Pos

Pelecehan Seksual Buruh Perempuan di Cakung

Buruh perempuan rentan mengalami pelecehan seksual yang langgeng karena setiap hari bertemu dengan pelaku di tempat kerja.

tirto.id – “Aku sempet ngerasa aneh ngelihat cewek pakai selotip di sini [dikerah baju], ternyata setiap nunduk sedikit aja, langsung semua mata mekanik-mekanik jelalatan”

Kutipan itu kesaksian mantan buruh pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, sebuah kawasan industri seluas 176,7 hektare di dekat Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, dalam film dokumenter berjudul “Angka Jadi Suara”.

Film buatan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) pada akhir Desember 2017 itu menggambarkan buruh-buruh perempuan di Cakung mengungkapkan beragam pelecehan seksual di tempat kerja mereka. Film itu juga menerangkan perjuangan para buruh menuntut kawasan itu bebas pelecehan seksual, yang diresmikan pada akhir 2016.

Pada 2017, Perempuan Mahardhika, organisasi sipil yang mengusung kesetaraan perempuan, melakukan studi berjudul “Pelecehan Seksual dan Pengabaian Hak Maternitas Pada Buruh Garmen: Studi Buruh Garmen Perempuan di KBN Cakung Tahun 2017”. Hasilnya: 56,5 persen dari 773 buruh perempuan yang bekerja di 38 perusahaan garmen pernah mengalami pelecehan seksual di pabrik.

Bentuk pelecehan itu beragam, seperti siulan, godaan, dan rayuan seksual; dipandang secara nakal; diejek tubuhnya; diraba-raba; tubuh dipepet; diintip lewat celah baju; diintip saat di kamar kecil; dipaksa membuka baju; tubuh disentuh; pantat dan payudara diremas; dipeluk dan digendong paksa; diajak hubungan seksual; dicium paksa; dan dipaksa berhubungan seksual.

Pelakunya tak cuma karyawan pria seperti mekanik, operator, chief, satpam, dan petugas parkir pabrik; melainkan juga bos dan orang HRD.

Pelbagai bentuk pelecehan seksual itu masih menghantui para buruh perempuan di Cakung sampai sekarang.

Seperti diceritakan Boy, 25 tahun, buruh pabrik garmen terbesar di Cakung milik orang Korea. Boy berkata pelecehan seksual di perusahaannya masih tinggi.

“Kalau aku mengalami pelecehan seksual enggak yang jauh kayak teman-teman lain. Aku [mengalami] kayak tangan dipegang, dikirim chat-chat SMS gitu, menawarkan ‘Kamu mau enggak jadi pacar aku?’,” ujar Boy kepada saya.

Penampilan tomboi Boy dianggap oleh personalia pabrik tak akan membuatnya risih. “Dia bilang, ‘Coba lihat mana tangannya?’ Kupikir mau ngapain, akhirnya dia malah pegang tanganku,”

Karena penampilannya itu, kolega kerja pria bahkan meminta Boy menunjukkan payudara.

Boy menceritakan teman buruh pria di pabrik kerap mencolek pantatnya atau pahanya ketika ia memakai model celana yang bagian pahanya robek.

Boy pernah ditawari jadi pacar oleh si personalia agar kontraknya bisa diperpanjang. Tawaran itu ia tolak. “Aku sih kerja mau kerja, aku di sini mau kerja dengan benar, tanpa ada iming-iming apa pun,” ujarnya.

Nani, 35 tahun, mengakui angka pelecehan di kawasan industri itu memang telah berkurang, tapi sepenuhnya tak hilang.

Di pabrik tempatnya bekerja, banyak pelecehan seksual yang dilakukan oleh sesama operator dengan dalih bercanda, “Ada [operator] obras, tukang jahit, yang suka iseng. Anggap cuma bercanda. Nyolek, cubit pipi.”

Nani berkata bentuk pelecehan seksual yang kerap ia lihat seperti mencolek pantat dan pelecehan verbal. Masalahnya, tak semua buruh menganggap hal-hal macam ini pelecehan seksual.

Demi meningkatkan kesadaran di tempat kerja, Nani sering mengajak sesama kawan buruh untuk berserikat. Tapi, sedikit yang mau karena pabrik sering mendiskriminasi buruh yang berserikat.

“Bentuk intimidasinya secara halus. Kalau sudah habis kontrak, tidak akan dipanggil lagi, rata-rata begitu,” ujar Nani.

Boy dan Nani adalah buruh dari pabrik berbeda tapi masih dalam perusahaan yang sama. Pabrik tempat Nani bekerja masih beroperasi, sementara tempat Boy bekerja telah tutup pada Oktober 2018. Pihak pabrik menolak upaya konfirmasi atas kasus-kasus pelecehan seksual itu.

Infografik HL Indepth Pelecehan Buruh Perempuan

Trauma Korban Pelecehan Seksual

Meningkatkan kesadaran buruh tentang pelecehan seksual di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung menghadapi jalan terjal. Mutiara Ika Pratiwi, Koordinator Perempuan Mahardhika, mengisahkan butuh pendekatan berbulan-bulan untuk membuka kasus-kasus itu.

“Susah dan pakai banget untuk buruh ngakuin. Kami [mendapatkan akses mudah] di KBN karena sudah ada interaksi panjang dengan buruh perempuan, dengan relawan posko, dengan FBLP [Federasi Buruh Lintas Pabrik],” ujar Ika.

Para buruh perempuan ketakutan menceritakan pelecehan seksual karena mereka ditekan dari pihak pabrik dan lingkungan sosial, menurut Ika.

Saat laporan pelecehan seksual terhadap buruh garmen oleh Perempuan Mahardhika ditunjukkan, para HRD dari perusahaan-perusahaan ini menampik dan menganggap data dalam laporan itu bukan berasal dari kawasan pabrik Cakung.

Perusahaan-perusahaan ini tak serta merta mau memasang plang bertuliskan “Kawasan bebas pelecehan seksual”. Pabrik-pabrik garmen yang dikenal membuat pakaian-pakaian dari merek kelas dunia ini beralasan tak memiliki anggaran pemasangan plang.

Ika berkata penting setiap pabrik memasang plang bertulisan “kawasan bebas pelecehan seksual” karena bisa mendorong para buruh berani bersuara.

Terlebih, ujar Ika, pelecehan seksual rentan bikin korban trauma. Para buruh intens bertemu dengan pelaku pelecehan seksual. Pelaku juga memakai posisi yang tinggi melakukan kejahatan seksual tersebut.

Setelah melakukan penelitian di KBN Cakung, Perempuan Mahardhika menggandeng Yayasan Pulih untuk membantu korban memulihkan trauma.

Gisella Tani Pratiwi dari Yayasan Pulih berkata penanganan penyintas pelecehan seksual bukan hal sepele, sebab ada beragam aspek yang harus diperhatikan.

“Misalnya aspek medis, hukum, psikologis, dan mungkin ekonomi. Setiap penyintas punya kebutuhan masing-masing,” ujar Gisella.

Gisella menerangkan proses pemulihan korban pelecehan seksual memiliki tahapan beragam. Waktu yang dibutuhkan dari seorang penyintas tak bisa disamaratakan dengan korban lain.

Jika korban pelecehan seksual berasal dari lingkungan kerja yang sama, sudah seharusnya perusahaan memberikan akses kebutuhan korban seperti mengawal ke proses hukum, akses pelayanan medis, dan psikologis.

“Kebanyakan pelaku memang adalah orang terdekat, sehingga perlu segera diusahakan agar menjauh dari pelaku dan memiliki rekan atau teman atau keluarga serta tempat yang aman bagi penyintas untuk mendukung pemulihannya,” kata Gisella.

Gisella menegaskan seharusnya perusahaan memiliki prosedur penanganan pelecehan atau kekerasan seksual, seperti meminta asistensi dari ahli yang bergerak dalam isu ini. Perusahaan juga tidak seharusnya melindungi pelaku.

Sudah kewajiban perusahaan memberikan sanksi dan konsekuensi tegas kepada pelaku, apalagi pelecehan dan kekerasan seksual telah diatur dalam hukum negara, ujar Gisella.

Sumber: https://tirto.id/pelecehan-seksual-buruh-perempuan-di-cakung-daRD

SABDA HIKMAH (13): BURUH

Oleh. Mukti Ali Qusyairi

Pada tulisan yang lalu, saya mengutip pandangan Imam Al-Mawardi tentang shina’ah (bekerja, kerajinan, industri) yang membagi ke dalam tiga macam; kerja pikiran, kerja fisik, dan kombinasi pikiran dan fisik.

Pada tulisan ini, saya akan memulai dengan mengutip pandangan Imam Al-Ghazali yang memberi perhatian dari sisi lain yang lebih makro soal shina’ah. Imam Al-Ghazali membagi shina’ah (kerja, kerajinan, dan industri) ke dalam tiga lapisan. Lapis pertama, shina’ah yang sangat penting dan pokok di mana tanpa shina’ah macam ini, umat manusia dan semesta tidak akan bisa berjalan dengan baik. Shina’ah jenis ini ada empat yaitu; 1. Shina’ah al-zira’iyah (yang berkaitan dengan pertanian dan cocok tanam), 2. Binaiyah (yang berkaitan dengan pembangunan rumah, gedung, dan infrastruktur), 3. Berkaitan dengan sandang atau fashion, dan 4. Siyasah (politik).

Kedua, shina’ah yang dapat menunjang perkembangan produksi dan produktivitas dari shina’ah yang pertama berupa peralatan, pabrik, pesantren/sekolahan/kampus, sains dan pengetahuan serta pemikiran yang dapat mengembangkan terkait sandang, pangan, papan, dan politik.

Ketiga, berbagai pekerjaan, kerajinan, industri dan kreativitas pengembangan serta inovasi dari yang pertama serta hal-hal yang mempermudah dan mempercepat pertumbuhan, seperti meniscayakan adanya alat transportasi dan komunikasi yang cepat.

Nampaknya, siyasah (politik) yang dianggap penting oleh Imam Al-Ghazali adalah berbagai hal berkaitan dengan pengaturan, seni pergaulan, relasi rakyat dan penguasa, penguasa dan ulama, dan berbagai pengaturan sosial di ruang publik. Bukan politik dalam arti politik praktis, dukung mendukung, dan suksesi peraihan jabatan dan kekuasaan yang sempit.

Lalu, di situ ada kaum buruh bekerja. Belakangan tuntutan dan demo buruh diadakan rutin setiap tahun di hari buruh. Ini tanda ‘ketidakadilan’ masih berlangsung.

Rasulullah SAW banyak berbicara agar memperlakukan buruh dengan baik dan adil, memberi upah sebelum keringatnya mengering, memberi upah yang layak, dan tidak boleh memperbudak. Rasul membela hak kaum buruh.

Kalau kita menggunakan logika Imam Al-Mawardi, upah biasanya diberikan lebih besar pada orang-orang yang bekerja dengan pikiran atau bekerja dengan pikiran dan fisik daripada yang hanya kerja fisik. Meski kerja pikiran tidak terlihat mata seperti orang sibuk bekerja, karena pikiran bekerja dalam konsep, pengetahuan, arahan, desain, dan petunjuk yang bisa direalisasikan fisik. Sebab itu kerja pikiran sangat menentukan.

Ketidak adilan pada buruh terkadang muncul dari bos yang terperangkap rasa suka/tidak suka, nepotisme/koncowisme, perbedaan jenis kelamin, dan kepentingan pribadi serta curang. Sebab ketidak adilan muncul sejak dari pikiran. Jika pikirannya sudah mencari-cari pembenaran atas ketidakadilan seolah selaku adil lantara bias semacam itu, maka ketidakadilan yang nyata akan tampak di alam realitas.

Demo dengan berjilid jilid, dengan diam seribu bahasa, dengan teriak turun ke jalan, akan kandas jika para pemilik modal/bos/majikan belum atau tidak ada kesadaran yang tubuh sedari pikirannya untuk berbuat adil.

Selamat hari buruh..

Jakarta, 1 Mei 2018

SIAPAKAH BURUH?

Oleh Jamaluddin Mohammad

Orang yang menjual tenaga kerjanya untuk orang lain. Mereka ada di mana-mana: di darat, di laut, dan di udara, di pabrik-pabrik, di perkantoran, di rumah-rumah, di pusat perbelanjaan, dll. Penampilannya pun bermacam-macam: ada yang kumal, kotor, dan bau. Juga ada yang rapih, wangi, dan bersih.

Mereka menjual tenaga kerjanya untuk siapa? Pemodal. Orang yang memiliki dan menguasai alat-alat dan sarana produksi. Pemodal membeli tenaga kerja buruh untuk menghasilkan sesuatu yang dikehendaki majikan (pemodal). Sementara buruh bekerja agar ia mendapat upah dari pekerjaannya itu.

Seorang buruh pabrik sepatu, misalnya, bekerja membuat sepatu bukan untuk sepatu itu sendiri, karena sepatu itu tetap milik majikan. Majikan hanya membeli tenaga buruh yang digunakan untuk membuat sepatu itu. Begitu juga buruh tani, ia menanam padi bukan untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri melainkan untuk pemilik tanah.

Di sinilah, kata al-Syaikh al-Kabir Karl Marx, awal keterasingan manusia dalam pekerjaannya. Harusnya ia bekerja menghasilkan sesuatu untuk diri sendiri, malah untuk orang lain yang tidak bekerja sama sekali. (mungkin sang majikan lagi liburan atau lagi santai-santai bersama istri dan anak-anaknya).

Bahkan, lebih menyedihkan lagi, barang yang dibuat oleh buruh itu belum tentu bisa dibeli dan dimiliki. Seorang buruh pabrik sepatu “A” atau handphone “S” belum tentu bisa memiliki barang hasil rakitannya itu. Ia pun tak tahu barang yang dibuat dalam satu hari itu ketika dijual dipasaran harganya bisa melampaui gajinya sebulan.

Bekerja (kasb)

Mengapa manusia harus bekerja. Kerja adalah fitrah manusia. Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (dharuriyat), seperti makan dan minum, manusia harus bekerja. Dengan begitu, bekerja adalah eksistensi manusia itu sendiri. Manusia akan menemukan kesejatiannya sebagai manusia dalam pekerjaannya.

Nah, persoalan kemudian, dalam sistem ekonomi kapitalistik, “kerja” tidak lagi manusiawi, perwujudan eksistensi manusia. Kerja dijadikan sarana eksploitasi satu kelompok (majikan) kepada kelompok lain (buruh). Buruh dipaksa bekerja untuk sesuatu bukan miliknya, dengan gaji yang hanya mencukupi kehidupan sehari-hari keluarga, sementara sang majikan yang hanya berpangku tangan (investor) bisa mendapat keuntungan berlipat-lipat.

Seorang buruh pabrik sepatu “A”, misalnya, dengan gaji UMR (contoh 3 juta). Dalam sehari ia bisa memproduksi 5 sampai 10 sepatu. Harga sepatu yang ia buat dijual dipasaran dikisaran Rp. 500.000 s/d Rp. 3000.000. Berapa keuntungan majikan? Bisa dihitung sendiri.

Padahal, kata Kanjeng Nabi Muhammad SAW, pekerjaan yang baik adalah pekerjaan sendiri. Nabi SAW pernah ditanya, “Pekerjaan apa yang paling baik?” Pekerjaaan hasil tangan sendiri.

Lantas, bagaimana agar buruh memperolah kemanusiaannya? Di sinilah negara harus hadir. Hadir membela dan memperjuangkan hak-hak buruh bukan hak-hak majikan.

Ini tugas, ujian, sekaligus buktikan komitmen Cak Imin sebelum jadi Cawapres: tegur dan nasihati Hanif Dhakiri selaku menteri tenagakerja. Pak Hanif kita sama-sama di Lakpesdam jgn marah ya

Selamat Hari Buruh! Panjang Umur Perlawanan dan Perjuangan! Allahu Akbar!

*keterangan photo: potret seorang buruh