir dengan diyakinkan sebagai penyebar fitnah di ruang publik. Namun mereka juga digloifikasi sebagai benteng kehidupan keluarga. Disinilah sesungguhnya arena kontestasi dalam memperebutkan perempuan di era talibanisasi ini [].
Tulisan telah dimuat dalam harian Kompas, 20 Agustus 2021, halaman 6
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!