Kemerdekaan Tertunda: Ketika Buruh Perempuan Masih Menunggu Keadilan

Setiap hari kemerdekaan diperingati dengan lautan merah putih dan derap semangat nasionalisme, tetapi untuk sebagian perempuan pekerja di Indonesia, kemerdekaan itu belum pernah menyentuh realitas hidup mereka.

Mereka bekerja dengan volume yang besar, tanggung jawab ganda, di tengah sistem yang diskriminatif. Buruh perempuan adalah tulang punggung perekonomian informal maupun formal, namun seringkali menjadi yang paling tertinggal dalam distribusi keadilan sosial dan perlindungan hak-hak dasar.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa pada Februari 2024 tingkat partisipasi ekonomi perempuan sebesar 54,25%, jauh tertinggal dari laki‑laki yakni 83,40%. Perbedaan ini bukan semata soal akses kerja, melainkan juga janji kemerdekaan yang kandas dalam realitas ketimpangan struktural.

Sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal dengan upah rendah, jam kerja panjang, tanpa jaminan sosial maupun perlindungan hukum. Data BPS lainnya menunjukkan rata-rata upah per jam perempuan sekitar Rp 16.779, sedangkan laki‑laki Rp 20.125, selisih hampir 22% meskipun beban kerja relatif sama.

Penelitian akademik memberikan gambaran lebih jauh. Tjitrajaya dan Handoko (2025), dalam jurnal Gender Segregation in the Indonesian Labor Market: Insights from a Multigroup Analysis, menemukan bahwa perempuan secara sistemik terkonsentrasi di pekerjaan yang dianggap “feminin” dengan upah stagnan dan sedikit peluang karier, sementara laki‑laki dominan di sektor yang lebih strategis dan ekonomis. Segregasi ini ditentukan oleh status perkawinan dan tanggung jawab domestik yang membelenggu mobilitas vertikal pekerjaan perempuan, menghasilkan ketimpangan yang tidak tertangani.

Fenomena ketidakmerdekaan semakin kuat ketika kita menyimak realitas kerja perempuan secara utuh. Setelah menyelesaikan shift di pabrik atau layanan, mereka kembali ke “shift kedua” sebagai pengurus rumah tanpa kompensasi. Hak-hak seperti cuti haid dan melahirkan, ruang laktasi, atau fasilitasi anak hampir tidak tersedia.

Liputan Solidarity Center (2022) memperlihatkan realitas buruh garmen wanita di Jawa Barat bekerja lebih dari sepuluh jam setiap hari, menerima upah di bawah UMR, tanpa perlindungan dari pelecehan atau intimidasi serikat. Ketika mereka mencoba membentuk serikat demi memperjuangkan haknya, tekanan dan ancaman pemecatan menjadi balasan yang lazim.

Konsekuensi dari sistem yang meminggirkan perempuan juga terlihat lebih tajam untuk kelompok marginal, seperti perempuan adat, buruh migran, maupun penyandang disabilitas. Mereka menghadapi hambatan berlapis, akses pendidikan terbatas, pelatihan minim, stereotip sosial, serta norma yang menempatkan perempuan sebagai pengurus rumah tangga bukan sebagai pekerja produktif.

Juliette Suryakusuma (2017) dalam Feminism and the Politics of the Commons in Indonesia mencatat bahwa sistem patriarkal menormalkan subordinasi perempuan, meminggirkan mereka dari ruang sosial, politik, dan ekonomi.

Naluri kemerdekaan bagi buruh perempuan bukan hanya simbol merah putih, tetapi hak untuk menyuarakan, memilih, bekerja dengan martabat, tanpa takut eksploitasi. Jika mereka bersuara, seringkali respons datang penuh tekanan dan stigma, buntutnya tidak sedikit yang kehilangan pekerjaan. Serikat buruh yang mestinya menjadi instrumen kebebasan pun sering terhalang. Ketimpangan ini bukan sekadar persoalan individu, melainkan sistemik, dan melibatkan bias struktural yang memerlukan intervensi politik nyata.

John Rawls, dikutip oleh Michael Sandel dalam Justice: What’s the Right Thing to Do? (2010), menyatakan bahwa ketimpangan dalam suatu masyarakat hanya dapat dibenarkan jika menaruh kepentingan tertinggi pada mereka yang paling rentan. Buruh perempuan Indonesia, terutama yang berada di ujung strata sosial harus menjadi pusat perhatian dalam upaya mewujudkan keadilan struktural dan kemerdekaan substantif.

Selain upaya hukum dan regulasi, data juga menunjukkan potensi ekonomi yang besar. McKinsey Global Institute (2020) memperkirakan bahwa kesetaraan gender di tempat kerja bisa meningkatkan PDB Indonesia hingga 135 miliar dolar AS pada 2025. Realitas ini menegaskan bahwa investasi terhadap keadilan gender bukan hanya moral, tetapi juga strategis ekonomi.

Namun sayangnya, kebijakan sering bergerak lambat. Undang-undang ketenagakerjaan masih lemah dalam menjamin perlindungan gender di tempat kerja. Komnas Perempuan dalam laporan tahunannya mencatat lebih dari 1.000 kasus kekerasan berbasis gender di tempat kerja pada 2023, yang sebagian besar dialami oleh buruh perempuan. Padahal, jika kemerdekaan benar-benar dijadikan pijakan kebijakan, negara punya tanggung jawab untuk melindungi tubuh perempuan pekerja dari eksploitasi fisik maupun simbolik.

Agar kemerdekaan substantif bisa terwujud, perlu reformasi total: sistem pengupahan yang menjamin kesetaraan, fasilitas kerja yang ramah gender, kebijakan cuti dan pengasuhan anak di tempat kerja, serta pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Dunia usaha harus membuka peluang pelatihan kompetensi dan promosi bagi pekerja perempuan, serta menerapkan pengaduan internal yang efektif dan aman dari intimidasi.

Gerakan sipil dan organisasi perempuan juga tidak boleh tinggal diam. Pendidikan kesetaraan gender harus diintegrasikan dalam kurikulum sekolah, pelatihan perusahaan, dan media. Narasi dominan soal perempuan sebagai tenaga kerja murah perlu digugat dan dibalik: perempuan adalah pelaku ekonomi, bukan objek yang dieksploitasi. Serikat buruh perempuan mesti diperkuat; mereka harus diberi ruang untuk membangun solidaritas dan memperjuangkan haknya kolektif.

Kemerdekaan sejati adalah ketika perempuan buruh tidak lagi dipandang sebagai tenaga kerja tidak terlihat dan murah, melainkan sebagai aktor pembangunan yang dihargai. Ketika mereka mendapatkan pilihan, pengakuan, perlindungan, dan kesempatan berkembang, maka makna kemerdekaan akan kembali kepada hakikatnya, keadilan bagi semua tanpa kecuali.

 

Referensi

Tjitrajaya, Y. A., & Handoko, M. (2025). Gender Segregation in the Indonesian Labor Market: Insights from a Multigroup Analysis. ARPHA Preprints. DOI: 10.3897/arphapreprints.e152732

Badan Pusat Statistik. (2024). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia – Februari 2024.

Badan Pusat Statistik. (2024). Upah Rata‑Rata per Jam Pekerja menurut Jenis Kelamin.

Suryakusuma, J. (2017). Feminism and the Politics of the Commons in Indonesia. Yogyakarta: Obor Foundation.

McKinsey Global Institute. (2020). The Power of Parity: Advancing Women’s Equality in Asia Pacific. laporan McKinsey.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). (2023). Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan di Tempat Kerja.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses