Menjaga Amanah, Merawat Jiwa: Jalan Sunyi Orang Tua di Zaman Serba Gawai

Delapan juta kanak‑kanak/ menghadapi satu jalan panjang/ tanpa pilihan…

Sajak Sebatang Lisong, karya W.S Rendra

 

Sebaris sajak W.S Rendra di atas menggambarkan nasib pilu anak-anak Indonesia. Mereka menghadapi jalan panjang tanpa pilihan. Kasus kekerasan kepada anak di Indonesia sudah berada pada titik nadir. Hampir tiap hari kita mendengar berita anak menjadi korban kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, maupun yang mati akibat ulah orang dewasa maupun teman sebaya mereka.

Hati dan pikiran kita seolah dibuat was-was setiap hari. Apakah anak anak kita bisa selamat melewati hari-hari berikutnya dalam kehidupan mereka. Kita menghadapi situasi dimana ruang aman untuk anak kita semakin menyempit, bahkan tidak ada. Ancaman terhadap anak-anak kita bisa datang dari sudut mana saja.

Di lingkungan keluarga yang menjadi ruang tumbuh dan berkembangnya mereka, anak juga menghadapi masalah dan ancaman kekerasan. Saya jadi ingat catatan menarik dari M.A.W Brouer yang menulis buku “Bapak, Ibu Dengarlah” (2015). Kehidupan kota, desa (saat ini), makin banyak orangtua sibuk mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan anaknya. Sementara anaknya sendiri justru kurang mendapat kasih sayang di rumahnya sendiri.

Cerita orang tua yang kehilangan waktu untuk anaknya ini mengingatkan kita pada cerita seorang anak yang mau membeli waktu ayahnya. Cerita itu saat ini bukan lagi dongeng, atau mitos tetapi terjadi pada keluarga Indonesia saat ini.

Keluarga Indonesia saat ini seperti keluarga yang terseok-seok mencari pendapatan untuk menghidupi anak-anak mereka. Sementara, waktu untuk anak-anak mereka terbengkalai.

Fenomena ini cukup berdampak pada bergesernya kekerasan terhadap anak dan perempuan yang semula didominasi di ruang publik ke ranah personal atau domestik.

Tahun 2024, Komnas Perempuan mencatat peningkatan signifikan jumlah kekerasan perempuan dan anak, yaitu 330.097 kasus—naik 14,17% dari tahun sebelumnya—dengan dominasi kasus di ranah personal.

Peran Keluarga

Berdasarkan data yang dilaporkan kepada Kemen PPPA di tahun 2024, terdapat 28.789 kasus kekerasan. 17,9% anak mengalami kekerasan fisik dan 76 % menjadi korban kekerasan orang tua atau wali.

Dari ragam penelitian kasus tersebut, orang tua atau keluarga menjadi pelaku kekerasan karena beragam faktor. Faktor ekonomi, faktor pengangguran, kurangnya kesadaran hukum, kurangnya pendidikan dan lain-lain.

Keluarga tetaplah menjadi lingkungan pertama dan utama dalam mencegah kekerasan terhadap anak dan perempuan. Mohammad Said (1955) menulis buku Pendidikan Keluarga Pangkal Keselamatan Negara. Buku itu menerangkan, dengan pendidikan keluarga yang baik, maka negara akan makmur dan tertib. Tanpa pendidikan keluarga yang baik, maka anak-anak dan masa depan mereka akan terhambat, termasuk pembangunan negara.

Keluarga memiliki peran penting dalam menjaga, merawat, dan menumbuhkembangkan cinta kasih di rumah. Cinta kasih, perhatian, dan juga pendidikan dari rumah itulah yang dipegang anak sebelum anak mendapatkan pendidikan di luar rumah seperti sekolah, dan tempat lainnya.

Komunikasi, momen kebersamaan, hingga makan bersama keluarga sangat penting dalam menjaga hubungan, dan juga efektif menyelesaikan masalah dalam keluarga. Momen kebersamaan yang kurang, komunikasi yang gagal, serta memendam dan menyimpan masalah pribadi secara psikologis dapat mempengaruhi hubungan dalam keluarga sendiri.

Anak-anak berhak mendapatkan perhatian, kasih sayang serta kebutuhan psikis dan juga fisik secara sempurna agar kesehatan fisik dan mentalnya terjaga.

Tantangan

Anak-anak saat ini juga menghadapi tantangan baru, yakni tantangan di dunia digital. Sikap orang tua yang melepaskan begitu saja anak untuk memegang smartphone tanpa literasi yang cukup bukan hanya merusak otak anak, tetapi membawa anak pada ancaman kekerasan digital. Salah satu yang signifikan adalah membiarkan data privasi mereka bertebaran di dunia maya.

Kita belum cukup memiliki aturan yang rigit tentang perlindungan data pribadi anak dan pencegahannya. Edukasi di kalangan keluarga penting sekali untuk mencegah terjadinya kekerasan pada anak terhadap data, penyalahgunaan dan juga kekerasan kepada anak.

Anak-anak di era digital juga menghadapi tantangan pornografi. Banyak gambar dan situs-situs pornografi yang tanpa filter muncul dalam pencarian di internet amat berbahaya bagi anak.

Penelitian Haidar (2000) mencatat, konten  pornografi  yang  didapatkan oleh anak dapat bersumber dari, internet/media sosial, iklan, games, film, video klip. Kecanduan pornografi sama bahayanya dengan kecanduan narkoba yang sama-sama merusak otak/PFC anak (Winarti et al., 2020).

Tanpa pendidikan dari lingkungan keluarga yang tepat dan efektif, anak-anak bisa terjerumus dan terjebak dalam bahaya dan ancaman di dunia digital. Membiarkan anak berselancar di dunia digital tanpa pengawasan, pendidikan dan perlindungan dari orangtua sama saja melepas mereka ke hutan yang penuh ancaman.

Di tengah ancaman dari pihak internal maupun eksternal, keluarga perlu menguatkan pendidikan, perhatian, komunikasi dan juga strategi preventif untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan baik di dunia nyata maupun digital.

 

Referensi:

  1. Brouwer, M.A.W. (2015). Bapak, Ibu Dengarlah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  2. Haidar, A. (2000). Dampak Konten Pornografi terhadap Anak. Jakarta: Pusat Studi Anak dan Remaja (PSAR).
  3. Komnas Perempuan. (2024). Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2024. Jakarta: Komnas Perempuan.
  4. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). (2024). Laporan Tahunan Kasus Kekerasan terhadap Anak. Jakarta: Kemen PPPA.
  5. Rendra, W.S. (1978). Sajak Sebatang Lisong, dalam Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Balai Pustaka.
  6. Said, Mohammad. (1955). Pendidikan Keluarga Pangkal Keselamatan Negara. Jakarta: Balai Pustaka.
  7. Winarti, S., dkk. (2020). Efek Paparan Pornografi terhadap Otak Anak. Yogyakarta: Pusat Kajian Kesehatan Anak dan Remaja.
  8. Yudistira, Arif. (2021). Momong: Seni Mendidik Anak. Surakarta : Perisai Pena.
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses